Anda di halaman 1dari 28

BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI (2) Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n.

fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. B. EPIDEMIOLOGI (3, 4) Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding nondiabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
1

sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan . C. ANATOMI (5) Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : 1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah). 2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. 3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. 4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus. Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang

telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya. Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan

dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

D. PATOFISIOLOGI (6) 1) Teori Infeksi Virus Herpes Zoster Salah satu penyebab munculnya Bells Palsy adalah karena adanya infeksi virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atau Bells Palsy 2) Teori Iskemia Vaskuler Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kerusakan yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada sarafnya. Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis. 3) Teori herediter

Teori herediter mengemukakan bahwa Bells Palsy yang disebabkan karena faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang bersifat menurun. 4) Pengaruh udara dingin Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau lumpuh. E. ETIOLOGI (1) Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Idiopatik Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic. 2) Kongenital a) anomali kongenital (sindroma Moebius) b) trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.) 3) Didapat a) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis) b) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll) c) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus) d) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll) e) Sindroma paralisis n. fasialis familial. F. GEJALA KLINIK (1, 2)

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa : 1) Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos). 2) Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign. 3) Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi : 1) Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. 2) Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus

menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. 3) Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.

4) Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. 5) Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

G. DIAGNOSA (4) 1) Anamnesa Rasa nyeri Gangguan atau kehilangan pengecapan. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.

Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lainlain.

2) Pemeriksaan Fisik Diagnosis Bells palsy biasanya ditegakkan berdasarkan gejala yang muncul. Hal ini dapat dibedakan dengan stroke karena biasanya stroke dapat menyebabkan kelemahan mendadak hanya pada wajah bagian bawah daripada pada semua bagian wajah. Selain itu, stroke juga menyebabkan kelemahan yang khas pada lengan dan kaki. Para dokter dapat membedakan Bells palsy dari kelainan lain yang menyebabkan paralisis nervus fasialis karena kelainan lain biasanya berkembang secara perlahan-lahan. Yang termasuk pada kelainan ini antara lain tumor otak, tumor lain yang menekan nervus fasialis, infeksi di rongga telinga tengah atau sinus mastoideus, dan fraktur basis cranii. Biasanya, dokter dapat

mengesampingkan kelainan-kelainan ini berdasarkan riwayat penyakit, hasil foto rontgen, CT Scan atau MRI. Untuk tes darah tidak ada tes khusus untuk Bells palsy. Untuk menilai kelumpuhan atau kondisi simetris-asimetris dari Bells palsy yaitu dengan UGO FISCH SCORE. Cara penilaian kondisi simetris-asimetris antara sisi sakit dibandingkan dengan sisi sehat pada 5 posisi: 1. Kerutan dahi 2. Bersiul 3. Istirahat 4. Tutup mata 5. Tersenyum : 10 point : 10 point : 20 point : 30 point : 30 point

Kondisi tersebut dikalikan dengan penilaian dengan kondisi dibawah ini: 0% 30% normal 70% 100% = simetris cukup, sembuh parsial, lebih dekat ke normal = simetris normal atau komplit = asimetris komplit, gerakan involunter tidak ada = simetris, lebih dekat ke asimetris komplit dari pada

Kemudian semua hasil dijumlahkan (dalam keadaan normal, jumlah point = 100). Hasil: Normal (100), prognosis baik (70-99), prognosis cukup (30-69), prognosis buruk (0-29) 3) Pemeriksaan Laboratorium. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy. 4) Pemeriksaan Radiologi. Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CTScan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum. H. DIAGNOSA BANDING (2) a) Ramsay Hunt syndrom Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom). Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. Tanda dan gejala RHS meliputi : Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah. Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi. Kesulitan menutup satu mata. Sakit telinga. Pendengaran berkurang. Dering di telinga (tinnitus). Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo). Perubahan dalam persepsi rasa. b) Miller Fisher Syndrom

10

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated

Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual. I. PENATATALAKSANAAN (1, 8) 1). Istirahat terutama pada keadaan akut 2). Medikamentosa i. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari

pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit. ii. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.

Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus. iii. Perawatan mata:

11

Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang. Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.

Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.

3). Fisioterapi Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Dapat dilakukan dengan melakukan terapi ke rehabmedik dengan pemberian terapi Infra Merah (15 menit) dan Elektrikal Stimulasi intensitas 1 MA. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi. Ocupational Terapi Program :
-

Suportif OT Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi, tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola pingpong,/lilin, berkumur.

Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.

4). Operasi Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan apabila : tidak terdapat penyembuhan spontan tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

J. KOMPLIKASI (2, 9,10) a) Crocodile tear phenomenon.

12

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum. b) Synkinesis. Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabutserabut otot yang salah. c) Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

K. PROGNOSIS Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah : a. Usia di atas 60 tahun. b. Paralisis komplit. c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh. d. Nyeri pada bagian belakang telinga. e. Berkurangnya air mata. Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset

13

penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23%kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

14

BAB II LAPORAN KASUS REHABILITASI MEDIK BELLS PALSY

Anamnesis Tanggal Ruang Masuk RS

: Autoanamnesa : 12 Februari 2013 : Poliklinik : 12 Februari 2013

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Agama : Tn. B : 52 tahun : Laki-laki : Petani : Tamat SMA : Islam

II.

DATA SUBYEKTIF : wajah sebelah kiri terasa bebal, rujukan dokter umum ke

Keluhan Utama rehabilitasi medik.

Keluhan Tambahan : ( - ) Riwayat Perjalanan Penyakit 10HSMRS pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan dan mata terasa pedih karena tidak bisa menutup maksimal. Pasien mengeluh ketika mengunyah makanan, makanan tersebut mengumpul di rongga mulut bagiuan kiri. Untuk minum seperti bocor keluar. Keluhan tersebut muncul saat pasien pulang dari sawah pagi-pagi subuh sehabis bertani. Saat bangun tidur pasien tidak merasakan perubahan ataupun keluhan apapun. Pasien tidak mengeluh demam

15

maupun pusing berdenyut. Pasien juga tidak mengeluh ada kelemahan anggota gerak. Pasien kemudian berobat ke dokter umum, dan setelah menjalani pengobatan dokter tersebut merujuk ke bagian rehabilitasi medis RSU Salatiga Pasien mengaku tidak bisa menggunakan sedotan saat minum. Pasien mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Faktor yang memperberat : Faktor yang memperingan : Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat penyakit yang sama b. Riwayat penyakit asma c. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi d. Riwayat penyakit jantung e. Riwayat penyakit kencing manis f. Riwayat penyakit alergi Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat penyakit yang sama b. Riwayat penyakit asma c. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi d. Riwayat penyakit jantung e. Riwayat penyakit kencing manis f. Riwayat penyakit alergi Riwayat Sosio Ekonomi Pasien merupakan seorang petani. Tinggal bersama istri di rumah. Memiliki 2 anak kesemuanya belum bekerja dan belum berkeluarga. Aktivitas sehari-hari pasien adalah bercocok tanam. Pasien menggarap sawah orang, kemudian dengan system bagiu hasil. Penghasilan per bulan tidak menetap, tergantung hasil panen. Anamnesis Sistem Sistem Serebrospinal Sistem Kardiovaskular Sistem Respirasi : CM, : tak ada keluhan : tak ada keluhan
16

: Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada

: tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada

Sistem Gastrointestinal Sistem Muskuloskeletal Sistem Integumentum Sistem Urogenital III. DATA OBYEKTIF

: tak ada keluhan : kelumpuhan otot wajah sebelah kiri : tak ada keluhan : tak ada keluhan

A. Status present tanggal 12 Februari 2013 Keadaan Umum Tekanan darah Denyut nadi Pernapasan Suhu : CM, E4V5M6 : 130/90 mmHg : 88x/menit : 24x/menit : 36,5 C

B. Status Internus (12 Februari 2013) Kepala Hidung Telinga Leher : Mesosepal, bentuk simetris, konjungtiva tidak anemis. : Secret (-), hiperemis (-) : Secret (-), nyeri tekan (-) : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe, kaku kuduk (-), bentuk dan sikap leher normal. Thorak Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Iktus kordis tidak terlihat : Iktus kordis tak teraba : batas jantung kiri atas kanan atas kiri bawah midclavicula Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-) Paru-paru Inspeksi : Permukaan datar tak tampak retraksi : SIC II linea parasternalis kiri : SIC II linea parasternalis dextra : SIC V 4-5 cm dari caudo lateral linea : Bentuk dinding thorak simetris, ketinggalan gerak (-).

