Anda di halaman 1dari 4

Tugas Mengindra: Saat Hari Jumat First Position

Brem... brem! Suara Motor menderu-deru dari kejauhan. Suaranya merambat melalui dinding rumah tua lalu merangsang telinga pemilik motor untuk membuka mata walau sekejap. Aktivita biasa, Sibungsu di pagi hari sebelum berangkat kerja. Suara deru masih terus berulang ketika pemiliknya sudah mulai sadar seluruh pikir dan jiwa. Sejurus, pemilik pun berlari di atas karpet yang kasar dari kamarnya menuju atap luar rumah. Jal, itu motor mau dipakai nanti, teriak Kakak pada Bungsunya. Sibungsu menoleh dengan raut lebih kusut dari raut Sikakak. Motor pun perlahan digiring mundur. A, anteur atuh! Sibungsu merenyuk. Sikakak menggelengkan kepala. Sibungsu nyinyir, Sikakak pun menolak terus. Telat yeuh!. Kata-kata pamungkas itu pun muncul juga. Tapi kamu yang tarik kemudi? Sikakak pun mengancam. Pagi ini langit masih menyisai hujan. Walau sedikit, rintik hujan bagai jarum-jarum suntik di Rumah Sakit Bromious. Sakit menusuk hulu hati. Terutama setelah kepulangan dari Rumah sakit tersebut: Angin dingin menyela lewat bawah ketiak, merasuk ke tubuh, menggidikan bahu dan tangan yang sedang menggenggam batang kendali motor. Di jalanan, Sebagian air masih mencari dataran yang lebih rendah, sisanya masih emoh pergi kemana-mana. Berkumpul di pinggir jalanan, mengeruh. Semakin pekat oleh kendaraaan-kendaraan yang menggilas berulang kali. Setidaknya, udara masuk ke hidung masih dapat menyegarkan pikiran. Sehingga fantasi mampu mampir indah di tengah perjalanan menuju pulang ke rumah. Sebuah fantasi muncul dalam pertanyaan yang dikemukakan oleh mentor kami enam hari yang lalu, Masih ingatkah pengalaman kalian waktu kecil dulu? Dari pertanyaan tersebut lantas muncul imaji dari sebuah film yang baru ditonton kemarin lusa. Sebuah film dokumenter. Film tentang bagaimana mengejar mimpi serta passion dalam mengejar mimpi tersebut. Hey, nama saya Aran. Seorang anak lelaki berumur 11 tahun membuka awal film tersebut. Saya menari sejak umur 4 tahun. Saya sangat menyukai Ballet.., wajahnya gugup, Tidak tahu. Saya hanya suka sekali. Sulit dijelaskan Dia terseyum janggung. Lalu dia pun memperlihatkan barangbarang koleksinya: BB gun, Skatedboard, sepatu Ballet dan alat peregang kaki. Sakit sekali memakai ini! sambil menyejajarkan tumit dengan bagian kaki lainnya. Film pun memperkenalkan beberapa karakter unik lainnya: Seperti seorang wanita muda keturunan Afrika berumur 16 tahun bernama Michaela. Semenjak dia melihat poster wanita muda mengenakan tutu1 berwarna merah muda sedang berdiri seperti seekor angsa, dia pun bermimpi untuk menari seperti dia. Mom, apakah saya bisa menjadi penari Ballet? Ucap Ibu angkatnya yang sedang menceritakan anaknya. Lalu Ibunya lanjut bercerita tentangnya. Katanya, Tadinya saya hanya ingin mengadopsi Mia (Anak perempuan yang senasib dengan Michaela), namun Suster biara berkata: Kasihan Michaela! Tidak ada pasangan yang mau mengadopsinya. Mereka menganggap bahwa dia adalah anak iblis karena bintikbintik putih di permukaan kulit dadanya. Dan kami pun berkata kenapa tidak? Mereka berdua pun segera tinggal di rumah kami. Adalagi seorang remaja lelaki miskin berasal dari Colombia bernama Joan. Dia pergi ke Amerika untuk mengejar karirnya sebagai penari Ballet profesional. Kedua orangtuanya mendukung karirnya karena bakat yang dimilikinya. Ibuku berkata lanjutkan saja karena saya sangat baik. Gigi putihnya gemerlapan. Adegan berikutnya pun dia berlatih bersama seorang pelatih diiringi musik dari sebuah piano. Matahari pun sembunyi dibalik remaja lelaki yang sedang terbang dengan kedua kakinya. Indah sekali. Ada pun Miko beserta adik lelakinya, Jules. Keduanya menari Ballet karena dukungan dari Ibu mereka berketurunan Jepang. Ibunya sangat senang ketika melihat kedua anaknya menari. Bahkan sampai lima hingga enam jam. Sesekali jerit tikus yang terhimpit erat-erat di mesin motor nyaring terdengar. Tiap kali ban belakang menggilas kubangan. Dan fantasi pun pudar. Imaji sekitar realistis adanya. Langit gelap ketika hujan sudah reda. Bulu-bulu halus di kaki meregang nyawa, pucat. Kedua kaki pun mati rasa. Ketika telah lewat jembatan di atas sungai Cikapundung, jalan masuk gang seakan lebih jauh dari biasanya. Tumpukan batu-batu kali yang dipamerkan di bahu jalan berubah hidup dan ceria. Boneka-boneka yang bergantungan di dahan pohon menjerit minta diturunkan. Tak ada seorang pun di jalanan. Sedikit sekali kendaraan melaju. Saya pun pulang sebentar ke rumah. Sebelum melanjutkan kegiatan bersepeda motor. Rumah keluarga semakin tua seiring bertambah usia para penghuninya. Warnanya pun memudar walau tiap tahun berganti warna. Perbaikan di sana-sini telah diupayakan tapi tetap rumah masih terlihat usang dari kejauhan. Satu per satu pun pergi meninggalkan rumah tua ini. Bapak dan Ibu memilih tinggal beralaskan dan beratapkan tanah kecoklatan. Saudara-saudara yang lebih berumur

memilih rumah baru. Di rumah tua ini hanya ada saya, kedua adik dan satu keluarga berencana dari anak kesayangan Ibu-Kakak kami yang sifatnya mirip sekali Ibu. Aroma tempe goreng menyambut saya di depan pintu. Rasa hangat menjalar dari kaki sampai kepala. Jikalau kegiatan hari ini tak padat, ingin sekali tubuh bertambah hangat oleh dekapan selimut. Dan tidur kembali seperti di rahim Ibu. Hal itu pun takkan tersampai apalagi ritual pagi di rumah tua ini selalu hadir. Si Ibu menghardik anak laki-lakinya tatkala persiapan pergi sekolah. Atau anak lelaki yang selalu bermain leter dengan adik perempuannya. Ritual membengkakkan telinga. Kami, saya dan adik-adik, tak perlu bersusah payah merelai mereka. Percuma atau memang sudah menjadi rutinitas di rumah tua ini. Dulu, pernah saya coba ikut campur terhadap ritual mereka. Akhirnya, malah saya yang berang. Magic jar lah yang kemudian jadi sasaran amukan. **** Matahari tongol sesaat ketika usai salat Jumat. Mata malas sekali terkena sinarnya walau sempat sembunyi di balik pohon-pohon rindang pelataran kampus. Perjalanan kembali ke ruang kelas terasa lebih lambat. Sepetinya, tak ada pembakaran kalori untuk kaki melangkah. Saya pun mampir ke kantin. Saya memesan makanan biasanya, Mie Tek Tek dan kopi putih. Keduanya memberi kenikmatan unik. Rasa pedas pada makanan membuat lidah ngilu mencair dan aroma khas pada minuman, menjernihkan penat dalam akal. Lanjutnya, pikiran menggali imaji yang sempat tertunda. Pemuda-pemudi penari Ballet tersebut berlatih keras bersama puluhan orang lainnya untuk sebuah kejuaraan International American Grandfix. Mereka merebutkan tropis, beasiswa akademis dan kontrak kerjasama dengan perusahaan seni International. Mereka memiliki satu tujuan dan satu cita. Saya melihat lebih jauh pada kehidupan mereka: Small Price to pay, Kata Ayah Aran. Mereka hidup diperkampungan militer di daerah Paris. Kadang-kadang mereka tidak diberi ijin untuk meninggalkan daerah. Michaela seorang yatim piatu yang menganggap hidup di Amerika sebagai keajaiban. setiap orang tahu bahwa seorang berkulit hitam tidak bisa untuk menari Ballet kata Ibu Michaela. Namun cita-citanya menjadi penari Ballet berkulit hitam hebat dan elok menghapus itu. Kemudian ada Joan, seorang pemuda Colombia dari keluarga miskin sekali. Aku bekerja sungguh keras. Kadang-kadang ketika bangun tidur tubuh sangat nyeri dan pegal. Lalu saya bertanya kenapa saya melakukan ini. Ya, saya mau berhenti. saya mau melihat keluarga di Columbia sana. Tapi ketika pelajaran mulai, tidak tahu kenapa, keajaiban muncul dalam diri. Saya tak ingin melepaskan ini. Karena saya berjuang dari titik nol dan meninggalkan keluarga. Ujar Juan disela rutinitas latihan. Lalu ada perjuangan pada mereka: Aku baru menggunakan sepatu ini kemarin dan sekarang tak bisa digunakan sama sekali. Kadang-kadang, aku mencari sepatu yang kuat sehingga aku tidak perlu menghabiskan 80 dollar tiap hari. Michaela mencari sepatu-sepatunya dalam kantung besar, salah satunya dia tepuk-tepukan lalu dilipat. Ibu Miko menyewa studio Ballet untuk kedua anaknya. Mereka berlatih 5 jam atau 6 jam sehari. Miko bercerita, Aku hanya ingin mengenal Ballet untuk seumur hidup. Pelatih saya menyarankan untuk home scholling, sehingga saya bisa fokus terhadap Ballet. Saya rindu teman-temanku di sekolah, Miko terseyum dengan lubang pipi, Saya berlatih dengan adik saya, JJ. Namun jika dia ingin berhenti melakukan Ballet. Saya cukup senang untuknya. **** Mata kuliah Komputer Jaringan dimulai. Sorot terang proyektor membuat mata gelagapan. Dosen menjelaskan berbagai hal tentang koneksi Network. Seluruh tubuh menolak penjelasan Dosen. Mata lebih memilih melihat Notebook di atas meja. Hanya ada suara angin di telinga. Bau menu makan tadi siang tersebar di seluruh ruangan, semuanya menguap bergantian. Aku menutup hidung dengan baju hangat yang melingkari pundak. Parfum sedari pagi masih juga melekat, Aquatic Fatale. Membebaskan dari rasa mual akibat campuran udara. Jemari tangan lainnya sibuk meraba-raba kontrol touchpad. Saya memilih membuka jejaring sosial, seperti biasa. Rasa bosan selalu mampir tatkala mata kuliah tak disukai berlangsung. Beberapa detik berlalu, pertanyaan-pertanyaan muncul mencakar-cakar. Apa yang saya lakukan di kelas ini? Saya tidak mengerti mata kuliah ini dan sebagian besar mata kuliah lainnya! Apa saya harus berhenti saja? Bagaimana dengan mimpi saya menjadi penulis? Dengan umur saya yang cukup matang, apakah mimpi itu akan terwujud? Dan pada detik ini juga, teman sebangku mencibir, Lah... kamu mah, buka yang aneh-aneh terus! Dan yang lainnya berkata, Biasa bikin novel!, dengan sinisnya. Lalu apakah saya sudah pantas untuk bercerita atau menulis cerita? Mungkin menulis bukan untuk saya? Lebih baik saya membudak pada pekerjaan saya kemarin. Ruang kelas mulai terasa panas sekali. Kaca-kaca tebal menghalangi angin untuk masuk. Mahasiswa-mahasiswi yang memenuhi tigaperempat ruang kelas ikut ribut. Entah ribut karena kegerahan, kebosanan atau persoalan lain. Entahlah! Kemudian semua orang berharap mata kuliah segera berakhir. Dan saya masih menulis persoalan mereka. Dan melanjutkan cerita mereka, para penari ballet pada putaran final.

Pada final, para juri dari 31 lembaga ballet elit akan menghadiahi beasiswa, kontrak kerja dan mendali pada para penari berbakat. Mereka bahagia walaupun kendala pasti ada. Saya seperti burung yang ingin keluar dari sangkar. Dan tadi saya merasakannya. Ujar Miko dalam riasan wajah dan kostum gadis Meksiko pada pertandingan babak penyisihan. Dia pun lolos ke babak final. Saya bekerja Saya tak mau Miko. Dia pun untuk Ballet. keras juga. Ibu-ibu yang lain berkata saya terlalu ikut campur urusan anak-anak. menyesal kemudian. Karena saya bisa melakukan lebih baik untuk mereka Kata Ibu menahan tangis sebelum berkata, Jules berhenti. Dia berkata saya tak ada gairah Saya suka Ballet tapi tidak cinta. Kakak perempuan saya yang cinta Ballet.

Juan akhirnya dapat pulang ke Colombia setelah dia lolos babak penyisihan. Dan bertemu semua keluarga. Adiknya menyambut gembira dan bercita-cita ingin seperti kakaknya. Kamu harus bekerja keras karena semua akan menyakitkan. Ujar kakaknya. Adiknya pun m ulai memasang kuda-kuda. Film pun berjalan pada suka-duka menjadi penari Ballet. Pria melakukan gerakan maskulin dan lebih terlihat atletik. Banyak orang mengatakan menari Ballet bukan untuk pria. Orang-orang seperti itu tidak untuk didengar. Kata Aran. Dia pun lolos ke final setelah menari Pirouttes. Setiap penari menjelaskan bergantian: Menjadi penari Ballet harus terluka setiap hari, orang-orang harus tahu untuk menjadi penari Ballet profesional harus terluka sebanyak mungkin seperti atlet profesional. Kaki saya berdarah, kulit terlepas. Sungguh cantik melihat saya menggunakan sepatu Ballet, tetapi ketika terlepas luka berada di seluruh kaki. Tubuh kamu mati pada umur 5 tahun. Tetapi ketika kau kembali menari, kau tak sadar luka-luka itu terjadi. Kata Michaela yang sedang melakukan peregangan kaki. Kaki kirinya ditarik ke atas melewati punngung oleh temannya, dan kaki kanan sebagai tumpuan. Keduanya membentuk busur yang hampir menyiku. Setelah latihan dia pun berkata sambil memegang kedua kaki, Kaki saya sakit sekali. Mungkin saya akan berhenti saja bertanding. Dan mungkin itu akan menghancurkan karir saya. Mungkin saya harus berhenti menari, mungkin menari bukan untuk saya. Kaki saya sakit sekali. Aku benar-benar tak bisa melakukan ini sekarang. Kaki saya benar-benar sakit sekarang. Kemudian pertandingan final pun berlangsung, setiap orang berdatangan. Setiap orang begitu punya talenta. Setiap orang begitu berpotensial untuk menang. Dan mereka begitu sempurna. Dan ketika berlangsung, setiap orang menangis. Setiap orang begitu stress. Beberapa orang mengaggap panggung ini begitu tinggi dan mereka sangat sangat kecil. Akan tetapi mereka harus menggapai mimpinya. Ujar salah satu juri. Setiap juri melihat pada penari itu suatu disiplin dalam berlatih, bentuk tubuh, gairah dalam menari dan persona. Katanya itu sangat jarang, satu dalam seribu orang. Saya seperti kupu-kupu, kadang-kadang saya ingin kencing tapi tidak sekarang, Ujar miko sebelum menari untuk final. Jambang ikal membuatnya menghayati perannya sebagai penari Meksiko. Dan dia pun menari sangat indah. Sakit kaki ini bisa menghancurkan karir saya. Pelatih tahu, saya tidak akan berhenti menari karena terluka, jatuh atau bahkan sakit sekali pun. Kata Michaela sebelum melakukan pentas. Dia pun menari di babak final. Sungguh elegan. Saya sungguh dalam kesakitan tapi ketika menari tadi saya lupa bahwa kaki saya terluka parah. Tak henti dia memperlihatkan gigi putihnya yang germelapan pada pelatih, teman-temanya dan orang tuanya sambil berpelukan seusai bertanding. Saya melihat binar di matanya, saya melihat suatu kebutuhan dan rasa lapar akan menari. Hasilnya, Aran mendapatkan mendali untuk penampilan terbaik. Miko mendapatkan mendali perunggu. Michaela mendapatkan kontrak kerja di American Ballet. Dan Juan mendapatkan beasiswa untuk terus menari di Royal Ballet Scholl. Akhirnya, impian saya terwujud. Dan semua hal akan berubah dari sini. Ujar Juan sambil membawa kopernya. **** Seseorang berkata, Apa yang menjadi kebiasaan dan rutinitas harianmu, itulah yang akan menjadi masa depanmu. Saya selalu berpikir sebuah pengalaman apabila diceritakan kembali akan berdampak positif pada diri pribadi. Lalu, apakah saya seorang yang begitu naif, jika melihat film dokumenter tersebut? Huh...! Tak ada senja di sore hari ini. Langit hitam mendung. Air hujan ingin turun sekali lagi sebagai penutup hari. Dan saya ingin bermain dengan hujan. Menangis sekali lagi di bawah hujan. Soal apa? Saya sendiri tidak tahu. Soal kecewa, barangkali. Seorang lelaki kurus berperawakan kecil mengenakan destar berbentuk kerucut berwarna serasi dengan ikat pinggangnya. Menari di atas panggung megah. Hari itu pun hari jumat seperti hari ini. Merayakan kelulusan murid-murid dari sebuah madrasah di tempat tinggalnya. Dia terseyum bahagia, karena tiap tahun pasti dialah orangnya yang selalu dipilih gurunya. Sekarang, dia terseyum pula, karena dapat menarikan jemarinya di atas puluhan tombol-tombol huruf.

Anda mungkin juga menyukai