Anda di halaman 1dari 2

MODUS PARA KORUPTOR DI KESEHATAN

Indonesia Corruption Watch (ICW) akhir bulan lalu mengumumkan dugaan praktek korupsi
di pengadaan alat kesehatan selama tahun 1998-2008 mencapai nilai sekitar Rp. 128 miliar.
Tempat yang paling rawan terjadinya korupsi menurut kajian ICW adalah di tingkat Dinas
Kesehatan Provinsi yaitu mencapai Rp.53 miliar. Sedangkan para pelaku yang paling potensial
adalah berasal dari pihak provider (rumah sakit dan puskesmas) yaitu mencapai 46%. Disisi lain
KPK dan Kejaksaan RI telah mengendus ulah para koruptor dari jajaran kesehatan terkait
dugaan korupsi tentang pengadaan alat kesehatan untuk daerah tertinggal di kawasan Indonesia
Bagian Timur yang dilakukan sejak tahun 2003 sampai tahun 2007. Bahkan berita terkahir KPK
sudah menetapkan tersangka yang berasal dari kalangan pejabat teras Depkes dan dari rekanan
(mantan Dirut PT. Kimia Farma Tbk).
Banyak pihak terutama yang telah lama berkecimpung di dunia kesehatan mungkin tidak
terlalu kaget dengan berita miring ini. Mengapa? Kenyataan & pengalaman selama mereka
bergelut di.berbagai level dan sistem pelayanan kesehatan yang masih korup & kolusif mulai dari
pusat maupun sampai ke pelosok daerah mungkin membuat mereka menjadi seperti “mati rasa”.
Berbagai modus yang sering dilakukan para koruptor di bidang kesehatan agaknya masih jarang
yang mengkaji secara komprehensif, meskipun begitu hasil laporan ICW yang baru dirilis akhir
bulan kemarin cukup menegaskan masih bervariasinya fenomena korupsi yang terjadi di bidang
kesehatan.

Variasi Modus
Salah satu modus yang sering digunakan dalam praktek korupsi di lingkungan kesehatan
saat ini sudah terendus oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) terutama pada kasus terakhir
yaitu melalui mark up anggaran untuk pengadaan alat kesehatan mulai pada tahun 2003 sampai
dengan tahun 2007. Motif memperkaya diri sendiri & kelompoknya dengan modus seperti itu
bukan merupakan satu-satunya yang sering terjadi dilingkungan kesehatan. Modus lain yang
saat ini juga menjadi bahan kajian ICW adalah praktek pungutan liar di program jamkesmas
berdasarkan survey terhadap 868 masyarakat miskin yang berobat di pelayanan kesehatan di
beberapa kota di Jawa Barat Sesuai kebijakan pemerintah yang telah menggratiskan semua jenis
pelayanan bagi peserta jamkesmas, ternyata data ICW menyebutkan masih ada pasien
jamkesmas yang harus mengeluarkan biaya antara lain biaya periksa mencapai Rp 627.ribu,
biaya berobat Rp 391 ribu, biaya pendaftaran Rp 172 rb, dan biaya lainnya Rp 184 ribu.
Pemahaman awal yang masih belum utuh terhadap berbagai variasi modus dan motif
penyelewengan yang dilakukan oleh kalangan pemberi pelayanan kesehatan juga mempersulit
upaya pencegahan praktek penyelewengan yang dilakukan secara sistematis oleh berbagai
pihak baik internal maupun eksternal bidang kesehatan. Padahal patologi korupsi di Indonesia
telah banyak diteliti terkait posisi negara kita yang selama ini yang tidak pernah beringsut dari
ranking 5 besar sebagai negara terkorup sedunia.
Paling tidak ada dua modus utama dari praktek koruptor yang sering terjadi di lingkungan
pemerintahan, yang pertama melalui manipulasi anggaran dan yang kedua melalui
penyalahgunaan jabatan. Logika & idiom yang menyebutkan bahwa anggaran harus lebih besar
dari tahun sebelumnya dan “zero budgeting” alias “haram” hukumnya menyisakan dana kegiatan
sepeserpun dan dalam skala apapun disadari atau tidak telah menjadi salah satu faktor pemicu
tetap suburnya praktek korupsi. Kebijakan “performance budgeting” yang telah digulirkan
pemerintah sekitar lima tahun ini meskipun sudah menunjukkan efek positif agaknya tetap belum
cukup efektif mencegah apalagi menghapus semua praktek manipulasi anggaran tersebut.
Penyalahgunaan jabatan menjadi modus lain yang paling sering dilakukan para koruptor
termasuk di lingkungan kesehatan. Paling tidak melalui pengaruh atau kewenangan sesuai
jabatan maka para koruptor menjadi leluasa memanipulasi sistem pengadaan barang atau jasa
dilingkungan lembaga mereka. Penunjukkan supplier yang telah menjalin kolusi bahkan sampai
merancang supplier fiktif agar bisa mengebiri dan mengakali sistem lelang atau tender juga
sudah jamak dilakukan atas “restu’ para pejabat tersebut. Bentuk praktek suap juga telah menjadi
sorotan tajam dari KPK dan terbukti berhasil menjaring beberapa koruptor dari berbagai pejabat
dari legistalif maupun pemerintahan, namun sayang kelihatannya masih belum memberikan efek
jera terbukti masih saja ada politsi busuk yang tertangkap tangan menerima suap dari para
pengusaha nakal.

Keberanian
Ada secercah harapan saat kita semakin terjebak dalam situasi apatis dan makin ironis
karena korupsi telah menjadi sebuah budaya dan dianggap sebagai bentuk simbiosis mutualisme
oleh para pelakunya. Harapan itu terletak di pundak para pemimpin yang selain bersih tetapi juga
mempunyai nyali untuk melawan korupsi meskipun sebatas dilingkungan mereka masing-masing.
Jika benar bahwa Menkes sendiri yang meminta aparat agar mengusut tuntas praktek korupsi
dalam pengadaan alat kesehatan di Depkes, maka hal ini tentu bisa menjadi modal awal yang
sangat berharga dan patut kita beri apresiasi tinggi. Keberanian yang sama telah ditunjukkan
Menkes saat menggugat ketidak-adilan yang disponsori lembaga dunia dalam hal penelitian dan
pemanfaatannya terkait kasus flu burung di Indonesia. Sehingga sangat pantas jika Menkes
diharapkan tidak akan gentar menghadapi gerombolan mafia dan koruptor yang selama ini
bergentayangan dan berpesta pora menghabiskan anggaran kesehatan yang masih sangat
minim.
Kedepan akan makin efektif jika regulasi tentang pemberantasan dan sanksi atas tindak
pidana korupsi juga semakin diperluas ruang lingkupnya. Salah satu contoh seperti yang diakui
oleh M. Jassin selaku Wakil KPK bahwa berdasarkan pasal 21 UNCAC (undang-undang
pemberantasan korupsi dari PBB) tentang penyuapan di sektor swasta belum di-cover dalam
regulasi pemberantasan korupsi di Indonesia. Padalah berbagai bentuk penyuapan dan kolusi
yang dilakukan oleh supplier obat terhadap tenaga profesional kesehatan yang praktek swasta
sampai saat ini masih terjadi. Akibat dari kolusi ini bukan saja menyebabkan makin menggilanya
biaya kesehatan yang merugikan masyarakat karena kian terbatas akses mereka ke pelayanan
yang bermutu, namun pada akhirnya juga bisa merugikan negara karena amanat undang-undang
untuk melindungi hak asasi kesehatan rakyatnya akan semakin berat dan semakin mahal. Untuk
itu negara seharusnya lebih proaktif dan segera mengeluarkan regulasi baru yang diharapkan
bisa mencegah dan memberantas segala bentuk praktek kolusi dan korupsi di pelayanan
kesehatan tidak hanya di semua level pemerintahan tetapi juga yang telah lama menggurita di
lingkungan pelayanan kesehatan swasta.

dr. Sutopo Patria Jati, MM (staf pengajar FKM UNDIP Semarang)

Anda mungkin juga menyukai