Anda di halaman 1dari 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.

11 Parasetamol Pengertian Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non n arkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SS P) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sedi aan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dala m sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darson o 2002) Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) me mpunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radan g dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993). Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangk an pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011) Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritas i dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetos al, Salsilamid maupun Parasetamol. Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol me mpunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-ana k di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimban gan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui b ahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996) Universitas Sumatera Utara

2.2 Sejarah Parasetamol Pada tahun 1946, Lembaga Studi Analgetik dan obat-obatan sed ative telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgetik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah dituga skan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemogl obinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya.(Yulida.A.N. 2009) Di dalam tuli san mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida denga n methemoglobinemia, dan mendapati pengaruh analgetik asetanilida adalah disebab kan metabolit Parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan Parasetamol karena me mandang bahan kimia ini tidak mengahasilkan racun asetanilida.(Yulida.A.N. 2009) Derivat- asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak di gunakan sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran k arena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi(pengobatan mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kafein dengan kira-kira 50% dan kodein. Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rectal lebih lambat. Efek samping ta k jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. (Yuli da.A.N. 2009) Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asa m amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat menggunakan Parasetamol dengan aman, jug a selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu. Interaksi pada dosis tinggi mem perkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif.(Tjay, 2002) 2.3 Struktur Kimia Parasetamol Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Struktur Kimia Parasetamol 2.3.1 Sifat Zat Berkhasiat Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah sebagai berikut: Sinonim : 4-Hidroks iasetanilida Berat Molekul : 151.16 Rumus Empiris : C8H9NO2. 2.3.2 Sifat Fisika Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Kelarutan : l arut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam etanol. Jarak lebur : Antara 168 dan 172 . 2.3.3 Farmakokinetik Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kada r serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di ha ti, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % d ikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokui non yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis n ormal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksi k. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002) 2.3.4 Farmakodinamik Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin seru pa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai seda ng. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Universitas Sumatera Utara

Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin t idak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pe rdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pern apasan dan keseimbangan asam basa.(Mahar Mardjono 1971) Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam a rakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat leb ih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat anti piretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya me mpunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parase tamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Paras etamol prostaglandin, tidak ini mempengaruhi menunjukkan nyeri bahwa yang ditimb ulkan efek langsung sintesa parasetamol menghambat prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek za t pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang dit imbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningk atan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009) 2.3.5 Indikasi Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri ya ng ringan sampai sedang.(Cranswick 2000) 2.3.6 Kontra Indikasi Penderita ganggua n fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini. (Yulida 2009) 2.3.7 Sediaan dan Posologi Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbe ntuk tablet 500mg atau sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol t erdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosi s Parasetamol untuk Universitas Sumatera Utara

dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 15 0-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. .(Mahar Mardjono 1971) 2.3.8 Efek Samping Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa d emam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutam a pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme au toimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobi nemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tung gal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunju kkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenaseti n. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam ko mbinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik. 2.4 Mekanisme Toksisitas Pada dos is terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifika si oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskr esikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metaboli t tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. O leh karena itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifa t nefrotoksik. Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Dosis Toksik Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang de wasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menye babkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi oba tobat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meni ngkat karena produksi metabolit meningkat. 2.5 Gambaran Klinis Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium : 1. Stadium I (0-24 jam) Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual , muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat. 2. Stadium II (24-48 jam) Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghi lang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan wakt u protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematur ia atau proteinuria. 3. Stadium III ( 72 - 96 jam ) Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan mun tah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepati kum. 4. Stadium IV ( 7- 10 hari) Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan ha ti luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulati on (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002) 2.6 Diagnosis Universitas Sumatera Utara

Ditegakkan berdasarkan : 1. Adanya riwayat penggunaan obat. 2. Uji kualitatif: s ampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian. Caranya: 0, 5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml laruta n O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji ini sangat sensi tive 3. Kuantitatif: Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan da n dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan. Pemeriksaan labor atorium: Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time. 2.7 Penanganan 1. Dekontaminasi Sebelum ke Rumah Sakit: Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30 menit. Rumah Sakit: Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberi kan karena akan mengikat dan menghambat metionin. 2. Antidotum A. N-asetilsistei n Parasetamol. merupakan antidotum bekerja terpilih untuk keracunan glutation, N-asetil-sistein mensubstitusi meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan konjugasi sulfat pada paraseta mol. N-asetilsistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit. B. Methionin per oral, suatu antidotum yang efekti f, sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N aset ilsistein Universitas Sumatera Utara

Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein 1. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut. 2. Oral atau pipa nasogatrik Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ). Larutan N-asetilsistein dapat dilar utkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin. Ke berhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi. Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai