Anda di halaman 1dari 5

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI IBU DAN POLA MAKAN BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA (12-59 BULAN) DI POSYANDU

MATAHARI DESA JREBENG KOTA PROBOLINGGO


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM. Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terlupakan dari penglihatan atau pengawasan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tinginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya harapan hidup (Depkes RI, 2004). Angka kematian balita (AKABA) adalah jumlah kematian anak umur 0 - < 5 tahun per 1000 kelahiran hidup. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak balita seperti gizi. Hasil SDKI 2002-2003 angka kematian balita 64 per 1000 kelahiran hidup, belum mencapai target 58 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes, 2005) Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi dapat berbeda antar wilayah maupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalah ini dapat berbeda antar kelompok usia balita.

Kekurangan zat gizi secara umum (makanan kurang dalam kualitas dan kuantitas) menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan, produksi tenaga, pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak serta perilaku anak yang mengalami kurang gizi tersebut (Almatsier, 2003). Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia dan sekaligus dalam pengentasan kemiskinan adalah dengan meningkatkan gizi anak terutama anak balita. Keadaan gizi terutama pada masa balita akan sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan manusia dewasa, karena kecukupan gizi sangat diperlukan dalam pembentukan otak terutama pada masa balita yang nantinya akan menghasilkan manusia produktif dan berkualitas. (Profil Kesehatan Lampung, 2005). Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi kurang berperan nyata dalam resiko gizi kurang. Bentuk kepedulian pada gizi anak merupakan salah satu tanggung jawab dari keluarga dalam hal ini ibu rumah tangga dan secara tidak langsung merupakan tanggung jawab masyarakat. Dalam masyarakat, kegiatan-kegiatan yang menyangkut perbaikan gizi banyak melibatkan kaum ibu, maka ibu merupakan tokoh utama yang harus peduli pada gizi anak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2003 angka prevalensi gizi kurang adalah 19,20% dan status gizi buruk 8,30% (Depkes RI, 2004). Data dari Dinas Kesehatan RI yang mengacu pada aksi pangan dan gizi tahun 2001-2005 sasaran gizi kurang dari 20% dan gizi buruk 5% (Depkes RI, 2002). Menurut hasil pemantauan program gizi masyarakat di Jawa Timur pada tahun 2009 telah diketahui, ada kesalahan pada pola asuh memberikan kontribusi 40,7% terhadap kejadian gizi buruk, penyakit penyerta memberikan kontribusi 28,8%, kemiskinan memberikan kontribusi 25,1% dan faktor lain memberikan kontribusi 5,4%. Pola asuh yang tidak sesuai menggambarkan rendahnya pengetahuan individu terutama orang tua balita. Rendahnya pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku gizi yang tidak sesuai. Menurut Menkes, ada 3 faktor utama yang saling terkait mempengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga. Kedua, pola asuhan gizi atau makanan

keluarga. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2007). Gizi kurang dan gizi buruk berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang. Anak yang menderita gizi kurang akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental (Depkes RI, 2002). Pada usia sebelum 6 bulan sistem pencernaan belum siap untuk menerima makanan selain ASI kebutuhan bayi akan makanan sudah cukup terpenuhi dengan ASI namun pasca usia tersebut ia memerlukan makanan tambahan yang dapat menunjang tumbuh kembangnya. Pada usia ini jika hanya diberi ASI saja kebutuhan asuhan gizi bayi masih belum terpenuhi sepenuhnya. Dan jika memberikan makanan pendamping terlalu awal (sebelum 6 bulan) berdampak kurang baik terhadap kesehatannya (Akhmad Saifudin A, 2008). Masalah gizi pada balita akan bertambah negatif pada obesitas (gizi lebih) pada masa anak bila terus berlanjut sampai dewasa dapat mengakibatkan hipertensi, hiperlipidemia, paterosklerosis, penyakit jantung koroner dan maturitas seksual lebih awal (Soetjiningsih, 2004). Upaya penanggulangan gizi kurang yang sudah dilakukan adalah peningkatan pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat pos pelayanan terpadu (posyandu) hingga puskesmas dan rumah sakit, peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi dibidang pangan dan gizi masyarakat dan intervensi langsung kepada sasaran melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) (Almatsier S, 2006). Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan dari keluarga khususnya para ibu harus memiliki kesabaran bila anaknya mengalami problema makan dan lebih memperhatikan asupan makanan sehari-hari bagi anaknya. Sampai saat ini, masih banyak ditemui kasus-kasus gizi buruk di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur yang membuat pemerintah provinsi bersama Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Timur mengambil inisiatif untuk membantu menanggulangi kasus gizi buruk pada keluarga kurang mampu yang ada di 10 kabupaten/kota, salah satunya di Kota Probolinggo. Kunjungan konsultasi gizi pada Puskesmas Jrebeng juga sering dilaksanakan. Proporsi balita gizi buruk di Kelurahan Jrebeng terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 proporsi balita gizi kurang adalah 0,012% (37 kasus) dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 0,016% (42 kasus). Oleh sebab itu dalam rangka mewaspadai

kerawanan pangan dan gizi perlu adanya penanggulangan secara tepat dan terpadu melalui Tim Pangan dan Gizi (TPG) sesuai dengan Keputusan Walikota Probolinggoi Nomor: 188.45/231/KEP/425.012/2012. Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan ibu dan pola makan balita dengan status gizi balita di Desa Jrebeng Kota Probolinggo. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dan pola makan balita dengan status gizi balita (12-59 bulan) di Posyandu Matahari Desa Jrebeng Kota Probolinggo 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan pengetahuan gizi ibu dan pola makan balita (1259 bulan) dengan status gizi balita di posyandu Matahari Desa Jrebeng Kota Probolinggo 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu, pola makan balita, dan status gizi balita (12 59 bulan) di Posyandu Matahari Desa Jrebeng Kota Probolinggo b. Mengetahui hubungan pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita (12-59 bulan) di posyandu Matahari Desa Jrebeng Kota Probolinggo c. Mengetahui hubungan pola makan balita dengan status gizi balita (1259 bulan) 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keperawatan anak

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah wawasan dalam rangka mengembangkan ilmu keperawatan khususnya di bidang gizi balita usia 12 59 bulan 1.4.2 Bagi Puskesmas Sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan program penyuluhan bagi ibu tentang pentingnya pola makan pada balita. 1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian,khususnya di bidang ilmu gizi, serta dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai