Anda di halaman 1dari 8

Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya Oleh Ulil Abshar-Abdalla Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut

adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis modern atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat. Karya Ibn Khaldun (w. 1406 M) yang sudah kanonik, Mukaddimah, memuat banyak observasi yang masih terasa segar dan relevan hingga saat ini. Saya tak habis-habisnya mengagumi karya satu ini; karya yang nyaris mengagetkan bisa muncul dari kalangan sarjana Islam pada era tatkala peradaban Islam sedang pelan-pelan mengalami kemunduran di segala bidang, terutama di bidang pemikiran. Yang lebih mengagetkan lagi, karya ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari kalangan Islam sendiri yang lebih banyak terpukau oleh kajian fikih. Terus terang, yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang kembali, antara lain, adalah para orientalis di Barat yang bekerja dengan gigih untuk membongkar lumbung intelektual Islam yang kaya sekali ini, tetapi tak seluruhnya disadari oleh kalangan Islam. Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang membuat perhatian terhadap sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga Ibnu Khaldun bangkit kembali. Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas filsafat sejarah Ibn Khaldun. Prof. Mahdi baru meninggal bulan Juli, 2007 dalam usia 81. Minat Prof. Mahdi atas pemikiran Ibn Khaldun, antara lain, diilhami oleh gurunya di Universitas Chicago, Leo Strauss, seorang filsuf dan sarjana besar Yahudi asal Jerman yang juga dikenal karena penelitiannya atas al-Farabi. Terjemahan akademis atas karya ini belum pernah sekalipun dikerjakan di Indonesia. Yang kita punya adalah terjemahan komersial (kalau boleh memakai istilah ini) yang dibuat Ahmadi Taha pada pertengahan 80-an dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta. Usaha Ahmadi Taha, bagaimanapun, layak kita hargai di tengah kelangkaan sarjana Muslim Indonesia yang bersedia belepotan untuk menerjemahkan karya-karya kanon Islam ke dalam bahasa Indonesia, terutama karya yang tak ada sangkut-pautnya dengan kajian fikih. Mukaddimah karya Ibn Khaldun memuat banyak sekali observasi atas masyarakat manusia yang, menurut saya, masih terus layak dibaca dan dikaji hingga sekarang. Buku ini adalah salah satu hasil jenius dalam sejarah Islam yang sangat mengagumkan. Sangat disayangkan bahwa karya besar ini sama sekali tak memperoleh perhatian di kalangan pesantren. Kajian Islam di pesantren atau umumnya lembaga-lemabaga pendidikan Islam yang cenderung berpusat pada ilmu-ilmu ortodoks (fikih, hadis, tafsir) layak diperluas dengan melibatkan karya-karya non-ortodoks seperti karya Ibn Khaldun ini. Membaca buku ini, menurut saya, sangat nikmat dan lezat bukan sekedar karena di sana kita bisa menjumpai analisis Ibn Khaldun yang tajam terhadap sejumlah gejala sosial pada zamannya, tetapi terlebih lagi karena mutu bahasanya yang sangat baik dan cemerlang. Karena urusan penulisan paper kelas, saya dipaksa membaca kembali Mukaddimah karya Ibn Khaldun. Saya terpukau dengan sejumlah observasi cemerlang yang saya temukan dalam buku ini. Dalam tulisan ini, saya ingin membagi apa yang saya baca dengan teman-teman yang kebetulan memiliki minat terhadap pemikiran Islam klasik.

Salah satu observasi Ibn Khaldun yang menarik adalah mengenai hubungan antara ulama dan politik. Kata ulama di sini sebaiknya tak usah dikaitkan dengan istilah ulama dalam, misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab yang dimaksud Ibn Khaldun dengan istilah ini jauh lebih luas. Dalam pemakaian modern, istilah ulama sebagaimana kita jumpai dalam karya Ibn Khaldun, terutama dalam bab yang saya bahas ini, paralel dengan isitlah intelektual, cendekiawan, atau philosophe sebagaimana dipakai di dalam tradisi Prancis. Yang menarik adalah judul bab yang membahas mengenai masalah ini, Fasal ke-34, perihal bahwa ulama, di antara manusia yang lain, adalah mereka yang paling jauh dari politik dengan seluruh cabang-cabangnya (Fi anna al-ulama min bain al-basyar abad an al-siyasah wa madhahibiha). (Mukaddimah, cetakan Kairo, tanpa tahun, hal. 542). Menurut Ibn Khaldun, ulama (baca: intelektual, cendekiawan) cenderung jauh, atau menjauhi politik karena watak mereka yang lebih cenderung tenggelam atau menenggelamkan diri dalam dunia ide, dan refleksi intelektual (mutadun al-nazar al-fikri wa al-ghaus ala al-maani). Mereka cenderung melakukan abstraksi, dalam pengertian mencari pola-pola umum dari data-data empirik yang terserak. Minat mereka bukan pada fakta-fakta empirik yang bersifat sporadis dan carut marut, tetapi mencari pola-pola umum, atau apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai umur kulliyyah ammah. Kerja ulama, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah persis seperti yang ia kerjakan sendiri, yakni melihat sejarah sebagai suatu arena tempat bekerjanya pola-pola besar. Bagi seorang sejarawan, suatu data sejarah kecil di sebuah tempat dan berkenaan dengan masyarakat tertentu, tidaklah terlalu menarik. Sebab, yang penting bagi dia adalah sebuah pola atau hukum yang bersifat umum. Dengan kata lain, abstraksi pemikiran adalah watak yang melekat pada kerja seorang ulama. Sementara itu, politik, menurut Ibn Khaldun, menuntut sesuatu yang lain. Seorang yang bekerja di sektor politik harus membaca dengan jeli setiap gejala secara spesifik. Seorang politisi (istilah ini saya pakai untuk menerjemahkan istilah Ibn Khaldun, shahib al-siyasah), dituntut untuk memperhatikan segala sesuatu yang berkembang di dalam dunia empirik berikut segala hal yang menjadi akibatnya (muraat ma fi al-kharij wa ma yalhaquha min al-ahwal wa yatbauha). Yang menarik adalah bahwa dalam pandangan Ibn Khaldun, setiap peristiwa dalam dunia politik adalah unik, dan karena itu menuntut perlakuan yang khusus. Oleh karena itu, qiyas atau analogi fikih, cenderung kurang tepat dipakai dalam menangani perkara-perkara politik. Seorang ulama/intelektual yang biasa bekerja dengan qiyas, pola-pola umum, teori, biasanya cenderung gagal dalam sektor politik, karena mereka mengira bahwa suatu pola bisa diterapkan di mana-mana. Selain qiyas, Ibn Khaldun juga memakai istilah muhakah (harafiah: meniru) yang dalam pemakaian modern bisa kita terjemahkan sebagai ekstrapolasi, atau memproyeksikan suatu hukum yang berlaku pada suatu kasus ke kasus-kasus lain. Kerja intelektual para ulama biasanya bertumpu pada qiyas dan muhakah. Politik tidak bisa diperlakukan dengan cara demikian. Saya kutip kalimat Ibn Khaldun yang menarik: Suatu keadaan yang berkaitan dengan peradaban tertentu tak bisa dianalogikan dengan keadaan (peradaban) lain, sebab, meskipun boleh jadi mengandung kesamaan dalam satu hal, dua keadaan itu juga mengandung perbedaan dalam segi-segi yang lain. Itulah sebabnya, seorang ulama yang biasa melakukan generalisasi atas suatu hukum dan menganalogikan suatu gejala dengan gejala yang lain, saat mereka menganalisa politik, cenderung menumpahkan gejala-gejala politik itu ke dalam bejana teoritik (qalab andzarihim) dan sejumlah deduksi mereka yang lain. Karena itu, mereka seringkali melakukan kesalahan. (hal. 542, baris 14-17).

Yang mengejutkan adalah pengamatan Ibn Khaldun berikut ini. Orang-orang awam yang tak terbiasa dengan qiyas, muhakah, abstraksi, teori-teori besar memiliki kemungkinan besar untuk sukses dalam politik justru karena mereka bisa memberi perhatian yang cukup pada setiap gejala, dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang einmalig atau unik. Mereka, orang-orang awam itu, lebih mudah terhindar dari kecenderungan meng-qiyas-kan satu gejala dengan gejala yang lain. Sikap intelektual kaum awam, kata Ibn Khaldun, adalah seperti seorang perenang di samudra yang selalu awas dan menjaga diri terus dekat dengan pantai, dan tidak keasyikan lepas ke tengah lautan sehingga akhirnya tenggelam. Analisis Ibn Khaldun ini sangat cemerlang karena menangkap perbedaan yang mendasar antara dunia intelektual dan dunia politik. Pembaca modern akan dengan mudah diingatkan melalui analisis dari abad ke-14 ini kepada analisa serupa dari Julien Benda. Meskipun Ibn Khaldun sama sekali tidak mengatakan bahwa seorang ulama/intelektual yang masuk ke dunia politik sedang melakukan la trahison des clercs atau pengkhianatan kaum klerk alias ulama. Pengamatan Ibn Khaldun ini juga menarik karena sama sekali meninggalkan tradisi al-Farabi yang justru melihat politik sebagai wiayah kerja raja-filosof seperti dalam kerangka pemikiran Plato. Wawasan Ibn Khaldun jelas lebih empirik. Dalam fasal ke-17, Ibn Khaldun mengulas suatu gejala menarik yang muncul dalam setiap peradaban yang telah mencapai suatu taraf kematangan. Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun memakai istilah umran yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai peradaban. Saya lebih cenderung mengartikan istilah ini sebagai urbanisme atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai umran oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden. Judul fasal ini adalah, Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme (hal. 400-401). Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai pembagian kerja dan diferensiasi sosial. Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-amal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zaid) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, luxuries (alkamalat min al-maash). Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidzaiyyah). Kebutuhan manusia untuk memenuhi tuntutan aspek yang kedua ini biasanya lebih mendesak, dan karena itu harus didahulukan, ketimbang tuntutan aspek yang pertama. Makin berkembang dan canggih perkembangan umran atau urbanisme suatu masyarakat, makin pesat pula perkembangan bidang-bidang profesi dalam masyarakat bersangkutan. Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah al-shanai, bentuk plural dari shaniah yang dalam tulisan ini saya terjemahkan sebagai profesi. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah craft atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai teknologi.

Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni al-ulum atau ilmu. Penggunanaan dua istilah ini secara serentak menandakan bahwa Ibn Khaldun sadar mengenai dua aspek dalam ilmu, yakni aspek teoritik dan terapan. Ilmu murni mungkin paralel dengan istilah al-ulum, sementara ilmu terapan adalah sepadan dengan istilah al-shanai. Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang al-ulum dan al-shanai. Begitu pula saat umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula. Pengamatan Ibn Khaldun ini jelas bukan berasal dari fantasi yang berasal dari awan, tetapi berdasarkan pengamatan langsung dia pada up dan down dari peradaban Islam sendiri. Berdiri pada abad ke-14, Ibn Khaldun memiliki keuntungan dan kemewahan untuk bisa melihat, menganalisis dan menjelaskan jatuh-bangunnya peradaban Islam, dalam cara serupa yang belakangan, dalam era modern, dilakukan oleh sejarawan-sejarawan besar seperti Arnold Toynbee atau, yang lebih populer, Will Durant. Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun tidak semata-mata mengembalikan proses jatuhbangunnya peradaban Islam ini kepada kehendak Tuhan, tetapi, dengan teliti dan cermat, dia mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada masyarakat manapun, baik Muslim atau non-Muslim. Marilah kita ikuti sejumlah detil-detil pengamatan Ibn Khaldun yang mencerminkan sejumlah perkembangan yang ada pada abad ke-14 Masehi. Sementara itu, kita perlu mengetahui, walau secara selintas, semacam state of the art dari peradaban Islam pada saat Ibn Khaldun hidup. Sebagaimana kita tahu, Ibn Khaldun hidup dalam rentangan antara 1332 M hingga 1406. Pada saat itu, sekurang-kurangnya ada dua dinasti besar Islam. Pertama adalah dinasti Mamluk di Mesir yang berkuasa antara 1250-1517. Kedua adalah dinasti Usmaniyah yang melanjutkan dinasti Abbasiyah yang runtuh pada 1258. Pada saat Ibn Khaldun hidup, riak-riak pencerahan mulai muncul di Eropa, terutama di Italia. Ibn Khaldun juga hidup tidak lama sebelum pecahnya reformasi dalam agama Kristen. Contoh urbanisme yang maju pesat yang disebut oleh Ibn Khaldun dalam bukunya ini adalah apa yang ia lihat di Kairo, Mesir, ibu kota dari dinasti Mamluk. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya jazzar, yakni profesi penyembelihan hewan, dabbagh, yakni penyamakan atau pengolahan kulit, kharraz, yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian, shaigh, yakni jewellery atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan, dahhan, pembuatan parfum, shaffar, yakni pengolahan kuningan, al-hammami, yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu), al-tabbakh, yakni usaha restoran, shamma, yakni kerajinan lilin, al-harras, usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue. Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, jika memakai bahasa sekarang, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (muallim al-ghina wa al-raqs wa qar al-thubul ala al-tauqi). Istilah qar al-thubul ala al-tauqi layak mendapat perhatian khusus di sini. Secara harafiah, istilah itu berarti menabuh perkusi sesuai dengan nada nota atau nada musik tertentu. Ini, antara lain, memperlihatkan bahwa ketrampilan memainkan alat musik dengan memakai nota tertentu merupakan bidang yang digemari masyarakat pada saat itu sehingga muncul profesi khusus untuk mengajarkannya. Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi

intelektual Islam pada saat itu adalah al-warraqun, yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam. Peran penting dalam penyebaran ini dimainkan oleh seorang warraq yang melakukan penyalinan naskah secara manual. Pekerjaan warraq bukan sekedar menyalin naskah (intisakh), tetapi juga editing (tashih) dan penjilidan (tajlid). Dengan kata lain, profesi warraq adalah apa yang sekarang berkembang menjadi publishing house atau penerbitan. Warraq pada zaman Ibn Khaldun adalah semacam Mizan atau Gramedia pada masa kita saat ini. Ibn Khaldun menyebut perkembangan bidang-bidang ini sebagai cerminan dari apa yang ia sebut sebagai al-taraf fi al-madinah atau kemewahan urban. Dia juga mengemukakan suatu pengamatan yang menarik bahwa dalam segi-segi tertentu, kemewahan ini juga kadang-kadang bergerak secara ekstrim. Ibn Khaldun menyebut sejumlah contoh, misalnya: profesi melatih burung dan keledai, sulap, dan berjalan serta menari di atas seutas tali. Deskripsi Ibn Khaldun yang jeli ini langsung membuat saya berkesimpulan bahwa pada saat itu pertunjukan sirkus sudah mulai berkembang. Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa kemewahan urban ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu. Apa yang bisa kita simpulkan dari pengamatan Ibn Khaldun ini? Tentu ada sejumlah hal menarik yang bisa kita simpulkan dari pengamatan ini. Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis modern atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat. Era keemasan peradaban Islam itu juga mengenal sirkus! Bangsa-bangsa taklukan ( al-maghlub) biasanya akan meniru kebudayaan dan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang menaklukkan mereka (al-ghalib). Ini adalah adalah salah satu hukum sosial yang dirumuskan dengan sangat menarik oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, Muqaddimah. Ia mengutarakan observasi ini dalam bab kedua, fasal ke-23. Judul fasal itu adalah: Perihal bahwa mereka yang kalah selalu tergila-gila untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri-ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan adat mereka (fi anna al-maghluba mula abadan bi al-iqtida bi al-ghalibi fi shiarihi wa ziyyihi wa nihlatihi). Marilah kita ikuti bagaimana Ibn Khaldun memberikan penjelasan atas fenomena ini. Jiwa (alnafs) bangsa-bangsa yang ditaklukkan biasanya cenderung memandang bahwa bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang sifatnya alamiah. Ketundukan mereka pada bangsa yang menang sama sekali tak dipandang sebagai sesuatu yang timbul karena adanya penaklukan alamiah (ghalbun thabiiyyun). Dengan kata lain, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang bukan karena adanya paksaan, tetapi karena adanya keyakinan pada bangsa yang kalah tersebut bahwa bangsa yang menang, secara natural, lebih unggul ketimbang mereka. Jika boleh memakai istilah yang sangat terkenal dari Gramsci, bangsa yang kalah meniru bangsa yang menang karena adanya semacam persetujuan atau consent. Gramsci menyebutnya sebagai hegemoni. Anggapan pada pihak bangsa yang kalah tentang keunggulan alamiah bangsa yang menang

oleh Ibn Khaldun disebut sebagai mughalathah atau anggapan yang keliru. Saya kira, di sini Ibn Khaldun melihat dengan cermat bagaimana proses penundukan atas bangsa-bangsa berlangsung. Pada tingkat pertama, penundukan itu berlangsung pada level fisik yang biasanya melibatkan kekekerasan, entah melalui perang atau agresi. Setelah penundukan lewat sarana kekerasan fisik ini tercapai (oleh Ibn Khaldun disebut sebagai ghalbun thabiiyyun), muncullah penundukan pada level mental. Di sinilah, bangsa-bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan bahwa bangsa yang menang memiliki keunggulan secara alamiah atas mereka. Ibn Khaldun memandang bahwa hal semacam ini tidak benar, sebab ketundukan mental hanya merupakan selubung untuk ketundukan pada level fisik. Peniruan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kalah ini berlangsung pada pelbagai aspek, mulai dari pakaian (malbas), kendaraan (markab), senjata (silah), dsb. Ibn Khaldun memberikan contoh atas keadaan yang terjadi di Spanyol. Bangsa Galisia yang beragama Kristen dan tinggal di kawasan barat laut semenanjung Iberia (Spanyol) cenderung meniru adat kebiasaan bangsa Muslim di Andalusia yang saat itu menjadi bangsa yang unggul atau menang. Dalam teks Ibn Khaldun, istilah yang dipakai untuk menyebut bangsa Galisia adalah al-Jalaliqah. Orang-orang Galisia meniru bangsa Muslim dalam banyak hal, mulai dari mode pakaian, pembuatan lukisan mural (rasm al-tamatsil fi al-judran), hingga lukisan biasa yang dipajang di rumah, begitu rupa sehingga siapapun yang melihat keadaan itu akan tahu bahwa mereka ditaklukkan (secara mental) oleh bangsa Muslim. Ibn Khaldun menyebut suatu peribahasa yang dikenal luas dalam masyarakat saat itu, al-ammah ala din al-malik, orang-orang awam biasanya mengikuti din atau kebiasaan para raja-raja yang menundukkan mereka. Yang menarik adalah bahwa Ibn Khaldun melakukan observasi ini dengan dingin tanpa memberikan suatu penilaian yang sifatnya normatif. Saya membaca observasi Ibn Khaldun ini sebagai semacam hukum sosial yang bisa berlaku kepada siapa saja, baik bangsa Muslim atau non-Muslim. Jika yang unggul adalah umat Islam, maka umat lain akan cenderung meniru mereka. Begitu pula sebaliknya, saat bangsa di luar Islam unggul, tak pelak bangsa-bangsa Muslim akan meniru mereka pula. Yang patut mendapat perhatian kita dalam observasi Ibn Khaldun ini adalah bahwa ketundukan bangsa yang kalah mula-mula terjadi karena kekerasan fisik yang dipakai oleh bangsa yang menang. Tanpa kekerasan ini, maka ketundukan mental atau hegemoni tak akan berlangsung. Seperti Machiavelli, Ibn Khaldun melihat kekuasaan fisik sebagai fakta sosial yang harus dilihat dan dianalisis dengan dingin. Apa implikasi dari observasi Ibn Khaldun ini? Saya menangkap suatu implikasi yang sama sekali mengagetkan dari observasi ini. Yakni, jika bangsa Galisia atau bangsa non-Muslim lain meniru kebiasaan orang Islam yang kebetulan menjadi bangsa pemenang saat itu, maka hal itu bukanlah karena mereka melihat adanya keunggulan pada Islam sebagai suatu agama, tetapi karena pertama-tama bangsa Muslim memakai kekerasan fisik untuk menundukkan mereka. Jangan lupa hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun: ketundukan mental dimungkinkan karena adanya kekerasan fisik atau ghalbun thabiiyyun. Ibn Khaldun bukan saja seorang sejarawan yang bekerja dengan konsep dan kategori besar, tetapi juga sangat rajin melihat hal-hal yang sangat kecil. Pada Ibn Khaldun kita melihat kombinasi yang menarik antara studi sejarah dan sosiologi, suatu pendekatan yang, kita tahu semua, pernah dikembangkan dengan amat baik di Indonesia oleh alm. Prof. Sartono

Kartodirdjo, sejarawan terkenal dari UGM. Dalam bab kelima, fasal ke-22, Ibn Khaldun mengemukakan suatu obeservasi yang menarik berkenaan dengan perkembangan profesi (shinaah) yang ada pada zamannya. Judul fasal itu adalah Perihal bahwa seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang tertentu, amat jarang bahwa orang yang sama akan memiliki kecakapan dalam tingkat yang sama di bidang yang lain (fi man hashalat lahu malakah fi shinaah fa qalla an yujida badu fi malakah ukhra). Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan alamiah, yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama. Kecapakan, dalam pandangan Ibn Khaldun, adalah semacam warna. Jika jiwa manusia boleh kita analogikan dengan sebuah kanvas, maka jiwa tersebut tak bisa menerima sejumlah warna secara serentak. Kalaupun ada sejumlah warna dituangkan di sana, maka salah satu akan tampak menonjol, sementara yang lain hanyalah menjadi semacam latar belakang. Observasi Ibn Khaldun ini, jelas, bukan ia peroleh dari meditasi di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana umran atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih. Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya, dan menggantinya dengan kecakapan baru. Hal ini, menurut Ibn Khaldun, bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai kecakapan intelektual (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama. Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa unggul dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual. Harus kita ingat, ambisi intelektual yang ingin dicapai oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Muqaddimah, adalah untuk membangun suatu hukum yang berlaku umum, bukan kasus-kasus terbatas yang sporadik se suatu yang tentu amat mencengangkan dilakukan oleh seorang sarjana Muslim di abad ke-14 M. Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui obser vasinyatentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampakn ya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam umran atau ur banisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intel ektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejuml ah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.

Dengan kata lain, istilah shinaah yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafs irkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.

Anda mungkin juga menyukai