Anda di halaman 1dari 5

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Ketika seorang dokter berhadapan dengan suatu penyakit yang diderita pasien, akan timbul keputusan klinis untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pasien. Berbagai pendekatan yang diambil dalam pengambilan keputusan klinis tersebut sangat dipengaruhi oleh cara pandang atau paradigma yang dipakai oleh dokter tersebut. Paradigma lama yang telah dipakai bertahun-tahun dalam penanganan penderita adalah menggunakan intuisi, pengalaman klinis yang tidak sistematis, ataupun pendekatan patofisiologi yang berasal dari penelitian hewan percobaan. Paradigma yang baru, yang mulai diperkenalkan sejak awal tahun 90-an adalah evidence based medicine (EBM). Paradigma ini lebih menekankan pendekatan dalam pengambilan keputusan klinis berdasarkan bukti-bukti dan informasi yang berasal dari penelitian klinis yang sistematis (Abdul Gofir dan Rusdi Lamsudin, 2001). Dalam bab Budaya Ilmiah skenario 2, adanya perbedaan perlakuan: dokter A yang tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap seorang ibu rumah tangga, sedangkan dokter B yang menyarankan melakukan pemeriksaan laboratorium, menunjukkan bahwa adanya perbedaan paradigma tersebut. Dengan skenario tersebut, diharapkan adanya sikap kritis terhadap perbedaan paradigma tersebut, sekaligus menumbuhkan wawasan terhadap EBM. B. 1. 2. C. 1. 2. D. Rumusan Masalah Apa saja bukti-bukti yang diperlukan dalam diagnosis HIV AIDS? Apa itu EBM dan apa saja langkah-langkahnya? Tujuan Untuk mengetahui bukti-bukti yang diperlukan dalam diagnosis HIV AIDS. Untuk mengetahui tentang EBM dan langkah-langkahnya. Manfaat Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui pentingnya EBM dalam menegakkan diagnosis untuk membantu proses pengambilan keputusan klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, terapetik, maupun rehabilitatif yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

BAB II STUDI PUSTAKA A. Evidence Based Medicine (EBM) Menurut Sackett et.al. (1996), evidence based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya. B. Langkah-Langkah EBM Langkah-langkah untuk melakukan EBM menurut Uningmarlina (2007), adalah sebagai berikut: a. Pasien : mulailah dari pasien, bisa berupa: a. Masalah klinis apa yang dimiliki pasien kita. b. Pertanyaan yang dikemukakan oleh pasien kita sehubungan dengan perawatan penyakitnya. b. Pertanyaan : Masalah dari pasien seperti pada no.1, kemudian dibuat pertanyaan. c. Sumber : d. Evaluasi e. Pasien : Mulailah melakukan pencarian sumber jurnal melalui internet untuk menjawab pertanyan tersebut. : Evaluasi apakah jurnal yang kita peroleh cukup valid, penting dan bisa diaplikasikan. Aplikasikan temuan berdasarkan bukti ilmiah tersebut ke pasien dengan mempertimbangkan f. Evaluasi kepentingan atau kebutuhan pasien dan kemampuan klinis dokter. : Evaluasi hasil perawatan pasien tersebut. Dalam skenario ini, bukti-bukti yang kita perlukan dalam menegakkan diagnosis HIV/AIDS dapat kita peroleh dari CD, internet, maupun publikasi ilmiah riset-riset yang ada di jurnal-jurnal keilmuan terkait yang meliputi bukti faktor risiko suatu penyakit, bukti akurasi suatu tes diagnostik pengganti, bukti faktor prediktor suatu penyakit (Abdul Gofir dan Rusdi Lamsudin, 2001). Selain itu, diperlukan pula bukti dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam hal ini, pemeriksaan penunjang berupa bakteriologik, radiologik dan penunjang lain yaitu uji tuberkulin, kultur / biakan bakteri dan hitung limfosit T helper / CD4+ (Agus Suharto dan Syahril Mansyur, 2008).

BAB III PEMBAHASAN / DISKUSI Berdasarkan pengertian EBM menurut Sackett et.al., dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan praktik kedokteran, diperlukan bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence) yang mengandung arti bahwa bukti-bukti ilmiah tersebut harus berasal dari studi-studi yang dilakukan dengan metodologi yang sangat terpercaya (khususnya randomized controlled trial), yang dilakukan secara benar. Studi yang dimaksud juga harus menggunakan variabel-variabel penelitian yang dapat diukur dan dinilai secara obyektif (misalnya tekanan darah, kadar Hb, dan kadar kolesterol), di samping memanfaatkan metode-metode pengukuran yang dapat menghindari risiko "bias" dari penulis atau peneliti. Selain itu, diperlukan juga keahlian klinis (clinical expertise) yaitu kemampuan untuk secara cepat mengidentifikasi kondisi pasien dan memperkirakan diagnosis secara cepat dan tepat, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang menyertai serta memperkirakan kemungkinan manfaat dan risiko (risk and benefit) dari bentuk intervensi yang akan diberikan. Kemampuan klinik ini hendaknya juga disertai dengan pengenalan secara baik terhadap nilai-nilai yang dianut oleh pasien serta harapan-harapan yang tersirat dari pasien. Dalam skenario ini, dokter A hanya melakukan pemeriksaan apa adanya saja pada ibu rumah tangga tersebut, tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan langsung menyatakan bahwa kemungkinan ibu tersebut menderita AIDS. Padahal, keluhan utama ibu tersebut masih belum dapat digunakan untuk memastikan apakah ibu tersebut menderita AIDS atau hanya merupakan penyakit tuberkulosis biasa. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya medical error karena informasi dan data yang diperoleh dokter A kurang lengkap dan hanya mengandalkan clinical expertise saja. Sebaliknya, setelah dilakukan pemeriksaan awal, dokter B menyarankan ibu tersebut untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Terlihat bahwa dokter B telah lebih menguasai EBM karena telah dapat memadukan antara clinical expertise dengan bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence) yang mendorong dokter B untuk menyarankan ibu tersebut untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dokter A kurang berkompeten dalam melakukan pemeriksaan diagnosis dan kurang menerapkan langkah-langkah dalam EBM. Sedangkan dokter B lebih berkompeten dalam penerapan langkah-langkah EBM.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. 1. Kesimpulan Evidence based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. 2. 3. Dalam menentukan penyakit pasien, diperlukan bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya dan keahlian klinis. Langkah-langkah untuk melakukan EBM : a. Pasien (keluhan-keluhan pasien) b. Pertanyaan (merumuskan pertanyaan) c. Sumber (pencarian sumber) d. Evaluasi (evaluasi kevalidan jurnal) e. Pasien (mengaplikasikan temuan pada pasien) f. Evaluasi (evaluasi hasil perawatan) B. 1. 2. Saran Dalam melakukan diagnosis terhadap pasien, sebaiknya dokter menggunakan bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya dan keahlian klinis. Perlu dilakukannya pengembangan wawasan kedokteran yang up to date dalam melakukan EBM karena teknologi diagnostik dan terapetik selalu disempurnakan dari waktu ke waktu, sehingga bisa saja obat atau teknologi kesehatan yang sebelumnya diketahui terbaik di masanya dapat segera digantikan oleh obat atau teknologi kesehatan yang lebih efikasius dan aman.

DAFTAR PUSTAKA Gofir, Abdul dan Rusdi Lamsudin. 2001. Pendekatan Evidence Based Medicine Dalam Keputusan Klinis Penanganan Pasien Stroke. klinikneurologi.com. Iwan Dwiprahasto. 2008. Paradigma Baru Pendekatan Medik Berbasis Bukti (EvidenceBased Medicine) Penerapan Formularium Obat. www.dkk-bpp.com. Uningmarlina. 2007. Step-Step Melakukan EBM (Evidence Based Madicine) .

uningmarlina.wordpress.com. Suharto, Agus dan Syahril Mansyur. 2008. Simposium Fight to TB-HIV/AIDS. bbkpmska.org.

Anda mungkin juga menyukai