Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Paradigma Baru Perguruan Tinggi Berkualitas

OLEH: KELOMPOK 11 EDY PURWANDONO HM HARDI H RAHMADI SUDADI Dibuat sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Semester

Dosen : Prof. Dr. Makrina Tindangen, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan pemerintah bertugas menyusun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh negara. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan usaha -usaha perbaikan dalam pencapaian pendidikan yang ada, untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan untuk penyesuaian terhadap sistem pendidikan nasional sejalan dengan penerapan desentralisasi. Mutu pendidikan merupakan tuntutan, baik dari masyarakat umum, mahasiswa dan orang tua termasuk juga oleh pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi secara nasional. Mutu pendidikan bertujuan melindungi masyarakat agar mereka mendapatkan hasil pendidikan sesuai dengan yang dijanjikan oleh Penyelenggara Pendidikan Tinggi.
1.2 Perumusan Masalah

Dari judul diatas, maka dalam makalah ini kami membatasi perumusan masalah tentang beberapa strategi atau paradigma baru perguruan tinggi berkualitas antara lain: kualitas dosen, kuantitas dan kualitas dosen tetap, kuantitas dan kualitas proses pembelajaran, kualitas perpustakaan, kualitas penyajian materi kuliah, proses penilaian prestasi belajar, peran alumni, sarana dan prasarana pendidikan.

BAB II PEMBAHASAN

Paradigma baru perguruan tinggi berkualitas Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual. Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin ditahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik). Alasan perlunya perguruan tinggi berkualitas. Ketika trend universitas berkelas dunia muncul, keinginan untuk menjadi bagian terbaik dalam dunia pendidikan dipacu oleh program pemerintah yang berupaya mendorong minimal 25 Perguruan Tinggi masuk dalam deretan Universitas Bertaraf Internasional. Kemudian kita mulai mengenal beberapa metode pemeringkatan yang saat ini masih sering dijadikan acuan yakni Academic Ranking of World Universities (ARWU) dari Shanghai Jia Tong University, Times Higher Education Supplement (THES) QS World Univeristies Rankings (THES=QS), Webometrics Ranking of World Universities (WRWU), dan Performance Ranking of Scientific Papers for World Universities (SPWU) dari National Taiwn University. A. Kualitas dosen Kualitas dosen dosen di Indonesia dinilai masih jauh di bawah standar. Bahkan,kualitasnya disejajarkan dengan guru SD. Penilaian itu disampaikan pakar pendidikan dan guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Dr HAR Tilaar. Menurut dia, dalam Undang- Undang (UU) 14/2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa para pendidik jenjang

pendidikan dasar dan menengah harus memiliki pendidikan minimal sarjana (S1). Sementara untuk pendidikdijenjang pendidikanakademis S-1 sekurang-kurangnya bergelar magister (S-2). Begitu pun bagi program pascasarjana, pengajarnya harus bergelar doktor (S-3) dan profesor, ujar Tilaar di Jakarta kemarin. Namun, yang terjadi di Indonesia justru pengajar di perguruan tinggi hanya memiliki gelar sarjana saja. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pemerintah dan pengelola perguruan tinggi telah melanggar UU. Pendapat ini didukung survei Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) pada Desember 2007 Februari 2008. Dalam surveinya, APTISI menemukan bahwa 67% dosen hanya lulusan sarjana dengan kompetensi mengajar terbatas. Ketua APTISI Suharyadi mengatakan, kualitas dosen memang jauh di bawah standar. Pada 2009 nanti, ketika anggaran pendidikan sudah 20%,kita ingin ada perhatian lebih. Pemerintah harus bertanggung jawab dan konsisten dalam menjalankan UU Guru dan Dosen,tandasnya. Diketahui sebelumnya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyatakan lebih dari separuh dosen yang ada di Indonesia hanya memiliki pendidikan setingkat S-1.Padahal, standar untuk menjadi pengajar di perguruan tinggi harus memiliki pendidikan setingkat S-2. Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas Muchlas Samani mengaku, 60.000 dari 120.000 atau 50,65% dosen tidak memenuhi syarat pendidikan minimal pengajar universitas.

Sementara itu,Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof Dr Soedijarto meminta pemerintah menetapkan regulasi dan ketentuan tegas agar perguruan tinggi dapat mensyaratkan pendidikan S-2 bagi pengajarnya. Pasal 46 ayat 1 sampai 3, yang berbunyi:

(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.

(2)

Dosen

memiliki

kualifikasi

akademik

minimum:

a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana. (3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen. PP No 19 Tahun 2005 tentang standard nasional pendidikan, misalnya pasal 31 yang berbunyi: (1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum: a. lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma; b. lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan

c. lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3). Keberadaan UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19 Tahun 2005 yang mengatur tentang tenaga pendidik sebenarnya dapat dijadikan sebagai acuan standard qualifikasi kualitas dosen di Indonesia. Namun, berjalannya aturan ini harus diimbangi dengan kesiapan Perguruan Tinggi. Dengan diakuinya seorang tenaga pendidik, baik secara tertulis maupun secara kualitas, maka dapat menjadi bargaining position bagi Indonesia di bidang pendidikan.

B. Kuantitas dan kualitas dosen tetap

Mengacu pada pandangan Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, perguruan tingggi terbaik selayaknya memberi mahasiwanya tiga syarat. Pertama, akses informasi-informasi akdemis (academic) yang penuh. Artinya, mahasiswa sebagai kaum muda, harus mendapatkan pengetahuan akademis yang

komprehensif. Tidak berat sebelah, tapi multidimensi, multiperspektif. Mahasiwa harus mendapatkan akses keilmuan yang menyeluruh. Kedua, mahasiwa selayaknya mendapatkan akses jaringan (network) yang seluasluasnya. Mahasiswa harus dikenalkan oleh dunia luar yang riil. Hal ini tentu sangat penting karena dengan network, mudahlah terbentuknya peluang-peluang baru dalam34 mengembangkan potensi.

Ketiga, mahasiswa harus disilakan untuk mencicipi masa depan (taste the future). Kaum muda itu, yang ditawarkan kepada bangsa ini adalah masa d epan. Maka, gambaran-gambaran masa depan harus bisa didapatkan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi terbaik seharusnya menanamkan mindset optimisme pada mahsiwanya. Optimisme inilah yang akan membangun kesadaran kolektif kaum muda untuk terus membangun bangsa. Dengan begitu, jelas sudah, bagaimana perguruan tinggi terbaik itu, sebuah perguruan tinggi idaman para kaum muda negeri ini. Semua perguruan tinggi bisa melakukannya, baik negeri maupun swasta. Maka, masalah saat ini bukan lagi mana yang harus dipilih antara negeri dan swasta, tetapi apa mimpi masa depan yang ingin diraih oleh kaum muda bangsa ini. Perguruan tinggi harus dipahami sebagai jalan menuju ke mimpi itu. Tujuan hidup itu masa depan. Perguruan tinggi adalah jalan mencapai ke sana. Dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bisa memberi jawaban bahwa selama ini jaminan akan kualitas atau profesioanlisme dalam dunia pendidikan di negara ini memang masih diragukan. UU No. 14 tahun 2005 akan menjadi dasar bagi penilaian profesi dosen baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. UU ini mengatur mengenai kompetensi seorang dosen, kualifikasi akademik sampai dengan sertifikasi sebagai pendidik.

Sebut saja beberapa pasal yang sangat ketat mengatur standard minimum kualifikasi dosen sebagai tenaga pendidik untuk dapat mengajar atau layak disebut tenaga pendidik, misalnya pasal 46 ayat 1 sampai 3, yang berbunyi: (1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. (2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:

a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana. (3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.

Aturan mengenai tenaga pendidik juga tertuang dalam PP No 19 Tahun 2005 tentang standard nasional pendidikan, misalnya pasal 31 yang berbunyi: (1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum: a. lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) untuk program diploma; b. lulusan program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan

c. lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3). Implementasi PP tersebut untuk saat ini masih belum maksimal di Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Swasta. Apalagi lulusan doktor saat ini masih terbatas karena biaya yang relatif tinggi. PP No. 19 Tahun 2005, bahwa kompetensi yang harus dimiliki mencakup kedalam 4 ranah kompetensi yaitu : 1. Kompetensi Pedagogik ; Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancanangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi Kepribadian Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berahlak mulia. 3. Kompetensi Profesional Yang dimaksud dengan kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. 4. Kompetensi Sosial

Yang dimaksud dengan kompetensi social adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan

peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

C. Kualitas dan Kuantitas proses Pembelajaran a. Cukupnya fasilitas fisik b. Cukupnya SDM c. Arah dan tujuan yang jelas telah dipahami oleh seluruh partisipan d. Relevansi mata kuliah dan isinya dengan arah dan tujuan e. Partisipasi mahasiswa secara aktif pada seluruh level f. Relevansi isi program dan award yang diberikan g. Objektifitas dalam penilaian h. Konsistensi antara teknik penilaian dengan tujuan kuliah i. j. Memanfaatkan umpan balik berdasarkan penilaian Membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Mizikaci (2006)

