Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Quran Al Kariim. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al Quran dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Namun, seiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al Quran dan Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama islam yang lain, diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun, Ijma dan Qiyas tetap merujuk pada Al Quran dan Hadits karena Ijma dan Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya. Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syariat islam atau fiqh islam. Apabila syariat islam diterjemahkan sebagai hukum islam, maka berarti syariat islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia, istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam. Jadi, dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam. Walaupun merupakan bagian integral syariah Islam dan memiliki peran signifikan, kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian besar kalangan beranggapan, tidak kurang diantaranya 1

kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off to date dalam konsep hukum Islam. Ketakutan ini akan semakin jelas adanya apabila mereka membincangkan hukum pidana Islam. Kesan di atas akan semakin jelas terlihat pada arah baru perkembangan hukum pidana Islam, berbagai kalangan menganggap hukum pidana tersebut memiliki banyak muatan illegal sehingga membutuhkan reformasi dalam konsepnya. Sebagian yang lain, dengan logika yang lebih santun, menggagas reinterpretasi doktrin hukum Islam. Hukum Islam membutuhkan penyegaran dan membutuhkan penafsiran baru agar lebih sesuai dengan perkembangan modern. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam Islam sangat unik dan sangat berbeda dengan peraturan hukum pada umumnya.Perbedaan yang menyolok ini muncul dari integrasi masalah privat dan publik dalam satu pembahasan, integrasi hukum dengan norma agama, dan integrasi kompetensi pelaksana dan penafsir hukum sekaligus. Dengan demikian, dapat kita pahami jika formal hukum yang terdapat dalam ketentuan Islam selalu berbeda-beda, baik dalam hal ikatan waktu maupun ruang juridiksinya. Perbedaan yang terdapat dalam formal hukum Islam inilah yang menyebabkan akomodasi permasalahan hukum selalu disikapi elastis.
B.

Rumusan Masalah Rumusan masalah yang kami angkat dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. apa yang dimaksud dengan hukum islam? 2. bagaimana kedudukan hukum islam di muka bumi? 3. apa-apa saja tujuan dari hukum islam? 4. bagaimana fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat? 5. apa-apa saja yang termasuk sumber hukum islam? 6. bagaimana pembagian hukum islam yang sesungguhnya? 7. karakteristik-karakteristik apa saja yang dimiliki hukum islam?

C.

Tujuan Penulisan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: untuk mengetahui pengertian hukum islam untuk mengetahui kedudukan hukum islam untuk mengetahui tujuan-tujuan hukum islam untuk mengetahui fungsi hukum islam untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam untuk mengetahui pembagian hukum islam untuk mengetahui karakteristik-karakteristik yang dimiliki hulum islam

D.

Manfaat Penulisan Kegunaan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mahasiswa/mahasiswi tentang hukum islam dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam Menurut istilah ahli fiqih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT, yang menuntut mukallaf untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal, rukhsah (kemudahan), dan azimah. Sebelum kemunculan terminologi hukum Islam, istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan maksud dan tujuan yang berkaitan dengan hukum Islam antara lain al-syariah, al-hukm al-syariy, dan fiqh serta qanun. Ulama-ulama Islam merumuskan bahwa syariat adalah hukum yang diadakan oleh Allah SWT. untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang NabiNya, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (Itikad) yang disebut dengan hukum pokok. Syariat juga disebut dengan agama. Selain istilah-istilah diatas, istilah lain yang digunakan untuk menjelaskan hukum islam adalah fikih. Fikih yang secara linguistic berarti faham (mengerti). Dalam pengertiannya yang lebih populer, fikih didefinisikan sebagai al-ilm bi alahkam alsyariyyah al-amaliyah al-muktasabah min adillatiha al-tafhiliyyah (ilmu tentang hukum-hukum syarI [hukum islam] yang [berkaitan dengan] perbuatan atau tindakan [bukan akidah] yang didapatkan dan dalil-dalilnya yang spesifik). Oleh karena itu, karena fikih merupakan pemahaman, maka tidak bisa diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak. B. Kedudukan Hukum Islam Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya disyariatkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia ini, baik dalam masalahmasalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketenteraman dan kenyamanan, serta kebahagiaan dalam hidupnya. Fungsi hukum diatas telah dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT, dalam surah al-Nisa ayat 105 yang berbunyi:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang

telah Allah wahyukan kepadamu. dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil dari ajaran-ajaran Islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan menjalani kehidupan akhirat yang kebahagiaan atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari perbuatan-perbuatan baik di dunia ini. Sementara ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari ajaran agama termasuk bagian yang menyediakan pahala tersebut. Dengan demikian, mentaati ketentuan-ketentuannya itu, di samping akan membawa ketenteraman, kenyamanan serta kebahagiaan dalam kehidupan akhirat kelak. Kemudian, secara psikologis setiap manusia senantiasa mengakui akan adanya kekuatan supra natural sehingga melahirkan berbagai kegiatan ritus untuk melakukan kontak dengan kekuatan tersebut. Islam, lewat doktrin-doktrin akidahnya mengajarkan tentang berkeimanan yang benar, dan lewat doktrin syariahnya mengajarkan bagaimana berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Ghabib itu. Di samping itu, karena setiap mereka juga berada di tengah-tengah masyarakatnya, dan senantiasa terikat dengan hubungan interdependensi, maka syariah juga mengeluarkan norma-norma hukum untuk menata hubungan sosial mereka. Dua hal inilah yang menjadi latar belakang persyariatan hukum-hukum Islam bagi umat manusia, dengan disertai janji pahala dan ancaman dosa bagi yang mentaati atau melanggarnya. Oleh sebab itu, norma-norma hukum ini bisa tegak kalau masyarakatnya memiliki kesadaran teologis yang cukup baik, atau dipaksakan oleh penguasa. Uraian ini memperlihatkan bahwa aspek hukum dalam Islam merupakan bagian dari doktrin agama secara keseluruhan, yang berfungsi mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama muslim, non-muslim, alam dan lingkungan sosialnya. C. Tujuan Hukum Islam Tujuan syari dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada orangorang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri, hajiy, atau pun yang tahsini. Ketentuan-ketentuan yang dharuri adalah ketentuan-ketentuan yang hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemashlahatan mereka. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka akan dihadapkan pada mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuanketentuan dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Sedang ketentuan hajiy adalah ketentuan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharuri. Sementara ketentuan-ketentuan Tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut mukallaf untuk menjalankan 5

ketentuan dharuri dengan cara yang paling baik. Oleh sebab itu, ketentuan tahsini ini berkaitan erat dengan pembinaan akhlaq yang baik, kebiasaan terpuji, dan menjalankan berbagai ketentuan dharuri dengan cara yang paling sempurna. D. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat Fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yakni: Fungsi ibadah: fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, 2. Fungsi amar maruf nahi munkar. 3. Fungsi zawajir. 4. Fungsi tanzim wa`islah al-ummah. Hukum islam juga berfungsi sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudnya masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. E. Sumber-Sumber Hukum Islam Sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar acuan atau pedoman ajaran islam yang bersifat mengikat dan apabila dilanggar menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Adapun hukum islam merupakan sekumpulan peraturan Allah SWT. untuk dikerjakan umat islam yang terdiri dari perintah dan larangan yang tertulis. Hukum islam memiliki tiga sifat dasar yang tidak berubah-ubah. Ketiga sifat itu adalah takamul, wasatiyyah, dan harakah. 1. a) Al-Quran Pengertian Al-Quran menurut bahasa adalah bacaan, sedangkan secara istilah, Al-Quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat, dan bagi yang membacanya termasuk ibadah. Kedudukan Al-Quran mempunyai kedudukan yang penting bagi umat islam. Kedudukan Al-Quran sebagai berikut: 1) Al-Quran sebagai sumber hukum islam yang pertama dan utama 2) Al-Quran sebagai Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. 3) Al-Quran menjadi mukjizat Nabi Muhammad SAW. 1.

b)

c)

Fungsi 1) Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 2) Al-Quran penyempurna dari kitab-kitab Allah sebelumnya. Hadist Pengertian Hadis secara bahasa adalah kabar atau baru, sedangkan menurut istilah hadis yaitu segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Hadis juga disebut sunnah. Walaupun yang dilakukan Nabi Muhammad SAW itu kehendaknya sendiri tetapi atas bimbingan dari Allah SWT.

