Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam makalah ini kelompok kami menulis kajian ilmiah tentang Difteri tonsil faring. Seperti yang kami ketahui bahwa difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring yang disebabkan Corynebacterium diphteriae. Yang sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.(1) Gejalanya seperti juga infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala Lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutup pseudomembran yang makin lama makin meluas.Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Pseudomembran melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.(1) Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membran pada laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.(1) Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan penderita datang berobat ke dokter.

I.2 Tujuan I.2.1 Tujuan khusus Makalah ini kami buat dengan tujuan menyelesaikan tugas kami sebagai seorang dokter muda di SMF THT Rumah Sakit Daerah Sidoarjo.

I.2.2 Tujuan Umum Makalah ini kami buat dengan tujuan memberikan informasi dan wacana lebih bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai difteri tonsil faring.

I.3 Batasan Masalah Dalam pembuatan referat ini kami membuat batasan batasan masalah agar isi,tujuan dan sasaran dapat tercapai. Antara lain : 1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi Tenggorok 2. Untuk mengetahui definisi penyakit difteri tonsil faring 3. Untuk dapat mengetahui etiologi penyakit difteri tonsil faring 4. Agar mahasiswa dapat mengerti patologis difteri tonsil faring 5. Untuk dapat mengetahui cara penegakan diagnosa difteri tonsil faring 6. Untuk dapat mengtahui komplikasi difteri tonsil faring 7. Untuk mengetahui penanganan,pengobatan,dan pencegahan dari difteri tonsil faring

I.4 Sasaran Referat kami memiliki sasaran, antara lain: 1. Kelompok dokter muda SMF THT Rumah Sakit Daerah Sidoarjo 2. Tenaga medis dan paramedis Rumah Sakit Daerah Sidoarjo

I.5 Metode Penulisan Dalam penyusunan referat ini kami menggunakan metode studi literatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Tenggorok II.1.1 Rongga mulut Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasialis. Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis menghadap gigi molar kedua atas. (1)

II.1.2 Faring Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah..Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). (1) Berdasarkan letak, faring dibagi atas: 1. Nasofaring Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. (1)

2. Orofaring Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. (1) a. Dinding posterior faring Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.

b. Fosa tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. c. Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketigatiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.

3. Laringofaring (hipofaring) Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. (1)

II.2 Fisiologi Fungsi faring Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah : a. Penelanan Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. b. Proses berbicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.

II.3 Definisi Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae.Yang sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian ats dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. ( 2 )

II.4 Etiologi Penyebab difteri tonsil faring ialah Corynebacterium diphteriae; kuman yang termasuk Gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60 derajat celcius selama 10 menit,tahan sampai beberapa minggu dalam es,air,susu dan lendir yang telah mengering. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi ( 3) Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis,mitis,dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.Basil dapat membentuk: 1) Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabuabuan yang meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin,leukosit, jaringan nekrotik dan basil. 2) Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute: Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut. Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi seperti gelas yang belum dicuci. Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan.

Selain itu, juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang non immunized selama enam minggu bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun. (2) Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.(2)

II.5 Patogenesis Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.(4)

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif. (4) Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses : NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP- ribosil-EF2 yang inaktif . Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan selsel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. (4)

Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.(4) Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah

toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.(4)

II.6 Manifestasi Klinis Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. (4) Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorok yang ringan, panas yang tidak tinggi.Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi pseudomembran.Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan

10

perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan. (4)

Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan perubahan ini akn lebih cepat bila diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinan difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang edema disertai nekrose. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck. (4) Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu : a. Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan b. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi pseudomembran yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring,trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. c. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminoria.

11

II. 7 Diagnosis Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.(5)

II.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding Difteri Tonsil Faring antara lain : (6) 1. Tonsilitis membranosa akuta. 2. Mononucleosis infectiosa. 3. Tonsilitis membranosa non bacterial. 4. Tonsillitis herpetika primer. 5. Moniliasis. 6. Blood dyscrasia. 7. Pasca tonsilektomi.

II.9 Pengobatan Dan Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. (7) A. Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan

12

serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori.Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.(7)

B. Pengobatan Khusus Jika difteri dicurigai pada pasien,pengobatan yang tepat harus dilakukan bahkan sebelum hasil lab konfirmasi yang tersedia.(8) 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. (9)

Tabel dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian Difteria Hidung 20.000 Intramuscular Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

13

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas.(9)

2. Kortikosteroid Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. (10) Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari

C. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible.Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. (10)

14

D. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi..(11) Tabel pengobatan Terhadap Kontak Difteria Biakan (-) Uji Schick (-) Tindakan Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari (+) (-) oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu (+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi

(-)

(+)

E. Pencegahan Isolasi Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat..(12) Desinfeksi serentak Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.(12)

15

Karantina Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mereka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier. (12)

Manajemen Kontak Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk

diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier.Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun.(12) Imunisasi Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas.(13) Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama.(13)

16

Pencarian dan mengobati karier difteria. Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu.(13) Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam..(13)

II.10 Komplikasi Saluran nafas C.Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan. (8 ) Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis. (14) Kardivaskuler Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian.(15) Urogenital Dapat terjadi nefritis. (14)

17

Susunan saraf Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Paru-paru Menyebabkan pneumonia
.(16)
(14 )

II.11 Prognosis Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. (17) Prognosa tergantung pada : 1. Usia penderita makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difterik. 2. Waktu pengobatan antitoksin sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. 3. Tipe klinis difteriMortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%). 4. Keadaan umum penderita.Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita.

18

BAB III PENUTUP

III.1 Kesimpulan Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae.Yang sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadangkadang masih ada yang terkena penyakit ini. Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian faring yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan bewarna keabu-abuan. Jika membran ini dilepaskan secara paksa maka lapsan lender dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.

18

19

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini III.2 Saran Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilakukan uji schick. Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan

menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2 kali berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak langsung dengan anak (APD).

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997. 2. Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445. 3. Long SL. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in : Behrman RE, Kliegman RM, Jelson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed Philadelphia London New York St. Louis Sydney Toronto : WB Saunders, 2000; 817-20 4. Rampengan TH dr Spa (k). 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri,1-18 5. Snell. Buku AjarIlmu Anatomi Klinik. JilidI. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2001. 6. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk.. Buku ajar ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 6. Balai Penerbit FKUI : 2004 7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Edisi 11.Percetakan infomedika : 2007 .Jakarta.550-556 8. http://health.kompas.com/read/2011/10/10/17055527/Mengenal.Difteri.Lebih .Dekat 9. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm 10. http://www. pediatric.com 11. http://www.blogdokter.com/diphtheria/index.htm 12. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm 13. http://www.medicastore.com 14. http://www.medicinenet.com/diphtheria/index.htm 15. http://www.penyakitmenular.info/userfiles/DIFTERIA.pdf 16. http://www.scribd.com/doc/61345126/Konsep-Dasar-Penyakit-Difteri

21

Anda mungkin juga menyukai