Anda di halaman 1dari 114

Chapter 1 SI PENARI

"AKU kedinginan dan lapar," kata Pierre Gringoire, "dan aku tak punya uang untuk membeli makanan malam ini. Tak seorang pun mau membeli sajak-sajak dan naskah-naskah sandiwara yang kutulis, dan tak seorang pun menghendaki aku." Kota Paris, dua belas hari setelah Natal dalam tahun 1482, adalah sebuah kota yang dingin; dan banyak penduduknya yang miskin, kurus dan kedinginan seperti Pierre Gringoire penyair itu. "Aku harus berhenti menjadi seorang pengarang," katanya, "kalau tidak, aku akan mati kelaparan." Dimasukkannya kedua tangannya ke dalam sakunya yang kosong lalu dia berjalan ke alunalun yang bernama Place de Grve. "Tuh ada orang banyak! Mereka kelihatannya hangat; aku akan menggabungkan diri dengan mereka dekat api itu." Banyak laki-laki dan perempuan berdiri di tengah alun-alun. Mereka tampak hitam kena sinar api kayu besar yang merah yang menyala di atas batu. Gringoire bergegas ke arah mereka. Di antara orang-orang itu dan api ada suatu ruang kosong yang cukup lapang. "Saya kedinginan!" kata Gringoire, sambil menelusup ke tengah-tengah orang banyak itu. "Mengapa kita tidak lebih mendekati api itu saja?" "Karena kita tentu harus menyediakan ruang untuk Esmeralda!" sahut seorang laki-laki gendut di sebelahnya. "Siapa? Saya tak pernah mendengar..." "Gunakanlah matamu. Tuh lihat dia. Cantik sekali bukan?" Gringoire menjulurkan lehernya untuk dapat melihat melampaui topi wanita yang ada di depannya, kemudian barulah dia mengerti.

Itulah dia Esmeralda! Dia menari di antara orang banyak yang menontonnya dan api yang menyala besar. Mula-mula Gringoire penyair itu tak yakin benar apakah penari yang lentur itu seorang gadis ataukah peri! Dia bertubuh kecil, berkulit gelap dan rambutnya hitam. Matanya pun hitam pula dan mata itu bersinar waktu dia menari. Kakinya yang kecil bergerak di atas permadani Persia yang dihamparkannya di atas batu-batu alunalun itu. Bajunya beraneka warna, cemerlang oleh warna keemasan. Kaki dan pundaknya indah. Di tangan kanannya dia memegang sebuah rebana, dan dia memainkannya sambil menari berputar-putar. "Bukan," kata Gringoire nyaring, "dia bukan seorang peri; aku sudah biasa melihat gipsy dengan mata dan rambut seperti itu tapi tak ada yang secantik dia!" "Memang dia seorang gipsy," kata laki-laki gendut itu. "Dia salah seorang dari pengelana-pengelana yang tinggal dalam tendatenda dan berpindah-pindah tempat, dan dia tahu semua gerak-tipu kaum gipsy.... Lihat saja!" Esmeralda mengambil dua buah pedang dari tanah dan memasangnya berdiri tegak di atas kepalanya. Lalu dia menari-nari. Warna api yang merah menambah pesona geraknya, sedang orang banyak mengawasi tanpa suara dan keheranan. "Aku bisa menggubah suatu syair tentang ini," pikir Gringoire. Dia menoleh ke sebelah lain dari api ke sudut alun-alun tempat tiang gantungan yang mengerikan itu berdiri. Banyak laki-laki dan perempuan telah digantung di situ. Gringoire tiba-tiba merasa takut. "Tapi mengapa aku harus takut?" pikirnya. "Aku belum pernah melanggar hukum." Lalu dia menoleh ke sudut lain dari alun-alun, ke bangunan kecil yang disebut Lubang Tikus. Suster Gudule tinggal di Lubang Tikus itu, dalam sebuah kamar yang hanya berjendela satu dan jendela itu berjeruji besi. Dia tak pernah bisa keluar: Lubang Tikus itu tak ada

pintunya. Semua orang tahu bahwa dia membenci gipsy. Dia tentu tak dapat melihat Esmeralda, kalau bisa dia tentu telah meneriakkan sumpah serapahnya, sebagaimana yang selalu dilakukannya setiap kali kaum gipsy datang ke Place de Greve. * Tarian Esmeralda makin lama makin cepat, sedang sepasang mata di antara orang banyak di sekeliling Gringoire, tertancap ke arahnya dengan pandangan aneh. Wajah itu tenang dan kaku, namun matanya berapi-api. Laki-laki itu berumur tidak lebih dari tiga puluh lima tahun, tetapi rambut di kepalanya tinggal beberapa lembar dan beruban pula. Gringoire hanya bisa melihat kepalanya: pakaian lakilaki itu tersembunyi di antara orang banyak. Gadis yang sudah kehabisan nafas itu berhenti menari, dan orang banyak berteriak menyuruhnya menari lagi. "Djali!" seru Esmeralda. Gringoire melihat seekor kambing putih kecil mendekatinya. Kakinya berwarna keemasan, dan di lehernya tergantung seuntai kalung perak. Gringoire semula tidak melihat kambing itu, karena binatang itu tadi berbaring memperhatikan Esmeralda menari. "Djali," kata gadis itu, "sekarang giliranmu." Dia duduk lalu mengulurkan rebananya pada kambing itu. "Djali, tanggal berapa hari ini?" tanyanya. Kambing itu mengangkat kakinya lalu memukul rebana itu enam kali. Alangkah senangnya penonton. "Bagus Djali!" teriak anak-anak di barisan terdepan. "Sungguh binatang yang hebat!" seru si gendut. "Djali," kata gadis gipsy itu sambil memindahkan rebana itu sedikit, "jam berapa sekarang?" Djali mengangkat kakinya yang keemasan lalu memukul rebana tujuh kali. Pada saat itu jam di menara di dekat alun-alun berbunyi tujuh kali.

"Itu semua karya sihir," kata suatu suara jahat di tengah-tengah penonton. Suara itu adalah suara orang yang selalu menatap gadis gipsy itu. Esmeralda menoleh cepat, tapi penonton yang lain bersorak dan sorak-sorai itu menghilangkan kata-kata laki-laki itu. Untuk menyenangkan penonton, gadis itu berkata lagi, "Djali, bagaimana para imam berbicara pada orang banyak dalam gereja?" Kambing itu duduk lalu mengeluarkan suara lucu sambil mengacungacungkan kedua kaki depannya dengan cara yang menggelikan. Penonton tertawa dan bersorak nyaring. "Itu tak benar! Itu jahat!" seru suara laki-laki yang hanya berambut uban beberapa lembar. Gipsy itu menoleh lagi. "Oh!" katanya, "orang jelek itu rupanya!" lalu dijulurkannya lidahnya ke arah laki-laki itu. Tapi setelah dia berpaling lagi, matanya membayangkan ketakutan, kemudian dia berkeliling di tengah-tengah penonton mengumpulkan uang dalam rebananya. Para penonton itu pemurah, dan waktu gadis itu tiba dekat Gringoire rebananya sudah berisi banyak mata uang emas dan perak, besar dan kecil. Tanpa sadar, Gringoire merogoh sakunya. Dia tentu tidak mendapat apa-apa karena sakunya kosong. "Setan!" gerutu Gringoire. Dirasakannya tubuhnya panas dingin dan dungu melihat gadis cantik itu berdiri saja di hadapannya dengan menadahkan rebananya. Gadis itu memperhatikannya dengan matanya yang indah, sedang laki-laki itu makin merasa dirinya dungu. Kalau saja dia kaya, akan diberikannya seluruh kekayaannya pada gadis itu! Suatu suara menyelamatkan laki-laki itu, suara wanita dari sudut yang jauh dari alun-alun itu. "Pergi gadis jahat! Gipsy!" teriak suara wanita alim dari Lubang Tikus itu.

Suara yang menjadikan Esmeralda ketakutan itu, menyenangkan anak-anak dan mereka tertawa. "Itu Suster Gudule!" teriak mereka. "Belum makankah dia? Dia tentu lapar! Mari kita carikan dia makan!" Dan mereka pun lari. Gringoire jadi ingat betapa laparnya dia dan dia jadi berpikir di mana dia akan bisa memperoleh makanan. "Suster Gudule yang malang!" kata laki-laki gendut di sebelahnya. "Tak banyak kesenangan dalam hidupnya. Kesedihan apa gerangan yang menyebabkan dia meninggalkan dunia ramai ini dan hidup menyendiri di Lubang Tikus itu." "Tak tahukah Anda tentang kisahnya?" tanya Gringoire. "Saya sangka semua orang di Paris ini tahu." "Tentu saya tahu kisah tentang bayi perempuannya yang dicuri kaum gipsy, tapi saya sama sekali tak percaya. Suster Gudule tua yang malang itu terlalu jelek untuk punya anak yang pantas dicuri." "Kesedihanlah yang telah membuatnya jelek," kata Gringoire. "Saya percaya bahwa dia cantik enam belas tahun yang lalu, ketika kaum gipsy menukar bayi perempuannya dengan seorang anak lakilaki yang berumur empat tahun." "Seorang anak laki-laki yang hanya bermata satu, sedang kaki dan tangannya tak tentu bentuknya. Saya tahu kisah itu, tapi saya tetap tak percaya bahwa Suster Gudule...." "Tidak pernahkah Anda melihat sepatu bayi kecil di Lubang Tikus-nya itu? Dan tak pernahkah Anda melihatnya menangisi sepatu itu? Hatinya hancur. Jika Anda punya jiwa penyair barang sedikit saja, Anda akan mengerti bahwa kisah itu sesuai dengan kenyataannya." "Penyair!" ejeknya. "Nanti Anda bahkan berkata bahwa Anda sendiri seorang penyair!" Gringoire tak berkata apa-apa, karena dia mendengar suatu nyanyian asing tapi sangat manis. Esmeralda sedang menyanyikannya.

Kata-katanya yang dalam bahasa gipsy, penuh keriangan, dan suaranya semerdu dan sebersih suara burung. Anak-anak yang tadi pergi mencarikan makanan untuk Suster Gudule, telah kembali dari jalan gelap yang sempit. Anak perempuan yang terbesar membawa sebuah kue. Mereka berdiri lagi di bagian depan dari penonton, mendengarkan lagu yang indah itu. Anak-anak itu lapar juga. Mereka mendengarkan nyanyian Esmeralda sambil mencubiti kue itu dan memakannya. Nyanyian itu tidak berlangsung lama. Dari Lubang Tikus terdengar lagi suara teriakan Suster Gudule yang kasar. "Diam. Diam. Hentikan keributan itu dan berikan kami ketenangan." Nyanyian berhenti tiba-tiba. "Anda mengganggu nyanyian terindah yang pernah saya dengar!" seru Gringoire. Orang-orang lain juga marah dan berteriak. Beberapa di antaranya berseru, "Semoga Suster Gudule diambil setan!" dan sambil menyumpah-nyumpah suster itu, mereka mulai bergerak ke arah Lubang Tikus dengan marah. Tepat pada saat itu ada sesuatu yang menyebabkan mereka semua berbalik dan bergerak ke sebelah lain dari alun-alun. Dari kegelapan malam di musim dingin itu, suatu gerombolan lain berjalan menuju mereka dengan membawa obor dan pekik-sorak serta musik aneh yang jelek. Anak-anak cepat-cepat menghabiskan sisa kue sambil berlari ke arah gerombolan yang mendekat itu. Mereka lupa Suster Gudule. Demikian pula semua orang di alun-alun itu, karena laki-laki dan perempuan yang mendekati mereka mengusung di pundak mereka seseorang yang ingin sekali mereka lihat; mereka sedang mengarak Imam Tertinggi Orang-orang Dungu. Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 2 QUASIMODO

SETIAP tahun penduduk Paris memilih seorang Imam Tertinggi Orang-orang Dungu yang baru, dan pagi itu mereka telah memilihnya dengan cara baru. Di salah sebuah gereja ada sebuah jendela berlubang sebesar kepala manusia. Semua orang yang terjelek di Paris pergi ke gereja itu, dan mereka bergantian menjulurkan kepala mereka di lubang bekas tempat kaca itu, supaya orang banyak di luar dapat menentukan muka mana yang paling jelek. Orang yang mukanya paling jelek akan menjadi Imam Tertinggi Orang-orang Dungu tahun 1482 itu. Orang-orang bersorak-sorai kesenangan memilihnya. "Demi setan, aku belum pernah melihat hidung sebesar itu!" teriak seorang serdadu tua. "Lihatlah mulut itu!" pekik seorang petani sambil tetap memegang tali pengikat leher sapinya. "Coba kita lihat yang lain lagi. Ayo keluar!" Muncullah sebuah wajah lagi. "Lihat!" teriak seorang laki-laki jangkung. "Sama benar mukanya dengan sapi itu!" "Besar benar telinganya! Sampai sulit dia mengeluarkannya dari jendela itu." Makin lama makin nyaring sorak-sorai orang-orang itu melihat muka-muka jelek yang bermunculan, hingga akhirnya suatu wajah membuat mereka bersorak serempak, "Itu dia! Begitu seharusnya wajah Imam Tertinggi kita! Itu yang kita mau! Itu wajah yang paling jelek dari semua!" Wajah itu dikelilingi oleh rambut merah yang kotor. Matanya hanya satu, kuning dan redup. Di atas mata itu terdapat alis yang tebal

sedang di sebelahnya di tempat yang seharusnya ada mata terdapat segumpal rambut yang lebih besar. Beberapa buah gigi besar menonjol keluar dari mulut sebesar gua yang sedang tersenyum, sedang kulitnya penuh bintik-bintik hitam. "Bawa dia keluar dari gereja!" teriak orang banyak itu. "Harus kita arak Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu!" * Quasimodo, si bongkok, tertawa senang waktu dia keluar di tangga gereja itu. Inilah saat yang indah baginya: dia belum pernah merasa terkenal seperti sekarang. Biasanya orang-orang benci dan takut padanya karena dia begitu jelek. Kepalanya terbenam di antara kedua bahunya dan kaki tangannya yang besar-besar tak tentu bentuknya. Tapi kini orang banyak menghendakinya. Dia tak mengerti karena dia tak bisa mendengar apa-apa. Selaput gendang telinganya yang besar itu telah pecah gara-gara bunyi lonceng yang dibunyikannya setiap hari di gereja Notre-Dame. Dia mencintai lonceng-lonceng itu, meskipun dia tak bisa mendengarnya, kecuali kalau lonceng itu berbunyi nyaring sekali. Dia hanya dapat merasakan bunyi lonceng itu, dan lonceng-lonceng itu membahagiakannya lebih dari apa pun juga dalam hidupnya yang menyedihkan itu. Gilles Clopin, seorang anak muda buruk, menaiki anak tangga gereja sambil menari-nari lalu berdiri menirukan Quasimodo, dengan kepalanya terbenam di antara kedua bahunya. Dia mengejek-ejek Quasimodo. Meskipun si bongkok tak dapat mendengar, dia bisa melihat dengan matanya yang satu itu. Clopin sedang mempero lokolokkannya, dan si bongkok marah. Orang banyak tertawa, tapi si bongkok tidak. Dengan cepat dia mendekati Clopin, diangkatnya anak muda itu dengan tangannya yang jelek tapi kuat itu, diangkatnya tinggi-tinggi seolah-olah Clopin itu seringan seorang bayi, lalu dilemparkannya ke bawah tangga.

Orang banyak terdiam, lalu mereka berteriak lebih nyaring lagi. Tapi kebanyakan wanita merasa takut akan Quasimodo. "Dia seburuk monyet!" kata seorang wanita. "Dan jahatnya sepadan dengan jeleknya!" kata yang lain. "Saya tinggal dekat Notre-Dame, dan saya mendengarnya berlari-lari di atas atap sepanjang malam." "Seperti kucing." "Kalau kau sedang mengandung, Louise, jauhilah si bongkok itu," kata seorang nenek. "Dia mengerikan sekali." Tapi kaum laki-laki suka sekali pada si bongkok, mereka tertawa dan bersorak waktu melihat kekuatannya. Para pengemis yang ada di antara orang banyak itu membawa sebuah mahkota dari kertas dan sehelai kain panjang yang digambari dengan warna-warna manyala. Mereka pasang mahkota itu di kepala Quasimodo, sedang kain panjang disampirkan ke tubuhnya yang buruk itu. Kemudian mereka suruh dia membawa sebuah salib besar dari kayu kasar. Mereka dudukkan dia di atas sebuah bekas pintu yang sudah tua dan mereka usung dia berkeliling kota dengan musik yang jelek, nyanyiannyanyian dan sorak sorai. "Quasimodo!' teriak mereka. "Imam Tertinggi Quasimodo! Beri jalan bagi Imam Tertinggi Orang-orang Dungu!" *** Enam belas tahun sebelum kisah ini berawal, pada suatu hari yang cerah dalam musim semi, ditemukan seorang anak sesudah misa pagi di gereja Notre-Dame. Dia terbaring di tangga. Tubuhnya hanya dibungkus dengan sepotong kain kotor, dan dia menangis dengan cara yang aneh. Bayi-bayi kecil yang tak diingini ibu mereka sering ditinggalkan di tempat itu di gereja: lalu wanita-wanita yang baik hati memungutnya dan membesarkannya seolah-olah anaknya sendiri.

Tapi anak laki-laki yang ini sudah berumur empat tahun. Rambutnya merah, matanya hanya satu dan bentuk tubuhnya tak keruan. Tak seorang pun menginginkan anak ini. Beberapa orang wanita berdiri memandanginya. "Makhluk apa itu?" tanya seseorang. "Ampun Tuhan, kalau bayi-bayi lahir begitu sekarang!" kata yang lain. "Saya ingin melihatnya! Saya tak bisa melihatnya!" seru seorang gadis cilik cantik yang berpakaian bagus. "Jangan Fleur sayang, dia tak bagus, sama sekali tak bagus, mari kita pergi dari sini sekarang juga!" dan ibu si Fleur yang kaya itu menarik lengannya. Bayi laki-laki itu menangis nyaring. Tangisnya tidak seperti anak-anak lain. "Kurasa itu adalah seekor binatang siluman, sama sekali bukan anak laki-laki," kata seorang wanita tua ketakutan. "Dia buatan seorang penyihir." "Anda benar," kata yang lain. "Itu binatang aneh yang jahat." Seorang laki-laki berdiri di belakang perempuan-perempuan itu dan mendengarkan pembicaraan mereka. Laki-laki muda itu adalah Claude Frollo, seorang imam terkemuka di gereja Notre-Dame, dan salah seorang di antara sarjana-sarjana terkemuka di Paris. Orangorang takut melihat wajahnya yang selalu serius, ada pula yang sampai membisikkan bahwa dia demikian pandainya hingga dia pandai ilmu gaib. Waktu perempuan-perempuan itu melihat Frollo mereka cepat-cepat menyingkir. Frollo memandangi anak laki-laki kecil itu, dan dia merasa kasihan sekali. "Tak seorang wanita pun menghendaki kau, Nak, karena kau lain dari anak-anak yang lain," pikirnya. "Tapi Tuhan telah menciptakanmu dan Tuhan menghendaki semua orang yang telah

diciptakannya. Kita harus mencintai semua manusia, baik yang cantik maupun yang jelek, seperti juga Dia. Mari ikut aku, anak malang!" Frollo mengangkat anak itu dan menggendongnya, dan anak itu berhenti menangis. Tiba-tiba imam itu merasa damai. Dia yakin bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki Tuhan. "Aku akan merawat dan membesarkanmu, anakku," kata Frollo. "Sekarang kau jadi anakku. Mari." Dia berjalan melalui gereja sambil menggendong anak itu. Frollo menamakan anak laki-laki kecil itu Quasimodo. Quasimodo hanya punya satu mata, tapi telinganya semula tidak cacad. Dia pun bisa berbicara, tapi tidak sejelas pendengarannya, Suaranya kasar dan aneh. Frollo mencoba mengajarnya berbicara lebih baik, dan anak itu berusaha keras untuk berkembang. Tapi tubuh Quasimodo begitu jelek dan dia tak mau orang lain melihatnya. Dia menyingkirkan diri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak lain, dan menyembunyikan diri di menara gereja. Dia hanya mau tinggal dengan Frollo, tak mau dengan siapa pun juga yang lain, Frollo memeliharanya dan mengajarnya membunyikan lonceng-lonceng gereja Notre-Dame. Lonceng-lonceng itulah yang merusak telinganya, dan menjadikannya tuli, hingga dia sama sekali tak bisa mendengar apaapa: lalu Quasimodo tak mau lagi berbicara. Dia terlalu takut orang lain mendengar suaranya yang aneh. Kalau dia berbicara orang-orang lain mungkin menertawakannya. Frollo telah mencoba menyuruh Quasimodo berbicara, tapi Quasimodo tetap membisu. Meskipun Quasimodo tak dapat berbicara dengan lidahnya sendiri, si bongkok bisa berbicara dengan seluruh kota Paris melalui lonceng Notre-Dame. Dia mencintai segala sesuatu di gereja yang indah itu, tapi dia paling mencintai lonceng-loncengnya, terutama lonceng besar yang bernama Marie. Marie tergantung di menara selatan, dengan sebuah lonceng kecil bernama Jacqueline. Di menara

yang kedua ada enam buah menara lainnya, sedang enam lonceng yang terkecil ada di menara tengah, dengan lonceng kayu yang hanya dibunyikan kalau ada orang meninggal. Jadi ada lima belas buah lonceng yang dicintai Quasimodo. Tapi Marie adalah yang paling dicintainya. Kesenangan Quasimod meluap-luap bila dia bisa membunyikan semua lonceng pada hari-hari istimewa. Dia dan Frollo berbicara dengan isyarat-isyarat aneh. Baru saja Frollo mengatakan pada si bongkok bahwa dia sudah bisa mulai membunyikan lonceng-lonceng, Quasimodo berlari menaiki tangga lebih cepat daripada siapa pun juga kalau menuruni tangga yang sama. Bergegas dia memasuki ruangan tempat lonceng besar itu, dan mengelus Marie seolah-olah lonceng itu adalah seekor kuda yang baik yang akan memulai perjalanan jauh. Dia merasa kasihan pada lonceng itu karena harus melakukan pekerjaan itu. Kemudian diberikannya isyarat pada orang-orang di bawah yang harus menarik talinya. Bunyi pertama dari anak lonceng tembaga itu menggetarkan lantai tempat Quasimodo berdiri seperti sehelai daun dalam badai. Quasimodo ikut bergetar dengan lonceng itu. Nafasnya menjadi lebih nyaring dan cepat, dengan makin cepatnya bunyi lonceng. Matanya yang hanya satu itu, terbelalak, dan seolah-olah bersinar oleh cahaya tersendiri dalam menara gelap itu. Lalu semua lonceng mulai berbunyi dan bergetarlah seluruh menara, batunya, kayunya dan logam semua bergetar bersama-sama, dari atas sampai ke bawah. Quasimodo seperti menjadi gila. Dia berlari-lari dari lonceng yang satu ke lonceng yang lain, dan tertawa oleh kegaduhan lonceng-lonceng itu, satu-satunya bunyi yang bisa ditangkap oleh telinganya. Kemudian dia berdiri ke dekat sebuah lonceng kecil dan melompat-lompat sementara lonceng itu berayunayun. Akhirnya ditinggalkannya lonceng itu: dia berlari mendapatkan Marie, dia melompat lalu bergantung pada lonceng itu dengan kaki

tangannya. Dia merasa seolah-olah dia sedang menunggang awanawan dalam badai, seperti dalam mimpinya. Penduduk Paris sering berhenti di jalan dan mendengarkan bunyi lonceng yang seperti suara musik yang indah itu. Setelah itu semua berakhir, Quasimodo turun ke bawah ke tempat Frollo dan mereka berbicara dengan isyarat-isyarat yang artinya hanya diketahui mereka berdua. *** Kini Quasimodo, Imam Tertinggi Orang-orang Dungu, sedang diusung ke Place de Greve. Dia merasa senang sekali seolah-olah dia berada di atas, di menara dan Marie sedang berbunyi. Dia terayunayun di pundak orang-orang banyak itu dengan mahkota kertas di kepalanya dan kain beraneka warna menutupi punggungnya, serta sebuah salib di tangannya. Dia tertawa waktu melihat makin banyak orang berjalan ke alun-alun mendatanginya. Seorang pria berlari di depan semua orang itu, pria yang berambut uban tipis dan berjubah hitam itu seorang imam. Dialah yang telah menatap Esmeralda dengan cara yang aneh dan berteriak padanya. Kini dia mendekat terus sampai Quasimodo bisa melihat dengan matanya yang hanya satu bahwa dia adalah Frollo, dan dilihatnya bahwa Frollo marah. Quasimodo melompat dari pundak orang yang mengusungnya. Dia bergegas mendatangi majikannya, Frollo, lalu berlutut di hadapannya. Frollo merenggutkan mahkota dari kepala Quasimodo, merenggutkan kain dari punggungnya dan m-matahkan salib kayu itu. Quasimodo tetap berlutut. Kemudian orang banyak melihat keduanya membuat isyarat-isyarat aneh. Imam itu marah dan memerintah, sedang si bongkok sedih dan minta dikasihani. Padahal jika dia mau, si bongkok itu bisa saja melemparkan imam itu ke seberang alun-alun dengan tangan sebelah!

Akhirnya Frollo menggoncang pundak Quasimodo yang kuat itu, lalu memberi tanda supaya dia bangkit dan menyusulnya. Mereka berbalik dan pergi. Orang banyak marah karena kehilangan imam Tertinggi Orangorang Dungu itu, lalu mengelilingi Frollo dan berteriak-teriak padanya. Tapi Quasimodo lebih cepat dari mereka. Dia berlari ke depan Frollo dan berdiri dengan merentangkan tangannya, siap untuk memukul siapa saja yang berani mendekat. Lalu imam itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan lapangan itu. Sambil berteriak-teriak seperti seekor binatang yang mengamuk, Quasimodo menyusul menyelinap di antara orang-orang banyak, dan orang-orang semua ketakutan dan tak berani menyentuh mereka.

Chapter 3 JALAN-JALAN YANG BERBAHAYA

"ANEH benar semuanya ini," gumam Gringoire sendiri, "tapi demi setan, di mana aku bisa mendapatkan makan malamku?" Orang banyak pun meninggalkan alun-alun, mereka masih merasa heran mengingat cara Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu meninggalkan mereka. Orang berbicara dengan nada marah sambil berjalan melewati Gringoire, akan pulang atau ke rumah-rumah minum. "Orang-orang itu beruntung!" pikir Gringoire. "Mereka tahu di mana mereka bisa mendapatkan makanan, minuman dan tempat tidur yang hangat. Sedang bagiku malam ini akan menyiksa sekali, karena aku sama sekali tak punya uang. Tak seorang pun tahu ke mana aku harus pergi, supaya aku tak mati kelaparan dan kedinginan." Tak seorang pun di antara orang banyak itu yang memperdulikannya, mereka berjalan terus. Api sudah padam. Waktu Gringoire bersiap-siap meninggalkan alun-alun yang sudah gelap dan kosong itu, dia melihat Esmeralda dan kambing kecilnya berjalan di jalan yang sempit di depannya. "Dia tentu punya rumah tempatnya pulang," pikir Gringoire sambil mulai mengikuti Esmeralda. "Hati wanita gipsy biasanya baik. Mungkin dia mau membawaku ke tempat yang hangat." Dia berjalan lebih cepat menyusul Esmeralda yang hampir menghilang di tikungan. "Akan kulihat akan ke mana dia!" Seorang laki-laki tua melangkah ke pintu masuk rumah minum yang diterangi lampu terang, tapi Gringoire bergegas saja melewatinya. Gringoire mendengar orang-orang tertawa dan

bernyanyi-nyanyi senang di dalam. Kemudian pintu ditutup. Dan jalan menjadi gelap dan sepi, hanya diwarnai oleh derap kaki saja. Dia berlari ke tikungan dan dilihatnya gadis itu berjalan d i depannya lagi dengan kambingnya. Mereka tidak menoleh. Gringoire berjalan lambat supaya gadis itu tidak tahu bahwa dia sedang mengikuti mereka. Mereka berjalan terus. Malam makin lama makin gelap. Di jalan-jalan yang dingin dan gelap itu mereka hanya berpapasan dengan dua orang miskin. Esmeralda dan Djali berjalan melalui jalanjalan sempit yang berliku-liku. Kemudian Gringoire tak tahu lagi di mana dia berada. Kemudian Esmeralda membelok ke suatu tikungan lalu memasuki sebuah jalan yang tidak segelap yang lain-lain. Ketika Gringoire memasuki jalan itu dilihatnya bahwa Esmeralda sedang menunggu di samping sebuah etalase toko yang terang, di mana roti dibuat untuk esok paginya. Mungkin dia mendengar suara jejak kakinya. Dia lalu menoleh akan melihat siapa orangnya. Esmeralda memandangnya tanpa berkata apa-apa. Dia tersenyum sedikit dengan senyum yang mengandung iba di wajahnya yang cantik: dia tahu bahwa Gringoire lemah dan tak mungkin menyakitinya. Kemudian dia berjalan terus dengan cepat di jalan yang sempit itu. Kambingnya yang kecil berlari-lari kecil dengan senangnya di sampingnya dan kakinya yang keemasan berkilau di atas batu. Gringoire merasa dirinya dungu, mukanya terasa merah waktu dia berdiri dekat etalase yang terang itu. Dia berdiri terus sampai Esmeralda membelok ke kanan di ujung jalan, lalu disusulnya lambatlambat. Waktu dia tiba di tikungan di dengarnya suatu pekik ketakutan. Suara itu suara Esmeralda. Gringoire bergegas mendekatinya. Jalan itu gelap oleh bermacam-macam bayangan, tapi di ujung jalan ada lampu kecil menyala. Lampu itu lampu minyak yang

terdapat dalam kotak besi kecil, dinyalakan sebagai penghormatan terhadap Bunda Maria, ibu Kristus yang patung batunya berdiri di atasnya. Dalam cahaya lampu itu, Gringoire bisa melihat Esmeralda. Dia sedang berjuang dalam cengkraman dua orang laki-laki. Salah seorang laki-laki itu berpakaian hitam. Mereka mencoba menghentikan pekik Esmeralda, sedang kambing kecilnya yang malang ketakutan dan menundukkan kepalanya sambil mengembikembik. "Tolong! Tolong!" teriak Gringoire. "Tolong pasukan ronda, tolong di sini!" Salah seorang dari yang mencengkram Esmeralda itu menoleh padanya. Laki-laki itu hanya bermata satu dan mukanya jelek sekali. Dia adalah Quasimodo! Gringoire tidak melarikan diri, tapi dia tidak pula mendekat barang selangkah pun. Quasimodo berlari mendatanginya dan menghantamnya dengan punggung sebelah tangannya saja sampai Gringoire jatuh ke batu. Kemudian Quasimodo mengangkat gadis itu, lalu menggendongnya seolah-olah dia seringan bulu. Mereka menghilang dalam gelap. Lakilaki yang seorang lagi menyusul mereka. "Pembunuh! Pembunuh!" teriak gadis itu. Dan kambing kecil itu pun lari. Tiba-tiba saja terdengar suatu suara yang dalam dan besar seperti suara dentuman meriam. Suara itu suara seorang laki-laki penunggang kuda. "Berhenti-berhenti! Lepaskan wanita itu!" Dia adalah kapten pasukan raja. Dia tiba-tiba muncul dari jalan lain. Dia bersenjata lengkap dan di tangannya ada pedang. Diambilnya gadis gipsy itu dari tangan si bongkokyang amat terkejut, lalu didudukkannya di atas kuda di depannya. Quasimodo mengejarnya akan mengambil kembali Esmeralda, tapi lima belas atau

enam belas orang prajurit yang masing-masing memegang pedang terhunus muncul di belakang pemimpin mereka. Prajurit-prajurit itu mengepung Quasimodo, mereka menangkapnya lalu menahannya. Dia berteriak-teriak, melawan dan menggigit, tapi mereka tak mau melepaskannya. Laki-laki yang berpakaian hitam tadi melarikan diri lalu menghilang dari jalan itu. Esmeralda kini duduk di depan kapten di atas kudanya yang besar. Diletakkannya tangannya ke pundak anak muda itu dan dipandangnya wajahnya yang tampan. Kemudian dia bertanya sambil tersenyum, "Kapten, siapakah nama Anda?" "Kapten Phoebus, siap melayani Anda, Gadis cantik," sahut perwira itu sambil menegakkan duduknya. "Terima kasih," kata Esmeralda. "Terima kasih, kapten yang baik." Sedang kapten Phoebus memegang janggut kecilnya dengan bangga, Esmeralda menjatuhkan dirinya dari kuda dan melarikan diri dalam gelap. "Setan sialan!" umpat kapten itu sambil mengeratkan ikatan tali di tubuh Quasimodo dan melihat mukanya yang jelek, ''Aku lebih senang menahan gadis itu!" *** Gringoire terbaring di jalan di bawah lampu kecil itu. Dia tak ingat bagaimana dia sampai berada di situ, dan waktu dia memandang ke atas, terlihat kaki Bunda Maria dari batu itu, tapi kemudian dia merasa seolah-olah tubuh Bunda Maria itu berputar-putar sangat cepat. "Apa yang telah terjadi?" pikirnya. "Dan apa ini, yang dingin membeku di punggungku?" Dipegangnya pakaiannya. Semuanya basah oleh air jalanan yang kotor dan dingin.

"Benar-benar tempat yang buruk untuk tidur di malam sedingin ini!" Dia berusaha untuk berdiri.... tapi geraknya lambat sekali, karena kepalanya masih terasa aneh. Rasanya berputar ke arah terbalik sekarang. Dia berbaring lagi. Kemudian didengarnya suara anak-anak laki-laki berteriakteriak nyaring sekali, "Michel sudah mati! Michel sudah mati! Pengemis tua sudah mati! Mari kita bakar kasur tuanya yang kotor itu di hadapan Bunda Maria!" Gringoire merasa ada sesuatu yang lembut jatuh di atasnya. "Berat sekali benda ini," pikir Gringoire, "lagi pula busuk baunya." Anak-anak itu tidak melihatnya terbaring di jalan. Salah seorang di antaranya menyalakan sepotong kain pada lampu di bawah kaki Bunda Maria, untuk membakar kasur yang telah mereka lemparkan. "Aku mencium sesuatu yang terbakar!... ya, ini asap!....matang aku kalau aku tetap di sini!" pikir Gringoire. "Tolong!" teriaknya. Dia berusaha keluar dari bawah kasur itu. Kemudian kasur itu diambilnya, dilemparkannya ke arah anak-anak itu lalu lari secepat mungkin. "Hei, itu arwah pengemis itu!" teriak anak-anak itu. "Ayo lari!" Mereka lari ke arah lain. Gringoire berjalan dari satu jalan ke jalan lain tanpa tahu ke mana dia pergi. Akhirnya dia berhenti, menyandarkan punggungnya pada dinding sebuah rumah. Dibukanya mulutnya lebar-lebar untuk menghirup udara malam yang dingin. "Bodoh benar aku!" pikirnya. "Seharusnya aku tidak melarikan diri dari anak-anak itu. Mereka pun ketakutan melihat aku! Aku seharusnya diam-diam di sana dan menghangatkan diriku dekat api yang mereka nyalakan, atau bahkan kalau anak-anak itu sudah pergi dan aku bisa memadamkan apinya kasur tua itu akan bisa

menjadi milikku dan aku bisa menidurinya enak-enak! Sebaiknya aku cepat-cepat kembali ke sana!" Dia berbalik, lalu berjalan memasuki jalan gelap tadi. Dia bergegas terus, dan sering membelok ke kanan dan ke kiri ke arah yang salah sampai akhirnya dia tiba ke suatu jalan di mana ada sesuatu yang menyala. "Itulah dia!" serunya, "itu kasurku!" dan dia mulai berlari. "Berilah uang sedikit untuk pengemis miskin dan tua!" terdengar suara jelek di sampingnya, dan Gringoire melihat suatu makhluk tanpa kaki mendatanginya dari kegelapan. "Maaf," kata Gringoire, "Saya sendiri sama sekali tak punya uang." "Berilah uang sedikit saja!" Pengemis tanpa kaki itu berjalan dengan bantuan dua buah tongkat di belakang Gringoire. "Berilah saya sesuatu, Tuan!" seru suatu suara kasar lagi, dan muncullah pengemis kedua, yang berjalan dengan bantuan sebuah tongkat. "Sudah kukatakan, aku sendiri tak punya apa-apa, sahabatku," kata Gringoire. Kemudian muncul lagi seorang pengemis di hadapannya. Dia seorang laki-laki kecil yang buta, berjanggut hitam yang panjang, dengan sebuah tongkat putih dan seekor anjing besar yang kasar untuk menuntunnya. "Demi Tuhan yang Maha Pengasih, beri saya uang!" bisik pengemis buta dengan suara lemah. "Aku tak punya apa-apa, tak ada apa-apa!" seru Gringoire. Ketiga pengemis itu mengikutinya. Dia mulai merasa takut. Mereka mengikutinya terus. "Saya tak bisa memberi kalian apa-apa, Sahabat-sahabatku. Jangan ikuti saya terus!" Dia mulai berlari.

Pengemis-pengemis itu mengikutinya dan Gringoire keheranan karena mereka pun berlari cepat. Dua laki-laki tak berkaki tadi melemparkan tongkatnya dan kelihatanlah bahwa mereka sebenarnya punya dua kaki yang kuat! Orang yang buta sebenarnya bisa melihat dengan jelas, dan larinya lebih cepat daripada anjingnya yang besar! Mereka semua mengejar Gringoire. Mereka makin lama makin dekat. Gringoire gemetar ketakutan hingga kakinya hampir-hampir tak terangkat lagi. Tiba-tiba dilihatnya bahwa dia berada di sebuah alun-alun yang besar. Banyak api menyala di batu-batu. Ada pula kelompok orangorang, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ada yang masak, yang lain berteriak, menyanyi dan menari. Mereka adalah orang-orang yang paling kotor di kota Paris. Mereka kelihatan miskin-miskin, dan rumah-rumah di alun-alun itu tua, reot dan jelek-jelek tapi orangorangnya sebenarnya kaya. Mereka berpura-pura miskin dan sakit seperti pengemis-pengemis yang mengejar Gringoire. Mereka berpura-pura miskin, sakit atau buta supaya bisa meminta uang lebih banyak dari pria dan wanita pemurah yang mempercayai mereka. Tapi kini mereka berada di alun-alun mereka sendiri. Alun-alun para pengemis, dan pencuri-pencuri, pembohong-pembohong dan pembunuh-pembunuh itu tidak lagi berpura-pura tak bertangan, berkaki atau bermata. Banyak orang yang tak berkaki sedang menari, dan orang-orang buta sedang main kartu. "Aku rasanya tak bisa percaya," pikir Gringoire. "Ini tak mungkin suatu kenyataan! Mungkin aku sedang tidur enak-enak di kasurku, dan ini semua hanya suatu mimpi buruk. Aku rasanya tak bisa mempercayai penglihatanku!" Tapi itu bukan suatu mimpi. Tiga orang pengemis tadi sedang berteriak-teriak mengelilinginya, "Bawa dia menghadap Raja! Bawa dia menghadap Raja!"

Pengemis-pengemis lain datang pula dan mengelilinginya, dan mereka semua ikut berteriak, "Menghadap Raja! Menghadap Raja!" "Raja mereka tentu setan!" pikir Gringoire waktu para pengemis itu berebut-rebut untuk mendekatinya. Tapi ketiga pengemis tadi berteriak pada yang lain, "Dia kepunyaan kami! Biar kami yang menanganinya! Dia kepunyaan kami!" Mereka menangkapnya, mencakarnya dengan kuku mereka yang panjang dan patah-patah, dan berteriak, "Menghadap Raja! Dia kepunyaan kami!" Sementara itu mereka menyeretnya terus. "Aduh Bunda Maria, Bunda Jesus, tolonglah aku!" dia mencoba berdoa. "Kasihanilah aku dan selamatkanlah aku dari setan-setan ini!"

Chapter 4 CANGKIR PECAH

GRINGOIRE melihat bahwa dia berada di sebuah dapur. Sebuah dapur yang kelihatannya seperti tempat setan. Laki-laki dan perempuan sedang duduk-duduk di sana dengan muka kotor dan berkeringat sambil minum minuman keras. Dari lampu-lampu yang tergantung, minyak menetes-netes ke meja-meja yang sudah rusak. Beberapa di antara laki-laki itu sedang menanggalkan pembalut dari kaki dan tangan mereka dan mereka membuang "luka-luka" bukan luka-luka sungguhan, melainkan luka-luka yang dicorengkan di kulit mereka. Yang lain sedang membersihkan cat hitam dari mata mereka hingga hilanglah kesan butanya. Ruangan itu dipenuhi oleh suara tawa dan nyanyian-nyanyian kotor. Seorang anak yang dicuri dari ibunya yang kaya, sedang duduk di meja dan memukul-mukul sebuah kaleng dengan sendok. "Ayo ikut!" teriak pengemis yang pertama, dan Gringoire didorongnya ke arah api. Di dekat api itu duduklah seorang laki-laki gemuk dengan sebuah mahkota emas di kepalanya. Rupanya seperti seorang gipsy. Seekor anjing hitam yang besar terbaring dekat kakinya. "Buka topimu di hadapan Raja kami!" teriak pengemis yang kedua. Gringoire merasa topinya direnggutkan dari kepalanya. Dia menoleh, tapi topinya sudah hilang. Hampir saja dia tersandung seorang anak kecil yang tergolek di lantai yang kotor. "Berdiri, Tolol!" teriak suatu suara marah. "Siapa orang ini?" tanya Raja. Dia mengacungkan sebuah tongkat tajam ke arah Gringoire, "Siapa dia?"

"Tuan... tuanku... Raja.. bagaimana saya harus menyebut Anda?" tanya Gringoire. "Sebut saja aku sesuka hatimu. Asal kau cepat dan bela dirimu." "Membela diriku?" bisik Gringoire. "Membela diriku terhadap apa?" "Jangan membuang-buang waktuku," teriak Raja. "Aku hakimmu. Kau telah datang ke dalam kerajaanku yaitu kerajaan para pengemis. Tak seorang pun mengundangmu ke sini. Kau harus diganjar karena kau datang. Nah, siapa kau?" "Tuan.... saya seorang pengarang...." "Cukup!" teriak raja itu. "Pengarang-pengarang selalu menceritakan yang jahat-jahat tentang rakyatku, para pengemis." "Tapi saya ini Gringoire si penyair, dan naskah-naskah sandiwara saya...." "Aku sudah melihat salah satu sandiwaramu. Buruk, buruk sekali. Orang yang menulisnya tentu sepantasnya digantung." "Tapi, Anda tentu tidak akan membunuh saya tanpa mendengarkan apa yang saya katakan?" seru Gringoire. Seorang anak menyiramkan sebotol kecil minyak ke api, dan nyala apinya menjadi besar sekali. Terdengarlah pekik-sorak dan suara tawa. Daging yang sedang dimasak, hangus mengeluarkan bau sangit dan asap tebal. "Jaga masakan itu, Goblok!" seru suatu suara berat. "Diam!" teriak Raja para pengemis. Dia memberikan isyarat kasar pada beberapa orang di ujung dapur, lalu berpaling lagi pada Gringoire, "Aku tidak bisa mendapatkan alasan mengapa kau tak perlu digantung. Gringoire menjadi pucat ketakutan. "Tapi," Raja melanjutkan, "kalian orang-orang baik-baik agaknya tak suka digantung, kan? Dan, lebih-lebih kami tak mau menyakitimu. Coba kupikirkan dulu...." lalu Raja itu menggosok-

gosokkan tangannya di mukanya yang hitam itu. "Aku tahu," katanya akhirnya. "Ada suatu jalan keluar, kau bisa menjadi salah seorang anggota kami, seorang pencuri seperti kami semua. Bagaimana?" Gringoire bisa bernafas lagi mendapatkan kesempatan hidup ini. "Oh ya, saya mau!" serunya, "tentu saya mau!" "Maukah kau menjadi anggota barisan kami?" "Ya, ya saya mau, dan saya mau disuruh pergi ke mana pun juga!" "Menjadi seorang pencuri seperti kami?" "Menjadi seorang pencuri seperti kalian!" "Demi jiwamu?" "Demi jiwa saya." "Tentu harus kuberi tahu kau bahwa akibatnya kau akan digantung." "Benarkah?" bisik Gringoire, yang lalu merasa panas dingin ketakutan. "Tapi kau akan digantung oleh orang-orang Paris yang jujur di tiang gantungan yang bagus dengan cara yang lebih baik. Itu suatu hiburan juga, bukan?" "Ya memang, benar!" sahut Gringoire. "Dan kau tidak usah membayar apa-apa pada pemerintah. Kau boleh berbuat apa saja di kota Paris ini!" "Ya, ya benar!" "Dan kau mau menjadi salah seorang anak buahku?" "Tentu." "Tidak cukup hanya mau saja. Keinginan baik saja tak ada gunanya, kecuali hanya untuk masuk surga. Jika kau mau menjadi salah seorang anggotaku, kau harus membuktikan bahwa engkau pandai mengerjakan pekerjaan kami. Nah, kau harus mencuri dari si George, orang kecil kami."

"Saya akan mencuri dari siapa pun yang Anda kehendaki," kata Gringoire. Raja memberi isyarat, dan beberapa orang meninggalkan lingkaran untuk mengambil sesuatu. Sebentar kemudian mereka kembali dengan dua buah tiang kayu dan mendirikannya di lantai. Melintang di atas kedua tiang itu mereka memasang sepotong kayu lagi, dan dari kayu itu mereka menggantungkan sepotong tali. Keseluruhannya merupakan sebuah tiang gantungan yang sempurna. Gringoire merasa ngeri sekali. "Bagaimana kesudahan semuanya ini?" tanyanya sendiri. Bunyi lonceng-lonceng kecil menyebabkan dia berhenti berpikir. Bunyi itu berasal dari seorang manusia tiruan yang dibuat dari kain, yang digantung pencuri-pencuri itu dari tali pada tiang gantungan itu. Orang-orangan itu diberi pakaian merah, dilengkapi dengan lonceng-lonceng kecil dari tembaga. Lonceng-Ionceng kecil itu berbunyi bagus sebentar, waktu tali itu berayun, tapi suaranya makin lama makin halus dan menghilang sama sekali ketika orangorangan itu menjadi diam tak bergerak. Raja mengacungkan tongkatnya ke arah sebuah kursi tua yang ada di bawah orang-orangan merah itu, lalu berkata pada Gringoire, "Berdirilah di atas kursi itu." "Setan!" kata Gringoire. "Bisa patah leher saya! Kakinya yang satu lebih pendek daripada yang tiga." "Naik," ulang Raja itu dengan tenang. Gringoire naik dan berdiri di atas kursi itu, terhuyung-huyung ke belakang dan ke depan beberapa kali, tapi dia tidak jatuh. "Nah," kata Raja, "ulurkanlah badanmu sampai setinggi mungkin." "Apakah Anda ingin tulang-tulang saya patah?" tanya Gringoire.

Sang Raja menggeleng. "Dengarkan, Sahabat," katanya, "kau terlalu banyak bicara. Dengar, ini yang harus kaulakukan: ulurkan badanmu sampai setinggi mungkin, sampai kau bisa menjangkau saku merah si George kecil kami. Masukkan tanganmu ke dalamnya dan keluarkan uang yang tersembunyi di dalamnya. Jika semuanya itu bisa kaulakukan tanpa lonceng itu berbunyi sedikit pun, baguslah maka kau akan menjadi salah seorang anak buahku." "Saya akan berhati-hati sekali," kata Gringoire. "Tapi kalau lonceng-lonceng di tubuh George berbunyi ....... ?" "Jika lonceng-loncengnya berbunyi, kau akan digantung menggantikan dia, sahabatku. Nah sekarang kerjakan, jangan bicara lagi. Dan ingat, kalau ada satu lonceng yang berbunyi sedikit saja, lehermu akan digantung di situ!" Semua pencuri melingkari tiang gantungan itu, mereka berteriak dan tertawa-tawa tanpa rasa kasihan barang sedikit juga pun. Gringoire sadar bahwa dia sama sekali tak punya harapan kecuali kalau dilakukannya sebagaimana yang diperintahkan. Dia menengadah memandang pada George, dan berdoa sepenuh hati terhadap orang-orangan merah itu, hatinya tentu lebih lembut daripada hati pencuri-pencuri yang berdiri menontonnya. Lonceng-lonceng logam itu kelihatan seperti lebah yang sedang marah dan bersiap-siap akan menyerangnya. Gringoire masih mendapat suatu harapan terakhir, dia berpaling pada Raja dan bertanya, "Bagaimana kalau angin bertiup dan meniup lonceng-lonceng itu sampai berbunyi?" "Maka kau akan digantung," sahut Raja segera. Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Gringoire mulai menjalankan tugasnya. Dia meninggikan dirinya sedapat-dapatnya, dan perlahan-lahan menjangkaukan tangannya. Tapi pada saat tangannya menyentuh kain merah itu, dirasakannya dirinya jatuh ke kursi, dan untuk bertahan dia berpegang pada George. Pada saat itu

pula semua lonceng mulai berbunyi dan jatuhlah Gringoire ke lantai dengan suara lonceng itu memenuhi telinganya. George terayun-ayun ke belakang dan ke depan di atasnya, di antara kedua buah tiang. "Tolong!" teriak Gringoire, waktu dia jatuh dan dia tersungkur di lantai seolah-olah mati. Lonceng-lonceng itu berbunyi terus, dan pencuri-pencuri itu tertawa. "Angkat orang itu, dan gantung dia segera," kata sang Raja. Gringoire bangun sendiri. Pencuri-pencuri itu telah menurunkan George untuk digantikan tempatnya oleh Gringoire nanti. Mereka mengangkat penyair itu ke atas sebuah kursi, dan sang Raja memasang tali ke lehernya. "Selamat jalan, Sahabat," kata sang Raja. "Kau tak bisa lolos lagi sekarang, tak ada kesempatan lagi!" Kata 'kasihanilah' tak jadi diucapkan oleh Gringoire. Dia melihat ke sekelilingnya, namun tidak melihat bayangan harapan barang sedikit jua pun. Semua muka itu tertawa seperti setan. "Nah sekarang kalian bertiga sini," kata Raja, "seorang menangani kayu melintang itu, seorang siap untuk menyepak kursi tempatnya berdiri, dan seorang lagi menarik kakinya." Ketiga pengemis yang membawa Gringoire tadi, maju. Yang kecil dan berjanggut hitam, dengan cepat memanjat kayu melintang dan melongok ke bawah, tertawa pada Gringoire. Kedua orang yang lain berdiri di bawah dan menunggu saatnya melakukan apa yang diperintahkan. "Bila tongkatku memukul meja...." kata sang Raja. Dia memasukkan beberapa potong kayu kecil-kecil ke dalam perapian. Keadaan sepi dan tegang. "Sudah siapkah kalian?"' tanyanya. "Siap!" jawab mereka bertiga dengan suara datar.

"Sudah siap?" tanyanya lagi, sambil mengangkat tongkatnya. Tangannya tak bergerak menunggu: sedetik lagi, maka.... Tetapi dia terhenti. Dia tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Tunggu dulu," katanya. "Aku lupa kebiasaan kita untuk tidak menggantung seseorang, sebelum bertanya apakah tak ada wanita kita yang mau menjadikannya suaminya. Inilah kesempatanmu yang terakhir sahabat: pilih salah satu, kawin dengan salah seorang wanita kami atau kawin dengan tali gantungan kami." Gringoire bernafas lega. "Nah," kata sang Raja, "mari sini, kalian kaum wanita dan gadis-gadis! Ini ada seorang laki-laki yang bisa kalian kawini dengan cuma-cuma! Siapa yang mau?" Perempuan-perempuan itu tak suka melihat rupanya. "Gantung saja dia! Kami akan senang!" teriak salah seorang di antaranya. Banyak yang tertawa. Tapi tiga orang di antaranya, keluar dari kumpulannya lalu memandangnya. Yang pertama, seorang wanita muda berwajah segi empat, mengamat-amati pakaiannya yang buruk. "Perlihatkan jasmu," perintahnya pada Gringoire. "Sudah hilang," sahut Gringoire. "Topimu?" "Sudah mereka rampas daripadaku." "Sepatumu?" "Tinggal sedikit sekali bagian yang tersisa." "Apa isi sakumu?" "Kosong. Menyesal saya harus mengatakan saya tak punya uang sesen pun." "Kalau begitu biar saja orang menggantungmu, aku tak peduli," katanya, lalu berbalik. Wanita kedua, sudah tua dan berkulit gelap, berjalan mengelilinginya. "Dia terlalu kurus," katanya, lalu meninggalkannya.

Yang ketiga masih muda, berwajah cukup cantik. "Selamatkanlah saya!" bisik laki-laki malang itu. Wanita itu memandangnya dengan iba, lalu menekur. Dia tak bisa mengambil keputusan. Gringoire memperhatikan setiap gerak wanita itu. Itulah harapannya yang terakhir. Kemudian wanita itu mengambil keputusan. "Tidak," katanya; "Henri nanti memukulku." Dia kembali ke kumpulannya. "Jadi tak adakah yang mengingini si penyair?" kata sang Raja. "Bagaimana.... bagaimana...." lalu dia berpaling ke tiang gantungan itu seolah-olah akan memberikan kata terakhir. Pada saat itu terdengar suatu teriakan dari ujung lain ruangan itu, "Esmeralda! Esmeralda!" Gringoire terkejut, dan menoleh. Orang-orang menyisih dan memberi jalan pada seorang gadis yang bersih dan cemerlang. Dia adalah gadis gipsy tadi. "Esmeralda!" bisik Gringoire dengan suara penuh rasa kagum. Kecantikan dan keanggunan sikapnya memberikan semarak pada ruangan itu, dan wajah pencuri-pencuri yang keras dan kejam menjadi lembut waktu dia melewati mereka. Djali, kambing kecilnya, mengikutinya. Esmeralda mendekati Gringoire yang merasa dirinya lebih mendekati kematian daripada hidup. Dipandanginya Gringoire beberapa lamanya tanpa berkata apa-apa. "Apakah Anda akan menggantung orang ini?" tanyanya dengan tenang pada Raja. "Benar, Saudara," jawabnya; "kecuali kalau kau mau mengambilnya sebagai suamimu." "Aku mau mengambilnya," katanya.

Gringoire yakin bahwa dia bermimpi sejak pagi-pagi tadi. Mereka melepaskan tali dan membantunya turun dari kursi. Tanpa berkata apa-apa, sang Raja mengambil sebuah cangkir dari meja lalu memberikannya pada Esmeralda. Esmeralda memberikannya pula pada Gringoire. "Lemparkan ke lantai," katanya. Cangkir itu pecah menjadi empat. "Sahabat," kata sang Raja, sambil meletakkan tangannya ke kepala Gringoire dan Esmeralda, "dia menjadi istrimu, Saudara, dia suamimu selama empat tahun. Pergilah." Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 5 MALAM PENGANTIN

KAMAR kecil itu hangat dan nyaman. Gringoire langsung duduk, dan Esmeralda membawa barang-barang dari rak, supaya Gringoire bisa makan malam. Dia sama sekali tidak mengacuhkan Gringoire waktu dia melewatinya membawa sebuah piring, pisau dan cangkir. Gringoire memperhatikan Esmeralda, dan merasa seolah-olah dirinya berada dalam sebuah dongeng. Sambil hilir-mudik itu, Esmeralda berbicara dengan kambing kecilnya. Suaranya terlalu halus hingga tak dapat Gringoire mendengarnya. Akhirnya Esmeralda mendatanginya dan duduk dekat meja, dan Gringoire dapat melihatnya dengan jelas. "Sungguh cantik dia!" pikirnya. "Dan gadis cantik yang biasa menari di jalan ini, telah menyelamatkan nyawaku. Dia tentu tergilagila padaku, maka dia mau mengambilku. Dan kini aku suaminya!" Gringoire bangkit, mendekatinya, lalu tersenyum. Tapi Esmeralda menjauh. "Mau apa kau?" serunya. "Mengapa masih kautanyakan, Esmeralda-ku yang cantik?" sahutnya. "Aku tak tahu apa maksudmu," kata Esmeralda. "Bagaimana mungkin! Bukankah aku milikmu, Manis? Dan kau kepunyaanku?" Gringoire merangkul Esmeralda. Seperti seekor ular Esmeralda melepaskan dirinya dari rangkulan itu. Dia berlari ke ujung kamar dan berbalik ke arah Gringoire dengan sebuah pisau kec il di tangannya. Matanya berapi-api karena marah. Pada saat yang sama kambing kecil putih berdiri di depannya, dan menggoyang-goyangkan kepalanya yang bertanduk

keemasan yang tajam, seolah-olah akan mengatakan pada Gringoire supaya menjauh. Gringoire melihat pada kambing dan gipsy itu. "Demi Bunda Maria," kata Gringo ire, "tipu muslihat apa yang sedang kaulakukan atas diriku sekarang ini?" Esmeralda terdiam. "Kau tentunya laki-laki pemberani," kata Esmeralda akhirnya, "karena kau begitu berani mendekati Esmeralda!" "Maafkan aku, perempuan yang baik," kata Gringoire dengan tersenyum, "tapi mengapa kaukawini aku?" "Apakah harus kubiarkan mereka menggantungmu?" "Jadi," kata Gringoire dengan sedih karena harapan-harapan cintanya lenyap, "kau tak punya tujuan lain waktu mengawiniku, selain akan menyelamatkan aku dari tiang gantungan?" "Lalu kausangka tujuan lain apa yang ada padaku?" Gringoire menggigit bibirnya. "Yah," katanya, "aku rupanya tak berhasil dalam bercinta, sebagaimana yang kuharapkan! Tapi, lalu apa gunanya pemecahan cangkir segala tadi, kalau kau tak menghendaki diriku sebagai seorang suami?" Pisau Esmeralda dan tanduk Djali masih teracung padanya. "Aku menyadari," kata Gringoire, "bahwa aku tidak akan mendapatkan cinta. Tapi setelah segala macam kejadian atas diriku hari ini, aku benar-benar butuh makanan." Esmeralda tidak berkata apa-apa. Dia mendongakkan kepalanya, lalu tertawa. Pisau kecil tadi menghilang secepat dia mengeluarkannya tadi. Gringoire tak sempat melihat di mana dia menyembunyikannya. Sesaat kemudian sebatang roti, sepotong daging, beberapa buah apel yang keriput serta sekendi anggur sudah tersedia di meja. Gringoire mulai makan dengan lahap. Bunyi pisau yang nyaring di

piring membuktikan bahwa rasa cinta telah berubah menjadi rasa lapar. Esmeralda duduk di dekatnya, memperhatikannya tanpa berbicara. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekali-sekali dia tersenyum, sementara tangannya membelai kepala kambingnya lalu menekannya dengan lembut ke lututnya. Lampu memantulkan cahaya kuning kepada mereka. Setelah Gringoire merasa kenyang dia merasa malu karena yang tersisa hanyalah sebuah apel dan roti sedikit sekali. "Esmeralda," katanya, "kau sendiri tak makan." Esmeralda menggeleng, tapi tidak berkata apa-apa. Dia masih tenggelam dalam angan-angannya. Gringoire ingin tahu apa yang diangankannya. Gringoire memanggilnya, tapi Esmeralda tetap diam. Sekali lagi dia memanggil, tapi Esmeralda tetap tak memperdulikannya. Tapi tak demikian dengan kambingnya, binatang itu menarik baju gadis itu perlahan-lahan. "Mau apa kau Djali?" tanya gipsy itu. "Djali lapar," kata Gringoire, dia senang karena bisa berbicara lagi dengan gadis itu. Esmeralda mengambil roti lalu memotongnya sedikit dengan tangannya. Djali memakannya. Sebelum Esmeralda sempat berpikir lagi, Gringoire bertanya dengan suara sedih, "Jadi tetap tak maukah kau mengambilku sebagai suamimu?" Esmeralda memandang tenang padanya, dan menjawab, "Tidak." "Sebagai pacarmu?" "Tidak." "Sebagai sahabatmu?" Esmeralda berpikir, lalu menyahut, "Mungkin." "Tahukah kau apa arti persahabatan?" tanya Gringoire.

"Ya," sahutnya, "yaitu kita harus seperti saudara saja dua jiwa yang bertemu tapi tidak bersatu seperti dua jari pada satu tangan." "Sedang cinta?" "Oh, cinta!" katanya dengan mata berbinar-binar, "itu berarti dua namun tetap satu. Cinta itu surga!" Ketika dia berbicara itu wajahnya kelihatan lebih cantik lagi. "Laki-laki macam mana yang akan membahagiakanmu?" tanya Gringoire. "Seorang prajurit dengan pedang di tangannya. Dia bersenjata lengkap, dan dia menunggang kuda yang bagus." "Dan cintakah kau pada laki-laki seperti itu?" "Hal itu akan segera kuketahui," sahutnya. "Tapi tak bisakah kau mencintai seorang penyair?" tanya Gringoire perlahan, "tak bisakah kau mencintaiku?" Esmeralda memandangnya dengan serius, lalu berkata, "Aku tak bisa mencintai laki-laki yang tak bisa melindungiku." Gringoire merasa malu karena dia ingat bahwa dia tak bisa membantu Esmeralda di jalan dua jam yang lalu. Dia teringat lagi akan pergumulan tadi, dan dia bertanya, "Bagaimana kau bisa lolos dari cengkraman Quasimodo?" "Oh, si bongkok jahat itu!" seru Esmeralda. Ditutupnya mukanya dengan kedua belah tangannya, dan dia gemetar seolah-olah kedinginan. "Memang jahat," kata Gringoire. "Tapi bagaimana kau bisa lepas dari dia?" Esmeralda tersenyum, dan diam-diam dia kembali pada kenangannya. Lalu dia mulai bersenandung halus. Gringoire memotong nyanyian itu lalu bertanya, "Mengapa orang menamakanmu Esmeralda?" "Entahlah," sahutnya. "Mungkin karena ini." Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang tergantung pada

seutas rantai perak di lehernya. Kantong itu terbuat dari sutera hijau, di mana dilekatkan sepotong kaca hijau cerah. "Kata orang memang ada batu mulia yang berwarna hijau cerah seperti ini, dan kami kaum gipsy menyebutnya 'La Esmeralda'." "Bagus sekali," kata Gringoire, sambil mengulurkan tangannya ke kantong itu. "Jangan!" seru Esmeralda, "jangan sentuh, ini ada tenaga gaibnya." Dimasukkannya lagi kantong itu ke dalam bajunya. "Siapa yang memberimu barang itu?" tanya Gringoire, tapi Esmeralda meletakkan jarinya ke bibirnya dan tak mau menjawab. "Masih hidupkah ibu-bapakmu?" tanyanya. Esmeralda lalu menyanyikan lagu tua, Ibuku adalah burung, ayahku juga burung, di udara, melalui air 'ku terbang, selalu bebas aku terbang, ibuku adalah burung, demikian pula ayahku." "Tahun lalu aku datang ke Paris ini," kisahnya. "Waktu Djali dan aku berjalan melalui gerbang kota, seekor burung kecil terbang ke luar, dan aku berkata, 'Musim salju ini akan dingin sekali.' " "Dan ternyata memang demikian!" seru Gringoire. "Sepanjang waktu tiada lain kerjaku, harus meniup-niup tanganku terus untuk menghangatkannya. Kau seorang peramal yang baik!" "Bukan," katanya. Lalu Gringoire menceritakan tentang dirinya. "Aku tak punya ayah dan ibu," kisahnya. "Keduanya meninggal waktu aku masih bayi. Aku dibesarkan dan diajar oleh para imam, supaya kalau aku sudah besar aku akan bisa menjadi seorang imam

dan guru pula. Imam-imam itu pandai sekali. Claude Frollo, yang paling terpelajar di Paris ini pun pernah memberi aku pelajaran! Tapi aku ingin menjadi seorang pengarang, dan kini aku memang seorang penulis. Bukan," katanya lagi dengan sedih, "semula aku memang seorang penulis. Tapi aku tak bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membeli rotiku saja. Bagaimana kita berdua bisa hidup, setelah kita jadi suami istri ini?" Gringoire menunggu supaya Esmeralda berbicara, tapi dia menekur saja. Lalu dia berkata perlahan sekali, "Phoebus... Phoebus." Lalu dia mengangkat kepalanya memandang Gringoire. "Apa arti kata itu?" tanyanya. Gringoire tak mengerti mengapa Esmeralda ingin tahu arti kata itu, tapi dia senang bisa menunjukkan kepandaiannya. "Itu suatu perkataan dari bahasa lain," katanya, "dan berarti 'matahari'!" "Matahari!" ulang Esmeralda, dengan senyum yang manis sekali, "matahari!" "Phoebus adalah dewa yang mulia dan cemerlang." "Seorang dewa!" ulang Esmeralda, dengan suara merenung dan rasa kagum. Kemudian, sebelum Gringoire mengerti apa yang akan terjadi, Esmeralda sudah lari ke luar. Kambingnya cepat melompat menyusulnya. Pintu ditutupnya. Gringoire bangkit dan cepat menyusulnya. Tapi lalu didengarnya kunci diputar. Dia menggedor pintu sampai tangannya sakit. "Jadi aku harus menghabiskan malam pengantinku ini seorang diri," katanya dengan sedih. "Kuharap saja dia sekurang-kurangnya menyediakan tempat bagiku di sini!" Tapi yang didapatinya di kamar itu hanyalah sebuah peti kayu panjang, dan dia meletakkan tubuhnya di situ. Dia begitu letihnya hingga dia langsung tertidur.

Chapter 6 RUANG SIKSAAN

PRAJURIT-PRAJURIT berhasil menangkap Quasimodo di jalan waktu dia mencoba melarikan Esmeralda, lalu mereka membawanya ke penjara. Di sana, sepanjang malam dia ketakutan. Esok paginya dia dihadapkan pada hakim di pengadilan. Quasimodo tak dapat mendengar sepatah pun dari apa-apa yang dikatakan di sana. Waktu pertanyaan-pertanyaan diajukan, dia bisa melihat bahwa orang berbicara dengan dia, dan diperhatikannya gerak bibir orang-orang itu. Lalu dia mencoba menjawab sedapat-dapatnya. Tapi jawaban-jawabannya tak ada hubungannya dengan pertanyaanpertanyaannya, dan ruang pengadilan itu pun langsung riuh oleh suara tawa orang. Hakim menjadi marah sekali. Pak hakim semalam menghadiri suatu jamuan makan besar dan penting. Kini perutnya terasa tak enak karena kebanyakan makan, dan kepalanya sakit sekali gara-gara kebanyakan minum minuman keras. Pada sangkanya si bongkok bermata satu ini sedang mempermainkan dia, terutama karena telinga pak hakim sendiri pun tidak begitu baik juga meskipun dia pura-pura bisa mendengar segala-galanya dengan baik sekali, sedang orang-orang takut menunjukkan kesalahan-kesalahannya. Pak hakim tadi mulai terlambat, padahal hari itu dia harus mengadili banyak perkara, oleh karenanya dia ingin cepat menyelesaikan perkara Quasimodo. Diperintahkannya saja supaya si bongkok dipasung di roda dan dipukuli selama satu jam. Quasimodo tak mendengar sepatah pun apa yang dikatakan pak hakim, jadi dia berbicara lagi, "Mungkin Anda ingin tahu nama saya? Nama saya Quasimodo...."

"Diam!" teriak seorang perwira. Tapi Quasimodo tak mendengar. "Pekerjaan saya membunyikan lonceng di gereja NotreDame...." "Diam! Diam!" "Dan umur saya...." Pak hakim makin marah dan mukanya yang kuning jadi merah padam. "Bawa orang itu ke luar!" teriaknya, "dan biarkan dia di ruang siksa itu satu jam lagi. Biar dia jera! Tak ada gunanya mempermainkan hukum, Saudara!" Maka dibawalah Quasimodo pergi, sedang pak hakim melanjutkan dengan perkara selanjutnya. *** Roda itu berada di puncak suatu menara batu di sebelah tiang gantungan, di Place de Grve. Di dalamnya tak ada apa-apa kecuali beberapa anak tangga yang kasar dan curam yang menuju ke puncaknya. Di puncak itu, ada sebuah roda besar. Orang-orang yang bersalah diikat pada roda itu dengan cara yang menyakitkan, punggungnya menghadap alun-alun dan lengannya diikat pada lututnya. Lalu mereka dipukuli, dan sementara itu roda itu diputar perlahan-lahan terus supaya semua orang di alun-alun bisa melihat mereka menderita. Quasimodo dibawa ke ruang siksa itu. Semalam Quasimodo dibawa ke alun-alun, diusung dengan sorak-sorai, nyanyi dan tawa, sebagai Imam Tertinggi Orang-orang Dungu. Waktu itu orang-orang banyak menghendakinya. Kini mereka tak tahu kesalahan apa yang telah dilakukannya, tapi hati mereka telah menjadi batu, sekeras dan sedingin batu ruang siksa itu dan mereka datang untuk menambah siksaannya. Suster Gudule menjenguk melalui jeruji besi jendela Lubang Tikus waktu didengarnya orang-orang lewat menuju ke Roda di Place

de Grve. Dia mencoba menjulurkan kepalanya, dan matanya bersinar dengan sinar kegila-gilaan lalu berteriak pada prajurit-prajurit yang lewat: "Demi Tuhan yang Pengasih, mudah-mudahan itu seorang gipsy! Mudah-mudahan yang akan dipukul hari ini adalah seorang gipsy!" "Kali ini doa Anda tak makbul, Suster," katanya sambil tertawa dan berjalan terus cepat-cepat. "Kukutuk mereka itu!" teriaknya, "kukutuk semua gipsy!" Suster Gudule masuk kembali ke Lubang Tikusnya, berbaring di lantai yang dingin dan kotor dan membaca doa-doanya. Para prajurit menggabungkan diri dengan orang banyak di sekeliling ruang siksa, dan melihat apa yang terjadi atas diri Quasimodo. Lengan si bongkok diikat demikian kuat hingga kulitnya luka. Tapi kelihatannya dia tidak merasa sakit sama sekali, atau bahkan tak mengerti apa yang sedang dilakukan orang-orang atas dirinya. Dia acuh tak acuh saja, seolah-olah dia buta. Orang-orang mendorongnya supaya berlutut di Roda. Dia sama sekali tidak mencoba membela dirinya. Mereka membuka jas dan kemejanya, lalu mengikatnya dengan rantai, tapi dia tetap tak bergerak. Dia hanya sekali-kali menarik nafas dengan suara nyaring, seperti seekor binatang sebelum disembelih. Orang banyak tertawa waktu melihat punggung Quasimodo tanpa pakaian, dan mereka merasa lucu sekali waktu melihat pundaknya yang jelek penuh dengan rambut. Bagi orang-orang yang tak kenal rasa kasihan itu, dia seperti suatu makhluk aneh dalam suatu pertunjukan. Algojo menaiki tangga di menara dan berdiri dekat roda. Algojo adalah seseorang yang menyiksa dan amat menyakiti orang lain. Algojo ditugaskan untuk menyiksa orang-orang yang telah berbuat

salah, atau menyakiti seorang terhukum untuk memaksanya mengakui kesalahannya. Orang-orang banyak berteriak kesenangan waktu mereka melihat algojo itu muncul. Ditaruhnya sebuah 'botol-jam' yang tinggi di samping roda itu. Benda itu merupakan dua buah cangkir besar dari kaca yang disusun ke atas. Cangkir yang di atas penuh pasir merah, yang jatuh sedikitsedikit melalui suatu celah ke dalam cangkir yang di bawah. Setelah satu jam, pasir itu baru habis. Selama waktu itu, Quasimodo harus dipukuli. Kemudian algojo itu bersiap-siap untuk memukul Quasimodo dengan tali-tali yang diikatkan pada sepotong kayu. Tali-tali itu banyak simpul-simpulnya, dan di ujung tali-tali itu terdapat logam yang tajam-tajam. Setelah semuanya siap, sang algojo memberikan isyarat, roda mulai berputar, dan terdengar suara mendengung dari kumpulan orang-orang banyak. Wajah Quasimodo membayangkan keheranan amat sangat waktu merasa dirinya bergerak. Algojo mengangkat tangannya, dan jatuhlah pukulan yang pertama di pundak si bongkok yang malang itu. Tubuh Quasimodo bergerak seperti orang yang baru bangun tidur. Tubuhnya gemetar kesakitan, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Hanya kepalanya yang digoyang-goyangkannya ke kiri dan ke kanan seperti seekor binatang yang mencoba untuk mengusir lalat yang ada di punggungnya. Orang-orang bersorak. Tali-tali pemukul jatuh lagi ke pundaknya pukulan kedua ketiga sekali lagi dan lagi. Roda berputar terus-menerus, dan tali-tali memukulnya terus. Darah pun mengalir dari punggung dan pundak Quasimodo, sampai tali yang putih tadi menjadi merah. Lalu si bongkok berjuang untuk melepaskan diri. Matanya bersinar penuh ketakutan, dan dia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melepaskan rantai yang mencengkeram dirinya.

Tapi sia-sia. Dia tak dapat melepaskan diri. Jadi dia menyerah dan tak peduli lagi. Dia sama sekali tak bergerak lagi, sedang sang algojo makin lama makin geram dan memukul makin kuat untuk melukai si bongkok. Quasimodo menutup matanya. Akhirnya habislah pasir merah itu jatuh ke cangkir yang di bawah. Satu jam pertama yang mengerikan sudah berlalu. Seorang pegawai pengadilan yang duduk di atas seekor kuda besar yang hitam dan mengawasi, mengangkat tombaknya lalu menunjuk ke arah pasir merah. Sang algojo berhenti. Roda juga berhenti. Si bongkok perlahan-lahan membuka matanya yang hanya satu itu. Dua orang prajurit mengoleskan minyak obat ke luka Quasimodo di punggungnya, hingga darah tidak mengalir lagi. Lalu punggung itu mereka tutup dengan sehelai kain kuning. Sang algojo mencuci darah dari tali-tali pemukul dalam air seember. Tapi siksaan bagi si bongkok belumlah berakhir. Dia masih harus tinggal di ruang siksaan itu satu jam lagi. Maka botol yang berisi pasir merah itu dibalikkan lagi, dan dia dibiarkan terikat pada roda. Orang banyak tak suka pada si bongkok karena dia jelek. Mereka meneriakinya, tapi dia tak bisa mendengar. Mereka bahkan melemparinya dengan batu, dan itu menyakitinya. Ditahannya rasa sakit itu beberapa lamanya tanpa bergerak. Tapi kemudian waktu dia melihat ke bawah ke wajah-wajah kaku yang menertawakannya, dia merasa benci sekali, dan dia mulai memberontak. Hal itu menyebabkan roda itu bergerak berputar-putar dan orang banyak makin nyaring tertawa. Quasimodo menyerah, seperti seekor binatang yang tak dapat memutuskan rantai yang mengikat lehernya. Perasaan yang menyebabkan darahnya mendidih, menjadikan warna mukanya makin lama makin merah. Seorang imam yang menunggang seekor keledai melalui kumpulan orang banyak itu. Quasimodo melihatnya, dan kemarahan

yang membayang di muka si bongkok menghilang. Dia merasa senang melihat Claude Frollo, dan dia tersenyum. Tapi waktu Frollo cukup dekat untuk melihat siapa orang yang di ruang siksaan itu, dia cepatcepat menunduk dan sebelum Quasimodo sempat berbicara padanya atau menunjukkan bahwa mereka saling mengenal dia membelokkan keledainya dan memberi isyarat pada keledainya supaya cepat-cepat lari meninggalkan orang banyak itu. Muka si bongkok menjadi lebih merah, senyumnya menjadi sedih dan kemudian hilang sama sekali. Waktu berlalu. Sudah hampir satu setengah jam dia berada di situ, dan dia tidak berucap barang sepatah kata pun. Kini dia memberontak lagi dalam rantainya, hingga roda itu bergoyanggoyang, dan dia berteriak senyaring-nyaringnya dengan suara yang menyerupai suara anjing yang melolong, mengatakan, "Air!" Orang banyak menertawakan jeritnya itu dan mengolokolokkan rasa hausnya itu. Mereka tak mau menolongnya. Lidahnya terjulur, dan matanya berputar-putar. Pasir merah terus jatuh sedikit demi sedikit, kemudian dengan suara yang lebih mengerikan, terdengarlah lagi jeritan, "Air!" Semua orang tertawa. "Minumlah ini!" teriak seorang laki-laki. Dipungutnya selembar kain basah dari jalan yang kotor. "Pakailah ini untuk menghilangkan hausmu!" seru seseorang yang lain, lalu dilemparkannya sebuah cangkir pecah ke kepala si bongkok. "Air!" teriak Quasimodo untuk ketiga kalinya. Kemudian, tampillah dari kumpulan orang banyak itu seorang gadis, yang diikuti oleh seekor kambing kecil gadis itu adalah gadis yang akan dibawanya lari semalam. Esmeralda berlari menaiki tangga ruang siksa itu dengan membawa sebuah botol. Tanpa mengatakan apa-apa dibukanya botol itu lalu ditaruhnya ke bibir laki-laki malang

itu. Meleleh air mata Quasimodo. Esmeralda terus menuangkan isi botol itu ke mulutnya. Quasimodo meminumnya dengan lahapnya. Dia haus sekali. Setelah puas dia minum, Quasimodo memoncongkan bibirnya yang hitam untuk mencium tangan orang yang telah menolongnya. Tapi Esmeralda yang ingat akan serangan Quasimodo dan usahanya untuk membawanya lari, menarik tangannya, seperti anak kecil yang takut kalau-kalau dia digigit binatang. Orang banyak pun terkesan melihat gadis cantik yang berdiri dekat laki-laki cacad di ruang siksaan itu. Sesaat sebelum itu ejekanejekan mereka menyiksa laki-laki itu. Kini mereka merasa iba dan bersorak memuji kebaikan budi gadis itu. Pada saat itu Suster Gudule dari Lubang Tikus melihat Esmeralda. "Kutukanku atas dirimu, gipsy yang jahat!" teriaknya. "Kutukanku atas dirimu selalu!"

Chapter 7 Mengeja Rahasia

LEBIH dari dua bulan telah berlalu. Malam pada awal musim semi itu terasa hangat dan nyaman, dan Notre-Dame tampak cantik. Di seberang jalan, sebuah rumah yang bagus di tikungan sedang bermandikan cahaya merah dari matahari yang mulai terbenam. Di loteng dekat jendela, duduklah beberapa orang gadis cantik berpakaian bagus-bagus. Semua gadis itu berasal dari keluargakeluarga kaya, dan mereka datang mengunjungi sahabat mereka Fleur, yang tinggal di rumah itu bersama ibunya seorang wanita gemuk yang agak dungu. Ayah Fleur sudah meninggal. Fleur duduk agak terpisah dari gadis-gadis lain. Dia sedang bercakap-cakap dengan pemuda yang diharapkan ibunya akan mengawininya Kapten Phoebus de Chtheaupers. Ibu Fleur tersenyum memandangi mereka. "Pasangan yang serasi sekali mereka, bukan?" katanya pada Alice, seorang gadis berambut hitam yang merupakan sahabat karib Fleur. Tapi Kapten Phoebus sudah bosan pada Fleur yang cantik itu. Dia tak bisa memikirkan apa lagi yang akan dikatakannya pada gadis itu. Dia berdiri diam saja sambil menggosok-gosok gagang pedangnya atau mempermainkan kancing bajunya. Fleur menengadah melihat padanya. "Kau kan pernah bercerita bahwa kau telah menyelamatkan seorang gadis gipsy beberapa bulan yang lalu?" katanya. "Memang benar," sahut kapten itu. "Nah," kata gadis itu lagi, "mungkin itu dia gadis yang sedang menari di bawah sana, di alun-alun di depan Notre-Dame. Coba lihatlah."

Diajaknya Phoebus ke jendela besar yang menjorok ke jalan, lalu digandengnya Phoebus. "Lihat itu di bawah itu," katanya. "Gadis gipsy-mukah yang sedang menari itu?" Phoebus melihat, lalu tersenyum, "Benar saya mengenalinya karena kambingnya." "Cantik benar kambingnya!" seru Fleur. Gadis-gadis yang lain datang pula ke jendela itu. "Bisakah kau melihat, Monique?" tanya Alice pada adiknya, sambil mengangkatnya supaya bisa melihat lebih baik. "Kambing cantik! Kambing cantik!" teriak si Monique kecil. "Bertanduk emas di kepalanya yang indah! Sungguh cantik!" seru Fleur, dan dia tersenyum memandang Kapten Phoebus. Ibu Fleur tak bergerak dari kursinya, "Apakah itu salah seorang gipsy itu, Sayang?" tanyanya, "kurasa mereka seharusnya tak diijinkan masuk ke Paris. Mereka itu orang kotor yang berbahaya. Jangan percayai mereka." "Lihat orang laki-laki di sana itu!" seru Monique kecil, "lakilaki yang berpakaian hitam itu." "Yang mana, Sayang?" tanya Fleur. Monique menunjuk ke suatu sosok di menara sebelah utara Notre-Dame. Laki-laki itu berpakaian hitam. Dia sedang menopang kepalanya dan dia sedang melihat ke bawah ke tarian gipsy itu. Dia berdiri diam tak bergerak hingga tampaknya seolah-olah dia merupakan bagian dari menara itu. "Dia seorang imam," kata Fleur. "Asyik benar dia memandangi penari kecil itu!" seru Alice. "Seperti seekor burung hitam yang jahat saja dia, yang sedang menunggu kesempatannya untuk terbang ke bawah, mengangkatnya dan membawanya lari!" "Tariannya memang bagus sekali," kata seorang gadis berbaju sutera biru.

"Phoebus," teriak Fleur tiba-tiba, "karena kau kenal gadis gipsy itu, coba lambai dia supaya dia mau naik ke mari! Suruh dia menghibur kita. Biarkan dia datang ya Bu. Kami tidak akan membiarkan dia membuat kami kotor, dan kalau dia mencoba menyusahkan kita... yah, kapten kita akan melindungi kita, ya kan Phoebus?" "Baiklah, Sayang," sahut ibunya, "selama Kapten Phoebus yang pemberani ada di sini!" "Ah," kata Phoebus, "dia pasti sudah lupa padaku, dan aku bahkan tak tahu namanya.... Tapi karena kalian mengingininya akan kucoba." Diulurkannya kepalanya dari jendela itu, lalu berseru, "Si Kecil yang di bawah itu! Lihat ke mari, Gadis kecil!" Pada saat itu Esmeralda sedang tidak memainkan rebananya. Dia mendongak, tampak olehnya Phoebus, dan dia tiba-tiba berhenti menari. "Gadis kecil!" ulangnya, lalu dilambaikannya tangannya mengisyaratkan supaya dia naik. Esmeralda melihat padanya lagi, wajahnya bersemu dadu, dan dia lalu berjalan menerobos orang banyak ke arah rumah. Dalam waktu singkat saja Esmeralda sudah berada di kamar itu, tapi dia tak berani mendekat barang selangkah pun lagi. Sebelum Esmeralda masuk, semua gadis dalam kamar berusaha untuk menyenangkan hati Kapten Phoebus yang tampan itu. Semua gadis itu kira-kira sama cantiknya. Tapi segera setelah gadis gipsy itu muncul dengan wajahnya yang elok, kecantikan semua gadis yang lain itu menjadi pudar. Gadis-gadis itu menyadari hal itu dan mereka memandang Esmeralda dengan pandangan sedingin es. Phoebus-lah yang pertama-tama memecah kesunyian itu. "Dia benar-benar makhluk yang cantik!" katanya. "Boleh juga," sahut Fleur dengan suara dingin. ''Dia membawa kecantikannya sendiri." Gadis-gadis yang lain berbisik-bisik.

"Gadis yang baik," kata Phoebus, sambil maju mendekati Esmeralda, "masih ingatkah kau padaku?" "Oh ya," sahutnya. "Saya masih ingat." "Ingatannya baik," kata Fleur. "Tapi kau cepat sekali melarikan diri malam itu," sambung Phoebus. "Apakah kau takut padaku?" "Ah tidak," kata Esmeralda. "Alangkah merdu suaranya," pikir Phoebus. Fleur juga berpikiran demikian, dan dia mulai merasa tak senang. Perlukah Phoebus berbicara begitu banyak pada gadis itu dan dengan cara seramah itu pula? "Kau meninggalkan seorang laki-laki yang jelek sekali waktu itu," kata Phoebus. "Apa yang diinginkannya darimu?" "Saya tak tahu," jawab Esmeralda. "Yah, perlu kukatakan bahwa dia menebus perbuatannya itu! Dia telah dipasung di roda dan dipukuli." "Ya, kasihan dia," kata Esmeralda. Dia teringat akan Quasimodo di roda itu. "Malang benar dia. Saya kasihan benar padanya!" Gadis-gadis yang lain terus berbisik-bisik. "Aneh benar pakaiannya!" kata Alice. "Jelek ya?" "Memang," kata gadis yang lain. "Lihat lengannya! Terbakar matahari!" "Kakinya juga," kata gadis lain. "Jelek sekali bajunya! Aku tak pernah melihat baju sejelek itu!" "Aduhai!" kata gadis yang berbaju sutera biru. "Kelihatannya kapten kita mudah terbakar oleh mata gipsy yang cemerlang!" "Mengapa tidak?" kata Phoebus. Tiba-tiba ibu Fleur berteriak, "Apa itu? Binatang? Pergi kau, binatang kotor!"

Rupanya kambing putih itu. Dia telah masuk untuk mencari majikannya. Waktu dia bergegas masuk mendekati Esmeralda, tanduknya tersangkut pada baju wanita yang sedang duduk itu. Tanpa berkata apa-apa, Esmeralda melepaskan tanduk Djali. Lalu dia berlutut dan meletakkan kepalanya ke sisi badan kambing itu, seolaholah akan mengatakan penyesalannya bahwa dia telah meninggalkan Djali. Alice mendekati Fleur dan berbisik, "Bagaimana aku bisa lupa tadi! Kami sudah pernah mendengar tentang dia. Inilah dia gipsy dengan kambing, yang dikatakan orang bisa melakukan banyak hal dengan ilmu gaib. Dia itu tukang sihir." Fleur berpaling pada Esmeralda lalu berkata, "Coba suruh kambingmu memperlihatkan kepandaian-kepandaiannya untuk menghibur kami. Kepandaian-kepandaian yang dilakukannya dengan ilmu gaib itu!" "Saya tak mengerti maksud Anda," sahut Esmeralda, sambil meletakkan tangannya di kepala kambing itu. Pada saat itu, Fleur menampak sebuah kantong coklat tergantung di leher kambing itu. "Apa itu?" tanyanya. Esmeralda memandang Fleur, "Itu rahasia saya," jawabnya dengan tenang. Fleur menjauh. Dia ingin sekali tahu apa rahasia itu! "Hei gipsy," kata ibu Fleur, "kalau kau maupun kambingmu tidak juga akan menghibur kami, untuk apa kalian di sini?" Esmeralda berjalan ke pintu tanpa menjawab, dan gadis-gadis itu mengawasinya. Tak seorang pun melihat si Monique kecil, yang memegang sepotong kue, yang membujuk Djali ke sudut dan cepatcepat menanggalkan kantong coklat itu dari leher kambing itu akan melihat isinya. Isinya adalah beberapa potongan kayu kecil, yang masing-masing bertuliskan suatu huruf berwarna merah. Djali

menghabiskan kue tadi, sedang Monique menuangkan isi kantong itu ke lantai. Sesampai di pintu, gipsy itu menoleh. Dia berhenti sambil memandang Phoebus dengan mata yang mengandung air mata. "Astaga!" seru Phoebus, "kau tak boleh pergi dalam keadaan begini. Mari masuk lagi dan menarilah untuk kami! Ngomongngomong, siapa namamu?" "Esmeralda," sahutnya. "Es-mer-al-da! Hebat sekali!" Gadis-gadis yang lain tertawa karena gipsy itu punya nama sehebat itu. "Lihat Alice, pandai sekali kambing ini!" teriak Monique kecil. "Dia bisa menyusun suatu perkataan! Suatu perkataankah ini? Apa bacaannya ini?" Dengan kakinya yang keemasan, Djali telah menyusun hurufhuruf itu sebagaimana yang telah diajarkan Esmeralda padanya. Gadis-gadis itu berlari ingin melihat perkataan itu. "Hei, tulisannya P-H-O-E-B-U-S, Phoebus!" teriak Alice. "Phoebus!" Memang benar, perkataan itulah yang telah dibentuk oleh kambing itu. "Padahal 'Phoebus' kan nama kapten!" Alice melanjutkan. "Jadi, itulah rupanya rahasia gadis itu," pikir Fleur. Dia menangis lalu menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. "Dia seorang tukang sihir!" Lalu dia jatuh pingsan ke lantai. "Anakku! Anakku" seru ibunya. Lalu dia berpaling dan berteriak, "Pergi kau gipsy jahat, pergi sekarang juga!" Esmeralda mengumpulkan huruf-huruf itu ke dalam kantongnya, memberi isyarat pada Djali lalu lari dari kamar itu. Pada saat yang bersamaan Fleur diangkat melalui pintu yang lain.

Sesaat lamanya Phoebus berdiri saja di antara Kedua buah pintu itu. Dia belum bisa memutuskan akan pergi ke pintu yang manakah dia. Kemudian sambil tersenyum, dia menyusul gipsy itu.

Chapter 8 Frollo Bertanya-tanya

LAKI-LAKI berpakaian hitam yang dilihat Monique di menara adalah Claude Frollo. Dia ada di kamar kecil di menara Notre-Dame. Setiap malam dia ke kamar itu untuk belajar. Tapi tarian Esmeralda lebih menyenangkan hatinya daripada buku-bukunya, meskipun dia amat menyukai buku-buku itu. Sementara matahari terbenam, dia berdiri dan memuaskan matanya dengan kecantikan Esmeralda yang berada di jalan di bawahnya. Kemudian dilihatnya seseorang lain. Seorang laki-laki yang berjas merah-kuning sekali-sekali berjalan mengelilingi orang banyak yang menonton penari itu. Lalu laki-laki itu duduk di kursi, dekat Esmeralda dengan kambing di sebelahnya. "Siapakah laki-laki itu?" tanya imam itu sendiri dengan marah. "Dia bisa begitu dekat dengan gadis itu, terlalu dekat! Sebelum ini aku selalu melihat dia seorang diri dengan kambingnya." Frollo berlari menuruni tangga dengan nafas tersengal-sengal. Dalam perjalanannya turun itu dia melalui sebuah jendela kecil. Quasimodo berdiri di jendela itu, memandangi jalan di bawahnya. Setelah kembali dari ruang siksa, Quasimodo tidak sesering dulu lagi membunyikan lonceng-loncengnya. Tapi yang menyebabkan dia meninggalkan tugasnya itu bukanlah karena dia lemah, melainkan kesenangan. Bunyi lonceng-lonceng itu mengingatkannya pada gipsy yang cantik itu, yang begitu baik hati padanya. Dia berdiri di antara lonceng-loncengnya dengan hati penuh bahagia, memikirkannya, dan lupalah dia untuk membunyikan loncengnya.

Frollo tidak melihat Quasimodo berdiri di situ. Dia bergegas terus turun. Sesampai di jalan, dia menggabungkan diri dengan orang banyak. Tapi gipsy itu telah tiada! "Mana dia?" tanyanya. "Dia baru saja pergi ke rumah yang di sana itu," kata laki-laki di sebelahnya, "saya rasa untuk mempertunjukkan beberapa tari-tarian istimewa. Rumah besar yang di sudut itu." Di atas permadani Persia, di mana Esmeralda biasanya menari, laki-laki yang berpakaian merah-kuning kini sedang mencoba menghibur orang-orang. Dia berjalan berkeliling sambil mendongakkan kepalanya hingga mukanya kelihatan merah berkeringat. Dia menggigit sebuah kursi dan seekor kucing terikat pada kursi itu. Laki-laki itu melewati Frollo dekat sekali. "Aku kenal orang itu!" kata Frollo sendiri. "Aku pernah mengajarnya waktu dia sedang belajar untuk menjadi seorang imam. Lihat apa jadinya dia sekarang, menjadi orang yang mencoba mencari nafkah dengan mengumpulkan uang dari orang banyak dengan pertunjukan-pertunjukan dungu itu!" Waktu laki-laki itu mendekat lagi dalam putaran berikutnya, Frollo memanggilnya, "Pierre Gringoire, beginikah caramu menggunakan pelajaran yang telah kuberikan padamu? Sungguh memalukan." Gringoire demikian terkejut hingga kursi dan kucingnya jatuh ke tengah-tengah orang banyak. Kucing itu membebaskan diri dari kursi itu, dan mencakar muka seorang laki-laki tua dan dua orang wanita! Untuk meloloskan diri dari kemarahan orang itu, Gringoire lari masuk ke dalam Notre-Dame. Imam menyusulnya. "Mari naik ke kamarku," kata Frollo. Mereka menaiki tangga. "Nah, Pierre," kata Frollo setelah mereka duduk di tengahtengah buku-buku imam yang terpelajar itu, "ceritakan bagaimana kau sampai melakukan perbuatan dungu seperti itu."

"Saya tahu itu pekerjaan rendah," kata Gringoire, "tidak semulia pekerjaan seorang pengarang. Tapi dengan cara itu saya mendapatkan penghasilan, lebih-lebih karena saya sudah kawin." "Kawin!" teriak Frollo. "Kawin? Siapa yang begitu beruntung menjadi istrimu?'" "Anda tak mungkin mengenalnya," kata Gringoire, "dia hanya seorang gipsy...." "Seorang gipsy!" teriak imam itu, dengan pandangan yang mengerikan, "sudah begitu jauhnya kau dari Tuhan sampai-sampai kau mau main cinta dengan seorang gipsy?" "Tapi saya tak pernah main cinta dengan dia," kata Gringoire. "Sungguh mati, tak pernah, meskipun dia istriku." "Aneh sekali," kata imam itu. "Kalau orang sudah kawin...." "Memang kami sudah kawin, sebaiknya saya ceritakan bagaimana kami menjadi suami-istri." Maka berceritalah penyair itu tentang pertemuannya dengan raja para pengemis itu. Dikisahkannya tentang George, orang-orangan berpakaian merah dengan loncenglonceng kecil, dan tentang cangkir yang dipecahkan. "Dan dengan demikian, kawinlah saya dengan dia," katanya mengakhiri ceritanya. "Tapi kami tak boleh main cinta, katanya tak boleh." "Baguslah kalau begitu!" kata imam. "Alasannya adalah ilmu gaib." "Gaib?" "Ya, begitulah kata Raja Gipsy pada saya," kata Gringoire. "Diceritakannya bahwa Esmeralda waktu masih bayi ditemukan oleh kaum gipsy, jadi dia tak tahu siapa ibu-bapaknya. Tapi Esmeralda yakin bahwa dia akan menemukannya pada suatu hari, dengan bantuan sebuah kantong yang selalu tergantung di lehernya. Kantong itu mempunyai kekuatan gaib, tapi kekuatan gaib itu akan segera

hilang kalau dia main cinta dengan seorang laki-laki, laki-laki mana pun juga, bahkan suaminya." "Oh begitu," kata Frollo, yang kini kelihatan lebih senang. "Jadi tak adakah laki-laki yang rnencoba main cinta dengan dia?" "Kalau laki-laki itu mau selamat tentu tidak!" "Mengapa? Siapa yang akan membunuhnya?" "Dia sendiri yang akan membunuh laki-laki itu dengan sebuah pisau kecil yang selalu dibawanya dalam bajunya. Dia tak kenal takut," kisah Gringoire. "Tak kenal takut?" "Tidak," kata Gringoire. Kemudian dia berpikir sejenak dan menambahkan, "Ya ada, dia takut pada dua orang pada Suster Gudule, yang selalu meneriakkan kata-kata yang mengerikan dari Lubang Tikus itu, dan pada seorang laki-laki yang mengenakan jubah hitam seorang imam, dan yang matanya bersinar seperti api. Mata itu membakar ingatannya pada malam si bongkok mencoba membawanya lari, dan dia merasa bahwa mata itu mengikutinya terus ke mana pun dia pergi." "Oh, suatu angan-angan yang dungu!" seru Frollo, dan dia tibatiba bangkit dan berdiri di jendela. "Dia tentu gadis yang dungu sekali!" "Sudah saya katakan padanya bahwa itu semua hanya mimpi buruk, dan sudah saya minta supaya dia melupakannya," kata Gringoire. "Kau benar!" seru imam itu. "Ya, kau memang benar, Pierre. Tak ada yang perlu ditakutkannya." "Saya mencoba untuk membujuknya. Dia gadis yang manis." "Begitukah?" "Saya cinta sekali padanya. Dia baik hati sekali, bukan hanya terhadap saya saja, tapi terhadap semua makhluk. Caranya merawat Djali luar biasa sekali."

"Siapa Djali itu?" tanya Frollo. "Kambingnya yang berkaki dan bertanduk emas itu. Akan saya ceritakan bagaimana Esmeralda mengajar Djali." Kemudian Gringoire menerangkan bagaimana gipsy itu melatih kambingnya hingga pandai memukul rebana untuk menunjukkan jam berapa atau tanggal berapa. Djali tahu benar berapa kali dia harus memukul rebana itu dengan melihat bagaimana Esmeralda memegang rebana itu. "Dan," Gringoire menambahkan dengan bangga, "Esmeralda hanya memerlukan dua bulan untuk mengajar Djali bagaimana menyusun huruf-huruf menjadi 'Phoebus'!" " 'Phoebus'!" kata Frollo. "Mengapa 'Phoebus'?" "Entahlah," sahut Gringoire. "Mungkin disangkanya perkataan itu mengandung kekuatan gaib. Dia sering-sering mengulangulangnya sendiri perlahan-lahan bila disangkanya tak ada orang lain di dekatnya." "Yakinkah kau bahwa itu bukan suatu nama?" tanya Frollo tajam. "Nama siapa?" tanya penyair itu. "Mana aku tahu?" kata imam. "Agaknya kaum gipsy itu menyangka bahwa matahari adalah dewa mereka," kata Gringoire, "tapi Esmeralda tidak tahu akan hal itu, sebelum saya memberitahukan padanya, bahwa orang lain menyebut dewa itu 'Phoebus'. Kelihatannya dia suka akan nama itu. Djali bisa menyusun nama itu setiap kali!" Imam tampak merenung. Lalu tiba-tiba dia berpaling pada Gringoire dan berkata padanya dengan suara rendah, "Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar tak pernah main cinta dengan gipsy itu, dan bersumpah bahwa kau tidak akan pernah berbuat demikian?"

"Saya bisa saja bersumpah kalau saya mau," kata Gringoire dengan marah. "Tapi sekarang giliran saya bertanya pada Anda." "Berbicaralah, Pierre. Akan kucoba menjawabnya." "Apakah soal itu tadi urusan Anda?" Wajah imam yang pucat itu menjadi merah karena marah. Dia diam sebentar, Kemudian dia berkata, "Dengar, Pierre. Kuberi tahu kau, kalau kau main cinta dengan seorang gipsy, rohmu akan dibakar dalam api neraka selama-lamanya. Hal itu tertulis dalam banyak buku yang terdapat di rak-rak buku dalam kamar ini juga! Maka itu jangan sentuh dia." "Dia cantik sekali," kata Gringoire sedih, "saya bangga menjadi suaminya." "Kalau begitu pergilah!" seru imam itu dengan pandangannya yang menakutkan, "pergilah ke neraka!" lalu ditangkapnya pundak Gringoire yang keheranan dan didorongnya ke luar kamar.

Chapter 9 Kapten dan gadis-gadis

FROLLO kini tinggal seorang diri di kamarnya, berlutut lalu menadahkan tangannya berdoa. Matanya dipejamkannya rapat-rapat dan dia mencoba memikirkan tentang Tuhan. Bibirnya mengucapkan doa-doa, tapi pikirannya tidak tertuju pada Tuhan, melainkan tertuju pada gipsy yang cantik itu. Sejak dia melihatnya pertama kali, Esmeralda selalu memenuhi pikirannya sepanjang hari, dan tariannya membungai impiannya sepanjang malam. Frollo mengucapkan doa-doanya nyaring-nyaring. Kemudian lonceng-lonceng berbunyi, dan dia menyaringkan suaranya, seolaholah Tuhan tak bisa mendengar kata-katanya gara-gara suara loncenglonceng itu. Suaranya makin lama makin nyaring, hingga akhirnya imam itu berteriak. Tapi tak ada satu perkataan pun yang masuk ke pikirannya, dan dia tidak memikirkan Tuhan barang sesaat pun. "Ah, gipsy itu!" teriak Frollo. Dia berdiri. "Aku serasa selalu melihatnya berada dalam pelukan laki-laki lain, dan aku tak tahan membayangkan orang lain memilikinya, sedang aku sendiri tak bisa!" Dia berjalan hilir-mudik dalam kamar itu di tengah buku-bukunya, seperti seekor binatang liar dalam kandang. "Aku tak tahan lagi!" serunya. "Aku tak bisa tinggal di sini. Kalau aku tinggal di sini, aku bisa menjadi gila. Aku harus menemukannya, di mana pun dia berada. Di mana aku akan mulai mencarinya malam ini?" Dia berhenti dan berpikir sejenak. "Aku tahu!" katanya, "aku akan mulai di rumah besar di tikungan itu. Ke sanalah dia pergi untuk menari sebelum aku bertemu dengan suaminya terkutuk laki-laki itu!" Diambilnya sebuah pisau

kecil, disembunyikannya dalam jubahnya, lalu dia keluar dari kamar itu. Nyaring benar bunyi lonceng itu, seolah-olah menertawakannya, sementara Frollo bergegas melalui gereja dan keluar ke malam gelap. Bintang-bintang gemerlapan terang, seperti permata dan bulan bersinar di langit. *** Pintu rumah di tikungan itu terbuka. Dia bersembunyi dalam gelap waktu beberapa orang gadis berpakaian bagus-bagus keluar. Dia memasang telinga, mendengarkan mereka: "Aku yakin dia akan merasa lebih baik besok," kata seseorang. "Memang! Kasihan si Fleur, aku benar-benar kasihan padanya," kata yang lain. "Benar kata ibunya tentang kaum gipsy, bukan? Phoebus seharusnya jangan memintanya untuk naik tadi!" seru yang ketiga. "Tapi dia lalu menyusul gadis itu! Itulah yang paling memalukan!" "'Phoebus'?" kata Frollo. "Phoebus! Kalau begitu Phoebus itu nama seorang laki-laki, sebagaimana yang kukuatirkan, dan dia sekarang berada bersama si gipsy!" Gadis-gadis itu terus berjalan, dan Frollo tak dapat lagi mendengar apa yang mereka katakan. Dia berlari ke rumah itu. Pembantu rumah itu seorang perempuan gemuk yang sederhana baru saja akan menutup pintu. Waktu dilihatnya imam itu, dia tak jadi menutup pintu itu. "Anda tentu akan menemui putri majikan saya yang malang," katanya. "Imam-imam baik hati seperti Anda, segera datang begitu mendengar ada orang dalam kesusahan! Silakan masuk saja, meskipun malam ini gadis manis itu sebenarnya tak bisa menerima tamu karena sakitnya meski seorang imam sekali pun." "Saya akan masuk sebentar saja," sahut Frollo, "untuk mendengar dari Anda sendiri apa sebenarnya yang telah terjadi, dan

bagaimana keadaan Fleur, sesudah itu saya akan pergi dan besok saya akan kembali lagi." Mereka masuk ke lorong rumah, dan pembantu itu bercerita pada Frollo. Air matanya berlinang waktu dia mengisahkan keadaan Fleur, tapi bila dia menceritakan tentang Kapten Phoebus, dia jadi marah sekali. "Saya sudah sering mengatakan bahwa dia laki-laki jahat," katanya, "tak pantas dia berada dalam jarak satu mil dari Fleur kami yang cantik itu!" "Memang," kata Frollo, "dan apa yang Anda ketahui tentang dirinya?" "Banyak sekali!" katanya. "Dengarkan!" lalu diajaknya imam itu ke sudut. "Setiap minggu dia mengejar perempuan lain! Wajahnya yang tampan itu dengan mudah menarik mereka, perempuanperempuan dungu itu! Mereka tergila-gila akan pundaknya yang kekar, janggutnya, serta langkahnya yang tegap. Dia bisa berbuat sesuka hatinya terhadap gadis-gadis itu. Dan dia memang berbuat sesukanya! Saya bahkan tahu di mana dia berbuat!" "Di mana?" tanya imam. Dia mencoba menahan diri supaya tidak kelihatan dia terlalu ingin tahu. "Di rumah perempuan tua di jembatan Saint Michel. Perempuan yang benama Falourdel. Bayangkan bahwa Fleur kami yang cantik dan masih murni itu...." Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari kamar di loteng. "Saya harus pergi segera!" seru pembantu itu. "Gadis kecilku tersayang membutuhkan saya!" lalu berlarilah dia menaiki tangga tanpa berkata sepatah pun lagi. Frollo membuka pintu lalu keluar ke jalan. Pikirannya terbakar oleh api setan dan tangannya terasa panas di gagang pisau yang tersembunyi waktu dia berjalan melalui jalan-jalan sempit menuju jembatan Saint Michel.

Chapter 10 Rumah di tepi sungai

SEBUAH rumah di jembatan Saint Michel kelihatan lebih tua, lebih kecil dan lebih kotor daripada yang lain-lain. Dindingnya di sebelah luar kasar, dan kalau seseorang mau memanjatnya bisa saja. Tapi satu-satunya alasan untuk mau memanjat rumah seburuk itu tentulah alasan yang buruk pula. Perempuan tua yang bernama Falourdel, sama buruknya dengan rumahnya. Dia bungkuk sekali hingga tubuhnya seperti terlipat dua, dan dia gemetar waktu berjalan lambat-lambat untuk melihat siapa yang mengetuk pintunya. Dengan tangan yang gemetar dia memegang sebuah lampu. Lampu itu tergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan dan membuat bayangan yang bergerak seperti raksasa pada dinding kelabu yang gelap. "Siapa itu?" serunya, dengan suaranya yang melengking. "Kapten Phoebus," kata suara laki-laki di luar, dan perempuan itu membuka pintu. "Oh, Anda lagi," katanya sambil mengangkat mukanya yang berkerut yang berambut putih di dagunya, "masuklah." Kapten Phoebus masuk diiringi oleh Esmeralda dan kambingnya. "Kamar yang terbaik," kata Phoebus dengan tajam. Esmeralda kelihatan takut, tapi Phoebus menuntunnya dan dia kelihatan lebih senang. Phoebus memberikan sebuah mata uang perak pada perempuan tua itu, yang dimasukkannya ke dalam sebuah kotak di atas meja yang berdebu. Mereka meninggalkan ruangan itu. Seorang anak laki-laki keluar dari tempat tersembunyi, perlahan-lahan mengeluarkan mata

uang itu lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Sepotong kayu yang masih ada daun keringnya, terletak di dekat tempat berdiang yang dingin. Anak laki-laki itu mematahkan kayu itu sedikit demi sedikit di bagian yang masih ada daun keringnya, lalu dimasukkannya ke dalam kotak di mana mata uang tadi dimasukkan. Dia mendengar orangorang naik ke loteng. Dia tahu bahwa tak seorang pun melihatnya dan kalau digoncang kotak itu tidak akan terdengar kosong. "Aku seorang pencuri yang pandai sekali!" pikirnya. Kamar ke mana Phoebus mengajak Esmeralda, kecil dan kotor, dan di dalamnya tak banyak perabot. Jendelanya yang menghadap ke sungai, kacanya pecah. Bulan bersinar terang menerangi sungai, tapi kemudian ditutupi awan. Esmeralda dan Phoebus duduk berdampingan. "Oh, Phoebus," katanya, "kurasa aku berbuat dosa!" "Dalam hal apa, Sayang?" tanya Phoebus. "Karena aku ikut kau ke mari," kata Esmeralda. "Aku harus bekerja keras dan berbicara berjam-jam dalam usahaku membawamu ke mari," kata Phoebus. "Aku tak ingin melanggar janjiku bahwa aku tidak akan main cinta," kata Esmeralda lagi. "Sebab jika kulanggar kekuatan gaibnya akan hilang dan aku tak akan bisa menemukan ibu-bapakku. Tapi aku kan tidak membutuhkan mereka lagi ya?" tanyanya penuh bahagia, sambil memandangi Phoebus dengan air mata berlinang. "Aku sungguh tak mengerti kau!" seru Phoebus. Esmeralda diam sejenak, air matanya menitik, lalu dia berkata lagi, "Aduh, aku cinta padamu, sungguh cinta!" "Kau cinta padaku!" desah Phoebus, lalu merangkulnya. Sinar bulan di jendela ditutupi oleh sesuatu yang lebih gelap daripada awan, yaitu seorang laki-laki tapi baik Esmeralda maupun Phoebus tidak melihatnya karena mereka membelakangi jendela itu. Apa lagi, mata maupun pikiran mereka hanya terpaku untuk mereka

berdua saja. Imam di jendela itu memperhatikan mereka. Matanya berapi-api dan bibirnya terasa kering waktu dia menggertakkan giginya. "Phoebus," kata Esmeralda, sambil melepaskan rangkulan Phoebus dengan halus, kau baikkau pemurah kau telah menyelamatkan diriku, seorang gadis gipsy yang miskin tanpa ibu dan bapak. Sudah lama aku memimpikan seorang prajurit yang akan menyelamatkan hidupku. Aku memimpikan dirimu, Phoebus sayang, sejak sebelum aku pernah bertemu denganmu." Kapten tampak puas akan dirinya, waktu Esmeralda berkata lagi, "Pahlawan dalam mimpiku berpakaian bagus seperti kau, bergaya anggun dan mempunyai pedang. Namamu Phoebus: suatu nama yang bagus. Aku cinta pada nama itu, aku cinta pada pedangmu. Coba cabut pedangmu Phoebus, supaya aku bisa melihatnya." "Ah, Anak bodoh!" kata Kapten. Dia tersenyum lalu mencabut pedangnya. Gadis itu melihatnya, diciumnya pedang itu lalu dia berbisik, "Kau pedang seorang pria pemberani. Aku cinta pada kaptenku!" Imam yang mengintai di jendela, marah dan panas benar hatinya, dipegangnya mata pisau yang tersembunyi dalam jubahnya. Mata pisau itu tajam dan imam itu tersenyum puas. "Dengarkan sayangku...." kata Phoebus sambil menggeser mendekati Esmeralda. Esmeralda menjauh, "Tidak, aku tak mau mendengarkan. Cintakah kau padaku? Aku ingin kau mengucapkan bahwa kau cinta padaku." "Ragukah kau akan cintaku, jantung hatiku?" seru kapten. Dia berlutut dekat Esmeralda. "Tubuhku, darahku, jiwaku semuanya milikmu. Aku cinta padamu, dan aku tak pernah mencintai orang lain kecuali kau!"

Telah sering sekali dia mengucapkan kata-kata itu pada gadisgadis lain, pada berpuluh-puluh kesempatan seperti sekarang, hingga kata-kata itu diucapkannya selancar seorang dramawan jempolan. Gipsy itu memandangnya penuh bahagia. "Aduhai," seru Esmeralda, "saat seperti inilah saat yang baik untuk mati bersama!" "Mati? Tidak. Tidak, jangan manisku." Kemudian dia menambahkan sambil tertawa, "Aku tahu seorang gadis berpakaian bagus-bagus yang pada saat ini sedang terbakar oleh kemarahannya!" "Siapa?" tanya Esmeralda tiba-tiba penuh perhatian. "Ah, tak usahlah kita peduli padanya," kata Phoebus. "Cintakah kau padaku?" "Aduh, mengapa kau masih harus bertanya?" seru Esmeralda. "Aku tahu kau cinta padaku," katanya, "dan kita akan benarbenar berbahagia. Kita akan mendapatkan sebuah kamar kecil di jalan yang bagus, dan akan kusuruh prajurit-prajuritku berbaris hilir-mudik di bawah jendelamu. Lalu akan kubawa kau melihat singa di kebun raja, singa-singa itu binatang yang cantik, dan semua wanita suka sekali melihatnya." Beberapa saat lamanya Esmeralda terbuai oleh suaranya, dia tidak mendengarkan kata-katanya. Ya, kau akan berbahagia sekali! kapten melanjutkan, dan matanya bersinar-sinar. Esmeralda berpaling padanya: "Phoebus Phoebus," katanya dengan suara penuh kecintaan, "ajari aku tentang Tuhanmu dan gerejamu." "Tuhanku dan Gerejaku!" serunya lalu tertawa nyaring. "Apa saja yang kauharapkan dari hal-hal itu?" "Supaya kita bisa kawin," sahut Esmeralda. Wajah Phoebus berubah, "Mengapa orang harus kawin?" tanyanya parau.

Esmeralda berpaling, "Aduhai...." bisiknya. "Kekasihku sayang," katanya lembut, "apakah artinya semua gagasan dungu itu? Perkawinan memang bagus, tapi orang-orang yang betul-betul saling mencintai seperti kita, tidak membutuhkan perkawinan." Imam mendengar setiap perkataan itu dan melihat semua gerak dalam kamar itu. Tiba-tiba baru terpandang oleh Phoebus kantong hijau yang tergantung di leher Esmeralda. "Apa itu?" tanyanya, lalu dia mendekati Esmeralda, dia berpura-pura melihat kantong itu, tapi dia lebih tertarik pada orangnya daripada kantong itu. "Jangan sentuh!" kata Esmeralda cepat. "Ini pelindungku. Inilah yang akan membantuku menemukan ibu dan bapakku. Aduh, lepaskan aku Kapten Phoebus! Ibuku! Ibuku yang malang! Di mana kau? Datanglah dan selamatkan aku! Kapten, kasihanilah aku!" Phoebus menjauh lalu berkata dingin, "Sudah jelas bagiku bahwa kau tidak cinta padaku." "Bagaimana mungkin!" seru gadis itu pilu, dan dia pun merangkul Phoebus lalu ditariknya supaya laki-laki itu duduk di sisinya. "Tidak cinta padamu, Phoebus? Mengapa kau berbicara seolah-olah kau musuhku saja? Apakah kau ingin menghancurkan hatiku? Aduhai, kemarilah! aku milikmu." Sambil menangis dia berkata lagi, "Tenaga gaib kantong hijauku ini kini tak berarti lagi bagiku. Aku sudah memiliki kau, jadi aku tidak membutuhkan seorang ayah atau seorang ibu lagi. Tak usahlah kita kawin, sebab kau tidak menghendakinya. Aku akan menjadi pembantumu, asal kaucintai aku, Phoebus! Gadis-gadis gipsy tidak membutuhkan apa-apa kecuali cinta. Beri aku cintamu!" Esmeralda tersenyum dengan air mata bercucuran. Wajahnya berseri-seri oleh kebahagiaan, seolah-olah dia berada dalam surga, lalu dia memandang ke bulan melalui jendela.

Tiba-tiba, di atas kepala Phoebus dilihatnya suatu wajah kelabu yang tersiksa suatu wajah manusia yang kehilangan jiwa. Kecuali wajah yang mengerikan itu tampak pula tangan yang memegang sebilah pisau kecil. Yang dilihatnya itu adalah wajah dan tangan imam. Dia telah memanjat jendela dan kini dia sudah masuk ke dalam kamar itu. Phoebus tidak bisa melihatnya. Gadis itu bagai membeku ketakutan. Dia tak dapat bergerak atau berteriak. Dilihatnya pisau itu ditikamkan pada Phoebus dan dicabut kembali dalam keadaan merah oleh darah. Dia pingsan. Waktu matanya terpejam, dia merasa seolah-olah bibirnya disentuh, suatu ciuman sepanas api. Sesudah itu segala sesuatu menjadi gelap. Waktu dibukanya lagi matanya, dilihatnya prajurit-prajurit mengelilinginya. Dilihatnya pula orang-orang menggotong kapten. Dia bermandikan darah. Imam itu sudah menghilang, dan jendela yang kacanya pecah yang menghadap ke sungai sudah terbuka lebar. Seolah dalam mimpi dia mendengar orang berkata, "Gadis ini telah mencoba membunuh kapten!" Dan suatu suara lain berkata, "Ya.dengan ilmu sihirnya!"

Chapter 11 Sidang Pengadilan

ESMERALDA telah menghilang. Gringoire tidak melihatnya sepanjang hari. Didatanginya Raja kaum pengemis. "Esmeralda telah menghilang. Sudah sepanjang hari ini dia tak kembali." "Kamulah suaminya," kata Raja kaum pengemis itu, "kaulah yang harus mencoba mencarinya." "Tapi bagaimana saya bisa, seorang diri?" tanya Gringoire. "Aku akan membantumu," kata seorang pengemis tua, "besok kau kubantu." "Aku juga!" kata yang lain. "Dan aku juga," seru seorang anak muda yang berhidung besar dan jelek, "aku akan mulai malam ini juga. Kita butuh Esmeralda di sini, dialah yang membuat tempat ini semarak dan menyenangkan." "Ya, kita harus menemukannya!" teriak salah seorang sahabatnya. "Ayo, Sahabat-sahabat!" Dan keluarlah dia dari rumah itu, disusul oleh serombongan besar pengemis. Tapi malam itu mereka tidak menemukannya, esok harinya pun tidak, lusanya pun belum pula ditemukan. Sebulan lamanya mereka tak tahu dimana Esmeralda. Dia dan Djali telah menghilang tanpa bekas. *** Pada suatu hari, ketika Gringoire berjalan ke arah Kantor Pengadilan, dilihatnya banyak orang berdiri di salah satu pintunya. Seorang laki-laki muda keluar, Gringoire mencegatnya. "Ada apa di situ?" tanyanya.

"Ada sidang pengadilan seorang gadis atas percobaan membunuh seorang kapten," katanya. "Kata orang, mungkin dia menggunakan ilmu sihir. Jadi ada imam-imam di pengadilan, banyak mereka. Perkaranya kotor," katanya, lalu dia melanjutkan perjalanannya. Gringoire masuk ke ruang sidang. Dia mengikuti seorang imam menaiki tangga ke dalam bangsal yang besar. "Mana tertuduhnya?" tanya Gringoire pada seorang laki-laki jangkung yang berdiri di sampingnya. "Tuh," sahutnya, "Yang duduk di belakang orang banyak itu. Saya sendiri pun hampir tak bisa melihatnya, jadi Anda tentu sama sekali tak bisa melihatnya. Punggungnya menghadap kita. Tapi saya rasa Anda bisa melihat perempuan tua yang sedang berbicara sekarang, bisa? Namanya Falourdell." "Terima kasih," kata Gringoire, dan dia lalu mendengarkan suara perempuan tua yang jelek itu. "Lalu," kata perempuan tua itu, "masuklah seekor kambing sungguhan, bertanduk keemasan benar-benar jenis kambing yang selalu dimiliki seorang tukang sihir. Saya sama sekali tak senang, benar-benar tak senang! Kambing itu mengikuti gadis itu ke loteng, dan rumah sunyi-sepi sebentar. Saya mendengar suara mereka dari kamar saya yang terbaik. Suara kapten dan suara gadis itu, sama sekali tak ada suara lain, hingga tiba-tiba kapten berteriak mengerikan dan terdengar sesuatu yang berat, jatuh. Saya bergegas naik secepat mungkin. Dan saya jumpai kapten itu terkapar di lantai, dengan sebuah pisau tertancap di tengkuknya!" Dia berhenti berbicara dan semua yang mendengarkan menahan nafasnya. Sebentar kemudian dia melanjutkan; "lantai kamar saya yang terbaik penuh darah dan di mana-mana darah. Saya belum sempat rnembersihkannya sama sekali, ketika para prajurit datang.

Mereka menggotong kapten yang malang itu, dan membawa pergi gadis dan kambing itu." "Dan apakah itu akhir cerita Anda?" tanya seorang imam yang berleher kurus panjang dan berambut hitam. Kelihatannya dia orang penting. "Belum, Pak," kata perempuan tua itu, "masih ada yang lebih aneh lagi yang harus saya ceritakan. Keesokan paginya saya memerlukan uang untuk membeli telur, maka saya pergi akan mengambilnya dari kotak di mana malam sebelumnya saya menaruh uang perak. Uang perak itu hilang, yang saya temukan di situ hanyalah sepotong kayu kecil yang ada daun keringnya!" Perempuan tua itu berhenti dan terdengarlah bisik-bisik ketakutan di antara orang banyak. "Seekor kambing memang sering kali merupakan teman seorang tukang sihir," kata seorang laki-laki di sebelah Gringoire. "Dan daun kering itu!" sambung seorang wanita gemuk di sebelahnya lagi, "hanya ilmu sihir yang bisa mengubah mata uang perak menjadi sepotong kayu dengan daun kering!" Kini hakim berbicara, "Saudara- saudara, pada Anda ada kesaksian tertulis yang telah diucapkan oleh Kapten Phoebus." Mendengar nama itu, gadis yang sedang diadili berdiri melompat, kini kelihatan kepalanya. Dia Esmeralda tapi Esmeralda yang sudah sangat berubah! Mukanya pucat sekali, rambutnya yang selama ini terpelihara rapi, kini menutupi sebagian mukanya dan acak-acakan, bibirnya biru, matanya mengerikan. "Phoebus!" teriaknya, "di mana dia? Bapak-bapak! Sebelum kalian membunuh saya, kasihanilah saya dan katakanlah apakah dia masih hidup!" "Diam," jawab hakim, "itu bukan urusanmu."

"Aduh kasihanilah! Kasihanilah saya! Katakanlah apakah dia masih hidup," ulangnya, sambil mengangkat tangannya yang indah kecil. Rantai pengikat tangannya mengeluarkan bunyi yang kejam waktu bersentuhan dengan pakaiannya. "Yah," kata hakim dengan kasar, "dia hampir meninggal. Cukup?" Gadis malang yang tak dapat lagi berbicara atau menangis itu, terduduk lagi dan berubah seolah-olah dia sudah menjadi batu. "Bawa masuk terhukum yang kedua!" teriak seorang laki-laki yang memegang sebuah tongkat perak. Semua mata kini tertuju pada sebuah pintu kecil yang kini terbuka. Melalui pintu itu masuklah seekor kambing bagus yang bertanduk dan berkaki keemasan. Sejenak lamanya kambing itu berdiri saja dan memandang sekelilingnya. Lalu dilihatnya gipsy itu, dia berlari ke arahnya, melompati meja, lalu bergolek di kakinya seolah-olah mengharapkan sentuhan tangannya. Tapi gadis yang malang itu tidak bergerak, dia bahkan tidak melihat pada Djali! "Itulah binatang jahatnya!" seru perempuan tua Falourdel, "saya tahu benar pasangan itu." Imam yang berleher panjang berdiri, dan berkata dengan suara nyaring, "Jika roh jahat kambing ini menakuti pengadilan dengan perbuatan-perbuatannya yang jahat, binatang ini harus kita bawa ke tiang gantungan." "Ke tiang gantungan!" bisik Gringoire. "Akan mereka apakan makhluk malang itu di sana?" Dilihatnya imam itu mengambil rebana Esmeralda dari meja, lalu memegangnya dengan cara yang khusus. "Jam berapa sekarang?" tanya imam pada kambing itu. Kambing itu memandangnnya dengan mata yang cerdas, diangkatnya kakinya lalu dipukulnya rebana itu tujuh kali. Waktu itu memang jam tujuh. Orang-orang di ruangan itu ketakutan semua.

Dalam ketakutannya Gringoire tak dapat menahan dirinya dan berteriak, "Binatang malang itu akan membunuh dirinya, dia tak tahu apa yang diperbuatnya!" "Diam di belakang sana!" Imam itu memutar rebana, dan menyuruh kambing memperlihatkan tanggal hari itu. Diputarnya lagi, dan disuruhnya kambing menghitung bulan keberapa waktu itu. Beberapa minggu sebelumnya, di alun-alun kota, kepandaiankepandaian Djali itu menjadikan orang banyak senang, kini kepandaian-kepandaian yang sama hanya menimbulkan ketakutan. Orang-orang yakin bahwa kambing itu adalah setan-setan dalam bentuk kambing. Imam itu mengambil sebuah kantong coklat dari leher kambing itu, lalu menuangkan potongan-potongan kayu dari kantong itu ke lantai. Pada potongan-potongan kayu itu tertulis hurufhuruf merah, dan dengan kakinya yang keemasan kambing itu menyusun nama yang berbahaya 'Phoebus'. Orang banyak berteriak. Esmeralda mematung saja, dia seolah-olah tak bernyawa. Dia seolah-olah tak mendengar atau melihat apa-apa. Seorang prajurit bertubuh besar menggoncang lengannya waktu imam itu berseru padanya, "Apakah kau masih tetap berkata bahwa kau tidak mencoba membunuh Kapten Phoebus, dengan ilmu sihir dan dengan bantuan tenaga setan kambing ini?" "Aduhai Phoebus!" tangis Esmeralda, lalu dia menutup mukanya dengan tangannya. "Phoebus-ku! Ini lebih buruk daripada kematian!" "Masihkah kau berkata bahwa kau tidak mencoba membunuhnya?" tanya imam dingin.

"Membunuhnya!" seru Esmeralda dengan suara ngeri, "saya tidak akan pernah punya niat untuk membunuhnya tak pernah!" "Lalu bagaimana penjelasanmu mengenai hal-hal yang sudah kami dengar dan lihat?" Esmeralda menjawab dengan terbata-bata, "Sudah saya katakan siapa yang mencoba membunuhnya. Dia adalah seorang imam seorang imam yang tidak saya kenal seorang imam yang rupanya seperti setan dan yang mengikuti saya!" "Seorang imam seperti setan!" ulang imam itu dengan tawa yang kejam. "Bapak-bapak, kasihanilah saya! Saya ini hanyalah seorang gadis malang...." "Seorang gipsy!" kata hakim. Imam mengangkat tangannya lalu berteriak, "Karena dia tak mau mengakui kesalahannya, saya tuntut supaya dia disiksa!" "Dia akan disiksa," kata hakim. Gadis malang itu gemetar ketakutan, namun dia bangkit, waktu diperintahkan seorang prajurit, dan berjalan di sepanjang bangsal itu dengan langkah-langkah pasti. Sebuah pintu di ujung bangsal terbuka, lalu tertutup lagi setelah Esmeralda memasukinya. Bagi Gringoire, pintu itu seolah-olah sebuah mulut yang mengerikan yang baru saja memakan Esmeralda. Setelah dia menghilang, terdengarlah suatu jeritan. Jeritan itu adalah jeritan kambing kecil itu.

Chapter 12 Siksaan

ESMERALDA dituntun menuruni tangga dan melalui banyak lorong gelap hingga dia sampai di kamar di mana para terhukum disiksa. Dia terhenti di pintu. "Jalan terus!" kata suatu suara kasar di belakangnya. "Kita tak bisa membuang-buang waktu. Makin cepat kau mengaku, makin cepat semuanya ini berlalu. Jadi jalan terus, cepat!" Seorang prajurit memegang lengannya lalu mendorongnya masuk ke kamar itu. Kamar itu gelap, di sana ada cahaya merah dari perapian yang besar, tak ada jendela. Banyak batangan besi yang berbentuk macam-macam, tergantung di atas arang yang terbakar itu supaya menjadi panas sekali. Besi-besi itu adalah beberapa dari alat siksaan. Yang lain terletak di lantai dan banyak lagi yang tergantung dari atap berbentuk aneh dan jelek. Esmeralda memandang barang-barang yang mengerikan itu. "Tidak, tidak!" teriaknya, "saya tak tahan!" "Kau tak perlu merasakan satu pun dari barang-barang yang menyakiti ini," kata seorang imam yang ikut serta ke ruang itu. "Kau hanya harus berkata bahwa kau telah mencoba membunuh Kapten Phoebus dengan ilmu sihir, maka kau akan segera boleh berbalik dari alat-alat ini dan langsung ke luar lihat, pintu ini tetap kita buka bagimu!" Esmeralda mengangkat matanya lalu memandang ke sana kemari, seperti binatang yang diburu. Orang-orang yang kelihatan hitam saja dengan pakaian kasar siap berdiri di sudut-sudut ruangan, sedang algojonya sendiri duduk bersila di tempat tidur hitam dari

kayu. Dia memandang Esmeralda, dan bangkit. Mukanya kejam. Esmeralda mundur ketakutan sambil berteriak. Imam berbicara lagi. "Tak maukah kau mengaku pada kami?" tanyanya. "Saya sudah mengaku," bisik Esmeralda dan dia menutup matanya. "Baiklah," katanya dengan suara yang lebih keras, "akan kita lihat apa yang kaukatakan setelah algojo membantumu berbicara. Mari kita mulai." Seorang prajurit berpakaian merah mengeluarkan pedangnya dan dengan ujungnya dia menunjuk sebuah sepatu besar yang terbuat dari kayu, yang terletak di bawah tempat tidur. "Mulai dengan ini," katanya. Dengan tersenyum ditambahkannya, "Kelihatannya terlalu besar untuk kaki penari kita yang kecil, tapi kau bisa mengecilkan sepatu ini bukan, algojo?" "Kita bisa menjadikannya sedang untuk semua ukuran kaki, baik besar maupun kecil," sahutnya. "Ya, ini sepatu tua yang bagus, benar-benar cantik!" Dipegangnya dan diangkatnya sepatu itu dengan kedua belah tangannya lalu dia tertawa. Dua orang prajurit memegang kedua lengan Esmeralda lalu mendorongnya ke tempat tidur, algojo mengenakan sepatu kayu itu ke kaki kanan Esmeralda, kemudian dia bersiap-siap akan memutar sepotong logam yang bisa mendekatkan bagian atas dan telapak sepatu perlahan-lahan hingga kaki Esmeralda akan terjepit sampai remuk tulang-tulangnya. Maka gadis itu terbelalak ketakutan. "Kau datang tepat pada waktunya," kata perwira berpakaian merah kepada seseorang yang kini masuk dari arah belakang Esmeralda. Dia adalah imam yang berleher panjang, "Tepat pada waktunya membawa berita yang akan menjadikannya benar-benar senang!" katanya, lalu dia berjalan mendekati Esmeralda dan berdiri di

hadapannya. Sang algojo tinggal diam. Sebentar kemudian imam itu berkata, "Nah, kau telah berhasil!" katanya, sambil menatapnya, "kau telah berhasil dalam percobaanmu membunuh Kapten Phoebus. Dia meninggal lima menit yang lalu!" "Meninggal?" bisik Esmeralda, "Aduhai! Kalau dia meninggal, aku tak bisa hidup!" "Dia sudah meninggal, dan engkaulah yang membunuhnya," kata imam itu. "Kau dan kambingmu yang telah membunuhnya dengan ilmu sihir, bukan?" Lama keadaan sepi. Tak seorang pun bergerak. Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. "Ya!" serunya, "ya!" Matanya berapi-api waktu dia menoleh pada perwira, "ya, saya telah membunuhnya! Saya telah membunuhnya dengan ilmu sihir. Anda menginginkan supaya saya mengakui hal itu, bukan?" Imam itu cepat memandang perwira, sang algojo mengumpat sendiri. "Kami menginginkan pengakuan," kata imam itu, "dan aku yakin, Nak, bahwa akhirnya kini telah kauberikan pengakuan yang sebenarnya. Puji syukur bagi Tuhan!" Seluruh tubuh Esmeralda gemetar, dan dia menutup matanya. "Tanggalkan sepatu itu," kata perwira pada algojo yang dengan sedih mematuhi perintah itu. "Anakku," kata imam sambil menggenggam tangan Esmeralda yang dingin, "setelah kauakui kebenarannya, kini kau tinggal harus membayar kematian Phoebus dengan kematianmu sendiri. Kau akan digantung secepatnya." "Saya harap demikian," kata Esmeralda dengan suara hampa. Orang-orang membantunya berdiri karena dia hampir tak bisa berdiri lagi. Perwira terpaksa menggendongnya keluar, di sepanjang

lorong sampai ke kamar di mana dia harus tinggal sampai hari kematiannya di tiang gantungan.

Chapter 13 Jalan Untuk Lolos

JAUH di bawah tanah ada ruangan-ruangan tempat menahan para terhukum secara terpisah, selama menunggu kematiannya. Kamar-kamar itu kecil dan saling berjauhan. Tak ada bunyi yang dapat didengar, dan para terhukum itu tak dapat membedakan siang dari malam karena kamar-kamar itu tak berjendela. Dinding-dinding dan lantai-lantainya basah, dan dingin seperti es. Waktu Esmeralda mendengar tentang kematian Phoebus, hidupnya seolah-olah kehilangan matahari. Dia tak punya keinginan untuk hidup lagi. Masa telah berhenti baginya. Kamar yang ditempatinya dingin gelap seperti kuburan. Waktu pintu yang tebal itu terbuka, dia semula tidak tahu. Kemudian matanya terasa silau, kemudian baru dilihatnya bahwa di kamar itu ada lampu, seorang laki-laki memegang lampu itu. Perlahan-lahan dia mulai berpikir dan akhirnya dia berbicara. "Siapakah Anda?" tanyanya. "Seorang imam." Dia merasa takut, karena suara itu bergema dalam ingatannya, tapi dia tak bisa ingat suara siapa itu. Suara itu berkata lagi, "Sudah siapkah kau?" "Siap untukuntuk apa?" "Siap untuk mati," katanya. "Akan segerakah?" tanya Esmeralda. "Besok." "Mengapa tidak hari ini saja?" bisiknya. "Apakah arti perbedaan sehari bagi mereka?" "Sedih sekalikah kau?"

"Saya dingin sekali," sahutnya. Imam itu memandang Esmeralda yang duduk di lantai yang basah. Tangannya kurus dan kotor, dan perlahan-lahan digosokgosoknya kakinya dengan tangannya yang kurus itu. "Tanpa penerangan!" katanya. "Tanpa perapian! Dan seluruh kamar basah, mengerikan sekali!" "Ya," bisik Esmeralda. "Semua orang menikmati siang hari. Mengapa saya hanya diberi malam?" "Tahukah kau mengapa kau berada di sini?" "Saya rasa saya pernah tahu," jawab Esmeralda, lalu dipejamkannya matanya dan berpikir, "tapi sekarang saya tak tahu. Saya tak ingat." Lalu dia menangis seperti anak kecil. "Saya ingin pergi dari sini," kata Esmeralda. "Saya kedinginan dan takut." "Kalau begitu, ikut aku." Imam itu memegang lengannya, dan meskipun dia merasa dingin, dirasanya tangan imam itu dingin seperti es. "Tangan kematian!" bisiknya, "siapakah Anda?" Claude Frollo mendekatkan lampu itu ke mukanya lalu berlutut dekat Esmeralda. Esmeralda memandangnya, lalu matanya ditutupnya rapat-rapat dengan tangannya, dan dia gemetar ketakutan. "Imam!" serunya, "andalah imam itu!" dan dia mencoba menjauh darinya. "Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Frollo. "Mengapa kau begitu takut?" Esmeralda tak menjawab. "Mengapa?" tanyanya lagi. "Andalah imam itu," bisik Esmeralda, "imam yang membunuhnya membunuh Phoebus-ku!" lalu dia menangis.

Kemudian dia berkata dengan air mata bercucuran, "Apa yang telah kuperbuat terhadap Anda? Mengapa Anda membenciku? Pernahkah saya menyakiti Anda?" "Aku cinta padamu!" seru imam itu. Dia tiba-tiba berhenti menangis, dipandanginya imam itu dengan mata hampa, seakan-akan dia gila. "Adakah kau dengar? Aku cinta padamu!" seru imam itu lagi. "Cinta yang bagaimanakah cinta Anda pada saya itu?" bisiknya. "Cinta seseorang yang telah kehilangan pegangan!" Mereka diam beberapa lamanya, lalu akhirnya berkatalah imam itu dengan suara yang tenang tapi aneh, "Dengarkan akan kuceritakan segalanya, juga semua rahasia yang selama ini kusembunyikan bahkan terhadap diriku sendiri. kecuali pada jam-jam sunyi-sepi malam hari bila keadaan begitu gelap hingga Tuhan hampir tak dapat melihat kita. Dengarkan. Sebelum aku bertemu denganmu aku bahagia...." "Saya pun berbahagia waktu itu!" sahut Esmeralda. "Aku harus berbicara denganmu," kata Frollo, "aku harus menceritakan segalanya padamu. Aku semula bahagia, jiwaku penuh cahaya...." Imam itu berbicara terus, tapi Esmeralda tak mendengarnya. Dia terlalu lemah untuk mendengarkan cerita yang mengerikan tentang nafsu imam itu terhadapnya. Imam itu bercerita terus, sambil berlutut di dekatnya di lantai yang dingin dan basah. Esmeralda tak merasa apa-apa, tak melihat apa-apa, kecuali suatu dinding awan kelabu yang rasanya ditutupkan ke matanya. Kemudian akhirnya semua kata-kata imam itu masuk ke pikirannya. "Aku membunuhnya demi kau!" serunya, "demi kau! Aku bisa menyelamatkanmu. Ikutlah dengan aku sekarang aku cinta padamu! Kita bisa hidup berdua di suatu kota kecil jauh dari sini. Kita berdua bisa berbahagia!"

"Aku benci padamu," bisik Esmeralda. "Tenagaku tinggal sedikit, tapi aku membencimu dengan seluruh tenaga yang tersisa itu! Aku membencimu sekarang. Besok pun aku membencimu, padahal besok aku akan mati. Jadi akan kubawa rasa benciku padamu untuk selamanya." Dipejamkannya matanya, lalu dia bersandar ke dinding. Imam itu melompat berdiri sambil memekik seperti binatang luka. Esmeralda seperti tidak mendengar waktu imam itu mengumpatnya. Ditinggalkannya Esmeralda dengan membanting pintu kamar itu, tapi Esmeralda tetap tak bergerak. Waktu berlalu. Kemudian, perlahan-lahan digerakkannya tangannya dan dia mulai menggosokgosok kakinya. "Dingin benar aku dingin benar!" katanya berulang-ulang, dan air matanya meleleh di pipinya.

Chapter 14 Tali

MENYINGKIRLAH! teriak Suster Gudule dari jeruji besi Lubang Tikusnya. "Kepalamu yang bebal itu menghalangi pemandanganku, Anak muda!" "Ya, ya baiklah perempuan tua, masih belum ada yang akan dilihat." Namun prajurit itu menyingkir juga. "Gerobak itu belum lagi membelok di tikungan." "Kalau dia membelok, tolong beritahu aku. Tak banyak yang dapat dilihat dari jendela ini, aku tak mau kehilangan kesempatan melihat gipsy itu pergi ke tiang gantungan." "Keras benar hati Anda, Suster Gudule, sekeras batu!" kata prajurit itu. "Kau tak tahu apa-apa tentang hatiku atau apa yang telah ditanggungnya, jadi urus saja urusanmu sendiri!" "Jaga sopan santunmu, perempuan tua!" kata prajurit itu, dan dia lalu berdiri di depan jendela hingga suster itu tak bisa melihat. "Jaga sopan santunmu, kalau tidak, aku akan tetap berdiri di sini sepanjang siang ini!" Orang-orang yang berada di dekat situ tertawa. "Betul itu!" teriak seorang laki-laki gemuk. "Ajar dia supaya tahu sopan santun, Prajurit!" "Dia sudah terlalu tua untuk belajar," kata temannya. "Tuh dia!" teriak seorang wanita jangkung yang berdiri di dekat mereka, dan semua orang menoleh ke arah tikungan, "gerobak yang membawa tukang sihir itu datang!" Orang-orang terdiam waktu gerobak itu mendekat. Gerobak itu ditarik oleh seekor kuda besar berwarna kelabu, dan serdadu-serdadu

berpakaian merah dan kuning menunggang kuda di kiri kanannya. Mereka membawa salib putih. "Aku tak bisa melihat," teriak Suster Gudule, "menyingkirlah!" "Tutup mulutmu," kata prajurit tadi, tapi dia menyingkir juga. Kalau Anda bicara sepatah kata saja lagi, saya akan kembali, lihat saja!" Suster Gudule memegang jeruji dan berdiri berjingkat supaya bisa melihat, tapi dia tak cukup tinggi dan dia tak bisa melihat Esmeralda. Gadis malang itu duduk dengan sedapat mungkin merendahkan dirinya dalam gerobak, untuk menyembunyikan dirinya dari orang banyak. Tangan dan kakinya diikat dan kepalanya ditundukkannya saja karena malu. Dia mengenakan baju putih, dan rambutnya yang hitam terurai di bahunya. Orang di tiang gantungan akan segera memotong rambut itu, tapi kini rambut itu ditiup angin. Ketika rambut itu tertiup-tiup angin, sekali-sekali terlihat rantai perak dan kantong sutera hijau yang masih tergantung di lehernya. Matahari musim salju yang pucat muncul sebentar dan kaca hijau di kantong bersinar cemerlang. Derap kaki kuda mengeluarkan bunyi Plok! Plok! Plok! sementara mereka melewati alun-alun, dan roda-roda gerobak gemeratak di atas batu, tapi orang-orang tidak bersuara. Mereka merasa kasihan sekali pada gadis yang seperti anak kecil yang letih dan sesat yang duduk di lantai gerobak itu. Wajahnya seputih bajunya, dan dia kelihatan seperti setengah tidur. "Kelihatannya dia membunuh seekor tikus pun tak sanggup!" kata seorang prajurit. "Aku tak yakin dia telah membunuh Kapten Phoebus." "Pasti dia yang membunuhnya," kata wanita jangkung tadi, "dengan ilmu sihir."

"Seorang tukang sihir perlu tubuh yang kuat," kata laki-laki gendut. "Sumber kekuatannya adalah roh jahatnya," sahut wanita tadi, "tapi dia memang kelihatan lemah sekali." "Mana dia?" teriak Suster Gudule "Adakah dia dalam gerobak itu? Adakah dia di situ, kasihan benar gadis kecil yang malang itu," jawab prajurit. "Hei gipsy, dengarkan," teriak perempuan tua itu dari Lubang Tikusnya, "dengarkan kutukan seorang ibu yang bayinya telah dicuri rumpun bangsamu yang jahat itu!" Prajurit itu berpaling dengan marah pada Suster Gudule. Dimasukkannya pedangnya ke celah jeruji jendela hingga ujungnya hampir mengenai dadanya yang pipih. "Tutup mulutmu, kalau kau masih mau hidup!" bentaknya. Suster Gudule melepaskan jeruji itu lalu berlutut di lantai Lubang Tikus, supaya pedang panjang itu tak bisa mencapainya lagi. "Bawa serta kutukan ke tiang gantungan! teriaknya, "bawa serta kutukanku sampai matimu!" Suaranya terdengar lantang, kejam dan keras, tapi Esmeralda seolah-olah tak mendengarnya. "Diam!" teriak orang-orang dekat Lubang Tikus itu,"sudah cukup penderitaan gadis itu." Dari gerobak terdengar jeritan binatang yang kesakitan. "Itu kambingnya," kata wanita jangkung itu. 'Dia tahu bahwa dia akan dibunuh bersama majikannya." Djali terbaring di kaki Esmeralda. Kakinya terikat menjadi satu, dan dia hanya dapat menggoyang-goyangkan kepalanya. Kini pun dia sedang berbuat demikian, digoyang-goyangnya dari kiri ke kanan, dan dia mengembik karena tali itu melukai kakinya. "Djali yang malang! bisik Esmeralda, "tapi hidup kita berdua akan segera berakhir, dan kita akan mendapat kedamaian."

Pintu-pintu Notre-Dame yang besar terbuka. Di alun-alun di mana banyak orang berkumpul dan menunggu di samping tiang gantungan terdengar suara nyanyian sedih dan lambat dari gereja. Sebarisan imam keluar melalui pintu-pintu itu. Mereka semua berpakaian hitam. Mereka berjalan lambat dan bergerak menuruni tangga seperti seekor ular gemuk, ke antara barisan orang-orang banyak. Mata semua orang tertuju ke arah gerobak itu, tak seorang pun yang mengangkat muka, melihat ke bagian atas pintu-pintu NotreDame. Di sana, di antara patung-patung batu berdirilah seorang aneh. Dia memegang seutas tali, dan ujungnya diikatkannya pada sebuah pilar batu. Ujung yang satu lagi dijuntaikannya ke alun-alun, di sepanjang dinding batu yang kelabu. Setelah tali itu terpasang seperti yang diingininya, laki-laki itu berdiri diam. Dia adalah Quasimodo, dan mukanya sama jeleknya dengan gargoyle yaitu makhluk-makhluk aneh yang terpahat pada batu dan yang mulutnya menjadi saluran air hujan dari atap NotreDame. Beberapa ekor burung terbang melalui si bongkok, dan dia tersenyum sambil memandangi alun-alun di bawahnya. Gerobak berhenti di depan tangga, dan empat orang melepaskan tali-tali yang mengikat Esmeralda dan Djali. Kambing itu mengembik kegirangan ketika dia dapat menggerakkan kakinya lagi, tapi Esmeralda memandang imam-imam di hadapannya dengan mata ngeri. Frollo ada di antara mereka. Mukanya putih sepucat orang mati dan matanya merah seperti api. Esmeralda melihatnya, dan dia hampir pingsan. Dia hampir jatuh, tapi dua orang memegangnya dan mengangkatnya dari gerobak. Orang-orang lain mengangkat kambingnya, dan menaruhnya di sampingnya. Nyanyian dari Notre-Dame berakhir, dan Esmeralda serta Djali berdiri dan melihat ke dalam gereja yang besar dan gelap

melalui pintu-pintunya yang terbuka. Para imam mulai berdoa, suara bersama mereka terdengar seperti badai di laut. Tiba-tiba si bongkok memegang tali dengan kedua belah tangannya, dijepitkannya di antara lutut dan kakinya dan dia meluncur ke bawah secepat monyet. Dia menjatuhkan diri di tangga, berlari di antara para imam dan berdiri di hadapan Esmeralda. Dengan tangannya yang besar dan kuat, sebentar saja dia menjatuhkan kedua orang yang memegang Esmeralda, lalu dengan tangan sebelah dia mengangkat Esmeralda dan dengan tangan sebelah lagi mengangkat Djali, kemudian berlari menaiki tangga-tangga Notre-Dame selincah kucing. Dalam gereja, semua orang bebas dari undang-undang. Tak seorang pun berhak mengganggu gugat gipsy dan kambing itu di dalam Notre-Dame. Mereka selamat selama mereka berada di dalamnya. "Dia selamat di sini!" kata Quasimodo setelah dia memasuki pintu. Diangkatnya Esmeralda ke atas kepalanya lalu dia berteriak, "Dia selamat!" "Dia selamat! Dia selamat!" ulang orang banyak hiruk-pikuk. Keributan itu menyebabkan Esmeralda membuka matanya. Dia memandang Quasimodo, lalu cepat-cepat memejamkan matanya lagi, karena si bongkok yang telah menyelamatkan jiwanya itu terlalu mengerikan untuk dilihat. Kepalanya yang besar dan berambut lebat itu seperti kepala singa. Quasimodo menggendong Esmeralda dengan sangat hati-hati seolah dia takut Esmeralda akan pecah. Dia seakanakan menyadari bahwa sesuatu yang seindah itu tak sesuai dengan tangannya yang kasar. Kemudian tiba-tiba didekapnya Esmeralda erat-erat ke dadanya yang buruk, seolah-olah gadis itu adalah harta miliknya sendiri, seorang anak yang berharga. Quasimodo mendekapnya seperti

seorang ibu mendekap anaknya. Ditatapnya wajah gadis itu, dengan sedih dan iba. Sedang di luar, di alun-alun, orang banyak melihat seolah-olah tubuh Quasimodo yang mengerikan itu memancarkan keindahan tersendiri. Para wanita tertawa dan menangis, sedang yang laki-laki bersorak-sorai. Dia baik sekali. Dia anak bongkok yang tak berayahibu, yang telah dibuang orang banyak, kini merasa bahwa dia kuat dan hebat. Dia memandang ke bawah ke wajah orang-orang yang telah melarangnya untuk hidup bersama mereka. Dia telah mengalahkan kekuatan undang-undang mereka dengan tenaga gaib Tuhannya. Quasimodo berlari masuk lebih jauh ke dalam gereja dengan Esmeralda dalam gendongannya. Kambing mengikuti mereka. Tanduk dan kakinya bersinar keemasan dalam gelapnya Notre-Dame. Orang-orang banyak berdiri diam dan ingin tahu apa yang akan terjadi lagi. Lalu si bongkok muncul lagi. Dia berada di ujung lorong jauh di atas pintu-pintu. Diacungkannya gadis itu tinggi-tinggi, lalu berteriak, "Dia selamat!" Orang-orang banyak mengulangi teriakannya itu. Dia menghilang, dan sejenak kemudian dia menampakkan dirinya di tempat yang lebih tinggi, sambil menggendong Esmeralda seolah-olah dia seringan sekuntum bunga. Orang banyak berteriak kegirangan lagi, dan Quasimodo menghilang lagi. Mereka melihatnya untuk ketiga kalinya ketika dia berada di puncak menara lonceng besar. Dari sana seolah-olah akan memperlihatkan gadis itu pada seluruh kota. Terdengar lantang suaranya meneriakkan pekik kemenangan, "Aman! Aman! Aman!" Orang banyak membalas pekik itu dengan kegirangan yang meluap-luap sampai-sampai menggetarkan jeruji Lubang Tikus di mana Suster Gudule terus meneriakkan kutukannya.

Chapter 15 Di Atas Kota

QUASIMODO membawa Esmeralda ke sebuah kamar kecil di bawah atap menara. Selama berada dalam gendongan Quasimodo, Esmeralda merasa seolah-olah dia terbang dalam tidurnya. Sekalisekali didengarnya suara si bongkok tertawa nyaring dan suaranya yang kasar. Rasanya suara itu adalah suara dalam mimpinya. Esmeralda membuka matanya sedikit dan dilihatnya atap-atap rumah di kota Paris, jauh di bawahnya. Waktu dia kemudian memandang ke atas dilihatnya muka si bongkok yang jelek berseri-seri karena kegirangan. Esmeralda memejamkan matanya lagi dan berpikir, "Mungkin aku sudah mati di tiang gantungan dan rohku sedang dibawa oleh suatu makhluk aneh suatu roh dari dunia lain." Quasimodo membaringkannya di kamar kecil itu. Esmeralda terbangun. Kini mata dan pikirannya bisa bekerja lagi. Dilihatnya bahwa dia berada di menara. Dia ingat bahwa dia tadi telah dibebaskan dari orang-orang yang akan membunuhnya. Dia berpaling pada Quasimodo. "Mengapa kau selamatkan aku?" tanyanya. Quasimodo tampak heran, seolah-olah dia mencoba memahami apa yang dikatakan Esmeralda. "Mengapa kau menyelamatkan aku?" tanya Esmeralda lagi. Quasimodo memandangnya dengan sedih sekali, lalu pergi. Esmeralda keheranan, dia tak tahu bahwa Quasimodo tuli. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa pakaian yang diletakkannya dekat kaki Esmeralda. Seorang wanita yang baik hati telah meletakkan pakaian itu di tangga Notre-Dame. Esmeralda

melihat ke dirinya sendiri dan dilihatnya bahwa dia hanya memakai baju putih yang tipis. Dia membelakangi Quasimodo. Rupanya Quasimodo mengerti. Tangannya yang besar ditutupkannya ke matanya lalu dia keluar dari kamar itu. Esmeralda mengenakan pakaian itu sederhana namun hangat. Baru saja dia selesai, Quasimodo sudah kembali. Tangan sebelahnya menjinjing sebuah keranjang sedang di tangan yang sebelah lagi dia mengepit alat-alat tidur. Dalam keranjang itu terdapat sebuah botol, roti dan makanan lainnya. Diletakkannya keranjang itu ke lantai dan dia berkata, "Makan." Alat-alat tidurnya dibentangkannya lalu berkata, "Tidur." Yang dibawa si bongkok itu adalah makanan dan alat tidurnya sendiri. Esmeralda mengangkat matanya memandang Quasimodo akan mengucapkan terima kasih, namun kata-kata itu tak terucapkan. Laki-laki itu jeleknya bukan kepalang! "Kau takut padaku," kata si bongkok. "Aku jelek sekali ya? Jangan lihat aku, dengarkan saja aku. Siang hari kau harus tetap tinggal di sini, malam hari kau bebas berjalan ke mana saja dalam gereja ini. Tapi jangan keluar gereja barang selangkah jua pun, baik siang maupun malam. Kau akan tersesat. Mereka akan membunuhmu, dan aku akan mati." Perlahan-lahan Esmeralda mengangkat kepalanya akan menjawab, tapi dia sudah tiada. Setelah tinggal seorang diri, Esmeralda mengingat lagi kata-kata aneh yang diucapkan makhluk jelek itu, dan tentang suaranya, begitu kasar namun begitu lembut. Kemudian Esmeralda melihat-lihat kamarnya. Kamar itu hanya cukup untuk sebuah tempat tidur, tak ada apa-apa di dalamnya. Pada sebuah jendelanya terulur kepala tiga ekor binatang dari batu yang menyalurkan air ke luar melalui lehernya yang panjang. Binatangbinatang gargoyle itu jelek, namun jauh kurang jeleknya daripada si bongkok.

Jauh dari atap gereja, Esmeralda melihat banyak cerobong asap, yang mengepulkan asap api dari kota Paris. Dibayangkannya keluarga-keluarga yang duduk mengelilingi perapian di rumah mereka, dan dia merasa sedih seorang diri, tak bisa meninggalkan kamar itu siang hari dan tak boleh meninggalkan gereja siang maupun malam. Dia duduk di atas tempat tidur dan berpikir-pikir apa yang akan terjadi atas dirinya. Tiba-tiba dirasanya suatu kepala berbulu digesek-gesekkan di tangannya. Esmeralda memandang kepala itu. Rupanya Djali. Diciumnya kepala kambing itu, "Djali sayang," katanya, "aku sampai lupa padamu, namun kau tetap ingat padaku!" Pada saat itu juga, seolah-olah ada tangan yang tak kelihatan mengangkat pintu bendungan yang selama ini menahan air matanya, dia pun menangis dan dengan mengalirnya air matanya, dirasanya kesedihannya yang paling menusuk ikut mengalir meninggalkan dirinya. Ketika malam tiba, malam baginya begitu indah, cahaya bulan begitu lembut. Dia berjalan-jalan di menara dan melihat ke bawah ke kota yang sedang tidur. Bumi kelihatan begitu tenang bila ditinjau dari tempat yang tinggi. Dia merasa agak bahagia lagi, berada di bawah langit yang berbintang, sedang kota berada begitu jauh di bawah kakinya. Keesokan paginya sinar cerah matahari yang baru terbit memancar melalui jendela menyinari muka Esmeralda. Bersamaan dengan matahari, Esmeralda melihat sesuatu yang lain di jendela, sesuatu yang menjadikannya takut. Wajah Quasimodo yang jelek. Esmeralda memejamkan matanya lagi ketakutan, tapi dia mendengar suatu suara kasar berkata sangat lembut, "Jangan takut. Aku sahabatmu. Aku datang untuk melihat kau tidur. Kau tidak keberatan, bukan, kalau aku datang dan melihatmu tidur? Bukankah tidak apa-apa kalau aku di sini, sedang kau

memejamkan matamu? Aku akan pergi sekarang. Nah! Aku bersembunyi di balik dinding, sekarang kau boleh melihat matahari lagi." Esmeralda merasa terharu oleh suara Quasimodo yang sedih. Dibukanya matanya dan memang Quasimodo tak ada lagi di jendela itu. Esmeralda pergi ke jendela dan dilihatnya si bongkok menyelipkan dirinya di dinding. Dikuatkannya dirinya untuk mengatasi rasa mual yang timbul begitu melihatnya. "Kemarilah," kata Esmeralda padanya lembut. Dari gerak bibirnya, Quasimodo menyangka bahwa Esmeralda menyuruhnya pergi. Ditutupnya matanya dengan tangannya, dan dia menjauh. "Kataku, kemarilah!" ulang Esmeralda, tapi si bongkok menjauh terus. Lalu Esmeralda berlari keluar dari kamar, bergegas mendatanginya dan memegang lengannya. Merasakan sentuhan tangan Esmeralda, seluruh tubuh Quasimodo gemetar. Dipandanginya Esmeralda dengan matanya yang satu itu dengan penuh kesedihan. Tapi ketika dilihatnya bahwa Esmeralda mencoba menariknya untuk mendekatinya, mukanya bersinar kesenangan. Esmeralda mengajaknya masuk ke kamarnya, tapi dia tak mau. Djali berdiri saja di pintu, sedang Esmeralda duduk di tempat tidur sambil memandanginya. Setiap saat dilihatnya suatu segi keindahan pada tubuhnya yang buruk itu. Quasimodo-lah yang mula-mula memecah kesepian."Jadi benar-benarkah kau menyuruhku kembali?" "Ya," kata Esmeralda. Quasimodo mengerti apa maksudnya dari anggukan kepalanya saja. Kemudian dia berkata lagi sedih dan perlahan, "Aku aku tuli." "Kasihan benar kau!" kata gipsy itu dengan suara penuh iba. "Ya, aku tuli. Begitulah aku diciptakan. Aku jelek sekali. Sedang kau kau begitu cantik."

Suaranya kedengaran begitu sedih hingga Esmeralda tak sampai hati untuk mengucapkan sepatah kata pun. Si bongkok berkata lagi, "Aku tak pernah menyadari diriku sebelum ini. Bagimu aku tentu seperti binatang saja. Sedang kau kau seperti seberkas sinar matahari, sekuntum bunga, seekor burung. Aku ini aku bukan manusia, tapi bukan pula binatang." Lalu dia tertawa, dan suara tawanya ituiah yang paling menyedihkan. Dia berkata lagi, "Ya, aku tuli, tapi kau bisa berbicara memakai isyarat denganku. Aku punya majikan yang berbicara dengan cara demikian denganku. Maka dalam waktu singkat aku akan tahu apa yang kauingini dari gerak bibirmu, dan dari caramu memandangku." "Kalau begitu coba ceritakan, mengapa kau menyelamatkanku," kata Esmeralda sambil tersenyum. Si bongkok memperhatikannya dengan teliti sementara dia berbicara. "Aku mengerti," sahutnya. "Kau bertanya mengapa aku menyelamatkan kau. Kau telah melupakan seorang malang yang jahat, yang pada suatu malam mencoba melarikanmu pada makhluk malang yang sama itu pula kauberikan bantuan pada esok harinya, waktu dia berada di ruang siksaan yang mengerikan itu, berupa air dan rasa belas kasihan. Untuk itu tak cukup kalau kubalas dengan hidupku saja. Kau telah melupakan makhluk malang itu, tapi dia ingat." Laki-laki aneh ini menimbulkan rasa sedih Esmeralda. Quasimodo mulai menjauh. Esmeralda memberikan isyarat supaya dia jangan pergi. "Tidak, tidak, aku tak boleh tinggal terlalu lama. Hanya karena kau kasihan padaku sajalah maka kau tidak membuang muka. Aku akan pergi ke suatu tempat dari mana aku bisa melihatmu tanpa kau bisa melihatku, cara itu lebih baik " Dari sakunya dikeluarkannya sebuah peluit kecil dari logam.

"Ini," katanya, "kalau kau membutuhkan aku atau kalau kau ingin aku datang, tiuplah peluit ini. Aku bisa mendengar bunyinya." Diletakkannya peluit itu di lantai lalu dia pergi.

Chapter 16 Rencana Serangan

WAKTU berlalu, dan jiwa Esmeralda perlahan-lahan menjadi tenang kembali. Kesedihan yang terlalu besar, tak bisa bertahan lama, sebagaimana halnya kegembiraan yang terlalu besar. Hati kita tak kuat menanggungnya. Keindahan Notre-Dame membantu penyembuhan luka hatinya. Dia mendengarkan nyanyian-nyanyian khidmat, dan mulai melupakan rasa sakitnya. Musik yang agung menjadikannya ingin hidup lagi, dan bila orang-orang di gereja menyanyi, dia ingin menyanyi pula. Tapi yang paling disukainya adalah suara lonceng-lonceng. Bunyinya mengaliri pikirannya dan dia merasa terhibur. Tak pernah dia meniup peluit yang diberikan Quasimodo padanya, tapi dia sering datang selama hari-hari pertama, meskipun tak dipanggil. Dia membawakan keranjang makanan dan botol air minum. Tapi gerakan terkecil yang dibuat Esmeralda untuk berpaling dari dirinya dapat dirasakannya dengan segera, dan dalam keadaan demikian dia pergi dengan sedih. Pada suatu hari dia datang pada saat Esmeralda sedang bermain-main dengan Djali. Beberapa saat lamanya dia berdiri, memandangi keserasian gadis dan binatang itu. Akhirnya dia berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar dan jelek itu, "Buruk benar nasibku, aku lebih menyerupai manusia. Betapa senangnya kalau aku benar-benar merupakan seekor binatang, seperti kambing umpamanya." Esmeralda memandangnya dengan heran. Melihat keheranan Esmeralda itu, dia berkata lagi, "Mungkin kau tak bisa mengerti, tapi aku aku tahu betul!" lalu dia pergi.

Pada kesempatan lain dia tiba di pintu kamar waktu Esmeralda sedang menyanyikan sebuah lagu Spanyol tua. Dia tak tahu apa arti kata-katanya, tapi dia masih ingat karena waktu dia masih kecil, perempuan gipsy selalu menyanyikan lagu itu untuk menidurkannya. Melihat wajah jelek Quasimodo, yang datang tiba-tiba di tengahtengah nyanyiannya itu, Esmeralda menghentikan nyanyiannya dengan sikap ketakutan. Quasimodo mengatupkan kedua tangannya yang jelek, lalu berseru, "Teruskan, kumohon! Jangan suruh aku pergi." Esmeralda tak mau menyakiti hatinya, dia meneruskan nyanyiannya. Rasa takutnya perlahan-lahan hilang, dan dalam meresapi keindahan lagu itu dia melupakan Quasimodo. Selama itu Quasimodo diam dengan sikap seperti semula yaitu seperti orang berdoa. Dia seolah-olah takut bernafas dan menatap mata Esmeralda seolah-olah dia dapat membaca lagu itu di sana. Pada peristiwa lain dia mendatangi Esmeralda seperti orang ketakutan. "Dengarkan," katanya, seolah-olah dia harus berjuang untuk mengucapkan kata-katanya. "Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu." Esmeralda memberi isyarat bahwa dia mendengarkan. Quasimodo membuka mulutnya sedikit akan berbicara, kelihatan berpikir sebentar, lalu menggeleng dan kemudian pergi perlahanlahan, sambil menutup matanya dengan tangannya. Esmeralda merasa heran. Di antara makhluk-makhluk gargoyle di luar jendela Esmeralda, Quasimodo paling menyukai semacam binatang yang aneh. Dia seringkali memandanginya seakan-akan binatang itu dapat mengerti apa yang dikatakannya. Pada suatu kali Esmeralda mendengar dia berkata pada binatang itu, "Mengapa aku tidak terbuat dari batu seperti kau?"

Belas kasihan yang dirasakan Esmeralda terhadap Quasimodo, mengusir rasa takutnya terhadap laki-laki lain. Dia mulai melupakan algojo penyiksa dan imam yang matanya mengerikan. Tapi imam dengan mata yang mengerikan itu tidak melupakannya. Berjam-jam setiap hari dia mengurung dirinya dalam kamarnya di antara buku-bukunya dan berjuang melawan keinginannya untuk mendatanginya. Padahal, dia ada di menara di sebelahnya dalam gedung yang sama! Meskipun dia sering pergi mematai-matainya, dia tak pernah berani menampakkan dirinya. Dia bersembunyi di tempat-tempat gelap dan memperhatikannya bila dia berjalan-jalan dalam gereja malam hari. Disembunyikannya dirinya di tangga dan diperhatikannya Quasimodo yang mengunjunginya siang hari. Siang malam pikirannya dipenuhi oleh bayangan Esmeralda. "Lihat bagaimana si bongkok itu memandangnya!" gumamnya sendiri pada suatu petang waktu dilihatnya mereka sedang berdua. "Pandangan seperti itu kulihat juga ketika dia mencoba melarikannya dan Kapten Phoebus menghalang-halanginya. Dan lihat pula bagaimana gadis itu memandang Quasimodo!" Air muka Esmeralda yang manis mengandung iba menjadikan Frollo marah sekali. Ingin dia berlari mendatangi mereka, menghantam si bongkok dan memeluk gadis itu. Tapi dia tahu itu tak mungkin, dan dengan berlari dia menuruni tangga masuk ke gereja. Nyanyian yang indah itu terdengar bagaikan bunyi yang jahat baginya, dan dia berlari menjauhkan dirinya naik ke kamarnya sendiri seperti orang gila. Malam itu mimpinya lebih mengerikan daripada biasanya. Ada seorang laki-laki lain yang bermimpi buruk pula tentang Esmeralda, dia adalah Gringoire si penyair. Dia ada di antara orangorang banyak waktu Quasimodo melarikan Esmeralda dan Djali masuk ke Notre-Dame.

"Syukurlah!" seru Gringoire waktu dilihatnya bahwa Esmeralda selamat, dan dia berteriak kegirangan sampai suaranya habis. Kemudian dia mulai berpikir-pikir bagaimana dia bisa menemukannya kembali. "Aku suaminya," katanya sendiri, "dan aku harus mencoba untuk memperolehnya kembali. Dia tak bisa menghabiskan sisa hidupnya di Notre-Dame! Aku harus mencoba menemukannya kembali." Setiap hari dia pergi ke gereja untuk mencarinya, tapi ia tak pernah melihatnya. Dicobanya pula menemukan Quasimodo, tapi si bongkok itu tak pernah turun dari menara bila Gringoire ada di sana. Juga Claude Frollo agaknya sudah menghilang. Dalam mimpinya, Gringoire sering melihat Esmeralda dalam pelukan si bongkok, maka dia berteriak dan bangun. Ditinggalkannya tempat tidurnya dan dia bergumam, "Sesudah mimpi seburuk itu, aku tak akan bisa tidur lagi malam ini. Sebaiknya aku pergi berjalan-jalan saja sampai pagi." Berjalanlah dia dalam gelap, di kota yang sepi itu. Tanpa disadarinya dia berjalan ke arah Notre-Dame. "Tentunya nasib yang membawaku ke mari!" bisiknya, waktu didapatinya dia telah berada di luar gereja itu, " aku yakin aku akan menemukan Esmeralda sekarang!" Bergegas dia menaiki tangga ke pintu-pintu yang besar, tapi pintu-pintu itu tertutup rapat dan dia tak bisa menggerakkannya. Tiba-tiba terdengar suatu suara berkata di telinganya, "Jangan sentuh pintu-pintu itu malam ini, Sahabatku!" Sebuah tangan yang kuat menggenggam lengan Gringoire. Gringoire gemetar ketakutan memandang dalam gelap akan melihat tangan siapa gerangan itu.

"Kau tidak akan pernah menjadi seorang pencuri yang baik kalau kau tak bisa melihat dalam gelap gulita!" kata laki-laki itu sambil tertawa kecil. "Siapa kau?" seru Gringoire. "Rajamu!" kata laki-laki itu, dan mukanya didekatkannya ke arah Gringoire, "bisakah kau melihatku sekarang, Penyair?" "Yaya bisa," kata Gringoire. Orang itu adalah Raja kaum pengemis. Gigi gipsy laki-laki itu putih bersinar waktu dia menertawakan penyair yang ketakutan itu. "Sedang mencari istrimu yang cantik itukah kau?" tanya sang Raja. "Benar," sahut Gringoire berbisik. "Tahukah kau' di mana dia?" "Kau tidak akan menemukannya malam ini," kata Raja, "meskipun aku tahu di mana dia... Mari ikut aku sekarang, akan kuceritakan tentang rencanaku." Dia bergegas menuruni tangga, dengan terus mencengkam lengan Gringoire. Mereka berjalan tanpa berkata-kata melalui jalan-jalan sampai mereka tiba di jembatan Saint Michel. Raja kaum Pengemis itu menuntun Gringoire ke tepi air. "Ini tempat tenang yang baik untuk berbicara," katanya. "Aku tak suka membicarakan tentang rencanaku itu di mana orang lain bisa mendengarkan. Terutama karena rencanaku adalah untuk mencuri barang-barang dari gereja Notre-Dame yang masyhur itu." "Mencuri dari Notre-Dame!" bisik Gringoire terkejut. "Di gereja itu banyak emas, permata-permata dan uang, kata Raja kaum pengemis, "semua barang yang disukai rakyatku dan aku," lanjutnya, "Esmeralda ada di sana, dan kita menginginkannya kembali ke tengah-tengah kita, bukan?" "Ya, ya!" seru Gringoire.

"Akan kita bawa dia keluar dari Notre-Dame besok malam," kata Raja, "dan kita akan membawa cukup banyak emas juga, untuk menjamin kita sepanjang sisa hidup kita!"

Chapter 17 Keributan Malam Hari

MALAM berikutnya tak ada awan di langit, dan bulan bersinar. Sinar bulan menerangi lantai Notre-Dame yang gelap menjadi berwarna biru seperti laut. Esmeralda sedang berjalan-jalan di sana dan Djali berada di sampingnya. Gerak-gerik Esmeralda tenang sekali, tapi jejak kaki Djali yang keemasan bergema tajam di lantai batu itu. Kadang-kadang dia berhenti, diangkatnya kambingnya lalu diciumnya. "Gereja ini cantik di malam hari, bukan Djali?" bisiknya. "Begitu sepi, begitu tenang, hingga kadang-kadang kurasa aku akan senang tinggal di sini selama-lamanya." Diturunkannya kambing itu lalu dia mulai berjalan lagi. "Tapi kadang-kadang kuingin bisa keluar ke kota, dan bebas hidup dengan caraku sendiri," katanya. Dia berhenti lagi, berdiri sambil merenung. "Rasanya sudah bertahun-tahun aku tak menyanyi di jalan-jalan lagi ya Djali? Aku ingin tahu apakah aku masih bisa menari! Apakah menurut kau aku masih bisa, sahabat kecilku? Kucoba ya?" Dia mulai menyanyi dan menggerakkan kakinya dengan halus di atas lantai batu yang dingin dalam gereja itu. Suaranya terdengar kecil dan halus dalam gedung yang besar itu, dan dia kelihatan begitu kecil waktu dia menari sendiri itu. Dia tersenyum girang ketika menarikan tarian yang selalu diingatnya itu. Si bongkok memperhatikannya dari tempat yang gelap itu, mulutnya ternganga lebar. Dia lupa segala-galanya karena senangnya melihat gerak-gerik yang begitu lentur, dan dia mulai melompatlompat kesenangan. Gadis itu berputar-putar makin lama makin cepat,

dan kambing itu mulai menggerakkan kakinya yang keemasan pula. Quasimodo merasa begitu senang hingga dia tertawa nyaring. Dia tidak mendengar suaranya sendiri, tapi suara tawanya yang aneh, yang serupa dengan bunyi binatang kasar, bergema nyaring dalam gereja yang kosong. Gadis itu berhenti, tapi dia tidak merasa takut. Dia sudah kenal benar suara Quasimodo sekarang, hingga tidak lagi ngeri. Dia menoleh sambil tersenyum, dan melihat di mana Quasimodo berdiri. Lalu dia berlari mendatanginya, diulurkannya tangannya akan menunjukkan bahwa dia senang melihatnya, dan kemudian memegang tangannya. Djali mengejarnya dan berbaring dekat kakinya. "Mari!" kata Esmeralda, dan ditariknya Quasimodo ke tengahtengah gereja. "Akan kutarikan suatu tarian khusus untuk penjaga loncengku yang baik!" Wajah Quasimodo penuh kebahagiaan waktu Esmeralda mulai menari dan menyanyi lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi yang kuat dan nyaring di luar pintupintu gereja yang besar. Mula-mula Esmeralda tidak mendengar bunyi itu karena asyiknya menyanyi dan menari, tapi sebentar kemudian dia mendengarnya. Dia berhenti tiba-tiba lalu memandang Quasimodo dengan ketakutan. Quasimodo tak mengerti mengapa dia berhenti, karena dia tidak mendengar keributan di luar meskipun bunyi itu makin lama makin nyaring. Kedengarannya seperti orang banyak sedang mencoba merusak pintu-pintu. "Mengapa tak kauteruskan tarianmu yang indah itu?" tanyanya. "Apakah aku menyebabkan kau takut lagi? Ada apa?" Esmeralda menunjuk ke pintu-pintu, dan membuat isyaratisyarat yang mengatakan apa yang didengarnya. "Mari ikut aku!" teriaknya, segera setelah dia mengerti.

"Aku tak tahu siapa itu, tapi aku akan menyelamatkanmu. Jangan takut!". Dipegangnya tangan Esmeralda lalu dibawanya lari ke arah menara dan menaiki tangga ke kamarnya. Kambingnya menyusul tak jauh dari mereka. "Tetaplah tinggal di situ sampai aku kembali padamu," teriaknya, lalu dia berlari ke atap dan melihat ke alun-alun di bawahnya. Alun-alun itu penuh manusia membawa obor, dan ada pula yang berada di tangga Notre-Dame. Mereka sedang mencoba memecahkan pintu dengan sebatang kayu besar dan panjang, suatu pohon yang besar. Mereka berlari ke pintu-pintu itu berulang kali. Pintu-pintu itu kuat sekali, dan dilapisi logam, tapi tentu tidak akan kuat menahan orang-orang dengan pohon-pohon itu. Orang-orang itu berulang-kali berlari menaiki tangga dan menghantam pintu-pintu itu dengan pohon. "Mereka itu bukan prajurit-prajurit," kata Quasimodo sendiri, waktu diperhatikannya orang-orang itu. "Siapakah mereka itu? Kelihatannya mereka sangat miskin dan kasar-kasar. Aku harus menyembunyikan kekasihku terhadap mereka!" Dia berlari kembali pada Esmeralda. "Aku tak tahu siapa mereka atau apa yang mereka ingini, katanya pada Esmeralda. Esmeralda sedang duduk di tempat tidur sambil mendekap kambingnya yang ketakutan. "Tapi aku akan menjaga keselamatanmu, biar pun aku harus mati!" Dari sakunya dikeluarkannya sebuah kunci. "Hanya ada sebuah kunci lain untuk pintu kamarmu," katanya, "dan itu disimpan majikanku. Aku harus mengurungmu di sini dan membawa kunci ini. Segera setelah aku yakin bahwa tak ada seorang pun dalam gereja ini yang akan mengancam keselamatanmu, aku akan kembali dan membuka pintu ini. Kau akan aman sampai aku kembali."

Wajahnya penuh rasa kuatir waktu dia berkata-kata itu, namun dia mencoba tersenyum pada Esmeralda sebelum dia meninggalkannya. Esmeralda mendengar kunci diputar di pintu, dan dia mendekap Djali makin erat. "Apa yang akan terjadi atas diri kita sekarang? Apa yang akan terjadi?" bisiknya, dan dia memejamkan matanya. *** Siang hari, orang bekerja memperbaiki atap Notre-Dame. Mereka pulang senja hari, tapi alat-alat kerja mereka ditinggalkan di menara. Quasimodo berlari di sepanjang atap ke tempat alat-alat disimpan. Ditemukannya setumpuk batu-batu besar, banyak kepingan logam panjang logam itu adalah timah hitam yang berat. Ada pula sebuah tungku besi tempat pekerja-pekerja itu membuat api. Mereka memanaskan timah-timah hitam di api itu lalu menuangkan logam cair itu ke lubang-lubang di atap. "Inilah yang kuperlukan!" teriak Quasimodo, dan dia tertawa sambil mengangkat batu yang ada di dekatnya. Batu itu berat sekali, hingga dengan susah-payah sekali dia bisa mengangkatnya tinggi, padahal kekuatannya sama dengan kekuatan tiga orang. Diangkatnya batu itu di atas kepalanya, dia pergi ke tepi atap lalu dijatuhkannya batu itu ke orang-orang banyak di bawah. Dia tidak menunggu lagi untuk melihat apa yang terjadi di bawah sebagai akibat perbuatannya itu, melainkan ia lari kembali untuk mengambil sebuah batu besar lagi dan melemparkannya lagi. Sesudah itu barulah dia berhenti untuk melihat apakah dia berhasil. Orang-orang banyak kini berada agak jauh, tangga gereja kosong; yang tinggal hanya beberapa tubuh manusia yang terbaring seperti orang mati. Pohon pendorong tadi terletak di tanah, tapi dua puluh orang keluar lagi dari kumpulan orang banyak, mengangkat pohon itu dan membawanya lari kembali ke tangga.

"Sekarang akan kupanasi mereka!" teriak Quasimodo. Dia pergi ke tungku lalu menghidupkan api para pekerja. Beberapa saat kemudian, asap naik ke udara. Api di tungku mulai menyala besar dan si bongkok membesarkannya dengan potongan-potongan kayu besar. Kemudian digantungkannya sebuah periuk besar penuh timah hitam di atas api itu. Di alun-alun di bawah, seseorang yang sedang memegang sebuah pedang panjang menunjuk ke atap dan berteriak, "Lihat! Kebakaran! Atap itu terbakar!" "Ayo, orang-orang!" teriak Raja kaum pengemis. "Api telah datang dari langit untuk membantu kita! Dewa ingin menghancurkan gereja! Ayo!" Orang-orang yang memegang pohon, berlari maju ke tangga, terus ke pintu. Kayu-kayu mulai berderak, tapi besinya hanya cacad sedikit. "Lagi!" teriak orang-orang itu, "kita hantam lagi!" dan mereka pun berlari-lari lagi ke tangga, bersiap-siap akan membentur pintu lagi. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh di tengah-tengah pohon itu, hingga pohon itu terlepas dari tangan mereka, sedang seorang kena dan dia tewas seketika. Tiga orang lainnya tertindih pohon itu, dan kakinya patah. Terdengar pekik yang dahsyat. Satu lagi batu besar jatuh ke tengah-tengah orang banyak, dan orang-orang yang sempat menyingkir, lari. "Jangan takut, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja. "Jangan mau dikalahkan oleh beberapa batu saja! Ayo, maju lagi!" Anak buahnya mengikutinya menaiki tangga sambil berteriak, lalu menghantamkan pohon itu berulang-ulang lagi ke pintu. "Retak pintunya makin besar!" seru orang-orang yang memegang bagian depan pohon itu.

"Lagi! Lagi!" dan mereka maju terus di antara batu-batu yang jatuh bergantian dari atas. Kalau seseorang kena, yang lain menggantikannya memegang pohon itu, sedang orang yang lain menyingkirkan orang yang kena tadi. Alun-alun penuh dengan pengemis dan pencuri. "Sudah mulai terbuka! Sudah mulai terbuka!" teriak seorang laki-laki kecil yang berdiri dekat pintu. "Tiga kali lagi, dan kita sudah bisa masuk!" "Satu!" Lubang pada kayu pintu sebelah kiri sudah hampir cukup besar untuk dimasuki seorang anak kecil. "Dua!" Besi yang melintang pada lubang itu patah dengan bunyi yang nyaring, dan orang banyak bersorak. Tak ada lagi batu yang jatuh, dan orang-orang yang membawa pohon berlari dan menghantam pintu dengan sekuat tenaga mereka. "Ingat emas, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja. "Emas itu akan menjadi milik kita!" "Tiga!" Orang-orang itu berlari menaiki tangga dengan pohon itu dan menghantam pintu dengan dorongan hebat yang terakhir. Lubangnya sudah cukup besar untuk dimasuki seorang dewasa. Tapi sebelum ada orang yang sempat masuk, terdengar pekik mengerikan dari orangorang yang berada terdekat dengan pintu. Timah panas tercurah ke kepala mereka. Timah cair itu keluar melalui gargoyle batu yang dibuat untuk menyalurkan air hujan dari atap. Orang-orang itu jatuh, sambil berteriak kesakitan, dan yang tak sempat lolos, mati dalam arus logam yang mendidih. Orang-orang lari menuruni tangga, sedang timah cair makin lama makin banyak tercurah dari gargoyle itu.

Orang banyak dapat melihat si bongkok. Suatu sosok hitam yang bergerak di depan api di atas menara. Mereka mengutuknya, tapi dia tak bisa mendengarnya. "Masih ada cukup timah cair untuk mencegah mereka masuk selama beberapa menit," katanya. "Sekarang aku akan lari memanggil prajurit-prajurit!" Dia menuruni atap dan berlari terus di sepanjang lorong ke tempat tali lonceng yang besar. Dengan suatu lompatan dia menjangkau tali itu lalu menariknya sekuat-kuatnya. Lonceng itu berdentang, dan bunyinya memecahkan kesunyian malam. Quasimodo tertawa nyaring. "Bunyi itu akan memanggil prajurit-prajurit dan mereka akan datang!" serunya. Lalu dilepaskannya tali itu. "Sekarang aku akan menyiapkan timah panas lagi!" teriaknya seperti orang gila sambil lari kembali ke tungku di atas atap. Dalam perjalanannya ke atas atap itu, dia tiba-tiba berhenti. "Apa itu?" serunya ketakutan. Digelengkannya kepalanya, seolah-olah tak mempercayai telinganya. Yang didengar adalah bunyi peluit yang tajam, dan bunyi itu melengking seperti pedang yang ditusukkan ke kepalanya. Sambil berteriak ketakutan dia bergegas lari ke kamar di mana Esmeralda ditinggalkannya. Esmeralda memerlukan bantuannya! Bunyi peluit itu terdengar lagi dari pintu kamar itu. Quasimodo tidak membuang-buang waktu. Didorongkannya tubuhnya ke pintu itu, dan pintu itu rusak seketika. Dia berlari masuk. Imam Frollo sedang berdiri dekat tempat tidur. Dia menoleh ketika si bongkok masuk. Esmeralda yang mukanya seputih salju, terbaring sambil mendekap Djali. Peluit terjatuh dari bibir Esmeralda waktu Quasimodo masuk. Matanya membelalak ketakutan, sedang mata imam itu tampak liar terbakar nafsu.

Quasimodo tidak mengacuhkan Frollo. Imam itu didorongnya ke samping, dia berlutut di tempat tidur, lalu menggendong gadis yang ketakutan itu. "Kau selamat sekarang!" katanya, "kau selamat bersamaku!" Esmeralda memejamkan matanya dan berteriak kecil kegirangan. "Apakah dia mengganggumu?" tanya Quasimodo. "Disentuhnyakah kau?" "Tidak, tidak!" bisik Esmeralda. "Aku segera memanggilmu begitu dia masuk. Aku tak apa-apa." Quasimodo tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi dia bisa membaca air muka yang pucat itu, seperti membaca buku saja. Kini Quasimodo baru mengangkat mukanya memandang imam, yang berdiri saja di situ seperti patung. Tiba-tiba Frollo berlari cepat melewati si bongkok dengan berteriak aneh, lalu berlari terus di sepanjang lorong ke atap. Perlahan-lahan Quasimodo berdiri. "Aku akan kembali," katanya. "Percayalah." Dia pergi menyusul Frollo. Gerak-geriknya penuh keyakinan dan kekuatan yang dahsyat.

Chapter 18 Yang Hilang dan Yang Ditemukan

SETELAH timah panas itu berhenti mengalir dari mulut gargoyle ke tangga Notre-Dame, pencuri-pencuri yang ketakutan tadi mendapatkan keberaniannya kembali. "Nah, saudara-saudara, sekarang tak ada lagi penghalang antara kita dan emas kita!" teriak Raja gipsY "Ikut aku!" Diayunkannya pedangnya di atas kepalanya dan dia memimpin anak buahnya menuju tangga, melalui lorong kecil yang tak dialiri logam cair itu. "Maju terus, ke tempat emas!" teriak orang banyak, dan mereka menyusul pemimpin mereka ke dalam Notre-Dame. Di antara orang-orang yang terdepan terdapat Gringoire. Pada saat itu terdengar teriakan dari belakang orang banyak itu. "Serdadu datang! Serdadu!" Sebagaimana yang diharapkan oleh Quasimodo, lonceng telah memanggil mereka dan kini para prajurit pengawal memasuki alunalun. Prajurit-prajurit itu mengayunkan pedang mereka ke kiri dan ke kanan, dan banyak pencuri yang terinjak-injak kuda. Darah mulai mengalir. Pekik ketakutan dan kemarahan memenuhi alun-alun. Di dalam gereja, Raja berteriak, "Mari kita ambil apa yang bisa diambil!" dan dia berlari ke tempat piring-piring dan cangkir dari emas yang bersinar kena cahaya obor para pencuri itu. Emas itu menyebabkannya melupakan niatnya untuk membawa lari penari gipsy dari gereja itu.

"Semuanya kepunyaan kita, semua emas ini emas kita!" seru orang-orang itu, dan mereka mengambil semuanya yang bisa mereka bawa. "Cepat ambil semua!" "Aku tak suka begini," gumam Gringoire sendiri. "Kalau aku tetap di sini, aku akan dianggap pencuri pula. Saatnya belum tepat untuk mencari istriku. Aku akan keluar lewat jalan lain saja!" Dia berlari ke ujung gereja, di sebelah lain dari alunalun. "Seingatku, di sebelah ini ada sebuah pintu kecil," katanya dan dia bergegas ke tempat itu. "Benar ini dia!" Pintu itu tertutup rapat dengan palang besi. Gringoire menarik palang besi itu dengan sekuat tenaganya. Dia berhasil. Di langit sudah kelihatan tanda-tanda fajar, waktu dia berlari keluar dari Notre-Dame dan langsung ke jalan. *** Setelah Quasimodo meninggalkan Esmeralda di tempat tidur, dia tetap berbaring di situ beberapa lamanya sambil tetap mendekap Djali untuk menenangkan hatinya. Didengarkannya keributankeributan aneh yang memenuhi gereja, dan dia bertanya-tanya keributan apakah itu gerangan. Akhirnya dia bangkit, pergi ke pintu kamarnya dan melihat ke bawah tangga. Dilihatnya banyak bayangan bergerak bayangan itu disebabkan oleh obor yang dibawa pencuripencuri. "Sebaiknya kita kembali ke kamar kita, Djali," katanya. Tapi pada saat itu, terdengar suatu pekik yang mengerikan dari sebuah jendela yang menjorok ke atap, dekat kepalanya. "Apa itu?" serunya, "siapa itu?" Pekik itu terdengar terus beberapa lamanya, kemudian hilang. Tapi kambing itu tidak menunggu sampai suara itu hilang. Binatang yang ketakutan itu lari dari Esmeralda, dan lari terus menuruni tangga.

"Djali!" teriak gadis gipsy itu. "Djali, kemari, kemari!" Gadis itu tidak mengingat bahaya yang mengancam dirinya sendiri, barang sesaat pun, disusulnya kambingnya menuruni tangga. Tangga itu berakhir di dekat pintu kecil yang dilalui Gringoire waktu keluar tadi. Pintu itu dibiarkannya terbuka tadi. Esmeralda tiba di kaki tangga, dan sempat melihat Djali keluar dari pintu itu. Dia menyusulnya. "Djali!" panggilnya, "Djali!" Pencuri-pencuri di dalam gereja itu semuanya terlalu sibuk, hingga mereka tak melihat gadis itu melewati gereja tadi dan terus keluar. Tak seorang pun melihatnya. Ketika dia berlari di jalan itu, didengarnya lagi suara teriakan yang mengerikan tadi dari atas, tapi dia tidak berhenti untuk melihatnya. Teriakan itu keluar dari bibir Frollo, bibir yang putih ketakutan. Waktu dia meninggalkan kamar gadis gipsy itu, dia merasa seolaholah dia terbakar. Dia ingin mencari udara, udara sejuk di malam buta itu. Dilihatnya sebuah pintu yang terbuka dan langit di luarnya dan dia berlari ke atap. Di sana dia berbaring dengan nafas yang tersengalsengal. Kemudian didengarnya si bongkok menyusulnya. Dia bangkit, lalu berlari terus di sepanjang atap. Kakinya tersandung, lalu dia jatuh ke arah luar atap. Dia sempat berpegang pada leher salah satu gargoyle, dan bergantung saja di situ. Jalan berada jauh di bawahnya, dan waktu dia melihat ke bawah, dia berteriak sehabis suaranya, karena ngeri. Kemudian dia menengadah. Di atasnya, berdirilah si bongkok. Air mukanya polos sekali, tiada membayangkan perasaan apa-apa, dia hanya menatap imam itu. "Tolong aku!" teriak Frollo. Quasimodo tidak bergerak.

"Demi Tuhan, tolonglah aku!" pekik Frollo lagi. Dengan hanya mengulurkan tangannya dan menariknya saja, si bongkok sebenarnya sudah bisa menyelamatkan imam itu. Namun Quasimodo berdiri saja dengan kedua belah tangannya tergantung di sisinya. Dia tidak berkata apa-apa, tidak pula berbuat apa-apa. Dia hanya menunggu akan menyaksikan imam itu jatuh sampai mati. Imam itu melihat ke jalan.yang berada jauh di bawahnya dan dia mulai berteriak lagi. Kemudian diangkatnya lagi kepalanya, dan digigitnya bibirnya yang gemetar sampai berdarah. Kekuatannya makin berkurang. Dia tak bisa bertahan lama lagi. Namun si bongkok tetap berdiri mengawasinya menderita. Jari-jari yang mencengkam leher gargoyle itu mulai melemas. *** Setelah Gringoire meninggalkan Notre-Dame dia berjalan cepat sepanjang jalan yang sempit, tapi kemudian dia berhenti dan berpikir. "Aku harus tetap menjauh dari para prajurit," katanya, "dan aku harus tetap menjauh dari pencuri-pencuri yang membawa emas itu. Kalau aku berjalan tenang-tenang seorang diri saja, aku akan selamat." Dia baru saja akan mulai berjalan lagi, waktu dilihatnya seekor binatang putih berlari di jalan itu ke arahnya. "Itu si Djali!" serunya waktu dilihatnya tanduk keemasan kambing itu. "Djali, mari, kemari!" Tapi kambing yang ketakutan itu berlari terus melewatinya. Gringoire berbalik akan mengejar kambing itu, tapi kemudian dilihatnya Esmeralda berlari melewatinya pula dengan rambutnya yang hitam terurai-urai. "Berhenti!" teriaknya, "berhenti! berhenti!" dan dia berlari bersisian dengan Esmeralda. Esmeralda tak menoleh untuk melihat siapa dia. Seluruh pikirannya tertuju pada Djali. Dia tak tahu lagi ke mana dia berlari dan

demikian pula Gringoire. Mereka berdua hanya mengikuti kambing itu saja, di sepanjang jalan kecil itu. "Esmeralda!" panggilnya, "istriku!" Esmeralda tetap seperti tak mendengarnya. "Esmeralda! Esmeralda!" Mereka membelok dan di sana ada sekumpulan orang banyak. Dua di antara orang-orang itu sedang memegang Djali. Yang lain sedang menyerang sebuah bangunan kecil dengan segala macam alat yang berat dan tajam. Sebagian dari bangunan itu sudah runtuh. "Itu Esmeralda!" teriak laki-laki yang telah menangkap Djali, "itu penari cantik kita!" Mereka itu rupanya pencuri-pencuri, demikian pula yang lain yang sedang merusak. Esmeralda pernah tinggal dengan mereka. "Esmeralda!" teriak mereka. Barulah gadis gipsy itu melihat di mana dia berada. Dia sedang berdiri di samping Lubang Tikus, dan pencuri-pencuri itu sedang menghancurkannya. Yang tinggal dari bangunan itu hanyalah setengah dari dindingnya saja lagi, dari dalamnya Suster Gudule berteriak, "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!" "Apa salahnya?" tanya Esmeralda. "Mengapa kalian menghancurkan rumahnya?" "Dia suka mengutuk kita. Kami ingin memberi pelajaran padanya." "Benar!" teriak seorang laki-laki kecil yang membawa obor, "kita akan segera memberi pelajaran padanya!" Suaranya, suara orang yang telah minum anggur terlalu banyak. "Kasihan wanita tua itu, biar aku masuk menemuinya!" kata gadis si gipsy lalu menyelinap di tengah-tengah orang-orang itu. Suster Gudule terbaring di lantai, seperti binatang yang sudah kalah. Dia menggenggam sesuatu erat-erat dan dia berteriak berulang kali, "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"

Esmeralda berlutut di sampingnya. "Mereka tidak akan mengganggu Anda," katanya. "Saya tidak akan membiarkan mereka mengganggu Anda. Jangan takut!" Dirangkulnya pundak wanita tua itu. Barulah Suster Gudule menyadari kehadiran gadis itu di sampingnya. Dia mendongak memandang Esmeralda dalam keremangan fajar dan obor pencuripencuri yang mulai memudar itu. "Siapa kau?" tanyanya. "Aku kenal kau! Rupamu seperti gipsy! Kau...." Tiba-tiba dia terhenti. Sesuatu terjatuh dari tangannya, dan dia menjatuhkan dirinya ke lantai untuk mencarinya. "Nah ini dia! Untung tak hilang!" serunya, lalu dipungutnya sebelah sepatu bayi. "Coba saya lihat sepatu itu!" seru Esmeralda. "Saya harus melihatnya." Setelah dilihatnya, gadis itu lalu membuka kantong hijau yang berkaca hijau, yang selalu digantungkannya di lehernya. Dari kantong itu dikeluarkannya sebelah sepatu bayi pula, yang sama benar dengan kepunyaan Suster Gudule. Pada sepatu itu tertulis dengan tinta yang sudah mengabur, kata-kata berikut, "Bila kaujumpai pasangan sepatu ini, akan kaujumpai pula ibumu." Wanita tua itu dengan cepat menyamakan kedua sepatu tersebut dan mengamat-amatinya, kemudian dibacanya tulisan pada kertas itu, dan dipandangnya Esmeralda. "Anakku!" teriaknya, "anakku!" Esmeralda merangkul ibunya, dan menciumnya berulang kali, sedang wanita tua itu berbisik, "Anakku! Aku telah menemukan anakku!"

"Cepat lari!" teriak pencuri yang tadi menangkap Djali. "Cepat lari, sebelum serdadu-sedadu itu datang." Dibantunya Esmeralda berdiri. "Kami akan melindungimu lagi," katanya. "Ya, kami akan menjagamu," kata yang lain. "Aku tak bisa meninggalkan ibuku," kata Esmeralda. "Kami akan melindungi dia juga," katanya. "Kalian berdua akan aman dengan kami, tapi cepatlah ikut kami!" *** Setelah Frollo jatuh sampai mati di jalan di bawah menara itu, Quasimodo perlahan-lahan kembali ke kamar Esmeralda. Waktu dilihatnya bahwa kamar itu kosong, dia berbaring di tempat tidur lalu menangis seperti anak kecil. Akhirnya dia bangkit lalu pergi ke jendela. Matahari telah terbit dan kota telah bangun. Dia melihat terus ke bawah, seolah-olah mencari gipsy cantik itu, yang tersembunyi di kota di bawahnya. Kemudian matanya tertuju ke arah Lubang Tikus yang sudah rusak dan kosong. Tapi reruntuhan yang sudah ditinggalkan itu terlalu jauh, hingga dia tak dapat melihatnya. Berjamjam dia berdiri di situ, seperti salah satu gargoyle yang selalu melihat ke bawah, siang malam, dari menara-menara Notre-Dame. Setelah matahari di musim salju itu mulai memudar, barulah dia masuk perlahan-lahan. Sebentar kemudian salah sebuah lonceng Notre-Dame mulai berbunyi dengan nada-nada sedih yang aneh, yang terus berlangsung sampai jauh malam. END Ebukulawas.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai