Anda di halaman 1dari 37

1

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Pengantar Menurut Teguh Baroto (2002, p14), perencanaan dan pengendalian produksi (PPC) tersebut. adalah aktivitas bagaimana mengelola proses produksi

PPC merupakan tindakan manajemen yang sifatnya abstrak (tidak dapat

dilihat secara nyata). Sistem komputer barangkali merupakan analogi yang tepat untuk sistem produksi. Proses produksi adalah perangkat kerasnya (hardware) dan PPC adalah perangkat lunaknya (software). Perencanaan dan pengendalian produksi (PPC) pada industri manufaktur apapun akan memiliki fungsi yang sama. Fungsi atau aktivitas-aktivitas yang ditangani oleh departemen PPC atau PPIC secara umum adalah sebagai berikut : 1. Mengelola pesanan (order) dari pelanggan. Para pelanggan memasukkan pesanan-

2 pesanan untuk berbagai produk. Pesanan-pesanan ini dimasukkan dalam jadwal produksi utama, ini bila jenis produksinya make to order. 2. Meramalkan permintaan. Perusahaan biasanya berusaha memproduksi secara lebih independent terhadap fluktuasi permintaan. Permintaan ini perlu diramalkan agar skenario produksi dapat mengantisipasi fluktuasi permintaan tersebut. Permintaan ini harus dilakukan bila tipe produksinya adalah make to stock.

3. Mengelola persediaan. Tindakan pengelolaan persediaan berupa melakukan transaksi persediaan, membuat kebijakan persediaan pengaman, kebijakan kuantitas pesanan, dan mengukur performansi keuangan dari kebijakan yang dibuat. 4. Menyusun rencana agregat (penyesuaian permintaan dengan kapasitas). Pesanan pelanggan dan atau ramalan permintaan harus dikompromikan dengan sumber daya perusahaan (fasilitas, mesin, tenaga kerja, keuangan, dan lain-lain). Rencana agregat bertujuan untuk membuat skenario pembebanan kerja untuk mesin dan tenaga kerja (reguler,lembur, dan subkontrak) secara optimal untuk keseluruhan produk dan sumber daya secara terpadu (tidak per produk). 5. Membuat Jadwal Induk Produksi (JIP). JIP adalah suatu rencana terperinci mengenai apa dan berapa unit yang harus diproduksi pada suatu periode tertentu untuk setiap item produksi. JIP dibuat dengan cara (salah satunya) memecah (disagregat) rencana agregat kedalam rencana produksi (apa, kapan, dan berapa) yang akan direalisasikan JIP ini apabila telah dikoordinasikan dengan seluruh departemen akan jadi dasar dalam PPC. JIP ini akan di- review secara periodik atau bila ada kasus. JIP ini dapat berubah bila ada hal yang harus diakomodasikan. 6. Merencanakan kebutuhan. JIP yang telah berisi apa dan berapa yang harus dibuat selanjutnya harus diterjemahkan ke dalam kebutuhan komponen, sub-assembly, dan bahan penunjang untuk penyelesaian produk. Perencanaan kebutuhan material bertujuan untuk menentukan, apa, berapa, dan kapan komponen, sub-

assembly, dan bahan penunjang yang harus disiapkan. Untuk membuat perencanaan kebutuhan diperlukan informasi lain berupa struktur produk ( Bill of Material) dan catatan persediaan. Bila hal ini belum ada, maka tugas departemen PPC untuk membuatnya. 7. Melakukan penjadwalan pada mesin atau fasilitas produksi. Penjadwalan ini meliputi urutan pengerjaan, waktu penyelesaian pesanan, kebutuhan waktu penyelesaian, prioritas pengerjaan, dan lain-lainnya. 8. Monitoring dan pelaporan pembebanan kerja dibanding kapasitas produksi. Kemajuan tahap demi tahap dimonitor dan dibuat laporannya untuk dianalisis. Apakah pelaksanaan sesuai rencana yang telah dibuat? 9. Evaluasi skenario pembebanan dan kapasitas. Bila realisasi tidak sesuai rencana, maka rencana agregat, JIP, dan penjadwalan dapat diubah/disesuaiakan kebutuhan. Untuk jangka panjang, evaluasi ini dapat digunakan untuk mengubah (menambah) kapasitas produksi.

Menurut Vincent Gaspersz (2001, p127), dalam sistem manufakturing modern aktivitas perencanaan prioritas (priority planning) sejajar dengan aktivitas perencanaan kapasitas, sehingga terdapat suatu hierarki dari rencana-rencana kapasitas (capacity plans) yang sejajar dan sesuai dengan hierarki dari rencanarencana prioritas (priority plans), seperti di tunjukkan pada gambar 2.1.

-----------------------

------------

\;' ; "t l t' ' 'f' \: i' f'

Gambar 2.1 Hierarki Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam Sistem MRP

Pada dasarnya terdapat empat tingkat dalam hierarki perencanaan prioritas dan kapasitas yang terintegrasi, antara lain : 1. Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya. Pada dasarnya perencanaan produksi merupakan suatu proses penetepan tingkat output manufakturing secara keseluruhan guna memenuhi tingkat penjualan yang direncanakan dan inventori yang diinginkan. Rencana produksi mendefinisikan tingkat manufakturing, biasanya dinyatakan sebagai tingkat bulanan untuk periode satu tahun atau lebih, untuk setiap kelompok produk. Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP) merupakan suatu proses yang mengevaluasi rencana produksi guna menentukan sumber daya jangka panjang seperti : tanah, fasilitas, mesin-mesin dan tenaga kerja adalah tersedia.

2. Penjadwalan Produksi Induk (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP). MPS menguraikan rencana produksi untuk menunjukkan kuantitas produk akhir yang akan diproduksi untuk setiap periode waktu sepanjang horizon perencanaan taktis (biasanya satu tahun). Apabila rencana produksi menunjukkan tingkat produksi untuk kelompok produk, MPS menjadwalkan kuantitas spesifik dari produk akhir dalam periode waktu spesifik. Rough Cut Capacity Planning (RCCP) menentukan apakah sumber daya yang direncanakan adalah cukup untuk melaksanakan MPS.

3. Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP). MRP mengembangkan pesanan-pesanan yang direncanakan untuk bahan baku, komponen, dan subassemblies yang dibutuhkan untuk memenuhi MPS. MRP menggunakan data inventori dan Bills Of Material (BOM). Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) membandingkan kapasitas yang dibutuhkan terhadap projected available capacity untuk open manufacturing orders dan planned manufacturing orders yang dihasilkan oleh sistem MRP.

4. Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta Operations Sequencing. PAC mengembangkan jadwal jangka pendek yang terperinci dengan

menggunakan component due dates dari MRP dan detailed routings. Pengendalian Input/output memantau kuantitas dari pekerjaan yang datang pada pusat kerja dan yang meninggalkan pusat kerja itu. Operations Sequencing merupakan suatu teknik simulasi untuk perencanaan jangka pendek dan priority dispatching dari pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan pada setiap pusat kerja, berdasarkan pada kapasitas sekarang, prioritas, routings, dan informasi lain.

2.2 Perencanaan Agregat Menurut Teguh Baroto (2002, p98) ada beberapa pengertian perencanaan agregat : Perencanaan Agregat adalah : perencanaan yang dibuat untuk menentukan total permintaan dari seluruh elemen produksi dan jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Perencanaan Agregat adalah : proses perencanaan kuantitas dan pengaturan waktu keluaran selama periode waktu tertentu (3 bulan sampai 1 tahun) melalui penyesuaian variabel-variabel tingkat produksi karyawan, persediaan, variabel yang dapat dikendalikan lainnya.

Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p63), perencanaan produksi sebagai suatu perencanaan taktis adalah bertujuan memberikan keputusan yang optimum berdasarkan sumber daya yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi permintaan akan produk yang dihasilkan. Yang dimaksud dengan sumber daya yang dimiliki adalah kapasitas mesin, tenaga kerja, teknologi yang dimiliki, dan lainnya. Perencanaan agrerat dibuat untuk menyesuaikan kemampuan produski dalam menghadapi permintaan pasar yang tidak pasti dengan mengoptimumkan penggunaan tenaga kerja dan peralatan produksi yang tersedia sehingga ongkos total produksi dapat ditekan seminim mungkin. Kata agregat tersebut menyatakan bahwa perencanaan dibuat pada tingkat kasar untuk memenuhi total kebutuhan

semua produk yang akan dihasilkan (bukan per-individu produk) dengan menggunakan sumber daya yang ada. Menurut Teguh Baroto (2002, p98) Perencanaan Agregat merupakan perencanaan produksi jangka menengah. Horizon perencanaannya biasanya berkisar antara 1-24 bulan atau bisa bervariasi dari 1-3 tahun. Horizon tersebut tergantung pada karakteristik produk dan jangka waktu produksi. Periode perencanaan disesuaikan dengan periode peramalan, biasanya 1 bulan. Tujuan perencanaan produksi adalah menyusun suatu rencana produksi untuk memenuhi permintaan pada waktu yang tepat dengan menggunakan sumbersumber atau alternatif-alternatif yang tersedia dengan biaya yang paling minimum keseluruhan produk. Perencanaan agregat ini merupakan langkah awal aktivitas perencanaan produksi yang dipakai sebagai pedoman untuk langkah selanjutnya, yaitu penyusunan jadwal induk produksi (JIP). Perencanaan agregat adalah suatu langkah pendahuluan perencanaan kapasitas secara terperinci. Perencanaan agregat merupakan dasar untuk membuat jadwal induk produksi (JIP). JIP menyajikan rencana produksi detail untuk setiap produk akhir. Proses penyusunan JIP untuk perusahaan yang Make to Stock akan berbeda dengan perusahaan yang Make to Order. Hal ini dikarenakan sumber informasi permintaan atau kebutuhan yang berbeda. Bagi perusahaan yang Make to Stock, informasi permintaan didapat dari hasil peramalan. Bagi perusahaan yang Make to Order, informasi permintaan diperoleh dari order-order (pesanan) yang diterima dari pelanggan.

2.2.1 Metode-Metode Perencanaan Agregat Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

permasalahan pada perencanaan produksi agregat. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut : Jumlah Tenaga Kerjanya Tetap dan Struktur Biayanya Linier Trial and Error Program Linier Transportasi Programa Dinamis

Jumlah Tenaga Kerjanya Berubah-ubah dan Struktur Biayanya Linier Program Linier

Jumlah Tenaga Kerjanya Berubah-ubah dan Struktur Biayanya Non Linier Linear Desicion Rule Heuristic Search

Dalam Tugas Akhir ini metode yang digunakan adalah hanya metode transportasi. Asumsi metode transportasi adalah sebagai berikut : 1. 2. Kapasitas produksi dan permintaan dinyatakan dalam satuan yang sama Total kapasitas sama dengan total permintaan dalam Horizon yang sama. Jika keadaan ini tidak terpenuhi, maka harus dibuat kapasitas atau permintaan buatan atau dummy dengan biaya nol per unit, sehingga sistem jadi seimbang.

3.

Semua hubungan biaya linear.

2.2.2 Metode Transportasi Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p79), perencanaan agregat dapat menggunakan metode transportasi yang merupakan bagian dari perencanaan produksi programa linier dengan jumlah tenaga kerja ( work-force) tetap. Metode ini mengijinkan penggunaan produksi reguler, overtime, inventory, backorder, dan subkontrak. Hasil perencanaan yang diperoleh dapat dijamin optimal dengan asumsi optimistik bahwa tingkat produksi (yang dipengaruhi oleh hiring dan training pekerja) dapat dirubah dengan cepat. Agar supaya metode ini dapat diaplikasikan, kita harus memformulasikan persoalan perencanaan agregat sehingga: 1. Kapasitas tersedia (supply) dinyatakan dalam unit yang sama dengan kebutuhan (demand). 2. Total kapasitas untuk horison perencanaan harus sama dengan total peramalan kebutuhan. Bila tidak sama, kita gunakan variabel bayangan (dummy) sebanyak jumlah selisih tersebut dengan unit cost = 0. 3. Semua hubungan biaya merupakan hubungan linier. Berikut Contoh tabel transportasi seperti pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Contoh Tabel Transportasi Pasokan Dari Periode 1 Persediaan Awal Regule r Lembu r Periode 4 Periode 3 Periode 2 Subkont rak Reguler Lembur Subkont rak Reguler Lembur Subkont rak Reguler Lembur 0 12 15 27 17 29 20 32 20 23 22 25 25 28 25 19 27 21 30 24 30 15 32 17 35 20 Subkontrak
Permintaan Total

Permi ntaan Untuk Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 4 8 19 21 24 15 17 20 20 22 25 25 27 30 23 25 28 19 21 24 15 17 20 20 22 25

Kapasitas Tak

Kapasitas Total

Terpakai ( Dummy ) yang tersedia

1. Metode NWCR Menurut (Sri Mulyono, 2007, p116), Metode NWCR adalah metode yang paling sederhana di antara ketiga metode yang di gunakan yaitu Least Cost dan Vogel. Metode NWCR memulai dengan mengalokasikan jumlah maksimum yang diijinkan oleh penawaran dan permintaan kevariabel yang berada di sudut barat laut tabel. Kolom/baris yang sudah dipenuhi lalu disilang untuk menunjukkan bahwa variabel sisanya dalam kolom/baris yang

disilang tersebut adalah sama dengan nol. Jika sebuah kolom dan sebuah baris dipenuhi secara bersamaan, hanya salah satu yang disilang. Kondisi ini menjamin penentuan variabel dasar nol, jika ada, secara otomatis. Setelah menyesuaikan jumlah penawaran dan permintaan untuk semua baris dan kolom yang belum disilang, jumlah maksimum yang layak dialokasikan ke elemen pertama yang belum disilang di kolom/baris baru. Proses ini di selesaikan ketika tepat satu baris atau satu kolom belum disilang. (Taha, 1996, p213-214). 2. Metode Least Cost Menurut (Sri Mulyono, 2007, p118), metode Least Cost berusaha mencapai tujuan minimasi biaya dengan alokasi sistematik kepada kotakkotak sesuai dengan besarnya biaya transport per unit. Prosedur dari metode least cost adalah sebagai berikut. Berikan nilai setinggi mungkin pada variabel dengan biaya unit terkecil dalam keseluruhan tabel. (Beberapa biaya unit yang sama dipilih secara sembarang.) Silang baris atau kolom baris yang dipenuhi. (Seperti dalam metode NWCR, jika baik kolom maupun baris dipenuhi secara berbarengan, hanya satu yang disilang.) Setelah menyesuaikan penawaran dan permintaan untuk semua baris dan kolom yang belum disilang, ulangi proses dengan memberikan nilai setinggi mungkin pada variabel dengan

biaya unit terkecil yang belum disilang. Prosedur ini diselesaikan ketika tepat satu baris atau satu kolom belum disilang. (Taha, 1996, p222). 3. Metode Vogel Approximation Method Menurut (Sri Mulyono, 2007, p120), metode Vogel selalu memberikan suatu solusi awal yang lebih baik dibanding metode NWCR dan sering kali lebih baik daripada metode Least Cost. Langkah-langkah dari prosedur ini adalah sebagai berikut : Langkah 1 : Evaluasi penalti untuk setiap baris/kolom dengan mengurangkan elemen biaya terkecil dalam baris/kolom dari elemen biaya terkecil berikutnya dalam baris/kolom yang sama. Langkah 2 : Identifikasi baris/kolom dengan penalti terbesar, pilih nilai yang sama secara sembarang. Alokasikan sebanyak mungkin pada variabel dengan biaya terendah dalam baris/kolom yang dipilih. Sesuaikan penawaran dan permintaan dan silang baris/kolom yang dipenuhi. Jika sebuah baris/kolom dipenuhi secara bersamaan, hanya satu diantaranya yang disilang dan baris/kolom sisanya diberikan penawaran/permintaan nol. Setiap baris/kolom dengan penawaran/permintaan nol tidak boleh dipergunakan dalam menghitung penalti berikutnya. Langkah 3 : a. Jika tepat satu baris/satu kolom yang belum disilang, berhentilah.

b. Jika hanya satu baris/kolom dengan penawaran/permintaan positif yang belum disilang, tentukan variabel dasar dalam baris/kolom tersebut dengan metode biaya terendah. c. Jika semua baris dan kolom yang belum disilang memiliki penawaran dan permintaan nol, tentukan variabel dasar nol berdasarkan metode biaya terendah. Berhentilah. d. Jika tidak, hitung ulang penalti untuk baris dan kolom yang belum disilang, lalu kembali ke langkah 2. Perhatikan bahwa baris dan kolom dengan penawaran dan permintaan yang diberi nilai nol tidak boleh dipergunakan dalam menghitung penalti ini. (Taha, 1996, p223-224).

2.3 Bill Of Material (BOM) Menurut Jay Hezer dan Barry Render (2005, p358), Bill of Material (BOM) adalah sebuah daftar jumlah komponen, campuran bahan, dan bahan baku yang diperlukan untuk membuat suatu produk. Beberapa kegunaan BOM adalah : Menentukan komponenkomponen mana saja yang harus dibuat sendiri atau dibeli. Menentukan komponenkomponen dalam daftar pembelian dan pesanan produksi yang harus dilepas.

Untuk menghitung biaya produk dan harga jual sehingga dapat diketahui laba dari hasil penjualan produk.

Beberapa macam BOM : 1. Implosion Merupakan BOM dimana urutan dimulai dari komponen sampai induk atau level paling atas. Secara singkat BOM jenis ini adalah kebalikan dari BOM eksplosion. 2. Eksplosion Merupakan BOM dengan urutan dimulai dari induk sampai komponen pada level paling bawah. BOM jenis ini menunjukkan komponen yang membentuk suatu induk dari level teratas sampai level terendah.

2.4 Master Production Schedule (MPS) Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p95), perencanaan produksi menyatakan ukuran agregat dan output manufaktur suatu perusahaan.

Implementasi dan perencanaan produksi ini membutuhkan suatu pendisagregasian perencanaan produksi agregat kedalam perencanaan untuk masing-masing produk individual. MPS merupakan pernyataan akhir mengenai berapa banyak itemitem akhir yang harus diproduksi dan kapan harus di produksi.

2.4.1 Tujuan MPS Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p96), tujuan dari MPS adalah mewujudkan perencanaan agregat menjadi suatu perencanaan terpisah untuk masing-masing item individu. Selain itu, MPS juga dapat mengevaluasi jadwal-jadwal alternatif dalam hal kebutuhan kapasitas, menyediakan input untuk sistem MRP dan membantu manajer produksi untuk menghasilkan prioritas-prioritas untuk penjadwalan produksi. Berikut contoh tabel MPS seperti yang terlihat pada tabel 2.2 : Tabel 2.2 Contoh Tabel MPS

Item No : Lead Time : On Hand : Period Forecast Actual Order Project Available Balance Available To Promise Master Schedule Kapasitas Produksi Terpasang (KPT) Pa st Du 1

Description : Safety Stock : Demand Time Fences : Planning Time Fences : 2 3 4 5 6 7 8 9

Keterangan untuk tabel MPS di atas adalah sebagai berikut : 1. Item No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau memanufaktur suatu end item.

3.

Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang.

4. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 5. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 6. Demand Time Fences (DTF) merupakan batas waktu penyesuaian pesanan permintaan. Panjangnya = assy lead time. Projected Available Balance dihitung dari aktual demand. Disini perubahan demand tidak akan dilayani. 7. Planning Time Fences (PTF) merupakan batas waktu penyesuaian pesanan dimana demand masih boleh berubah. Perubahan masih akan dilayani sepanjang material dan kapasitas tersedia. Panjangnya = kumulatif lead time antara procurement lead time (waktu untuk mendapatkan material), fabrication lead time dan assembly lead time. 8. Forecast merupakan hasil peramalan sebelumnya sebagai hasil dari perencanaan agregat. 9. Actual Order (AO) merupakan jumlah order yang sudah diterima sebelumnya. 10. Projected Available Balance (PAB) merupakan jumlah perkiraan sisa produk pada akhir periode. PAB dihitung dengan rumus : PAB
t DTF

= PAB
t 1

+MS AO
t t

PAB
DTF t

= PAB
t 1

+MS AO
t t

atau F (pilih yang paling besar)


t

11. Cumulative Available To Promise (ATP) memberikan informasi berapa banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk pesanan pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini bagian pemasaran dapat membuat janji yang tepat kepada pelanggan atau dengan kata lain ATP merupakan jumlah material on hand pada

inventory yang sebenarnya. ATP dapat dihitung dengan menggunakan rumus :ATP = ATP + MSt Actual Order sampai pada periode t 1 yang sudah dijadwalkan pada Master Scheduled . ATP tidak boleh minus. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi lost sales karena permintaan berarti tidak dapat dipenuhi. 12. Master Schedule (MS) merupakan hasil konversi dari perencanaan agregat yang akan diproduksi. 13. Kapasitas Produksi Terpasang (KPT) merupakan hasil konversi dari perencanaan agregat yang akan diproduksi.

2.4.2 Input Sistem MPS Menurut Vincent Gaspersz (2001, p127), input dari sistem MPS ada beberapa macam seperti di bawah ini :

Data Permintaan Total merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan (sales forecasts) dan pesanan-pesanan (orders).

Status inventori berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory, stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesananpesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus dipesan.

Rencana Produksi memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventori, dan sumbersumber daya lain dalam rencana produksi itu.

Data perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (item master file).

Informasi

dari

RCCP

berupa

kebutuhan

kapasitas

untuk

mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS.

Dari informasi di atas dapat disimpulkan pada gambar 2.2 :

Gambar 2.2 Proses Penjadwalan Produksi Induk

2.5 Material Requirement Planning (MRP) Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p127), Teknik Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning, MRP) digunakan untuk perencanaan dan pengendalian item barang (komponen) yang tergantung (dependent) pada item-item di tingkat (level) yang lebih tinggi. Kebutuhan pada item-item yang bersifat tergantung merupakan hasil dari kebutuhan yang disebabkan oleh penggunaan item-item tersebut dalam memproduksi item yang

lain, seperti dalam kasus dimana bahan baku dan komponen assembling yang digunakan untuk memproduksi produk jadi. Menurut Teguh Baroto (2002, p140) Sistem MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk produksi menjadi kebutuhan bersih untuk semua item. Sistem MRP dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependent secara lebih baik dan efisien. Disamping itu, sistem MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir. Sistem MRP juga dikenal sebagai perencanaan kebutuhan berdasarkan tahapan waktu ( time phase requirements planning).

2.5.1 Tujuan Sistem MRP Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan informasi yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pesanan, pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Ada 4 tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP, yaitu sebagai berikut :

1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai atau material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan dalam jadwal induk produksi. 2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item. 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada pabrik sendiri. 4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan. Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pemesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistik.

2.5.2 Manfaat MRP Menurut Jay Hezer dan Barry Render (2005, p379), beberapa keuntungan dari MRP adalah :

1. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen. 2. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja. 3. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik. 4. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar. 5. Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen.

2.5.3 Kemampuan Sistem MRP Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p129), ada empat kemampuan yang menjadi ciri utama dari sistem MRP, yaitu : 1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat. Maksudnya adalah menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus diselesaikan atau kapan material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan pada Jadwal Induk Produksi. 2. Membentuk kebutuhan minimal untuk setiap item Dengan diketahuinya kebutuhan akan produk jadi, MRP dapat

menentukan secara tepat sistem penjadwalan (berdasarkan prioriras) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item komponen. 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan

Maksudnya adalah

memberikan

indikasi

kapan

pemesanan

atau

pembatalan terhadap pesanan harus dilakukan, baik pemesanan yang diperoleh dari luar atau dibuat sendiri. 4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis. Jika penjadwalan masih tidak

memungkinkan untuk memenuhi pesanan, berarti perusahaan tidak mampu memenuhi permintaan konsumen, sehingga perlu dilakukan pembatalan atas pesanan konsumen tersebut.

2.5.4 Input Sistem MRP Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p131), ada tiga input yang dibutuhkan oleh sistem MRP, yaitu : 1. Jadwal Induk Produksi Jadwal Induk Produksi (JIP) didasarkan pada peramalan atas permintaan dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Hasil peramalan (perencanaan jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi (perencanaan jangka sedang) yang pada akhirnya dipakai untuk membuat JIP (perencanaan jangka pendek) yang berisi rencana secara mendetail

mengenai jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta periode waktunya untuk suatu jangka perencanaan dengan memperhatikan kapasitas yang tersedia (pekerja, mesin dan bahan). 2. Catatan Keadaan Persediaan Catatan Keadaan Persediaan menggambarkan status semua item yang ada dalam persediaan. Setiap item persediaan harus diidentifikasikan secara jelas jumlahnya karena transaksi-transaksi yang terjadi, seperti

penerimaan, pengeluaran, produk cacat, dan data-data tentang lead time, teknik ukuran lot yang dipakai, persediaan pengaman dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam perencanaan. 3. Struktur Produk Struktur Produk berisi informasi tentang hubungan antara komponenkomponen dalam suatu proses asembling. Informasi ini dibutuhkan dalam menentukan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu komponen. Selain itu, struktur produk juga berisi informasi tentang jumlah kebutuhan komponen pada setiap tahap asembling dan jumlah produk akhir yang harus dibuat. Ketiga input tersebut membentuk arsip-arsip yang saling berhubungan dengan bagian produksi dan pembelian sehingga dapat menghasilkan informasi terbaru tentang pemesanan, penerimaan, dan pengeluaran

komponen dari gudang.

2.5.5 Output Sistem MRP Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p132), Output dari perhitungan MRP adalah penentuan jumlah masing-masing Bill Of Material (BOM) dari item yang dibutuhkan bersamaan dengan tanggal dibutuhkannya. Informasi ini digunakan untuk merencanakan pelepasan (order release) untuk pembelian dan pembuatan sendiri komponen-komponen yang dibutuhkan. Dengan cara ini, MRP menjadi suatu alat untuk perencanaan operasi bagi manajer produksi. Berdasarkan uraian diatas, output yang dapat diperoleh dari sistem MRP dapat kita rangkum sebagai berikut : 1. Memberikan catatan tentang jadwal pemesanan yang harus dilakukan atau direncanakan, baik dari pabrik sendiri atau dari supplier. 2. Memberikan indikasi bila diperlukan penjadwalan ulang. 3. Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan. 4. Memberikan indikasi tentang keadaan dari persediaan.

Input dan output dari sistem MRP di atas dapat disatukan seperti yang terlihat pada gambar 2.3 :

Gambar 2.3 Proses Kerja MRP

2.5.6 Langkah-Langkah Proses Pengolahan MRP Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p136), Sistem MRP memerlukan

syarat pendahuluan dan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Bila syarat pendahuluan dan asumsi-asumsi tersebut telah dipenuhi, maka kita bisa mengolah MRP dengan empat langkah dasar sebagai berikut : 1. Netting (perhitungan kebutuhan bersih). Kebutuhan Bersih (NR) dihitung sebagai nilai dari Kebutuhan Kotor (GR) minus Jadwal Penerimaan (SR) minus Persediaan Ditangan (OH). Kebutuhan Bersih dianggap nol bila NR lebih kecil dari atau sama dengan nol.

2. Lotting (Penentuan Ukuran Lot). Langkah ini bertujuan menentukan besarnya pesanan individu yang optimal berdasarkan hasil dari perhitungan kebutuhan bersih. Metode yang umum dipakai dalam prakteknya adalah Lot-for Lot (L-4-L). 3. Offsetting (Penentuan Waktu Pemesanan). Langkah ini bertujuan agar kebutuhan komponen dapat tersedia tepat pada saat dibutuhkan dengan memperhitungkan lead time pengadaan komponen tersebut. 4. Explosion. Langkah ini merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item (komponen) pada level yang lebih rendah dari struktur produk yang tersedia. Berikut Contoh Tabel MRP seperti yang terlihat pada tabel 2.3 : Tabel 2.3 Contoh Tabel MRP Part No : BOM UOM : Lead Time : Safety stock : Period Gross Requirement Scheduled Receipts PAB 1 Net Requirement Planned Order Receipts Planned Order Release PAB 2 Past Due Description : On Hand : Order Policy : Lot Size : 1 2 3 4

Keterangan untuk tabel MRP di atas adalah sebagai berikut : 1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan dirakit. 3. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau memanufaktur suatu komponen. 4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang. 5. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 6. On Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang. 8. Lot size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang. 9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan di produksi atau dipakai pada setiap periode. Untuk end item (finished product), kuantitas gross requirement sama dengan Master Production Scheduled (MPS). Untuk komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order Release induknya. 10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada periode tertentu. 11. Projected Available Balance 1 (PAB 1) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. Projected Available

Balance 1 dapat dihitung dengan menambahkan material on hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu dan menguranginya dengan Gross Requirement pada periode yang sama. Atau jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut : PAB1 = (PAB2) (Gross Re quirement + (Scheduled Re ceipts)
t 1

t t 12. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk memenuhi Master Production Scheduled. Net Requirement = 0 jika PAB1 0 dan Net Re quirement = ()PAB1 jika PAB1 0 . 13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat yang sama dengan Net Requirement, akan tetapi ukuran pemesanannya (lot sizing) bergantung kepada order policy-nya. Selain itu juga harus

mempertimbangkan Safety Stock juga. 14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus di-release atau dimanufaktur sehingga komponen itu tersedia ketika dibutuhkan oleh induk item-nya. Kapan suatu order harus di-release ditetapkan dengan sebelum dibutuhkan. 15. Projected Available Balance 2 (PAB2) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. Projected Available

Balance 2 dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned Order Receipts pada Net Requirements. PAB 2 = (PAB ) + (Scheduled Re ceipts ) (Gross Re quirement
t 1

t t ) t t atau dapat disingkat : PAB2 = (PAB1) + (PlannedOrder Re ceipt )


t

+ (PlannedOrder Re ceipt )

2.6 Teknik Pengukuran Lot Menurut Teguh Baroto (2002, p157), macam-macam teknik pengukuran lot adalah sebagai berikut : 1. Fixed Order Quantity (FOQ) Dalam metode FOQ ukuran lot ditentukan secara subyektif. Berapa besarnya dapat di tentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada teknik yang dapat dikemukakan untuk menentukan berapa ukuran lot ini. Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam hal ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya lot. Sekali ukuran lot ditetapkan, maka lot ini akan digunakan untuk seluruh periode selanjutnya dalam perencanaan. Berapa pun kebutuhan bersihnya, rencana pesan akan tetap sebesar lot yang telah ditentukan tersebut. Metode ini dapat ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost) sangat mahal. Salah satu

ciri dari metode FOQ ini adalah ukuran lot-nya tetap, tetapi periode pemesannya yang selalu berubah. 2. Economic Order Quantity (EOQ) Penetapan ukuran lot dengan teknik ini sangat populer sekali dalam sistem persediaan tradisional. Dalam teknik ini besarnya ukuran lot adalah tetap. Penentuan lot berdasar biaya pesan dan biaya simpan, dengan formula seperti berikut : Q = 2DS H Di mana : D = pemakaian selama periode perencanaan S = biaya pemesanan H = biaya penyimpanan per unit per periode perencanaan Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun sebesar 12 bulan. Metode EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan dan simpan sangat besar. 3. Lot-For-Lot (L-4-L) Teknik penetapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit. Disamping itu, teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu, sering sekali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan

perunit sangat mahal. Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat diskontinu atau tidak teratur, maka teknik L-4-L ini memiliki kemampuan yang baik. Disamping itu, teknik ini sering digunakan pada sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanen pada proses produksinya. 4. Fixed Period Requirement (FPR) Dalam metode FPR penentuan ukuran lot didasarkan pada periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan kebutuhan bersih pada periode yang akan datang. Bila dalam metode FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap sementara selang waktu antar pemesanan tidak tetap. Dalam metode FPR ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih. 5. Algoritme Wagner-Whitin Menurut Jay Hezer dan Barry Render (2005, p379), prosedur Wagner-Whitin ini merupakan model pemrograman dinamis yang menambahkan beberapa kompleksitas kepada perhitungan ukuran lot. Prosedur ini mengasumsikan jangka waktu yang tidak pasti, di luar itu tidak ada kebutuhan bahan baku neto. Meskipun demikian, prosedur ini memberikan hasil yang baik. Teknik ini jarang digunakan dalam praktik, namun dengan meningkatnya pemahaman dan keahlian, teknik ini akan lebih banyak diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai