Anda di halaman 1dari 29

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI Analisis pemikiran HAR.

Tilaar
Oleh: Muhammad Isnaini Email: isnain_m@yahoo.co.id

Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita. Den g an d iter ap k an n y a k o n sep d an str ateg i p en d id ik an multikultural, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan. Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Tantangan Global dan Pluralisme.

I. Pendahuluan Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam kepercayaan (Diknas: 2004). Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi,

nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003. Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada siswa seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender, kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang. Dalam penerapan strategi dan konsep pendidikan multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan menigkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluraklis dan demokratis. Begitu juga seorang guru tidak hanya menguasai materi secra professional tetapi juga harus mamapu meneanamkan nilai-nbilai inti dari pendidikan multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan pluralisme. Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan di era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang tranformasi budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural, bukan monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta memebongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana

yang masih kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan hingga saat ini. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif, pebendekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asai manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh membeda-beda etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan multikultural hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahusn. Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila kita tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran, hingga metode pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar mengajar (PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad ke-20 sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri akan pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu di implementasikan (Tilaar:2004: 24). Pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Groski (1990), pendidikan multicultural dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi diri, tranformasi sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat. Dengan menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta

mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan menghargai pluralisme, demokrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi penerus menjadi Generasi Multikultural yang menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang. II. Konsep Pendidikan Multikultural A. Pengertian pendidikan Multikultural Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras. (Tilaar: 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut: Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian

besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa. Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula. Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence). Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. (Tilaar: 2004: 67). Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa. (Ainurrafiq: 2003:24). Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme.(Yaqin: 2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya. (Jamaluddin: 2005: 67). James Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Menurut Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: 1. Tujuanya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban). 2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural). 3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis). 4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya. Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan

kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar: 2005: 88). B. Kondisi Masyarakat Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup. Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya masyarakat industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang pertama.(Suyanto: 2000). Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa. Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahanperubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat penuh resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh Suwignyo).

Menurut Ulrich Beck mengemukakan Lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: globalisasi, individualisme, revolusi gender, pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997. (Suparlan: 2004). Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang dikenal didalam masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8). C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan Telah kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam masyarakat barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan telah melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan kekuasaan Gereja yang koserfatif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negaranegara maju dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negara-

negara tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny: 2005:234). Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan politik etis yang memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya. Rakyat diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan benih-benih nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan kolonialisme itu sendiri. Kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi pencerahan kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan bersama-sama dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam pembukaan undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan bangsa antara lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. (Firdaus:2005:129). Di dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme, melainkan peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelaskelas didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hakhak yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan. (Zubaedi:2005:10). Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah perkembangan masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan ialah dengan mengedepankan pendidikan. Malahan PBB menganggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang

besar bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi pembunuh pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan menghidupi masyarakat industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks inilah dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam masyarakat industri masa depan.

III. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik (reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.(Choerul: 2006: 76). Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri. Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara. Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini

karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18 Januari 2007). Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16). Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.(BSNP: 2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang. Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.

Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi: Pertama, Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama. Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara. Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak. Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.

Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26). Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa pemikiran besar dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya pribumi bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis course bagi visi pendidikan penguasa. Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan pembaruan. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20). Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha politik kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini: 2004:21). A. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta

praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air. Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan (Benni:2006) : 1. Right to Culture dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung. 2. Kebudayaan indonesia yang menjadi. Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia

yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di indonesia. 3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif. Kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujudkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budayabudaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa indonesia. 4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial. Suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya. 5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of

hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks. 6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003). B. Pendidikan Nasional Pendidikan merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia indonesia yang benar-benar berkualitas. Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan NKRI bidang pendidikan. Tujuan negara dalam pendidikan ini rumusannya telah benar-benar selaras dengan konsepsi kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang dewasa ini sedang laris manis dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan sebasgai wacana hangat dalam dun ia ilmu pengetahuan. Mengingat rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis, maka rumusan tujuan negara dalam bidang pendidikan itu barangkali dapat dikategorikan sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sesbagai penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari empat tujuan negara yang harus diusahakan atau diimplementasikan secara operasional dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan. Jika mencerdaskan kehidupan bangsa disepakati sebagai konsensus nasional sebagai tujuan pendidikan nasinal jangka panjang, secara operasional tujuan itu harus dijabarkan dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional

yang akan disusun oleh pihak eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh para penyelenggara negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan, program, dan kegiatan. Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang siapa yang berhak merumuskan tujuan pendidikan menjadi agak jelas. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merumuskan filsafat pendidikan nasional, sedangkan tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak pelaksana (eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan Perwakian Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional. (Imam: 2007). Dengan demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan agenda esensial pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21 yang dimana kita kenal dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa depan anak muda penerus anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup dimasa depan mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai unggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin global. Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis, yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari program itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro cukup menjanjikan penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki kompetitif. Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan, kita harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus menerus. Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan berhasil menyentuh dan memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan aspek relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi, kita juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan jenjang pendidikan. Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga

dalam penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat menghadapi tantangan global yang menuntut pendidikan dapat berperan menyejahterakan umat manusia. Sistem pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Maka menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalah untuk: 1. 2. 3. 4. mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia, meningkatkan martabat manusia Indonesia, mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia oleh karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri, meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka mencapai tujuan nasional. (UUSPN: 2003). Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tingggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem kehidupan nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari pembangunan nasional. IV. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas Di Indonesia Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian

dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan. Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja. Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama. (Suharto: 2006:276). Saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif secara dini, untuk itu menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA. Menurut Zakiyuddin Baidhawy (1999:123), menyatakan bahwa paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam

berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin, kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar belakang. Menurut Franz Magnis Suseno, didalam masa kritis yang dilewati oleh bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat. ( Choerul: 2005). Menurut Azumardi azra pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga terjadi peningkatan fenomena atau gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik. (Ali: 2002:3)

A. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. (Zaenal: 2005). Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya gambar-gambarfornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain

berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal. Adapun dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2). Menurut Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan. (Sumartana: 2001:5). Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubahaperubahan yang boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya memenuhi target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras, agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggung pada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (Tilaar: 2003:6). Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas.

Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai investasi jangka panjang. Menurut Nurkolis pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai dari yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang. (Malik: 1999:34). B. UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural Pameo masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang mengatakan, ganti mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya mengandung kebenaran. Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya adalah berubahnya orientasi, alokasi anggaran, kurikulum baik mengenai volume kurikulum muatan nasional (kurnas) dan kurikulum muatan lokal (kurlok), atau mengenai prosentase jam mata pelajaran. Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dan atau mengenai penekanan-penekanan khusus orientasi kurikulum yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen Berbasis Sekolah (Scool Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School Based Competence), dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan aturan-aturan lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen, karakteristik kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang

dikeluarkan tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan sistem pendidikan yang lebih baik. Lebih lanjut Suyanto (2002), menyatakan UU Sisdiknas 2003, misalnya, adalah salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari proses pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat pendidikan terbelah antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup banyak, tidak saja dipusat (Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia seperti Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Nusa Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolahsekolah berdemontrasi berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha memperjuangkan aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai dengan visi, misi, dan tradisi yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan mayarakat khususnya islam dan kristen tampil kepermukaan untuk menuarakan apa yang seharusnya dikukuhkan dalam RUU Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka akan tersibak dua kubu yang kontroversial demikian, mayoritas penganut agama Islam cenderung menyetujui dan sedangkan penganut agama Kristen cenderung tidak setuju.

V. Penutup Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan yang dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita dapat saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri. Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya, keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat mengakibatkan adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok terhadap kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak adilan, dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi

hiangga hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengesampingan hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya lokal,,kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari problematika kultural yang ada. Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami konsep dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi, humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan para siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung jawab agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untu k menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme. Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang demokratis, humanis, pluralis dan adil. Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia yang didirikan diatas puingpuing tatanan kehidupan orde baru yang bercorak masyarakat majemuk (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan. Oleh karena itu gambaran secara umum tentang konsep pendidikan dan

konsep multikulturalisme di Indonesia yang diantaranya adalah: 1. Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar: menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai budaya. 2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas sosial dan budaya di era globalisasi. 3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. 4. menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untukl membangun Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh orde baru. Inti dasri cita-cita tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkanya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga madsyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.

BIBLIOGRAFI Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Arifin, Thoha, Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005. Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004. Cahyono, ImamMandeknya Pemikiran Pendidikan, Kompas, 18 Januari 2007. Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003. , Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006. Fadjar, Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. , Platform Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah Saadah, 2005. Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002. Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004. Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Setiawan, Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006. Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001. Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006. Standar nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan asional, Surabaya: Media Centre, 2005. Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.

Susetyo, Benny. Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005. Suwignyo, Agus.Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi, Kompas, 15 Februari 2007. Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000. Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004. , Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. , Pendidikan, Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Yunus Firdaus, M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005. Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Anda mungkin juga menyukai