17

Palpasi Perkusi

: Fokal femitus ka=ki : Sonor disemua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler (+), Suara tambahan: (-) Abdomen Inspeksi : Permukaan datar, tidak tampak adanya massa.

Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi Perkusi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba : Timpani (+)

C. Status Psikis Pasien berharap bisa sembuh seperti semula. D. Status Neurologis Kesadaran : Baik (compos mentis) GCS Orientasi : E4 V5 M6 : baik : baik : baik : baik

: Tempat : baik Waktu Orang

Daya ingat

: Lama Baru

Pemeriksaan Penunjang 1. Tidak dilakukan Ugo Fisch Score Istirahat Kerut dahi Tutup mata Tersenyum Mencucu Total Score = 76 : 20 x 100% = 20 : 10 x 70% = 7 : 30 x 70% = 21 : 30 x 70% = 21 : 10 x 70% = 7

18

V. KESIMPULAN (Assesment) Diagnosis klinis Diagnosis topik Diagnosis etiologi :Bells Palsy : Lesi pada nervus VII (fasialis) perifer sinistra : Tidak diketahui

VI. PENATALAKSANAAN A. Terapi Umum Istirahat terutama pada keadaan akut Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.

B. Terapi Khusus a. Farmakoterapi Methyl Prednison mg 7 B1 tab 1/3 Diazepam 0,1 Mfla pulv dtd da in caps No VI 2 dd caps I Neurodex 2 dd tab I Pemberian kortikosteroid selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. No X

Metilprednisolon adalah glukokortikoid turunan prednisolon yang mempunyai efek kerja dan penggunaan tidak yang sama seperti senyawa induknya. seperti

Metilprednisolon

mempunyai

aktivitas

retensi

natrium

glukokortikosteroid yang lain. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit. Dosis awal dari metilprednisolon dapat bermacam macam dari 4 mg 48 mg per hari, dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit.

19

Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gammaaminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alcohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Dosisnya adalah 2-10 mg 3-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari diawal pada lansia atau pasien yang sangat lemah. Tiap tablet neurodex mengandung vitamin B1 mononitrate100mg, vitamin B6 HCL 200 mg, vitamin B12 200 mcg. Vitamin B1 sebagai koenzim pada dekarboksilasi asam alfa-keto dan berperan dalam metabolisme karbohidrat. Vitamin B6 di dalam tubuh berubah menjadi piridoksal fosfat dan piridoksamin fosfat yang dapat membantu dalam metabolisme protein dan asam amino. Vitamin B12 berperan dalam sintesa asam nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel dan memelihara integritas jaringan syaraf. Dosisnya adalah 2-3x sehari.

b. Program Rehabilitasi Medik Fisioterapi Problem Kelemahan sistem otot-otot wajah yang diinervasi NVII perifer sinistra

Asssment Bells Palsy Program Pemanasan 1, 10 Pemanasan superfisial dengan infrared. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy. Memelihara ROM sendi lengan dan tungkai Stimulasi listrik. 1,8 Latihan otot-otot wajah dan massage wajah Sebaiknya ditambahkan juga dengan terapi :

20

1. Okupasi Terapi Problem Gangguan mengunyah makan dan meminum minuman Program Suportif OT Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi, tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola pingpong,/lilin, berkumur. Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.

2. Home Program Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet Perawatan mata : Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur Prognosis pada kasus ini: Ad vitam Ad functionam Ad sanatioman Ad kosmetika : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

21

BAB III PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki, usia 52 tahun, datang ke Poliklinik RSU Salatiga dengan keluhan 10HSMRS pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan dan mata terasa pedih karena tidak bisa menutup maksimal. Pasien mengeluh ketika mengunyah makanan, makanan tersebut mengumpul di rongga mulut bagiuan kiri. Untuk minum seperti bocor keluar. Keluhan tersebut muncul saat pasien pulang dari sawah pagi-pagi subuh sehabis bertani. Saat bangun tidur pasien tidak merasakan perubahan ataupun keluhan apapun. Pasien tidak

mengeluh demam maupun pusing berdenyut. Pasien juga tidak mengeluh ada kelemahan anggota gerak. Pasien kemudian berobat ke dokter umum, dan setelah menjalani pengobatan dokter tersebut merujuk ke bagian rehabilitasi medis RSU Salatiga Pasien mengaku tidak bisa menggunakan sedotan saat minum. Pasien mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien ini sesuai dengan paralisis nervus fasialis tipe perifer, dimana paralisis terjadi padasisi wajah sebelah kiri saja. Hal ini terjadi karena kerusakan pada inti nervus fasialis atau infranuklearnya, sehingga impuls homolateral untuk otot-otot wajah bagian atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah terganggu. Pada pasien ini tidak ditemukan gangguan pengecapan dan pendengaran. Hal ini dapat menyingkirkan keterlibatan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah maupun meatus akustikus internus yang dapat mengganggu pendengaran. Pasien tidak memiliki riwayat telinga berair, sehingga dapat disingkirkan kemungkinan etiologinya merupakan suatu otitis media. Riwayat trauma juga disangkal sehingga dapat disingkirkan kemungkinan fraktur os temporal, dan tidak adanya riwayat hipertensi serta tidak adanya kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan suatu lesi sentral. Dari riwayat sosial dan kebiasaan, pasien adalah seorang petani yang terbiasa terkena udara dingin dan kelelahan. Hal ini merupakan faktor risiko yang

22

dapat menyebabkan nervus fasialis menjadi sembab dan terjepit pada foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis tipe LMN(perifer). Kelumpuhan ini disebut dengan Bells Palsy. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,50C. Tidak ditemukan hipeakusis karena jika nervus fasialis terjepit di foramen

stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda timpani dan serabut yang mempersarafi muskulus stapedius. Ugo Fisch Score Istirahat Kerut dahi Tutup mata Tersenyum Mencucu : 20 x 100% = 20 : 10 x 70% = 7 : 30 x 70% = 21 : 30 x 70% = 21 : 10 x 70% = 7

Total Score = 76. Tidak adanya kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapatmenyebabkan paralisis Nv.VII, yang lesinya bersifat sentral. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis klinis Parelisis Nervus VII tipe perifer (Bells Palsy), dengan diagnosis topik Nervus VII, dan etiologi idiopatik. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, atau bila ingin dilakukan pemeriksaan penunjang bisa dengan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat untuk mengetahui kelumpuhan saraf fasialis yaitu dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG). 1. Elektromiografi (EMG)EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien.Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi.

23

Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari. 2. Elektroneuronografi (ENOG). ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG biladibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bells Palsy secara medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison 1mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai 10hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat ditambahkan analgetik (bila nyeri). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi, dilakukan setelah hari ke 4 awitan. Hal ini dapat dilakukan dengan melatih sisi wajah yang lumpuh untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat juga dilakukan massase wajah sisi yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Rehabilitasi Medik dapat dilakukan berupa : Pemanasan Pemanasan superfisial dengan infra red. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy Stimulasi listrik Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

24

Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit. Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin. Program Sosial Medik Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

25

Program Psikologik Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol,

rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan. Program Ortotik Prostetik Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur. Home Program Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan

dari sisi wajah yang sehat Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang

sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet Perawatan mata : Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300 2.Dr P Nara, Dr Sukardi, Bells Palsy, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html (diakses tanggal 11 desember 2011) 3.Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156 tanggal 22 Desember 2011). Palsy, (diakses

4.Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bellspalsy-case-report/ (diakses tanggal 11 desember 2011) 5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia. 6. Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html, (diakses tanggal 12 Desember 2011) 7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174 8.Nurdin, Moslem Hendra, 2010, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html desember 2011) Bell Palsy, (diakses tanggal 12

9. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2 10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-17 8. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 9. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from :http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.Holland, J. Bells Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and VictorsPrinciples of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
27

10. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed.Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163. 11. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003. 12. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George ThiemeVerlag: German, 2003. 98-99. 13. Breneman J, Warnick R. Stereotactic Radiosurgery & Radiotherapy of the Head [Online]. 2003 Sept [cited 2007 Agt 28]; Available from: URL:hhtp:// www.abta.org

28

Anda mungkin juga menyukai