Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Mola hidatidosa merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan adanya proliferasi jaringan trofoblas abnormal, dan diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa komplit, parsial, dan invasif (Gangopadhyay, Arghya, Sailes, et al., 2011). Mola hidatidosa adalah salah satu jenis dari Penyakit Trofoblas Gestasional (PTG) secara historis berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang cukup signifikan. Mola hidatidosa sering diikuti dengan perdarahan serius serta komplikasi lain yang timbul sehingga tidak hanya mempengaruhi kehamilan saja, tetapi juga keadaan ibu secara sistemik (Lurain, 2010). Mola hidatidosa biasanya diikuti dengan beberapa penyulit yang dapat mengancam kondisi ibu, seperti preeklampsia dalam onset yang sangat dini, tirotoksikosis, hingga emboli paru (Kanter, Marshall, Eileen, et al., 2010). Insidensi dan faktor etiologi yang berkontribusi pada perkembangan mola hidatidosa cukup sulit untuk diidentifikasi. Studi epidemiologi telah melaporkan adanya variasi regional dalam insidensi mola hidatidosa. Estimasi berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika bagian Utara, Australia, New Zealand, dan Eropa menunjukkan insidensi mola hidatidosa dalam rentang 0.57-1.1 per 1000 kehamilan. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Asia Tenggara dan Jepang menunjukkan insidensi yang lebih tinggi, yaitu 2.0 per 1000 kehamilan (Lurein, 2010). Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa bukan merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadiumstadium dini, sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang karena pada umumnya diagnosis terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan dan tirotoksikosis masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu (Matsui, 2000).

B. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah presentasi kasus ini adalah untuk mengetahui faktor risiko, pathogenesis, tanda, gejala, komplikasi, hingga penatalaksanaan pada kasus mola hidatidosa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Mola Hidatidosa Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi, edematous, dan mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur (Martaadisoebrata, 2005; Prawirohardjo, 2005). Kehamilan mola merupakan komplikasi kehamilan yang tidak biasa, yang ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa komplit (Berkowitz dan Goldstein, 2009). B. Etiologi Mola Hidatidosa Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola hidatidosa. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh terhadap patogenesis 2005). C. Faktor Risiko Mola Hidatidosa 1. Usia reproduksi Mola hidatidosa (MH) dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi. Kehamilan pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami MH (Martaadisoebrata, 2005). 2. Status gizi Status gizi dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH. MH sebagai suatu kehamilan abnormal yang berasal dari ovum patologis. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya defisiensi protein berkualitas tinggi (highclass protein). Beberapa peneliti mengaitkan hal ini dengan kenyataan bahwa di Asia banyak kejadian MH pada penduduk yang mola hidatidosa. Faktor-faktor tersebut menghasilkan proliferasi tak terkontrol pada trofoblas (Vorvick, 2010; Martaadisoebrata,

termasuk golongan sosioekonomi rendah dengan tingkat konsumsi protein yang minim. Secara empiris, teori tersebut didukung dengan tingginya angka kejadian MH pada beberapa daerah dengan pola konsumsi rendah protein, seperti di Indonesia dan Filipina. Meski demikian, teori tersebut belum menjawab kenyataan bahwa terdapat daerah-daerah dengan angka kejadian MH tinggi pada penduduk yang mengonsumsi protein tinggi, seperti seperti di Alaska dan Hawai. Defisiensi asam folat dan histidine pada wanita hamil juga dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian MH. Pada wanita dengan defisiensi asam folat dan histidine, terutama pada hari ke-13 dan 21 kehamilan, akan mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan hidropik. Teori gizi sebagai faktor risiko yang banyak dianut saat ini adalah teori yang diajukan oleh Parazzini & Berkowitz, yaitu bahwa berdasarkan studi kasus kontrol, MH banyak terjadi pada wanita dengan defisiensi -Carotene/vitamin A. Hal ini pula yang dapat

menerangkan mengapa terjadi variasi dalam insidensi secara regional (Martaadisoebrata, 2005). 3. Riwayat Obstetri Menurut WHO, riwayat obstetrik juga mempengaruhi kejadian MH. Hal ini disebabkan pada wanita dengan riwayat MH sebelumnya berisiko mengalami MH pada kehamilan selanjutnya. Begitu pula pada wanita dengan riwayat melahirkan gemelli. Namun, multiparitas bukan merupakan faktor risiko MH. 4. Suku bangsa dan Ras Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insidensi pada wanita kulit hitam lebih rendah dibandingkan yang lain. Insidensi MH pada wanita Euroasian dua kali lebih tinggi dari wanita Cina, Melayu, dan India.

5. Genetik Hasil penelitian sitogenetik menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih banyak ditemukan kelainan balance translocation dibandingkan dengan populasi normal. Pada wanita dengan kelainan sitogenik tersebut lebih banyak mengalami gangguan meiosis berupa nondisjunction sehingga lebih banyak ovum kosong atau ovum dengan inti inaktif (Martaadisoebrata, 2005). D. Mola Hodatidosa Komplit (MHK) 1. Patogenesis Mola Hidatidosa Komplit Di antara teori yang digunakan untuk menjelaskan patogenesis MHK adalah teori yang dikemukakan oleh Hertig, et al., Park, et al., dan teori sitogenik. a) Teori Hertig, et al. Hertig, et al, menganggap bahwa pada MHK terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuk kista-kista kecil yang makin lama makin besar, hingga kemudian terbentuk gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang edematous tersebut. b) Teori Park, et al. Berbeda dengan teori Hertig, et al, Park menyatakan bahwa faktor primer pada kejadian MHK adalah adanya jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, dysplasia, maupun neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi abnormal, dimana terjadi absorpsi cairan berlebihan ke dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan kematian embrio. c) Teori Sitogenik

Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan saat ini. Teori ini menerangkan bahwa kehamilan MH terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma haploid (23x). Hasil konsepsi tersebut kemudian mengadakan penggandaan sendiri (endoreduplikasi) menjadi 46xx. Sehingga dua unsur x pada kromosom MHK berasal dari sperma (unsur ayah), tidak ada unsur ovum di dalamnya. Dengan kata lain, teori ini disebut juga Diploid Androgenetic (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). Pada kehamilan yang sempurna, harus terdapat kromosom baik dari sperma maupun ovum. Unsur ovum akan membentuk bagian embrional (janin) dan unsur sperma diperlukan untuk pembentukan bagian ekstraembrional, seperti plasenta, amnion, dan lain-lain, secara seimbang. Ketiadaan unsur ovum pada MHK menjadikan tidak adanya bagian embrional, hanya akan terbentuk bagian ektraembrional yang patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik. Abnormalitas ovum dapat terjadi karena gangguan pada proses meiosis berupa kejadian nondisjunction. Gangguan proses meiosis ini antara lain terjadi pada kelainan strukstural kromosom yaitu balanced translocation (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). MHK dapat pula terjadi akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Pembuahan tersebut dapat terjadi dengan dua sperma haploid 23x atau satu sperma haploid x dan haploid y. Akibatnya dapat terbentuk hasil konsepsi 46xx atau 46xy. Pada pembuahan dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46xx hasil endoreduplikasi dan 46xx hasil pembuahan dengan dispermi, walaupun tampaknya sama, namun berbeda genotip. Sebagian menganggap bahwa 46xx heterozigot, yang berasal dari pembuahan dengan dispermi meniliki potensi keganasan yang lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23y (46yy) dianggap tidak pernah bisa

terjadi/nonviable (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). 2. Gambaran Klinis Mola Hidatidosa Komplit MHK adalah suatu kehamilan patologis, sehingga pada bulanbulan pertama, tanda-tandanya tidak berbeda dengan kehamilan biasa, seperti diawali dengan amenore, mual, dan muntah. Terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa pada MHK lebih sering terjadi hyperemesis, dan keluhan kehamilan lebih berat daripada kehamilan normal. Pada kehamilan normal, pembesaran uterus terjadi melalui dua fase, yaitu fase aktif sebagai pengaruh hormonal, dan fase pasif sebagai akibat hasil perbesaran hasil kehamilan, seperti janin, plasenta, dan air ketuban. Pada MHK, vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik berkembang dengan cepat mengisi seluruh cavum uteri, sehingga uterus membesar lebih cepat dengan ukuran yang lebih besar dari usia kehamilan atau lamanya amenore (Martaadisoebrata, 2005). Pada kehamilan normal, segmen bawah rahim (SBR) baru terbentuk pada trimester tiga kehamilan. Sedangkan pada MHK, dengan pengisian cavum uteri yang terlalu cepat, maka pembentukan SBR dapat terjadi pada usia kehamilan yang lebih muda, sekitar usia 24 minggu. SBR ini terbentuk bentukan berupa penonjolan yang disebut dengan ballooning, dan merupakan ciri khas dari MHK. Ballooning dapat diraba pada pemeriksaan dalam sebagai penonjolan SBR ke arah depan, dengan konsistensi yang lunak (Martaadisoebrata, 2005.

Gambar 2.1. Balloning pada SBR (Martaadisoebrata, 2005) Perdarahan pervaginam terjadi oleh karena tubuh berusaha mengeluarkan hasil konsepsi pada kehamilan abnormal ini. Perbedaan dengan abortus adalah pada besarnya uterus. Perbesaran uterus sesuai dengan usia kehamilan atau lamanya amenore pada abortus. Perdarahan yang timbul pada MHK dapat berupa bercak sedikitsedikit, intermiten, atau perdarahan massif sehingga dapat terjadi syok hipovolemik. Perdarahan dapat disertai dengan keluarnya gelembung mola, sehingga mempermudah diagnosis (Martaadisoebrata, 2005). Selain perbesaran uterus yang lebih menonjol, pada MHK ditemukan pula dua hal lain yang berbeda dengan kehamilan normal, yaitu kadar hCG dan kista lutein. Kadar hCG pada kehamilan normal kadarnya akan meningkat hingga usia kehamilan 60-80 hari, kemudian akan turun pada usia kehamilan lebih dari 85 hari, dengan kadar puncak hCG berkisar 600.000 mIU/ml. Sedangkan pada MHK tidak ada penurunan kadar hCG. Selama ada pertumbuhan sel trofoblas dan selama gelembung mola belum dikeluarkan dari uterus maka kadar hCG akan terus meningkat hingga dapat mencapai kadar di atas 5.000.000 mIU/ml. Hormon hCG terdiri dari dua subunit dan .

Subunit mengadakan reaksi silang dengan gonadotropin yang berasal dari hipofisis, yaitu LH, FSH, dan TSH. Oleh karena itu dalam pengukuran selanjutnya yang digunakan adalah -hCG (Lurein, 2010). Kelainan lain yang menyertai MHK adalah adanya kista lutein, sebagai akibat dari rangsangan berlebihan terhadap ovaruim oleh hCG yang sangat tinggi. Kista yang timbul dapat unilateral maupun bilateral dengan besar yang bervariasi. Umumnya kista ini akan mengecil kembali setelah jaringan mola dievakuasi. Dengan demikian, kista tidak perlu diangkat kecuali jika ditemukan komplikasi berupa torsio atau ruptur, bila memberikan keluhan mekanis dapat dilakukan dekompresi atau aspirasi (Martaadisoebrata, 2005). Seperti pada kehamilan normal, pada MHK juga dapat terjadi komplikasi kehamilan. Bentuk komplikasi kehamilan yang dapat terjadi pada MHK antara lain, preeklampsia, tirotoksikosis (hipertiroidism) dan emboli paru. Preeklampsia pada MHK tidak berbeda dengan kehamilan biasa, dengan derajat yang bervariasi, ringan, berat, bahkan eklampsia. Hanya saja pada MHK kejadiannya dapat lebih dini. Jika preeklampsia ditemukan pada usia kehamilan 24 minggu dapat dicurigai adanya MHK. Preeklampsia pada kehamilan mola timbul akibat sirkulasi faktor anti angiogenik yang berlebihan. Penanganan preeklampsia pada MHK tidak berbeda dengan preeklampsia pada kehamilan normal, selain evakuasi jaringan mola (Kanter, Marshall, Eileen, et al., 2010). Perubahan pada kelenjar tiroid ditemukan sebagai komplikasi pada MHK. Perubahan tersebut dapat berupa anatomis maupun fungsional. Kelainan dapat berupa hipertiroidisme biokimia saja, dengan kadar hormon tiroksin (T3) dan triiodotironin (T4), sedangkan TSH menurun, atau disertai dengan gejala klinis tirotoksikosis. Pada MHK, perkembangan perubahan tiroid dapat berlangsung sangat cepat, dari status eutiroid sampai krisis tiroid, dapat berlangsung beberapa jam saja dan dapat menyebabkan kematian (Vorvick, 2010).

Pada kehamilan normal, dapat terjadi migrasi sel-sel trofoblas ke dalam peredaran darah menuju ke paru ibu. Hal ini dimulai pada usia kehamilan 18 minggu, pada akhirnya akan direabsorpsi oleh tubuh, dan merupakan gejala normal pada kehamilan. Namun, pada MHK fenomena ini terjadi dengan jumlah sel trofoblas yang sangat banyak sehingga menyebabkan tanda emboli paru akut dan menyebabkan kematian. Kasus ini jarang terjadi. Diagnosis MHK dapat ditegakkan pada kehamilan sedini mungkin sehingga penyulit kehamilan dapat dipantau sejak awal (Martaadisoebrata, 2005). 3. Penegakan Diagnosis Mola Hidatidosa Komplit. a) Anamnesis Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya perbesaran rahim. b) Pemeriksaan Klinis Ginekologi Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin. c) Laboratorium Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar -hCG yang lebih tinggi dari normal d) USG Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri. Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi anatomi (PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma vili yang edematous, tidak mengandung pembuluh darah (avaskuler), disertai hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas. Berdasarkan hasil PA dapat pula diprediksi prognosis MHK, akan mengalami transformasi keganasan atau tidak, dengan melihat pada proliferasi sel-sel trofoblas. Proliferasi yang berlebihan

10

memungkinkan transformasi ke arah keganasan lebih besar (Martaadisoebrata, 2005). 4. Terapi Mola Hidatidosa Komplit a) Perbaikan Keadaan Umum Sebelum melakukan evakuasi jaringan mola, keadaan umum ibu diperbaiki sesuai dengan penyulit yang menyertai. Transfusi darah untuk mengatasi anemia berat dan syok hipovolemik, penanganan preeklampsia, serta pemberian obat antitiroid. Tindakan yang dilakukan sebelum penderita stabil dapat merangsang terjadinya syok ireversibel, eklampsia, atau krisis tiroid, yang dapat berakibat pada kematian. Penanganan emboli paru hanya berupa penanganan suportif berupa pemberian antikoagulan dan oksigenasi hingga gejala akutnya berkurang (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). b) Evakuasi jaringan MHK merupakan kehamilan patologis yang sering disertai dengan penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus dievakuasi secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi kuret vakum (suction curretage) dan histerektomi total. Kuret vakum merupakan metode pilihan bagi wanita yang masih harus mempertahankan fertilitasnya, sedangkan histerektomi total dilakukan pada wanita dengan usia > 35 tahun dengan jumlah anak cukup, sebagai tindakan profilaksis terhadap terjadinya keganasan di uterus (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). c) Profilaksis Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan pada golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat dilakukan histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA yang mencurigakan. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

11

1) Metrotreksat 20 mg/hari, intramuskular, Asam Folat 10 mg (3x1), sebagai antidote dan Cursil 35 mg (2x1) sebagai hepatoprotektor, selama 5 hari berturut-turut. 2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut, tidak d) Follow up Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca-MHK dapat mengalami transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas Gestasional (TTG). Masa laten terjadinya keganasan sangat bervariasi. Keganasan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu hingga tiga tahun pascaevakuasi. Tujuan dari follow up adalah untuk melihat proses involusi berjalan normal baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG, dan kembalinya fungsi haid. Selain itu, untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini. Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi, penderita datang untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian dalam tiga bulan berikutnya, penderita datang setiap satu bulan. Selanjutnya dalam enam bulan terakhir, penderita datang tiap dua bulan. Selama follow up, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: 1) Keluhan, berupa perdarahan, batuk, atau sesak nafas 2) Pemeriksaan subinvolusi 3) Kadar -hCG, terutama bila ditemukan terdapat tanda-tanda distorsi dari kurva regresi normal. Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah satu dari tiga tanda tersebut, penderita harus dirawat untuk pemeriksaan yang lebih intensif meliputi USG, foto thorak, dan lain-lain (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). ginekologis, terutama adanya tanda-tanda memerlukan antidote maupun hepatoprotektor (Martaadisoebrata, 2005).

12

Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak ada keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar -hCG dalam batas normal. Selama masa follow up, wanita dianjurkan untuk tidak hamil terlebih dahulu, karena dapat menimbulkan salah interpretasi. Jadwal follow up harus ditepati karena kemungkinan terjadinya transformasi keganasan lebih besar pada MHK pertama (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). 5. Prognosis Mola Hidatidosa Komplit Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar penderita MHK akan sehat kembali. Keganasan menjadi TTG dapat dialami sekitar 15%-20% wanita dengan riwayat MHK sebelumnya. Umumnya yang berkembang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan risiko tinggi dengan kriteria meliputi usia > 35 tahun, kadar -hCG di atas 10 5 mIU/ml, serta gambaran PA yang mencurigakan. Saat ini dapat dikatakan hampir tidak ada kematian akibat MHK (Garrett, 2008). 6. Kehamilan pasca- Mola Hidatidosa Komplit Pada umumnya derajat fertilitas pasca-MHK tidak berubah, proses kehamilan dan masa nifas akan sama seperti kehamilan normal lainnya (Garrett, 2008; Lurain, 2010). 7. Mola Hidatidosa Berulang Risiko rekurensi mola dapat dialami oleh wanita dengan riwayat MHK. Rekurensi dapat terjadi berturut-turut atau diselangi oleh kehamilan non-MHK. Mereka yang mengalami kehamilan pascaMHK harus segera memeriksakan diri untuk memastikan bahwa kehamilan yang terjadi adalah kehamilan normal. Pada umumnya rekurensi yang terjadi hanya satu atau dua kali (Martaadisoebrata, 2005). E. Mola Hidatidosa Parsial (MHP)

13

Pembahasan Mola Hidatidosa Parsial (MHP) terpisah dengan MHK karena antara keduanya terdapat perbedaan mendasar, baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya. Tidak seluruh vili korialis mengalami degenerasi hidropik pada MHP. 1. Patogenesis Mola Hidatidosa Parsial Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal, 23x, dibuahi dengan dispermi. Dapat dibuahi oleh dua haploid 23x, satu haploid 23x dan satu haploid 23y, atau dua haploid 23yy. Hasil konsepsi dapat berupa 69xxx, 69 xxy, atau 69 xyy. Kromosom 69yyy tidak pernah ditemukan (Bashabsheh, 2011 dan Murphy, 2011). Sehingga pada MHP disebut sebagai Diandro Triploid. Unsur embrional dapat terbentuk karena pada MHP terdapat unsur ovum. Namun, komposisi unsur ovum dengan sperma tidak seimbang. Unsur sperma yang tidak normal tersebut yang menyebabkan terbentuknya plasenta abnormal, yang merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degeneras hidropik. Oleh karena itu, fungsi plasenta dalam hal ini pun tidak dapat mempertahankan janin hingga viable. Biasanya terjadi kematian janin/ Intrauterin Fetal Death (IUFD) yang sangat dini (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). 2. Gejala klinis Mola Hidatidosa Parsial Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun tanda-tanda yang khas. Keluhan yang muncul sama dengan kehamilan normal. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar uterus melebihi ukuran usia kehamilan atau lamanya amenore. Biasanya sama atau bahkan lebih kecil, disebut dengan dying mole. Gambaran USG tidak selalu khas. Namun diagnosis dapat ditegakkan apabila tampak gambaran yang menyerupai kista-kista kecil pada plasenta disertai peningkatan diameter transversa dari kantong janin. Pada kasus-kasus dengan janin yang besar, gambaran USG tampak lebih jelas (Martaadisoebrata, 2005).

14

Gambar 2.2. Gambaran USG Penderita Mola Hidatidosa Parsial (Zhou, Chen, Li, et al., 2011) Kadar -hCG juga mengalami peningkatan, tetapi tidak setinggi pada MHK. Hal ini kemungkinan karena pada MHP masih ditemukan vili korialis yang normal. Kadar yang tidak terlalu tinggi ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium, sehingga pada MHP jarang ditemukan kista lutein. Selain itu, MHP jarang sekali disertai dengan komplikasi seperti preeklampsia, tirotoksikosis, atau emboli paru (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). 3. Penegakan Diagnosa Mola Hidatidosa Parsial Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka lebih sulit untuk membuat diagnosa MHP. Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja setelah dilakukan tindakan dan diperkuat dengan hasil PA, di mana ditemukan gambaran khas sebagai berikut: a) Vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropik, kavitasi, dan hiperplasia trofoblas.

15

b) Scalloping yang berlebihan pada vili korialis c) Inklusi stroma trofoblas yang menonjol d) Ditemukan jaringan embrionik

4. Terapi Mola Hidatidosa Parsial Pada umumnya diagnosis MHP ditemukan setelah kuret, sehingga biasanya evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak dilakukan tindakan apapun. Histerektomi dan upaya profilaksis tidak dianjurkan (Martaadisoebrata, 2005). 5. Prognosis Mola Hidatidosa Parsial Prognosis MHP lebih baik daripada MHK. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%). Meski demikian, terdapat laporan kasus MHP yang disertai metastasis ke tempat lain. Sehingga penderita pasca-MHP juga harus melakukan follow up seperti pada MHK. Seperti juga pada MHK, fertilitas dan proses persalinan pasca MHP tidak berbeda dengan kehamilan biasa (Garrett, 2008). Tabel 2.1. Perbedaan Mola Hidatidosa Komplit dengan Mola Hidatidosa Parsial (Martaadisoebrata, 2005) Jenis MHK Gambaran Klinik Janin Uterus Penyulit Tidak ada Lebih besar dari usia kehami MHP Ada lan Sama dengan usia kehami lan/leb Jarang terjadi Diandrogenetik triploid Sering terjadi Proses Sitogenik Androgenetik diploid Gambaran PA Vili normal (-) Hiperlasi trofoblas (+++) Vili normal (+) Rendah Bonam Transformasi Keganasan Tinggi (15%-20 %) Prognosis Dubia bonam et

16

ih kecil

BAB III PRESENTASI KASUS A. IDENTITAS Nama No. CM Umur Agama Pekerjaan Pendidikan Alamat Masuk VK IGD Masuk Teratai B. ANAMNESA Autoanamnesa Tanggal 31 Oktober 2012 1. Keluhan utama 09.00 WIB 2. Keluhan Tambahan berlebihan. 3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien baru datang ke VK IGD RSMS dengan membawa surat rujukan RS Panti Nugroho yang menyatakan bahwa pasien didiagnosis Mola Hidatidosa. Berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien adalah pasien mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir sejak pukul 09.00 WIB (31-10-2012), perdarahan banyak, darah berwarna merah kecoklatan, tidak disertai nyeri perut. Pasien juga mengeluhkan Dada berdebar, sering pusing, keringat berlebihan. Pasien belum merasa kenceng-kenceng, belum ada pengeluaran air, gerakan janin masih aktif. Riwayat Obstetri :
17

: Ny. S : 78-20-32 : 29 tahun : Islam : Ibu Rumah Tangga : SD : Bogowanti Lor Rt.02/Rw.04, Borobudur, Magelang. : 31 Oktober 2012 / pukul 12.15 WIB : 31 Oktober 2012 / pukul 12.45 WIB

: Keluar darah dari jalan lahir sejak pukul : Dada berdebar, sering pusing, keringat

G2P1A0. Riwayat Persalinan pasien tersebut adalah An I : Perempuan/ 25 tahun/ Rumah Sakit/ Vakum Ekstraksi/ 3700gram. An II : Hamil ini. HPHT: 09-07-2012 HPL :16-04-2012. Usia kehamilan: 16 minggu 3 hari. Keadaan umum pasien baik dan tidak ada tanda-tanda gangguan hemodinamik. Tidak terdapat mual dan muntah, serta gangguan pada BAK dan BAB. Di VK IGD RSMS dilakukan pemeriksaan fisik secara general maupun lokal untuk mengetahui keadaan pasien. a. Riwayat Menstruasi Pasien mengalami menstruasi pertama saat berusia 13 tahun. Menstruasi terjadi 1 bulan sekali, selama 7 hari, ganti pembalut 2-3 kali per hari. b. Riwayat Menikah Pasien menikah 1x selama 4 tahun. c. Riwayat Obstetri Gravida 2 Para 1 Abortus 0.. d. Riwayat Persalinan Anak I : Perempuan/ 25 tahun/ Rumah Sakit/ Vakum Ekstraksi/ 3700gram. Anak II : Hamil ini. e. Riwayat ANC (Antenatal Care) Pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan. f. Riwayat KB Pasien pernah menggunakan KB suntik selama 3 bulan. g. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal 2. Riwayat penyakit kencing manis disangkal 3. Riwayat penyakit asma tidak disangkal 4. Riwayat alergi disangkal Pasien memiliki riwayat penyakit asma. h. Riwayat Penyakit Keluarga 1. 2. 3. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat penyakit asma disangkal

18

4.

Riwayat alergi disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Pemeriksaan Fisik Umum tanggal 31 Oktober 2012 Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign N : 88 x/menit Mata Thorax: Paru : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : dinding dada simetris, tidak ada : vocal fremitus apex : dextra = sinistra vocal fremitus basal : dextra = sinistra : sonor pada semua lapang paru : apex : dextra sinistra basal : dextra sinistra : SD vesikuler + : SD vesikuler + : SD vesikuler +, RBH : SD vesikuler +, RBH RBK parahiler -, Whz parahiler -. Jantung : Inspeksi Palpasi Perkusi : tidak ada retraksi dada : ictus cordis teraba di SIC 2 jari medial LMCS : kanan atas kiri atas kiri bawah Auskultasi : SIC II MSD : SIC II MSS : SIC V 2 jari medial LMCS ketinggalan gerak, sela iga tidak melebar : Baik : Compos mentis : R : 20 x/menit S : 36,7 C

TD : 120/80 mmHg

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

kanan bawah : SIC IV LPSD : S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

19

Extremitas Superior Inferior

: : Edema (-/-), akral hangat (+/+) : Edema (-/-), akral hangat (+/+)

2. Pemeriksaan Lokalis Regio Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi Inspeksi : Cembung gravid : Bising Usus (+) Normal : Timpani : TFU : 1 jari dibawah pusat, Nyeri tekan (-) balotement (+) : Rambut pubis tersebar merata Edema vulva tidak ada Benjolan tidak ada Varises tidak ada Fluor tidak ada Fluxus ada D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 31 Oktober 2012 Darah Lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC Hitung Jenis Eosinofil : 0,1 % (L) Normal: 2-4 % : 11,2 gr/dl (L) : 12.480/l (H) : 33 % (L) : 4,1 juta/l (L) : 364.000/l : 80,8 fL : 27,2 pg : 33,6 gr/dl Normal: 12-16 gr/dl Normal: 4.800-10.800/l Normal: 37%-47% Normal: 4,2-5,4 juta/l Normal: 150.000-450.000/l Normal: 79-99 fL Normal: 27-31 pg Normal: 33-37gr/dl

Regio Genitalia

20

Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit PT APTT Kimia Klinik SGOT SGPT Ureum Darah Kreatinin Darah Elektrolit Natrium Kalium Klorida Kalsium Sero Imunologi T3 T4 TSH E. DIAGNOSIS

: 0,1 % : 0.0 % (L) : 79,3 % (H) : 18,4 % (L) : 9,1 % (H) : 11,6 detik : 26,7 detik

Normal: 0-1 % Normal: 2-5 % Normal: 40-70% Normal: 25-40% Normal: 2-8 % Normal : 11,5-15,5 detik Normal : 25-35 detik

: 25 U/L : 39 U/L : 30,7 mg/dL : 1,16 mg/dL (H)

Normal : 15-37 U/L Normal : 30-65 U/L Normal : 14,98-38,52 mg/dL Normal : 0,60-1,00 mg/Dl

: 133 mmol/L (L) : 3,9 mmol/L : 99 mmol/L : 8,8 mg/dL

Normal : 136-145 mmol/L Normal : 3,5-5,1 mmol/L Normal : 98-107 mmol/L Normal : 8,4-10,2 mg/Dl

: 2,52 ug/mL (H) : > 24,66 ug/dL (H) : 0,006 uIU/mL (L)

Normal : 0,8-2,0 ug/mL Normal : 5,1-14,1 ug/Dl Normal : 0,270-4,20 uIU/Ml

Gravida 2, Para 1, Abortus 0, Usia 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tiroktosikosis. F. PENATALAKSANAAN IGD Sikap: Konservatif dan Observatif

21

1. Tirah baring 2. Cek DL, PT, APTT, Elektrolit, Kimia klinik, T3, T4, TSH Sikap: Pasien dirawat di Bangsal Teratai dan direncanakan curetase. 1. Konsul dokter Sp.OG 2. Apabila hasil T3, T4, TSH tidak normal konsul dokter Sp.PD G. PROGNOSIS Ad vitam Ad sanam Ad functionam : ad bonam : ad bonam : ad bonam

Tabel 3.2 Catatan Perkembangan Pasien di Teratai Tanggal 01-112012 Perawatan H+1 S Nyeri kepala, berdebar O KU: Baik/CM TD: 110/80mmHg RR: 22x/menit S: 36,5oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB
22

A Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 Minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis

P Pro curetase Konsul Sp.PD Konsul Sp.An

dada sering N: 88x/menit

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

cembung

(+),BAK (+), Flt 02-112012 Perawatan H+2 Nyeri kepala, gemetar (+) KU: Baik/CM TD: 110/80mmHg RR: 24x/menit S: 36,8oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (-),BAK (+), Flt 03-112012 Perawatan H+3 Nyeri kepala, gemetar (+) KU: Baik/CM TD: 120/80mmHg RR: 20x/menit S: 36,7oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 Minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis Cek ulang T3, T4, dan TSH Propiltiourasil (PTU) 3 x 100 mg cembung Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis Menunda Curetase sampai T3, T4, dan normal. Propiltiourasil (PTU) 100mg 3 x TSH

dada sering N: 112x/menit

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

dada sering N: 86x/menit

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

23

I: gravid A:

cembung BU (+)

normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (+),BAK (+), Flt 04-112012 Perawatan H+4 Nyeri kepala, gemetar (+) KU: Baik/CM TD: 120/80mmHg RR: 22x/menit S: 36,9oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB
24

Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 Minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis

Cek ulang T3, T4, dan TSH Propiltiourasil (PTU) 3 x 100 mg

dada sering N: 82x/menit

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

cembung

(+),BAK (+), Flt 05-112012 Perawatan H+5 Nyeri kepala, gemetar, leher kenceng (+) KU: Baik/CM TD: 120/80mmHg RR: 20x/menit S: 36,7oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (+),BAK (+), Flt (+) Px. Penunjang : T3 : 0,74 ug/mL (L) T4 : 15,93 ug/dL (H) TSH : < 0,005 06-11Nyeri uIU/mL KU: Baik/CM Gravida 2 Para Propiltiourasil cembung Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 Minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis Pro Curetase Menunda Curetase sampai T3, T4, dan normal. Konsul Sp.PD (PTU) 3 x 100 mg TSH

dada sering N: 80x/menit

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan Propiltiourasil

25

2012 Perawatan H+6

kepala, keringat berlebihan

TD: 100/60mmHg N: 82x/menit RR: 20x/menit S: 36,5oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (-),BAK (+), Flt (+) KU: Baik/CM TD: 110/80mmHg N: 84x/menit RR: 22x/menit S: 36,7oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU
26

1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis

(PTU) 3 x 100 mg

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

cembung

07-112012 Perawatan H+7

Nyeri kepala, keringat berlebihan

Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 Minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis Pro Curetase

Konsul Sp.An Propiltiourasil (PTU) 3 x 100 mg

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

cembung (+)

normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (+),BAK (+), Flt 08-112012 Perawatan H+8 Nyeri kepala, keringat berlebihan (+) KU: Baik/CM TD: 110/70mmHg N: 64x/menit RR: 22x/menit S: 36,7oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (-),BAK (+), Flt 09-11Tidak (+) ada KU: Baik/CM Para 1 Abortus Amoxicilin tab cembung Gravida 2 Para 1 Abortus 0 29 Tahun Hamil 16 Minggu 3 Hari dengan Mola Tirotoksikosis Pro Curetase Curetase IBS di

Thorak: Cor dan Hidatidosa dan

27

2012 Perawatan H+9

keluhan

TD: 110/80mmHg N: 88x/menit RR: 22x/menit S: 36,5oC Mata: CA-/-, SI -/Pulmo dbn Abdomen: I: gravid A: BU (+) normal Per: timpani Pal: TFU 1 jari dibawah pusat, balotemen (+) Genitalia externa: PPV (+), FA (-) Vegetatif : BAB (+),BAK (+), Flt (+) cembung

1 29 tahun post curetase pertama Atas Indikasi Mola Hidatidosa Tiroktosikosis

500 mg 3 x 1 Asam Mefenamat tab 500 mg 3 x 1

Thorak: Cor dan dengan

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 5 November 2012 Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW : 8,5 gr/dl (L) : 9.600/l : 25 % (L) : 3,1 juta/l (L) : 217.000/l : 81,6 fL : 27,4 pg : 33, 6 gr/dl : 13,2 gr/dl Normal: 12-16 gr/dl Normal: 4.800-10.800/l Normal: 37%-47% Normal: 4,2-5,4 juta/l Normal: 150.000- 450.000/l Normal: 79-99 fL Normal: 27-31 pg Normal: 33-37gr/dl Normal : 11,5 -14,5gr/dl

28

MPV Hitung Jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit PT APTT Sero Imunologi T3 T4 TSH

: 10,6 fL

Normal : 7,2 11,1 fL

: 0,5 % (L) : 0,1 % : 0 % (L) : 73,8 % (H) : 13,2 % (L) : 12,4 % (H) : 12,4 detik : 28,6 detik : 0,74 ug/mL (L) : 15,93 ug/dL (H) : < 0,005 uIU/mL

Normal: 2-4 % Normal: 0-1 % Normal: 2-5 % Normal: 40-70% Normal: 25-40% Normal: 2-8 % Normal : 11,5-15,5 detik Normal : 25-35 detik Normal : 0,8-2,0 ug/mL Normal : 5,1-14,1 ug/dL Normal : 0,270-4,20 uIU/mL

BAB IV PEMBAHASAN

29

A. Diagnosis Diagnosis awal pasien adalah Gravida 2, Para 1, Abortus 0, Usia 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa. Diagnosis tersebut didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Diagnosis tersebut menjadi Gravida 2, Para 1, Abortus 0, Usia 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tirotoksikosis setelah diketahui kadar hormon T3, T4 yang tinggi didalam darah. Diagnosis mola hidatidosa ditegakkan pada pasien karena terdapat perdarahan melalui vagina, gejala tanda kehamilan (amenorea, gravindex +), USG gambaran badai salju dengan diagnosis mola hidatidosa, dan uterus lebih besar dari usia kehamilan. Pada mola hidatidosa terdapat perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat. Merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi (Pereira, 2008 dan Sebire 2008). Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan abdomen untuk mengetahui perkiraan usia kehamilan berdasarkan tinggi fundus uteri (TFU). TFU pada pasien adalah 1 jari dibawah pusat, yang artinya menurut Rumus Bartholinen bahwa usia kehamilan pasien adalah 20 minggu sedangkan pada kenyataanya usia kehamilan pasien baru 16 minggu. Hal tersebut menegaskan bahwa uterus lebih besar dari usia kehamilan. Pada pasien tersebut juga terdapat gejala dan tanda tirotoksikosis i pemeriksaan penunjang kadar hormon T3-T4 juga tinggi, hal tersebut juga semakin mendukung diagnosis mola hidatidosa yang biasanya disertai hipertiroid. Diagnosis mola hidatidosa didukung melalui pemeriksaan USG. Pada pemeriksaan USG ditemukan gambaran badai salju (snow flake pattern). Gambaran tersebut sesuai dengan gambaran diagnosis mola hidatidosa. Pada pasien dilakukan tindakan curetase untuk mengambil jaringan mola yang ada di dalam uterus, tetapi sempat tertunda karena dalam beberapa hari kadar hormon T3 dan T4 pasien tinggi yang dikawatirkan akan terjadi krisis tiroid apabila tetap dilakukan tindakan curetase. Pasien dikonsulkan kepada dokter spesialis penyakit dalam dan spesialis anestesi untuk

30

tatalaksana lebih lanjut. Pada hari ke-8 pasien perawatan, pasien dilakukan tindakan curetase di ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS). Diagnosis akhir pada pasien terebut adalah Para 1 Abortus 1 29 Tahun Post Curetase Pertama Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis.

Ny. S/29 tahun VK IGD RSMS 31 Oktober 2012

31

Anamnesis: Perdarahan pada usia kehamilan 16 minggu. Perdarahan berwarna merah kecoklatan. Tidak ada nyeri perut.

Pemeriksaan Fisik Abdomen: I : Cembung gravid A : BU + Normal Pe : Timpani Pa : TFU 1 jari dibawah pusat cm, balotemen + Genitalia: Fluksus/PPV (+)

Pemeriksaan USG Gambaran badai salju (snow flake pattern) dengan diagnosis mola hidatidosa

Pemeriksaan Sero Imunologi terdapat peningkatan kadar Hormon T3 dan T4

Diagnosis Awal Gravida 2 Para 1 Abortus 0, 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tirotoksikosis

Diagnosis pro curetase : Gravida 2 Para 1 Abortus 0, 29 Tahun, Hamil 16 Minggu 3 Hari, dengan Mola Hidatidosa dan Tirotoksikosis Pro Curetase Diagnosis post curetase : Para 1 Abortus 1, 29 Tahun, Post Curetase Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis.

Diagnosis Akhir Para 1 Abortus 1, 29 Tahun, Post Curetase Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis. Gambar 4.1 Alur Penegakkan Diagnosis

32

B. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada kemilan mola terdiri dari dua fase yaitu evakuasi mola segera dan tindak lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan keganasan. Pada pasien ini mola harus dikeluarkan seluruhnya/ dievakuasi dari dalam rahim yang biasanya dilakukan melalui tindakan dilatasi dan kuretase atau lebih dikenal sebagai kuret (Syafii et al., 2006). Sebagai alternatif dapat digunakan oksitosin atau prostaglandin untuk membuat rahim berkontraksi dan mengeluarkan isinyaC (Ehlen et al., 2002). Setelah itu tindakan kuretase tetap harus dilakukan untuk memastikan rahim sudah bersih, namun sebelumnya harus diperbaiki terlebih keadaan umum pasien yakni kondisi anemia sedang dengan sedang Hb 8,5 gr/dl. Tindakan pengambilan jaringan mola tetap harus dilakukan untuk pemeriksaan histopatologi untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan kea rah keganasan (Cunningham et al., 2006). Pada pasien ini diberikan Propiltiourasil (PTU), karena pada pasien ini disertai dengan tirotoksikosis. Obat tersebut memiliki efek menghambat reaksi autoimun pada proses pembentukan hormon tiroid dan mencegah sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon T3 dan T4. Pemberian obat Propiltiourasil (PTU) pada wanita hamil dalam dosis 3 x 50100 mg per hari. Penelitian yang dilakukan oleh Adam (2011) menyatakan bahwa pada 13 wanita hamil dengan hipertiroid selama kehamilan tidak menemukan kelainan pada bayi yang dilahirkan setelah pemberian Propiltiourasil (PTU) dalam dosis 3 x 50-100 mg per hari (Djokomuljanto, 2006). Apabila Propiltiourasil (PTU) diberikan pada dosis yang melebihi 3 x 50-100 mg per hari akan memiliki efek samping yaitu kerusakan pada organ ginjal, organ hati (Olson, 2003 dan Gunawan GS, 2007). Pada pasien ini diberikan antibiotik yaitu amoxicilin, pemberian amoxicillin pasca kuretase adalah sebagai profilaksis terjadinya infeksi pasca kuretase. Penggunaan antibiotika untuk profilaksis diperlukan apabila sebelum dan selama kuretase sudah terjadi gejala-gejala infeksi. Gejala-gejala tersebut

33

meliputi kenaikan suhu, biasanya disertai leukositosis, takikardia, dan denyut jantung janin yang tinggi. Pada pasien terdapat leukositosis, sehingga profilaksis diperlukan untuk pasien ini (Norwitz, 2007). Pemberian sulfas ferosus pasca kuretase adalah untuk mengatasi anemia yang terjadi pada pasien. Pada pemeriksaan laboratorium pasien didapatkan penurunan Hb yang menyebabkan anemia sedang. Pasien belum membutuhkan transfusi darah, oleh karena itu diberikan sulfas ferosus untuk mengatasi anemia sedang tersebut (Setiawan dan Baraba, 2008). C. Prognosis Mortalitas akibat mola saat ini dapat berkurang dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat. Pada kehamilan mola tahap lanjut, wanita yang bersangkutan biasanya anemis dan mengalami perdarahan akut. Apabila kehamilan mola disertai dengan infeksi dan sepsis maka dapat menyebabkan morbiditas yang serius. Pada kehamilan mola sebesar 20% dari mola sempurna akan berkembang menjadi tumor trofoblastik gestasional (Cunningham et al., 2006 dan Aguilera et al., 2012).

34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pada kasus ini diagnosis akhir pasien adalah Para 1 Abortus 1, 29 tahun Post Curetase Pertama, Atas Indikasi Mola Hidatidosa dengan Tiroktosikosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dan mencegah komplikasi maka segera dilakukan evakuasi jaringan mola dengan kuretase dan pengambilan jaringan untuk pemeriksaan Histopatologis setelah kadar hormon T3, T4 dan TSH normal. Pasien menjalani perawatan di RSMS selama 9 hari dan pulang dengan keadaan yang membaik. B. Saran Pengenalan secara cepat sumber perdarahan dan terapi yang tepat dapat menyelamatkan ibu pada kehamilan dengan Mola Hidatidosa. Evakuasi jaringan mola dan pemeriksaan histopatologis dapat dilakukan untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan menjadi keganasan.

35

DAFTAR PUSTAKA Adam MJ. 2011. Penatalaksanaan Penderita Hipertiroid Dengan Kehamilan dan Laktasi. Artikel Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Divisi EndokrinMetabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar. Aguilera M, Rauk P, Ghebre R, Ramin K. 2012. Complete HydatidiformMole Presenting as a Placenta Accreta in a Twin Pregnancy with a Coexisting Normal Fetus: Case Report. Case Reports in Obstetrics and Gynecology. (2012) : 1 4. Bashabsheh AM. 2012. Clinico Pathological Study of Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus University. European Journal of Scientific Research. Pathological Study of Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus University. (55) 4 : 517 520. Berkowitz, R. S., Goldstein, D. P. 2009. Molar Pregnancy. N Engl J Med 2009; 360:1639-164. Cunningham GF, Gant FN, Leveno JK, Gilstrap CL, Hauth JC, Wenestrom DK. 2006. Mola Hidatidosa (Kehamilan Mola). Obstetri Williams Volume 2. Edisi 21. Jakarta : EGC, 931-938 hal. Djokomuljanto. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : FK UI, 1933-1944 hal. Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002. Gestational. Errol Norwitz, John Schorge. 2007. Infeksi Dalam Kehamilan. Obstetrics and Gynaecology at a Glance. Second Edition. Erlangga Medical Series. EMS : 84-87 hal.

36

Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441-442 hal. Gangopadhyay, M, Arghya Bandyopadhyay, Sailes Ray , et al.. 2011. Ruptured Complete Hydatidiform Mole in the Fallopian Tube. Iranian Journal of Pathology 6 (4), 216 218. Garrett, Leslie, Elizabeth Garner, Colleen Feltmate, et al.. 2008. Subsequent pregnancy outcomes in patients with molar pregnancy and persistent gestational trophoblastic neoplasia. Obstetrical & Gynecological Survey: November 2008 - Volume 63 - Issue 11 - pp 704-705. Kanter, David, Marshall D. L, Eileen Wang, et al. 2010 Kanter, Marshall, Eileen, et al., 2010. Angiogenic dysfunction in molar pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2010 February; 202(2): 184.E1184.E5. Lurain, J. R. 2010. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management of hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol:531-539. Martaadisoebrata, D. 2005. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional. Jakarta: EGC. Matsui H, Suzuka K, Itsuka Y, Seki K, Sekiya S. 2000. Combination chemotherapy with methotrexate, etoposide, and actinomycin-D for high risk gestational trophoblastic tumors. Gynecol Oncol 2000, 78; 28-31 . Murphy MK, Ronnett MB. 2011. Diagnosis of Hydatidiform Moles: Morphology and Ancillary Techniques. The Johns Hopkins University School of Medicine. 1 25. Olson J. 2003. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi. Jakarta : Mc Graw Hill Education, 190-192 hal. Pereira CDG. 2008. Mola Hidatidosa. Penelitian. SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD.Dr. Muhammad Saleh Probolinggo. Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

37

Sebire NJ, Seckl JM. 2008. Gestational Trophoblastic Disease : Current Management of Hydatidiform Mole. Clinical Review Biomedical Journal. (337) : 453-458. Setiawan D. dan Baraba H.A. 2008. Pola Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien Bedah Obstetri di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga Tahun 2007. Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. 2006. Kadar B-HCG Penderita Mola Hidatidosa Sebelum dan Sesudah Kuretase. Penelitian. (13) : 1-3. Trophoblastic Disease. SGOC Clinical Practice Guidelines. (114) : 1-6. Vorvick, L. J. 2010. Hydatidiform Mole. Available Accessed at on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001907/. 22nd November 2012. Zhou, Xi, Yongli Chen, Yongmei Li, et al.. 2012. Partial hydatidiform mole progression into invasive mole with lung metastasis following in vitro fertilization. Oncology Letters Vol. 3 Num. 3: 659-661.

38

Anda mungkin juga menyukai