2. a)

b)

Kedudukan 1) Para ulama islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran. c) Fungsi 1) Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah di sebutkan dalam Al Quran 2) Menjelaskan, menafsirkan, dan merinci ayat-ayat Al Quran yang masih umum dan samar 3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam al- Quran, namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan AlQuran. 3. a) Ijtihad Pengertian Ijtihad secara bahasa artinya bersungguh-sungguh, sedangkan secara istilah ijtihad artinya berusaha dengan bersungguh-sungguh, atau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mendapatkan hukum syarak dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Quran dan hadis. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan dasar hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan hadis. b) Kedudukan 1) Menempati kedudukan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Quran dan hadis. c) Fungsi 1) Untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak di temukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Quran dan hadis. F. Pembagian Hukum Islam Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadhi.

Ketentuan syari yang dikemukakan dalam bentuk tuntutan kemudian terbagi menjadi dua, yaitu tuntutan untuk dikerjakan dan tuntutan untuk ditinggalkan. Masing-masing dari tuntutan ini ada yang mengikat dan ada pula yang tidak mengikat. Tuntutan yang untuk dikerjakan dengan mengikat menimbulkan hukum wajib, sedang yang tidak mengikat menimbulkan hukum mandub. Adapun tuntutan untuk ditinggalkan dengan mengikat menimbulkan hukum haram, sedang yang tidak mengikat menimbulkan hukum makruh. Sementara ketentuan syari yang dinyatakan dalam bentuk pilihan/takhyiri menimbulkan hukum mubah. Hukum wajib, mandub, haram, dan makruh tergolong hukum takhlifi, sedang mubah menurut sebagian ulama disebut hukum takhriyi. Walaupun umumnya para ulama ushul menggolongkan mubah pada kelompok hukum takhlifi, akan tetapi, karena pada mubah ini tidak ada unsur tuntutan, maka dalam pembahasan ini akan dipakai istilah hukum takhriyi. Sedang hukum wadhI adalah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan mukallaf yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan taklifinya yang lain, dan secara keseluruhan hukum wadhI ini ada tiga yaitu sabab, mani dan syarath. Keempat macam hukum wajib, mandub, haram dan makruh disebut sebagai hukum taklifi karena syari menuntut para mukallaf untuk mentaatinya. Sedang mubah disebut hukum takhriyi karena syari memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya atau tidak melakukannya. Sementara sabab, syarat dan mani disebut sebagai hukum wadhI karena ketiganya menjadi tanda penentu ada atau tidak adanya, serta sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan taklifi.
1. Hukum Taklifi

Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Hukum taklifi sebagaimana telah diuraikan di atas terbagi empat, yaitu wajib, mandub, haram, dan makruh. a) Wajib Yang dimaksud dengan wajib dalam pengertian hukum Islam adalah ketentuan syari yang menuntut para mukallaf untuk melakukannya dengan tuntutan yang mengikat, serta diberi imbalan pahala bagi yang melakukannya dan ancaman dosa bagi yang melakukannya dan ancaman dosa bagi yang meninggalkannya. Tuntutan tersebut biasanya dinyatakan dengan kalimat yang bermakna wajib atau fardhu, seperti ayat 24 surah al-Nisa yang berbunyi:

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budakbudak yang kamu miliki [282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu [284]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Kemudian, adakalanya pula dinyatakan dengan bentuk perintah, seperti ayat 43 surah al-Baqarah yang berbunyi:


Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. Kemudian, hukum wajib ini dapat dilihat dari empat segi, yaitu: 1) 2) 3) 4) Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya Wajib dilihat dari segi subyek pelakunya Wajib dilihat dari segi batas dan ukuran tuntutannya Wajib dilihat dari segi perbuatan yang dituntutnya.

Dilihat dari segi waktu pelaksanaan, wajib itu terbagi dua, yaitu pertama wajib mutlak dan tidak terbatas waktu pelaksaannya. Kewajiban seperti ini dapat dilaksanakan kapan saja. Dan selama belum dilaksanakan, walaupun yang bersangkutan mampu melaksanakannya, ia tidak menanggung dosa. Namun, kalau sampai meninggal dunia tidak sempat dijalankan, mukallaf tersebut terancam dengan dosa dan siksa karena lalai terhadap kewajibannya itu. Diantara kewajiban jenis pertama ini adalah kafarah atas pelanggaran sumpah, kemudian pelaksanaan ibadah haji dalam konteks keberangkatannya. Sedang pelaksanaan

rangkaian manasiknya, termasuk kewajiban yang terbatas waktu-waktu pelaksanaannya. Kedua wajib muaqat yakni terbatas waktu pelaksaannya. Seperti shalat fardhu dan berpuasa di bulan ramadhan. Kedua macam peribadatan ini tidak bisa dilakukan di luar waktu-waktunya. Kalau dipenuhinya itu diluar waktu tersebut, pelaksaannya tidak sah, selain karena alasan-alasan syari. Kemudian, dilihat dari subyek pelakunya, wajib itu juga terbagi dua, yakni wajib aini dan wajib kifai. yang dimaksud dengan wajib aini adalah tuntutan syari bagi setiap orang mukallaf, dan tidak bisa terpenuhi dengan perbuatan orang lain. Seperti shalat, zakat, puasa, ibadah haji, memenuhi janji akad, menghindari khamar dan menjauhi perjudian. Sedang wajib kifaI adalah tuntutan syari bagi segenap mukallaf dalam bentuk kewajiban individual. Jika sebagian mukallaf telah melakukannya, maka gugur kewajiban mukallaf lainnya. Kewajiban seperti ini antara lain adalah amar maruf nahi munkar, menyembahyangkan jenazah, mendirikan rumah sakit dan menekuni berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan masyarakat. Dilihat dari sudut ukuran kewajibannya, juga terbagi dua, yaitu wajib yang dibatasi ukurannya dan yang tidak dibatasi ukurannya. Kewajiban yang dibatasi ukurannya adalah kewajiban yang telah ditentukan batas-batasnya oleh Syari, seperti shalat dengan jumlah bilangan rakaatnya masing-masing dan zakat dengan ukurannya adalah kewajiban yang ditekankan pada mukallaf tanpa ada batas-batas tertentu, seperti infaq di jalan Allah, tolong-menolong atas kebaikan, dan lain-lain. Kemudian dilihat dari segi obyek perbuatannya, kewajiban juga terbagi dua, yaitu kewajiban yang sudah tentu perbuatannya, seperti shalat dan puasa yang tidak diganti dengan perbuatan lain. Dan kedua kewajiban yang mukhayar, yakni kewajiban yang mukallaf diberi peluang untuk memilih salah satu dari berbagai alternatif yang diberikan Syari. Seperti membayar kafarah atas pelanggaran sumpah dengan alternatif hukuman memberi makan 10 orang miskin, memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. b) Mandub Mandub adalah ketentuan-ketentuan Syari tentang berbagai amaliah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat. Dan pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa bagi yang meninggalkannya. Ketentuan-ketentuan tersebut pada umumnya dinyatakan dengan shighat thalab, namun disertai qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut tidak mengikat. Mandub terbagi tiga, yaitu sunnah muakad, zaidah, dan fadhilah. Sunah muakad adalah ketentuan syara yang tidak mengikat tapi sangat penting., karena Rasulullah senantiasa melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya. Seperti adzan sebelum shalat, shalat jamaah untuk shalat-shalat fardhu, dan dua sembahyang ied.

10

Sunah zaidah adalah ketentuan syara yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunnah muakad, karena Rasulullah biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya. Seperti berpuasa di hari senin dan kamis, serta bershadaqah kepada fakir miskin. Sedang sunnah fadhilah adalah mengikuti tradisi Rasulullah dari kebiasaan-kebiasaan kulturalnya. Seperti cara beliau makan, minum, tidur dan sebagainya. c) Haram Haram adalah tuntutan Syari kepada orang-orang mukallaf untuk meninggalkannya dengan tuntutan yang mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang yang mentaatinya, dan balasan dosa bagi yang melanggarnya. Haram itu ada dua, yaitu haram dzati dan haram aridhi. Haram dzati adalah perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan oleh Syari semenjak perbuatan itu lahir. Seperti zina, pencurian, pernikahan antara mahram, shalat tanpa bersuci, jual beli bangkai dan sebagainya. Sedang yang dimaksud dengan haram aridhi adalah perbuatan-perbuatan yang pada awalnya tidak haram, apakah wajib, mandub, atau mubah tapi pada saat perbuatan itu dilaksanakan disertai berbagai hal yang membuat perbuatan tersebut menjadi haram. Seperti shalat dengan memakai pakaian hasil pencurian, jual beli dengan cara meniup, melakukan pernikahan dengan maksud penyelaan, cerai bidah dan sebagainya. d) Makruh Makruh menurut jumhur fuqaha adalah ketentuan-ketentuan syara yang menuntut orang-orang mukallaf untuk meninggalkannya, dengan tuntutan yang tidak mengikat. Meninggalkan perbuatan makruh memperoleh imbalan pahala, sementara pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi ancaman apa-apa. Ketentuan makruh ini biasanya dinyatakan dengan shighat larangan, namun disertai dengan qarinah yang menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat. Jumhur ulama berpendapat bahwa makruh itu hanya satu, yaitu sebatas perbuatan-perbuatan yang dilarang dengan larangan yang tidak mengikat. Akan tetapi, Abu Hanifah membaginya pada dua bagian, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim menurutnya adalah ketentuan syara yang dituntut untuk ditinggalkan secara mengikat, namun dengan dalil yang zhani. Seperti memakai pakaian sutra dan cincin emas atau perak bagi kaum pria. Sedang makruh tanzih adalah sama dengan pengertian makruh yang dikemukakan para ulama lainnya. 2. Hukum Takhyiri Hukum takhyiri sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah ketentuanketentuan Tuhan yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Dalam pembahasan ilmu usul hukum

11

takhyiri biasa disebut dengan mubah, yang menurut al-Syaukani melakukan perbuatan tersebut tidak memperoleh jaminan pahala, dan tidak terancam dosa. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan Syari dalam tiga bentuk, yaitu: dengan menafikan dosa pada perbuatan yang dimaksud. Seperti terlihat pada ayat 173 surah al-Baqarah yang berbunyi:


Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Kemudian dengan ungkapan penghalalan, seperti yang terangkat pada ayat 5 surah al-Maidah, yang berbunyi:


Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu. Dan terakhir dengan tidak ada pernyataan apa-apa tentang perbuatan dimaksud. Oleh sebab itu, sejauh tidak ada pernyataan apa-apa dari Syari tentang perbuatan-perbuatan mukallaf, maka perbuatan tersebut boleh dilakukan atau ditinggalkan. Seperti mendengarkan siaran-siaran radio, menonton acara-acara televisi, dan yang sebangsanya yang tidak menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap mereka. 3. Hukum Wadhi Hukum wadhI sebagaimana al-Syaukani katakan adalah ketentuanketentuan yang diletakkan Syari sebagai pertanda ada atau tidak adanya hukum takhlifi. Yakni ketentuan-ketentuan yang dituntut syari untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan-ketentuan wadhI tersebut. Berdasarkan hasil penelaahannya, Abdu al-Wahab Khallaf, berpendapat bahwa hukum wadhI itu ada lima, yaitu sabab, syarath, mani, rukhshah sebagai pengganti azimah, dan shahih atau fasid. Akan tetapi Abu Zahrah sebagaimana al-Syaukani berpendirian bahwa hukum wadhI itu hanya ada tiga, yaitu sabab, syarath dan mani, tanpa rukhshah dan azimah, serta shahih dan fasid. a) Sabab

12

Sabab, sebagaimana diungkapkan para ulama fiqh, adalah sesuatu yang nampak dan jelas yang dijadikan oleh Syari sebagai penentu adanya hukum. Seperti masuknya waktu shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat. Oleh sebab itu, sejauh waktunya belum tiba, kewajiban shalat tersebut belum ada. Secara umum, sabab terbagi dua, yaitu sabab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian, keadaan dharurah yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang. Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti melakukan perjalanan jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab bolehnya melakukan hubungan seksual. b) Syarath Syarath adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Dan kalau syarath ini tidak terpenuhi, maka perbuatan taklifnyapun secara hukum tidak akan terwujud. Namun tidak berarti bahwa setiap ada syarath ada hukum. Berbeda dengan sebab, karena setiap ada sebab ada hukum. Syarath ada dua macam, yaitu syarath yang menyempurnakan sebab, seperti haul (genap setahun) yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus juga menjadi penyempurna terhadap nishab, yang merupakan sebab wajibnya zakat. Atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya pelaksanaan had potong tangan, namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang dicurinya itu diambil dari tempat penyimpanannya yang rapi serta terjaga secara ketat. Kedua, syarath yang menyempurnakan musabab, seperti wudhu, menutup aurat dan menghadap qiblat sebelum shalat. c) ManiI Mani merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain. Adanya mani tersebut membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat dijalankan. Dengan demikian, mani itu tidak lebih dari sebab yang dapat menghalangi pelaksanaan ketentuanketentuan hukum, atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum. Mani terbagi menjadi dua, yaitu mani yang mempengaruhi sebab dan mani yang mempengaruhi musabab. Mani yang mempengaruhi sebab adalah seperti contohnya pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap orang yang akan menurunkan harta warisannya itu. Karena pembunuhan tersebut, ia menjadi tidak berhak atas harta waris yang ditinggalkannya. Sedang mani yang mempengaruhi musabab adalah seperti seorang ayah yang membunuh anaknya. Secara hukum, setiap pembunuhan harus diselesaikan dengan qishash. Akan tetapi, karena pembunuhnya itu bapaknya sendiri, hukuman

13

qishash menjadi gugur. Dengan demikian posisi kebapakan menjadi mani terhadap pelaksanaan qishash.

G. Karakteristik Hukum Islam Hukum Islam memiliki karakteristik-karakteristik yang unik dan khas yang tidak dimiliki oleh agama mana pun dan yang membedakannya dengan hukum positif Barat dan hukum-hukum lainnya. Perbedaan ini dikarenakan karakteristik hukum Islam selalu berpijak pada wahyu (sebagai pondasi), akhlak, agama, serta kolektivisme. 1. Wahyu sebagai Fondasi

Wahyu sebagai fondasi merefleksikan hukum Islam sebagai kristalisasi nilai-nilai Islam yang bersumber dari wahyu ilahi itu sendiri yang memuat ajaran tentang aturan-aturan (hukum) yang dijadikan sandaran manusia agar mencapai kebahagiaan dalam hidup. Hukum Islam terikat pada teks-teks Al-Quran dan sunnah sekaligus memberikan apresiasi terhadap nalar manusia untuk melakukan ijtihad manakala mereka tidak menemukan teks yang memberikan ketentuan hukum langsung terhadap suatu permasalahan yang dihadapinya. 2. Wahyu Mencakup Akhlak dan Agama Hukum Islam tidak hanya berpijak pada rasionalitas manusia melainkan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan agama dan akhlak. Pertimbanganpertimbangan ini pada gilirannya akan melahirkan kepuasan pada individu yang meyakini hukum tersebut. Sebagai contoh konkretnya bisa dinisbahkan pada zakat. Dalam perspektif hukum Islam, penunaian zakat bukan hanya menjalankan kewajiban yang bersifat vertikal, yaitu untuk memenuhi perintah Allah SWT, tetapi juga untuk kepentingan-kepentingan manusia (hubungan horizontal). 3. Orientasi Kolektivisme

Kolektivisme sebagai karakteristik hukum Islam tidak hanya mencakup aspek kebendaan melainkan juga meliputi hak dan kewajiban bersama. Hubungan suami istri, misalnya bisa dinisbahkan pada kolektivisme yang menekankan hak dan kewajiban bersama. Suami diakui dalam batas tertentu, terikat dengan suatu syarat yang tidak merugikan dan mengancam jiwa dan raga sang istri. Hukum Islam menganjurkan memakai milik seseorang yang dipandang strategis untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat (al-maslahat al-ijtimaiyat). Meskipun demikian, hukum Islam sangat menghormati hak dan sekaligus memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memakai dan melindunginya dari gangguan orang lain. 4. Elastis dan Sempurna

14

Sifat dan karakteristiknya yang bersifat elastis dan sempurna menunjukkan bahwa hukum Islam senantiasa tandas di atas jagad hukum apa pun. Hukum Islam tidak berubah lantaran adanya perubahan kondisi dan situasi kehidupan manusia. Justru perubahan situasi dan kondisi menghendaki manusia untuk bersikap akomodatif terhadap hukum Islam dalam memecahkan permasalahan dan tantangan hukum yang dihadapinya.

15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum maka tata kehidupan manusia dimuka bumi ini akan lebih teratur sehingga akan memperoleh ketenteraman dan kenyamanan, serta kebahagiaan dalam hidupnya. Bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan, serta kebahagiaan di dunia saja tetapi juga di akhirat. Hukum islam terbagi menjadi beberapa bagian. Dengan bagian-bagian hukum tersebut kita dapat mengetahui hukum-hukum apa saja yang wajib, sunnah, makruh dan haram untuk dikerjakan. Sehingga kita dapat memilih jalan yang benar sesuai hukum yang ditentukan. Selain itu, hukum islam juga bersumber dari Al-Quran, al-sunah, dan ijtihad. dengan ketiga sumber hukum tersebut maka dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam hidup kita. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kita sebagai umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan semua laranganNya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang harus kita pedomani.
B. Saran

Dengan dibuatnya makalah ini maka diharapkan agar pembaca dapat memahami dan memperdalam ilmunya mengenai hukum islam. Sehingga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan sehingga kepada pembaca kami sarankan agar memperbanyak dan menambah pengetahuannya melalui berbagai media. Terima kasih atas partisipasi semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini dan kami ucapkan terima kasih kepada Dosen mata pelajaran yang telah memberikan tugas ini. Kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak, agar dapat lebih baik lagi dalam menyusun tugas yang telah diberikan oleh Dosen mata pelajaran ini.

16

DAFTAR PUSTAKA
Mibtadin, dkk. Buku Ajar Pengayaan Pendidikan Agama Islam. Solo: CV. Sindunata Syamsuri.2006. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga Rosyada, Dede. 1999. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Mahfud, Rois. 2010. Al-Islam Pendidikan Agama Islam: Erlangga

17

MAKALAH HUKUM ISLAM


MATA KULIAH KEMUHAMMADIYAHAN II DOSEN :

M. ZUHRI, S.Hi

KELOMPOK : IX Kartika Yuniarti Zein Kristin W.Umpang Kurniawan Adeansyah Nor Latifah Isninova Purnamasari 11.71.13092 11.71.13094 11.71.13120 11.71.13157 11.71.13194

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI DIII FARMASI 2012

18

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan senang hati kami dapat menyelesaikan makalah ini yang telah kami beri judul HUKUM ISLAM ini tepat pada waktunya guna memenuhi tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan II semester 3 tahun ajaran 2012/2013. Makalah ini memberi manfaat kepada mahasiswa, sehingga dapat memahami lebih dalam mengenai hukum islam, mulai dari pengertian hukum islam, kedudukan, tujuan, fungsi hukum islam dalam kehidupan masyarakat, sumber hukum islam, pembagian, serta karakteristik-karakteristik hukum islam. Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, mengingat keterbatasan bahan untuk menyusun makalah ini. Seperti pepatah mengatakan Tiada Gading yang Tak Retak, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman agar makalah in dapat berguna bagi kita semua. Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfat bagi para pembaca yang ingin menambah wawasan mereka.

Palangka Raya, 02 Oktober 2012

Tim Penyusun

i 19

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ A. Latar Belakang Masalah................................................................... B. Rumusan Masalah............................................................................ C. Tujuan Penulisan.............................................................................. D. Manfaat Penulisan............................................................................ BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. A. Pengertian Hukum Islam................................................................. B. Kedudukan Hukum Islam............................................................... C. Tujuan Hukum Islam....................................................................... D. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat.................
E. Sumber - Sumber Hukum Islam .....................................................

i ii 1 2 2 2 2 3 3 3 4 5 5 6 13 15 15 15

F. Pembagian Hukum Islam................................................................ G. Karakteristik Hukum Islam ............................................................ BAB III PENUTUP...........................................................................................
A. Kesimpulan..................................................................................... B. Saran................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

ii 20

Anda mungkin juga menyukai