D. Kualitas Perpustakaan Perpustakaan adalah jantung setiap program pendidikan dan pengajaran. Nilai suatu lembaga pendidikan, perguruan tinggi ataupun lembaga riset dan ilmu pengetahuan itu dapat diukur kualitasnya antara lain pada kelengkapan dan kesempurnaan jasa yang dapat diberikan oleh perpustakaannya. Kualitas jasa perpustakaan terhadap para penggunanya merupakan suatu hal yang sangat penting yang pada akhirnya akan mampu memberikan kepuasan kepada penggunanya sehingga diharapkan fungsi dan tujuan perpustakaan tersebut dapat tercapai. Metoda yang digunakan untuk mengukur kualitas perpustakaan adalah LibQual. Pada metode LibQual, nilai kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan perpustakaan dapat diukur berdasarkan dimensi Library as Place, Information Control, Affect of Service. Dengan metoda indeks PGCV kita dapat mengetahui variabel-variabel yang harus diperhatikan untuk ditingkatkan berdasarkan nilai potensial kepuasan konsumen. Dengan metode Pugh hasil analisa dari indeks PGCV akan dijadikan sebagai alternatif- alternatif perbaikan

layanan sehingga akan dihasilkan alternatif perbaikan layanan terbaik yang akan diimplementasikan pada perpustakaan tersebut. Alat untuk mengukur kepuasan pemakai Banyak pakar menentukan karakter kualitas organisasi perpustakaan. Misalnya konsep Servqual yang dipelopori oleh Parasuraman yang membagi menjadi lima karakteristik kualitas. Empat universitas terkemuka di Australia yang bergabung di University 21 juga memiliki karakteristik kualitas yang agak berbeda, demikian pula yang dikembangkan oleh ARL yang memodifikasi apa yang telah dilakukan oleh Parasuraman menjadi Library Quality (LibQUAL) Secara ringkas karakteristik kualitas dan para pelopornya dapat dilihat pada gambar di bawah: Karakteristik Kualitas Perpustakaan Parasuraman Tangible Langsung) Reliability (Keandalan) Responsiveness (daya tanggap) Assurance (Jaminan) Emphaty (Empati) Sumber: Surtiawan (2006) Benchmark adalah jati diri perpustakaan. Untuk mengungkapakan jati diri tersebut, perpustakaan perlu melakukan evaluasi dengan cara mengukur hasil pencapaian (kinerja) yang telah dilakukan. Dengan mengetahui kinerja yang diperoleh maka perpustakaan akan mampu merencanakan pengembangan perpustakaan dengan lebih baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan pemakai yang semakin hari semakin berkembang. Komunikasi Manusia Akses Informasi Kelengkapan Koleksi Kualitas Layanan Kualitas Layanan University 21 (Bukti Fasilitas/Kelengkapan libQUAL Perpustakaan tempat Keandalan Pengaruh Layanan sebagai

E. Kualitas Penyajian Materi Kuliah a. menerapkan pembelajaran aktif yang melibatkan siswa; b. menguasai materi dan mampu mengomunikasikannya; c. menerapkan penilaian sebagai sistem umpan balik tentang

pembelajaran siswa; dan d. terfokus pada kemajuan pembelajaran siswa. Venkatraman (2007)

F. Proses Penilaian Proses belajar a. ulangan harian b. B. ulangan tengah semester c. C. ulangan akhir semester d. D. ulangan kenaikan kelas

G. Peran Alumni, Sarana dan Prasarana a. Pertama, menjadi motivator dan fasilitator bagi para alumni untuk

mengabdi kepada bangsa, negara, dan agama dalam berbagai aspek kehidupan dan dalam pemerintahan, lembaga-lembaga negara, ataupun di jalur profesional dan swasta. b. Kedua, membantu dalam pengembangan universitas, termasuk

memfasilitasi dalam membangun jaringan (networking) serta membantu peningkatan fasilitas atau sarana. Ketiga, berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. c. Menyumbangkan pokok-pokok pikiran tentang pembangunan ekonomi, penegakan hukum, solusi atas kemiskinan yang mendera bangsa, serta turut mewarnai percaturan pemikiran tentang masa depan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai