Anda di halaman 1dari 115

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan sesuai rencana. Laporan ini dibuat sebagai pertanggungjawaban akhir tahun dari Tim Peneliti Independen Universitas Negeri Makassar (UNM) dalam melakukan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sulawesi Barat tahun 2010. Evaluasi kinerja pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Barat ini bertujuan untuk mengetahui capaian pembangunan daerah sesuai dengan rencana strategis pembangunan daerah dan untuk mengetahui manfaat hasil pembangunan yang telah dirasakan oleh warga masyarakat. Dengan kata lain, sesuai dengan indikator capaian yang diharapkan oleh Bappenas maka tim peneliti berharap agar hasil penelitian ini menyajikan hasil Evaluasi RPJMD telah mengacu pada RPJMN 2004-2009 sesuai ketentuan Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan hingga tersusunnya laporan EKPD Provinsi Sulawesi Barat ini. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada Deputi EKPD Bappenas yang memberikan kepercayaan kepada tim peneliti UNM dalam melakukan tugas ini. Begitu pula terima kasih disampaikan kepada tim peneliti yang telah bekerja keras melakukan penelitian hingga selesainya laporan dibuat. Akhirnya, saya berharap agar kerjasama yang baik ini dapat terus terjalin di masa akan datang.

Makassar, 09 November 2010 Rektor Universitas Negeri Makassar,

Prof. DR. H. Arismunandar, M.Pd.

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................................ DAFTAR ISI.......................................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................................. DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1. 1 Latar Belakang . ..................................................................... 1. 2 Tujuan dan Sasaran .............................................................. 1. 3 Keluaran ............................................................................... HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 ............ A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI ........................................................................... 1. Indikator ........................................................................... 2. Analisis Capaian Indikator ................................................ 3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN . DEMOKRASI ......................................................................... 1. Indikator ............................................................................ 2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT.. 1. Indikator ........................................................................... 2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 3. Rekomendasi kebijakan ................................................... D. KESIMPULAN ........................................................................ RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI 1. 2. 3. Pengantar .............................................................................. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan nasional ............. Rekomendasi ........................................................................ a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi ........................ b. Rekomendasi Terhadap RPJMN ......................................

i ii iii iv v 1 1 3 3 4

BAB

II

5 5 6 8 10 10 11 22 24 24 26 91 93 95 95 98 98 98 100

BAB

III

BAB

III

KESIMPULAN ............................................................................ 1. 2. Kesimpulan ............................................................................ Rekomendasi ........................................................................

102 102 104

iii

DAFTAR TABEL Halaman TABEL 1 INDIKATOR PEMBANGUNAN INSONESIA YANG AMAN DAN DAMAI 5

TABEL 2

INDIKATOR AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS ........................................................................ 10

TABEL 3

INDIKATOR AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ...........................................................................................

25

TABEL 4

JUMLAH PENDUDUK MENURUT KABUPATEN PROV. SULBAR ..

50

iv

DAFTAR GRAFIK Halaman GRAFIK 1 INDEKS KRIMINALITAS .................................................................. GRAFIK 2 PRESENTASE KASUS KORUPSI YANG TERTANGANI DIBANG KAN YANG DILAPORKAN . . GRAFIK 3 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. GRAFIK 4 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. GRAFIK 5 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ GRAFIK 6 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ GRAFIK 7 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA .............................................. GRAFIK 8 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ............................................... GRAFIK 9 ANGKA PARTISIPASI MURNI & KASAR TINGKAT SD .................. GRAFIK 10 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. GRAFIK 11 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. GRAFIK 12 ANGKA KEMATIAN BAYI ............................................................... GRAFIK 13 KONTRACEPTIVE PREPALENCE RATE ........................................ GRAFIK 14 JUMLAH AKSEPTOR BARU & AKSEPTOR AKTIF.......................... GRAFIK 15 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... GRAFIK 16 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... GRAFIK 17 LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI .................................................. GRAFIK 18 PENDAPATAN PERKAPITA ............................................................ GRAFIK 19 LAJU I N F L A S I ............................................................................. GRAFIK 20 LAJU INFLASI SULBAR JUNI 2008 MEI 2009 .............................. GRAFIK 21 INFLASI BEBERAPA KELOMPOK PENGELUARAN ....................... GRAFIK 22 NILAI REALISASI INVESTASI PMDN ( MILYAR RP) ....................... GRAFIK 23 NILAI REALISASI INVESTASI PMA ( US JUTA)) ............................ GRAFIK 24 KONDISI JALAN NASIONAL .......................................................... 11 17 18 20 21 27 29 32 35 38 41 47 49 51 52 54 58 59 60 63 67 70 77 6

GRAFIK 25 PRESENTASE LUAS LAHAN REHABILITASI DALAMHUTAN TER HADAP LAHAN KRITIS ................................................................... GRAFIK 26 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ GRAFIK 27 PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN ........................................ GRAFIK 28 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ GRAFIK 29 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA & ANGKATAN KERJA .... 81 87 88 89 90

vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana

Pembangunan, pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk melakukan evaluasi guna melihat seberapa jauh pelaksanan RPJMN tersebut. Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Siklus pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama dengan siklus pembangunan 5 tahun di daerah, sehingga penetapan RPJMN 20102014 ini tidak bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas dalam RPJMD tidak selalu mengacu pada prioritas-prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/ program antara RPJMN dengan RPJMD Provinsi. 1

2 Di dalam pelaksanaan kegiatan ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan dengan RPJMN. Bentuk pertama adalah evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan antara RPJMD dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 2009, yaitu: agenda Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu, juga mengidentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah: 1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4) Penanggulangan Kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha, 8) Energi, 9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik, 11) Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu

3 1. Kesejahteraan Rakyat lainnya, 2. Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya, 3. Perekonomian lainnya. Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan daerah. Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan yang lebih independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal tersebut, Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional/Bappenas. B. Tujuan dan Sasaran Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2010 dilaksanakan untuk melihat seberapa jauh pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan kontribusi pada pembangunan di daerah dan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan prioritas/program (outcome) dalam RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. C. Keluaran Evaluasi Seusai pelaksanaan EKPD 2010 ini diharapkan keluaran yang meliputi: a. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di daerah; Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014.

BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009

Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan mendasar seiring dengan tuntutan pada bidang politik, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government), dan pengelolaan keuangan negara. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah mengatur sistem pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Paparan visi, misi dan program kepala daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja pemerintah daerah untuk 5 tahun ke depan. Penyusunan RPJMD dimaksudkan untuk memberi arah dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan suatu provinsi. Penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi Barat sendiri adalah untuk tahun 2004-2009. RPJMD ini merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya memperhatikan Rencana Penggunaan Jangkan Menengah Nasional (RPJMD-Nasional) yang memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan agenda pembangunan daerah, serta memuat program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), program lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (lintas SKPD), dan program kewilayahan. Setiap program dan kegiatan disertai dengan kerangka regulasi dan kerangka pendanaannya yang bersifat indikatif. Menurut Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian perencanaan, dan evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan 4

5 secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan.

A. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai 1. Indikator Pada agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai dalam RPJMN 2004-2009 mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat diukur pada tiga indikator utama. Ketiga indikator utama yang dimaksud adalah indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Kaitannya dengan hal tersebut, maka berdasarkan temuan di lapang, data indeks kriminalitas tidak

tersedia sehingga yang digunakan untuk menganalisis tingkat kriminalitas adalah data tentang tingkat kriminalitas atau jumlah kriminalitas yang tertangani. Selanjutnya, data mengenai persentase penyelesaian kasus kejahatan

konvensional dan transnasional juga tidak lengkap evaluasi yang sifatnya analisis data kualitatif.

sehingga hanya diberikan

Nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai di Provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel-1.

Tabel 1: Indikator Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai

Indikator
Indeks Kriminalitas Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional (%) Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Trans Nasional (%)

2004

2005
0,737

2006
0,987

2007
1.162

2008
0,226

2009

Sumber: BPS, Sulawesi Barat, 2010

6 2. Analisis Pencapaian Indikator 2.1. Tingkat Kriminalitas Tingkat kriminalitas di Sulawesi Barat, yakni jumlah kejadian kriminal perseribu penduduk dalam satu tahun, berdasarkan data pada Tabel-1 di atas, menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat pada periode 20052007, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2008. Sedangkan data untuk tahun 2004 dan 2009 tidak dapat ditemukan. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di Sulawesi Barat mencapai 1,16 kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,17 dari tahun 2006, sementara itu, angka ini menurun 0,93 menjadi 0,23 pada tahun 2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di Sulawesi Barat mencapai 1.162 kasus, tahun 2006 berjumlah 987 kasus, dan pada tahun 2008 tingkat kriminalitas menurun drastis menjadi 226 kasus. kecenderungan angka kriminalitas 2004-

2009 dapat dilihat pada Grafik di bawah ini.

Grafik-1

1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2004

Indeks Kriminalitas

2005

2006

2007

2008

2009

IndeksKriminalitas

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010 Kriminalitas merupakan ancaman nyata bagi terciptanya masyarakat yang aman dan tenteram. Makin maraknya kasus penyeludupan, pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penggelapan dan penyalahgunaan senjata api dan bahan peledak adalah indikasi belum tertanganinya secara serius masalah kriminalitas. Maraknya kejahatan yang terorganisir seperti peredaran dan

7 penyalahgunaan narkoba telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup bangsa, karena penyalahgunaan narkoba mencakup dimensi kesehatan baik jasmani dan mental, dimensi ekonomi dengan meningkatnya biaya kesehatan, dimensi kultural dengan rusaknya tatanan perilaku dan norma masyarakat secara keseluruhan. Hubungannya dengan perilaku kriminal di Provinsi Sulawesi Barat, dapat dilihat pada gambar 1 dimana jumlah pelaku kriminal pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 0,18 persen. Hal ini pada akhirnya akan dapat

membahayakan integritas dan kelangsungan hidup bermasyarakat dan akan mempercepat tumbuhnya rasa tidak nyaman dan tidak aman dalam kehidupan bermasyarakat. Makin tingginya tingkat kriminal di Sulawesi Barat sangat ditentukan antara lain oleh: a. b. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan Turunnya kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum. Untuk itu, dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006-2011 setiap SKPD menekankan peningkatan kedisilplinan agar setiap pekerjaan yang dilakukan senantiasa berada dalam koridor hukum dan tidak bertentangan norma kesopanan, kesusilaan, adat dan norma agama. Selanjutnya, berangkat dari kenyataan bahwa jumlah polisi yang tersedia tidak sesuai dengan rasio masyarakat yang harus apa dilayani, yang maka perlu pendekatan yang lebih Polisi

partisipatif melalui

dikenal

dengan Forum

Kemitraan

Masyarakat (FKPM). FKPM yang dibentuk di setiap desa merupakan pendekatan baru sebagai bentuk reformasi kepolisian dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat (public service). Pendekatan ini juga merupakan model baru (different styles of polycing) yang terbukti menjadi pendekatan terbaik

8 untuk memperbaiki image penegakan hukum. Tujuan usaha kolaboratif polisimasyarakat ini agar dapat mengidentifikasi problem kriminal dan penyimpangan secara dini dan melibatkan masyarakat mencari solusi penyelesaian masalah. Masyarakat diharapkan melalui pendekatan ini dapat menyelesaikan masalahnya sendiri - to help citizens resolve a vast array of personal problems sebelum ditangani oleh kepolisian. Polisi terlibat, the role of the police officer in community based policing, is to have an active part in the community (Schmalleger). Dengan kata lain, FKPM adalah ujung tombak polisi di lapangan yang diharapkan bertindak cepat dan tanggap akan gejala ketidaktertiban. Namun, meski ideal harapan ini, kondisi ini masih dilematis.

2.2.

Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional dan Trans Nasional Berdasarkan hasil identifikasi data, tidak tersedia data persentase

penyelesaian kasus kejahatan konvensional dan trans-nasional di provinsi Sulawesi Barat. Walaupun kejahatan konvensional seperti pencurian tetap terjadi namun pencurian dengan kekerasan dan pencurian kendaraan bermotor hampir tidak pernah terjadi di Provinsi Sulawesi Barat.

3. Rekomendasi Kebijakan Konflik dan pariwisata perlu diantisipasi melalui kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas adat terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam dan

perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi

9 organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat, dan revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi, peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan. Kebijakan ini dijabarkan ke dalam beberapa program seperti: (1) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, (2) Penanggulangan Bencana, (3) Pengembangan Wawasan Kebangsaan, (4) Pemeliharaan Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat serta Pencegahan tindak Kriminal, (5) Pengembangan Kegiatan Kepariwisataan, (6) Pemberdayaan pemuda dan Olahraga, (7) Pemberdayaan Perempuan, dan (8) Pengembangan komunikasi dan Informasi. Adapun sasaran sebagai indikator keberhasilan program ini adalah terwujudnya kesejahteraan sosial yang lebih baik, terpeliharanya harmoni sosial dan integrasi bangsa, serta terbukanya ruang aktivitas bagi kelompok pemuda dan perempuan, terlestarinya kekayaan budaya dan terpeliharanya tertib hukum dalam masyarakat.

10

B. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis 1. Indikator Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis mencakup dua kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD Provinsi (dalam laporan ini data yang bisa diperoleh adalah pemerintah Kabupaten dan pemerintah Provinsii) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur dengan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM). Nilai capaian dari setiap indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel-2 berikut.

Tabel 2. Indikator agenda mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

Indikator
PelayananPublik Persentasekasuskorupsiyang tertanganidibandingkandenganyang dilaporkan(%) Persentasekabupaten/kotayang memilikiperaturandaerahpelayanan satuatap(%) Persentaseinstansi(SKPD)provinsi yangmemilikipelaporanWajarTanpa Pengecualian(WTP)[%] Demokrasi GenderDevelopmentIndex(GDI)

2004
0.00

2005
0.00

2006
0.00

2007
66,6

2008
0.00

2009
0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00 60,10

0.00 61,52

0.00 63,60

0.00 63.60 61,97

0.00 64.71 62.20

0.00 64.71 62.20

GenderEmpowermentMeasurement 59.70 61.30 61.80 (GEM) Sumber: Data Kajati Sulselbar dan BPS Prov. Sulbar, 2010.

11

2. Analisis Pencapaian Indikator 2.1. Pelayanan Publik a. Kasus Korupsi yang Tertangani Dibanding yang Dilaporkan Hubungannya dengan kasus korupsi yang tertangani, diperlukan adanya interpretasi dan persepsi yang jelas tentang definisi yang digunakan. Yang

dimaksud dengan kasus korupsi yang tertangani dalam EKPD di Sulawesi Barat adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan dan sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh kejaksaan dari kepolisian. Maksudnya adalah bahwa konsep tertangani disini merupakan kasus korupsi yang telah berada pada proses atau tahap penuntutan, sedangkan definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang dilaporkan adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima secara langsung oleh Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi yang pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis pada EKPD 2010 mencakup tahun 2007 saja, karena data 2004-2006, serta data 2008-2009 tidak dapat disajikan (data tidak ada). Grafik-2

PersentaseKasusKorupsiyangTertangani dibandingkandenganyangdilaporkan
100 50 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Persentase KasusKorupsiyang Tertangani dibandingkan denganyang dilaporkan

12 Sumber: Kejaksanaan Tinggi RI Sulselbar, 2010 Tindak pidana korupsi telah menjadi tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), maka sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi, modus tindak pidana korupsi menjadi semakin canggih. Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi yang selama ini telah dilakukan masih dirasakan jauh dari harapan masyarakat. Sungguhpun demikian, hal tersebut justru akan menjadi tantangan, tidak saja bagi pemerintah Provinsu Sulawesi Barat namun juga seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun komitmen memberantas korupsi. Adanya perkembangan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan korupsi dalam waktu dua tahun terakhir memperlihatkan kesungguhan pemerintah dalam mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan stimulasi untuk mempercepat dikeluarkannya berbagai produk perundang-undangan, seperti Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Selain peraturan itu, sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004, pada Februari 2005 pemerintah telah selesai menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) 2004-2009. RAN PK merupakan acuan dalam menyusun program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah. Soalnya, korupsi merupakan masalah sistemik, sehingga memerlukan penanganan secara sistemik pula, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan, penindakan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasinya. Langkahlangkah tersebut untuk memastikan pelaksanaan pencegahan maupun

penindakan pemberantasan korupsi, serta memberikan hasil konkret kepada

13 masyarakat. Langkah ini merupakan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada hukum dan penyelenggara negara serta pencerahan mengenai anti korupsi kepada masyarakat. Dalam hubungannya dengan kasus korupsi di Provinsi Sulawesi Barat, tercatat pada tahun 2007, sedikitnya terdapat 30 kasus korupsi yang dilaporkan dan hanya 20 atau 66,6 persen yang tertangani oleh Kejaksaan Negeri Mamuju Sulbar. Sedangkan kasus korupsi yang ditangani Kejari Mamuju yang masih dalam tahap kasasi. Dari sekian kasus korupsi yang ditangani Kejari Mamuju, maka kasus terbesar adalah kasus pembobolan Bank Sulsel Cabang Pasangkayu, senilai miliyaran rupiah. Penegakan hukum yang tegas, imparsial dan tidak diskriminatif merupakan jawaban atas permasalahan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan percepatan penyelenggaraan penegakan hukum dan peningkatan kinerja penyelenggaraan negara di bidang penegakan hukum, baik dengan pembenahan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar operasional penegakan hukum, penyempurnaan dan peningkatan kualitas lembaga penegak hukum, dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, serta peningkatan budaya hukum masyarakat. Adanya berbagai upaya yang dilakukan, tidak saja pemerintah, tetapi juga semua stakeholders, maka tingkat penanganan korupsi akan terus membaik. Dengan demikian, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri, serta akan memberikan implikasi positif berupa meningkatnya investor yang menanamkan modalnya di Sulawesi Barat. Pada gilirannya, para investor itu akan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya penyelenggaraan negara di bidang penegakan hukum, khususnya dalam rangka pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan. Peningkatan

14 pemberantasan korupsi dilakukan baik berupa peraturan perundang-

undangannya, kelembagaan dan aparat penegak hukumnya, maupun budaya hukum masyarakatnya. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas utama. Peningkatan efektivitas pelaksanaan ditingkatkan, tugas antara instansi/lembaga lain dengan pemberantasan memberikan korupsi juga terus

dukungan

peningkatkan

profesionalisme aparatnya, dukungan sarana dan prasarana dan peningkatan kesejahteraan. Selanjutnya, upaya mendorong keterbukaan terus ditingkatkan, antara lain dengan mendorong partisipasi dan keberanian masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilihat dari sisi penindakan yang selama ini selalu mendapatkan porsi terbesar baik di media cetak maupun elektronik, namun diseimbangkan dengan pemberian informasi kepada

masyarakat tentang upaya pemerintah dalam melakukan langkah-langkah pencegahan korupsi. Hal ini sebenarnya telah banyak dilakukan, termasuk berbagai reformasi pelayanan publik di bidang perpajakan, investasi, dan pertanahan. Langkah tersebut sangat penting untuk meningkatkan kesinambungan akuntabilitas instansi/lembaga yang telah melakukan pembenahan (reform), sehingga semua pihak dapat tetap mengawasi kinerja lembaga terkait. Langkahlangkah itu pada dasarnya sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi UNCAC, yakni ada empat fokus yang harus dilaksanakan oleh negara yang telah meratifikasi, yaitu langkah pencegahan, penindakan, kerjasama internasional, dan pengembalian aset dalam rangka pemberantasan korupsi.

15

b.

Kabupaten /Kota yang Mempunyai Peraturan Daerah Pelayanan Satu Atap dan Instansi yang memiliki Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sampai saat ini Provinsi Sulawesi Barat belum memiliki Kabupaten/kota

yang mempunyai peraturan daerah pelayanan satu atap, demikian pula instansi (SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan wajar tanpa pengecualian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah pemerintah daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Barat sekarang ada 6 (enam) pemerintah daerah. Adapun

perkembangan opini BPK atas LKPD di wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun Anggaran 2006 s.d. 2007 adalah sebagai berikut: 1. Tahun Anggaran 2006, terdapat 3 (tiga) pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 2 (dua) pemerintah daerah yang mendapat opini Disclaimer; 2. Tahun Anggaran 2006, terdapat 4 (empat) pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 1 (satu) pemerintah daerah yang mendapat opini Disclaimer; Hasil pemeriksaan atas LKPD Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Barat oleh BPK selama periode 2006-2007 juga menunjukkan bahwa pertanggung jawaban atas pelaksanaan APBD di Provinsi Sulawesi Barat masih belum sepenuhnya sesuai dengan standar dan sistem akuntansi yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa permasalahan terkait dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai berikut: 1. Review atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan internal belum sebagaimana yang diharapkan, baik dari segi kemampuan, metodologi maupun implementasi reviewnya.

16 2. Sumber daya manusia yang ditugaskan untuk mengimplementasikan standar dan sistem akuntansi serta pertanggungjawaban keuangan daerah masih terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya. 3. Masih terdapat kelemahan dalam desain dan implementasi sistem akuntansi keuangan daerah seperti tidak efektifnya rekonsiliasi antara PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) selaku BUD (Bendahara Umum Daerah) dengan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) selaku pengguna anggaran. 4. Sistem aplikasi belum terintegrasi sehingga menghasilkan data yang berbeda meskipun dokumen sumbernya sama. 5. Rekening pemerintah masih belum tertib karena belum terwujudnya sistem perbendaharaan tunggal (Treasury Single Account), masih banyak uang daerah yang tersebar di berbagai rekening dan sulit dikendalikan. 6. Aset tetap daerah belum seluruhnya diinventarisasi dan dilakukan penilaian sehingga menimbulkan keraguan terhadap keberadaan, kepemilikan,

kelengkapan, dan kondisi aset yang dilaporkan. 7. Investasi Pemerintah baik berupa penyertaan modal pada BUMD maupun berupa dana bergulir belum dikelola dan dilaporkan secara akurat. Dari hasil audit BPK juga tergambar bahwa setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah belum transparan dan belum akuntabel. Pertama adalah karena laporan

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah belum disusun mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang baku. Setelah 60 tahun merdeka, Indonesia baru memiliki SAP yang diintrodusir pada tanggal 13 Juni 2005 sehingga masih perlu disosialisasikan kepada para penggunanya. Sementara itu, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 Tahun 2008 yang saat ini digunakan oleh Pemerintah Daerah masih memerlukan

17 penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan SAP. Kedua, masih terbatasnya sumber daya manusia di bidang keuangan negara maupun di bidang pengawasan yang ada di daerah yang benar-benar menguasai SAP dan memiliki kemampuan teknis untuk menerapkannya.

2.3. Demokrasi a. Gender Development Index (GDI) Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa Gender Development Indeks (GDI) merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kesetaraan dalam relasi gender pada berbagai aspek kehidupan. Capaian indikator GDI Sulawesi Barat terus mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari tahun 2004 hingga 2009, dimana pada tahun 2008-2009 berhasil mencapai 64,71 persen, meningkat 1,11 Persen dari tahun 2007. Sementara itu, tahun 2004 persentase peningkatan GDI hanya sebesar 63,90 persen. Dalam rangka memberikan gambaran yang lebih jelas, dapat dilihat seperti pada grafik berikut.

Grafik-3

66 64 62 60 58 56 2004

GenderDevelopmentIndeks

2005

2006 2007 2008 Gender DevelopmentIndeks

2009

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

18 Pembangunan gender juga ditunjukkan dengan indikator gender

empowerment measurement (GEM) atau indeks pemberdayaan gender (GDI), yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. Di wilayah Sulawesi Barat, GDI tahun 2007 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006. Pada Provinsi Sulawesi Barat nilai GDI tertinggi dengan nilai 64,7, sedangkan jika dilihat dari perbandingan antar kabupaten, maka nilai tertinggi GDI pada tahun 2008 terdapat di Kabupaten Majene. Secara global nilai GDI Provinsi Sulawesi Barat cenderung meningkat. Terjadinya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; (1) keterwakilan perempuan di parlemen, (2) meningkatnya proporsi perempuan dalam pekerjaan profesional, (3) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan (4) upah nonpertanian perempuan. Di samping itu, perlindungan perempuan dan anak terutama terhadap berbagai tindak kekerasan cukup bagus.

Grafik-4 Gender Development Indeks


160 140 120 100 80 60 40 20 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Gender Development Indeks IndeksPembangunan Manusia

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010 Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2004 hingga 2009 peningkatan GDI Sulawesi Barat berjalan seiring dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), di mana pada tahun 2009 GDI mencapai

19 persentase 64,71 persen dan tetap bertahan pada level nilai 60, hal ini sejalan dengan perkembangan IPM pada tahun yang sama sebesar 69,64 persen. Dengan demikian, semakin meningkat persentase GDI maka semakin meningkat pula persentase IPM, seperti yang tergambar pada grafik-4 di atas. Peningkatan ini menunjukkan bahwa terjadi perbaikan kualitas manusia dalam hal

pengetahuan, kesehatan dan daya beli secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan semakin membaiknya kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi sosial, pola kekuasaan, dan struktur kemasyarakatan. Tentu saja ini dengan asumsi bahwa pendidikan telah mengubah tata nilai dan norma masyarakat memahami dan mampu menerima prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam konteks gender, yakni tentang masih tingginya angka kematian ibu (AKI), masalah gizi masyarakat dan lingkungan yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan masih banyak terdapat ketimpangan antara status kesehatan pada perempuan dan laki-laki, dan tentu saja ini penanganannya. Pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki. Untuk mempercepat pengarusutamaan gender, perlu dilakukan pengembangan kapasitas SDM kesehatan, antara lain melalui seminar gender bidang kesehatan. Kesetaraan gender adalah wujud kesamaan kondisi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. harus mendapatkan prioritas dalam

20 b. Gender Empowerment Measurement (GEM) Pencapaian Gender Empowerment Measurement (GEM) Provinsi

Sulawesi Barat seperti pada tabel-2 menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan sekalipun tidak terlalu signifikan dari tahun 2004 sampai 2009, karena tingkat pertambahan angka GEM yang tidak terlalu banyak mengalami perubahan data dari tahun ke tahun. Adapun data mengenai GEM tersaji pada grafik-5 berikut.

Grafik-5

GenderEmpowermentMeasurement
62.5 62 61.5 61 60.5 60 59.5 59 58.5 58 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gender Empowerment Measurement

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Gender Empowerment Meassurement (GEM). Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement/GEM) meliputi variabel partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Artinya, bagaimana tingkat partisipasi perempuan pada ketiga bidang tersebut. Sama halnya dengan GDI yang menganggap bahwa Indeks Pembangunan Manusia adalah salah satu indikator yang turut berpengaruh, maka Gender Empowerment Measurement juga turut dipengaruhi oleh Indeks Pembangunan Manusia, seperti pada grafik-6 indikator pendukung di bawah ini:

21

Grafik-6

75 70 65 60 55 50

Gender Empowerment Measurement


Indeks Pem ba n Ma nusia

20 04 20 05 20 06 2007 2008 2009


Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Gende r Em powe Me as ure

Angka Gender Empowerment Meassurement (GEM) Sulawesi Barat seperti pada grafik-6 di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun ke tahun (2004-2008), yaitu: 59,70 persen (2004); 61,30 persen (2005); 61,80 persen (2006); 61,97 persen (2007); dan 62,20 persen (2008); dan 62,20 persen pada tahun 2009. Artinya, tingkat partisipasi perempuan pada bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan di Sulawesi Barat juga mengalami peningkatan. Peningkatan angka GEM di Sulawesi Barat tidak terlepas dari: a. Keberhasilan Pemerintah Sulawesi Barat dalam mengimplementasikan

program-program pengarusutamaan gender (perempuan) khususnya yang terkait dengan partisipasi perempuan pada bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan di Sulawesi Barat;

b. Kebijakan Pemerintah Sulawesi Barat yang sudah responsif gender.


Sedangkan bila dibandingkan angka GEM antar Kabupaten di Sulawesi Barat, maka angka GEM tertinggi berada di Kabupaten Majene. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa GEM juga turut dipengaruhi oleh IPM. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan. Bagaimanapun,

22 secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin memiliki peluang dalam era keterbukaan terhadap pilihan-pilihan dalam kehidupannya (choices) dan semakin mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voices). Pada grafik tersebut di atas, terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Barat cenderung seiring dengan peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun 2009 sebesar 62,20 dan tetap bertahan pada level nilai 60, saat itu juga, IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun yang sama sebesar 69,64, sementara dari tahun 2004-2008 peningkatan GEM tidak terlalu signifikan. Meskipun demikian, tetap diyakini bahwa upaya pemberdayaan atau pencapaian kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non pemerintah memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat secara umum.

3. Rekomendasi Kebijakan Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru belum ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang gender, dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan Pengarusutamaan Gender maka diperlukan langkah sebagai berikut: a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi. b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender. c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian.

23 d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG di tingkat provinsi dan kabupaten. e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan dalam proses pembangunan. Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar 14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen. Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan

mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini: a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional maupun daerah. b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama antara Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan untuk meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan gender di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi daerah, kerjasama kantor Meneg

24 PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan lembagalembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Barat. c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi perangkat daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok dan fungsinya adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam meningkatkan pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Barat. d) Di sektor pemerintahan dapat dilihat peran serta perempuan di eksekutif . Dengan terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat sesuai UU No.26 Tahun 2006.

C. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat 1. Indikator Dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, terdapat beberapa bidang yang masing-masing mencakup beberapa indikator sebagai basis analisis dan evaluasi, antara lain: Bidang Pendidikan, (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2)

(3) Bidang Kesehatan, (4) Bidang Ekonomi Makro (5)

25 Investasi (6) Infrastruktur (7) Pertanian (10). Kesejahteraan Sosial. Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Barat atas indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel-3 berikut. (8) Kehutanan (9) Kelautan, dan

Tabel 3. Indikator Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indikator


Indeks Pembangunan Manusia Pendidikan Angka Partisipasi Murni Tingkat SD Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah Menengah Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%) Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke atas Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP (%) Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat Sekolah Menengah (%) Kesehatan Umur Harapan Hidup (tahun) Angka Kematian Bayi ( A K B ) Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk (%) Keluarga Berencana Contraceptive Prevalence Rate (%) Pertumbuhan Penduduk (%) Total Fertility Rate (%) Ekonomi Makro Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Persentase Ekspor terhadap PDRB (%) Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%) Pendapatan Perkapita (Rupiah) Laju Inflasi (%) : Investasi Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar) Nilai Rencana Investasi PMDN (Rp.Milyar) Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)

2004
64.40 0.00 0.00 6.34 6.35 6,57 3,98 3.49 82.90 77.25

2005
65.72 87.08 88.30 6.35 6.94 6.51 4.06 4.16 83.40 76.93

2006
67.06 91.67 94.02 6.75 6.9 3.36 6.02 5.57 85.90 77.42 64.01

2007
67.72 92.17 109.93 6.33 6.35 2.60 14.47 3.22 86.40 85.03 64.74 67.20 28,20 0.87 7.80 0.16 45,20 3.23 3,5 7.43 13.51 7.74
6,091,286

2008
68.55 95.20 78.69 6.7 6.49 2,00 3.00 2.30 87.05 69.81 74.20 67.40 27.40 0.11 2.38 0.16 52,20 1.54 8.54 14.21
7,534.953

2009
69.64 99.25 80.75 6.7 6.58 1,75 2.00 1,75 85,00 75.30 79.54 67.70 0.16 0.20 50,00 1.53 6,89 14.15
8.671.818

66.30

66.40 30,00

67.00 29.10 1.81 8.95 0.13

0.00 0.00 6.00 15.10 0.00


3.955.774

0.00 2.68 6.78 14.52 7.35


4,562,424

0.00 0.02 6.42 13.57 7.57


5,162,733

3.64 1.014 2.485

3.64 1.014 2.485

3.01 1.014 2.485

3.01 1.142 2.652 0.18

3.04 1.712 5.273 0.18

3.21 1.712 6.111 0.18

26
Nilai Rencana Investasi PMA (US$ Juta) Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA Infrastruktur Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Baik (%) Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Sedang (%) Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Rusak (%) Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Baik (%) Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Sedang (%) Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Rusak (%) Pertanian Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Juta) Kehutanan Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%) Kelautan Jumlah Tindak Pidana Perikanan Luas Kawasan Konservasi Laut (km2) Kesejahteraan Sosial Persentase Penduduk Miskin (%) Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 10.038 3,708 53.31 37.82 3.33 77.15 72.21 32.52 10.038 3,708 53.40 6.68 14.42 62.57 16.99 65.74 10.038 3,708 61.73 12.78 5.41 41.18 27.73 47.42 100
2,472,699 2,746,166

10.309 3,404 58.78 13.02 3.24 43.84 33.62 44.69 100.81


3,255,735

25.109 3,404 69.26 11.61 3.24 68.43 39.02 24.35 103.58


3.920.386

31.473 3,404 80.65 12.48 6.87 85.31 33.79 26.18 105.14


4.196.304

1 24.22 0.00 20.74 6.45

1 19.03 5.68

1 16.73 4.92

3 15.29 4.10

2. Analisis Pencapaian Indikator 2.1. Indeks Pembangunan Manusia Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (human development index - HDI) yang mengartikan kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). Indeks pembangunan manusia memberikan suatu ukuran beberapa dimensi tentang pembangunan manusia. Indeks perkembangan manusia yang tercermin dari kondisi Kesehatan dan Pendidikan. Capaian indikator Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Barat sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 IPM Sulbar sudah menghampiri nilai diatas 70 yaitu sebesar 69,64 persen.

27 Sementara itu, diawal tahun terbentuknya provinsi ini pada tahun 2004 masih berada pada kategori menengah bawah yakni 64,40 persen. Pada tabel-3, terlihat bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2009, dimana IPM Sulawesi Barat naik 1,09 poin dari tahun 2008

Grafik-7

72

IndeksPembangunanManusia

70 68 66 64 62 60 2004 2005 2006 2007 2008 2009 IndeksPembangunan Manusia

Sumber: BPS, Bappeda Sulbar, 2010 Nilai Indeks perkembangan manusia (IPM) Provinsi Sulawesi Barat walau lebih kecil daripada nilai IPM nasional namun mampu menggeser rangkingnya dari rangking 28 menjadi 27. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia di wilayah Sulawesi Barat disebabkan oleh semakin meratanya jangkauan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan dan semakin diperhatikannya mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan terutama di daerah pedesaan dan pedalaman. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional, karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan

28 kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena pendidikan merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global. Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis (critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki

pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian dan keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai ini memberi kontribusi pada peningkatan produktivitas nasional. Pemerintah Sulawesi Barat sangat konsisten dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya ini ditunjukkan dengan disusunnya Program Pembangunan Daerah (Propeda) Sulawesi Barat 2005-2010 yang menyebutkan bahwa strategi yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja bidang pendidikan di antaranya adalah dengan melakukan perluasan dan pemerataan di dalam memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat melalui peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. Program pendidikan mempunyai andil yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa, baik dari segi ekonomi maupun sosial, karena keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui

29 tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah, termasuk daerah-daerah di Sulawesi Barat. Perhatian pemerintah Sulawesi Barat, selain pada sektor pendidikan juga tertuju pada bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal pengentasan kemiskinan. Untuk melihat seberapa besar indikator tersebut memberi kontribusi terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dapat dilihat pada grafik-8 indikator pendukung di bawah ini.

Grafik-8 Indeks Pembangunan Manusia


80 70 60 50 40 30 20 10 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009

IndeksPembangunan Manusia Persentase PendudukMiskin (%)

Umur Harapan Hidup

Sumber: BPS, Bappeda, Dinkes, Dinas Sosial Sulawesi Barat, 2010 Data pada grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 indeks pembangunan manusia tidak begitu mengalami perubahan dari tahun

sebelumnya. Capaian yang terkesan stagnan sebesar 65,72% itu pada dasarnya dipengaruhi oleh meningkatnya persentase penduduk miskin (24,22%) di samping itu, angka kematian bayi juga ikut meningkat (30,00%), serta tingginya angka putus sekolah pada tingkatan SD (6,51%), padahal persentase umur harapan hidup juga mengalami peningkatan (66,40%) sejalan dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama.

30 Tahun peningkatan 2008 (68,55%) indeks pembangunan oleh manusia kembali mengalami angka

disebabkan

meningkatnya

persentase

partisipasi murni tingkat SD (95,20%) dan menurunnya angka partisipasi kasar tingkat SD dari 109,93% menjadi 78,69%. Selain itu angka putus sekolah pada setiap jenjang pendidikan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu SD (2,00%), SMP (3,00%), dan SMA (2,30%) disebabkan oleh semakin menurunnya persentase penduduk miskin (16,73%) yang secara tidak langsung akan berimplikasi pada kemampuan masyarakat turut andil pada program pembangunan, baik dalam bidang pendidikan maupun kesehatan. Ini tentu saja merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan kaitannya dengan

pengentasan kemiskinan sebagai salah satu strong point dalam pembangunan provinsi Sulawesi Barat berkelanjutan. Tahun 2009 perkembangan indeks pembangunan manusia Sulawesi Barat masih berada pada tataran meningkat. (69,64%), ini artinya meningkat sebesar 1,09% dari tahun sebelumnya (68,55%). Disebabkan oleh semakin terfokusnya upaya pemerintah provinsi dalam melakukan pengentasan kemiskinan, perbaikan sistem pendidikan dan kesehatan. Persentase penduduk miskin pada tahun 2009 adalah 15,29% menurun sebesar 1,44%. Sektor pendidikan juga sudah mulai membaik dengan beberapa indikator antara lain meningkatnya angka partisipasi murni tingkat SD yang hampir mencapai 100%, angka putus sekolah pada tingkat SD, SMP, dan SMA yang juga mengalami penurunan sebagai akibat dari meningkatnya persentase umur harapan hidup (67,70%) meningkat sebesar 0,30% dari tahun 2008 (67,40%). Intinya adalah bahwa pada hakikaktnya indeks pembangunan manusia di provinsi Sulawesi Barat dapat dikategorikan cukup baik karena dari tahun ke tahun (2004-2009) terus mengalami tren positif dalam peningkatannya.

31 2.2. Pendidikan Dalam bidang pendidikan akan diukur beberapa indikator, di dalamnya tercakup pendidikan dasar dan menengah. Pada dasarnya pendidikan di Sulawesi Barat secara keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan, sekalipun

peningkatan dari tahun ke tahun tidak terlalu tinggi, namun setidaknya peningkatan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa pemerintah tetap memperhatikan dan menjadikan pendidikan sebagai program prioritas

pembangunan. Angka partisipasi murni SD yang terus mengalami peningkatan, berbanding terbalik dengan angka partisipasi kasar SD yang terus mengalami penurunan (korelasional), nilai rata-rata SMP dan SMA juga terus meningkat, begitupun dengan angka putus sekolah SD, SMP, SMA, dan angka melek huruf 15 tahun ke atas yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal lain yang cukup menggembirakan adalah persentase guru yang layak mengajar (SMP dan SMA) yang terus mengalami peningkatan. a. Angka Partisipasi Murni dan Kasar (APM dan APK) Tingkat SD/MI Indikator pertama adalah Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. Perkembangan data mengenai Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, jika pada tahun 2005 APM tingkat SD/MI hanya sebesar 87,08%, maka pada tahun 2009 persentase APM mampu dinaikkan dan hampir mencapai 100% dengan raihan 99,25%. Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. APK tingkat SD/MI dari tahun 20052009 berfluktuatif. Selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2005 sampai 2007 persentase APK tingkat SD/MI sangat memprihatinkan karena jumlahnya yang terus meningkat 88,30% pada tahun 2005 menjadi 109,93% ditahun 2007. Pada tahun berikutnya, APK tingkat SD/MI berhasil diturunkan, bahkan lebih rendah

32 menjadi sebesar 78,69, namun kembali bertambah sebesar 2,06% menjadi 80,75% ditahun 2009. Khusus data APM dan APK tingkat SD/MI untuk tahun 2004 tidak dapat ditampilkan karena data tersebut tidak berhasil ditemukan, mengingat pada saat itu merupakan tahun di mana provinsi Sulawesi Barat melakukan transisi dari hasil pemekaran provinsi Sulawesi Selatan.

Perkembangan capaian indicator, baik APM maupun APK tingkat SD/MI dari tahun 2004-2009 tersaji pada grafik berikut. Grafik-9

Angka Partisipasi Murni dan Kasar Tingkat SD/MI


250 200 150 100 50 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 AngkaPartisipasi Murni AngkaPartisipasi Kasar

Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010 Perhatian pemerintah terhadap sumber daya manusia secara dini semakin meningkat, hal tersebut juga terkait dengan program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah. Angka ini merupakan rasio persentase penduduk umur tertentu yang masih sekolah terhadap total penduduk pada umur tersebut. Angka ini menggambarkan sejauh mana besarnya partisipasi penduduk usia sekolah tertentu untuk bersekolah pada jenjang pendidikannya. Berkaitan dengan upaya memperluas jangkauan pelayanan pendidikan di Sulawesi Barat untuk penduduk usia 7-12 tahun sedikitnya tercatat 94,10 % (tahun 2007) mengalami peningkatan menjadi

33 94,20 % (tahun 2008). Sedangkan untuk umur 13-15 tahun juga mengalami peningkatan dari 74,60% (tahun 2007) menjadi 75,10% (tahun 2008), dan untuk tingkat umur 16-18 tahun dari 42.90% (tahun 2007) meningkat menjadi 43,52 persen (tahun 2008). Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu yang dibagi kedalam tiga kelompok jenjang pendidikan, yaitu SD, SMP dan SMU. Secara umum angka partisipasi murni (APS) di Sulawesi Barat mengalami peningkatan dari 87,08% (tahun 2005) menjadi 99,25% (tahun 2009). Bila dilihat dari daerah tempat tinggal, maka angka partisipasi murni tingkat Sekolah Dasar (SD) dan (SMP) pada tahun 2008 di daerah perdesaan cenderung lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, sedangkan untuk jenjang SMU angka partisipasi murni di perkotaan lebih tinggi dari pada perdesaan. Dari tabel di atas nampak bahwa peningkatan pada angka partisipasi murni memberi indikasi bahwa perluasan akses pendidikan telah diarahkan untuk memperluas daya tampung satuan pendidikan dengan tujuan akhir agar semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan layanan pendidikan. Selama kurun waktu 2004 - 2009 telah dilaksanakan sejumlah program perluasan akses pendidikan sebagai implementasi dari kebijakan pokok perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pencapaian yang diperoleh dari implementasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat. Pada tabel di atas juga nampak bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) pada tahun 2005 adalah 88.30. Ini berarti bahwa pada tahun 2006, ada lebih dari 88,30 persen penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang masih bersekolah dan mengalami

peningkatan hingga 94,02 persen pada tahun 2007.

34 Peningkatan angka pertisipasi kasar (APK) ini juga ditunjang dengan

adanya pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat Sekolah Dasar dan peran orang tua dalam mendorong anaknya untuk bersekolah. Hinga tahun 2009 ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Dinas Pendidikan telah berhasil meningkatkan angka partisipasi murni (SD/sederajat) dan angka partisipasi kasar (SMP/sederajat). Demikian pula tingkat kelulusan (SD,SMP dan SMU) sebesar 88,08%. Adapun sasaran program pengembangan pendidikan pada tahun 2009 ini, antara lain meliputi : a. b. c. d. Program pendidikan anak usia dini Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun Program pendidikan menengah Program pendidikan non formal dan informasi, komunikasi dan pendidikan Disadari pula bahwa upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak terlepas dari peran strategis guru. Dengan kata lain, guru merupakan komponen yang sangat krusial di satuan pendidikan. Tidak hanya jumlah guru harus seimbang dengan jumlah siswa di sekolah, mutu guru pun harus diperhatikan, karena Salah satu indikator kinerja peningkatan mutu pendidikan adalah rata-rata nilai ujian nasional (UN) siswa. Rata-rata nilai akhir tingkat sekolah SMP program pengembangan teknologi

mengalami peningkatan dari 6,34 (tahun 2004) menjadi 6,7 (tahun 2009), demikian pula untuk tingkat SMU dari rata-rata nilai 6,35 (tahun 2005) menjadi 6.58 (tahun 2009). Sedangkan angka putus sekolah yang mana mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu sering pula digunakan sebagai indikator

berhasil/tidaknya pembangunan di bidang pendidikan.

Penyebab utama dari

35 putus sekolah antara lain karena kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak, kondisi ekonomi orang tua yang miskin dan keadaan geografis yang kurang menguntungkan. Di Provinsi Sulawesi Barat dicatat bahwa angka putus sekolah mengalami penurunan baik untuk jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), SMP maupun Sekolah Menengah Umum (SMU). Pada tingkat SD angka putus sekolah mengalami penurunan dari 6.57 % (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun 2009) dan untuk tingkat SMP dari 3,98% (tahun 2004) menjadi 2,00% (tahun 2009) dan tingkat SMU penurunan dari 3,94% (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun 2009).

b. Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke Atas Sama halnya dengan APM dan APK bahwa angka melek huruf 15 tahun ke atas juga mengalami persentase yang cenderung meningkat.

Grafik-10 Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun Ke Atas


88 87 86 85 84 83 82 81 80 2004 2005 2006 2007 2008 2009

AngkaMelekHuruf(%) 15 tahunke atas

Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010 Selanjutnya angka melek huruf yang dimaksud di sini adalah seseorang yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Yang dimaksud huruf lainnya misalnya huruf Arab, Bugis/Makassar,

36 Jawa, Cina dan sebagainya. Seseorang yang hanya dapat membaca atau menulis saja belum dianggap sebagai melek huruf. Hasil Susenas 2004 di Sulawesi Barat menunjukkan bahwa angka melek huruf penduduk usia 15 tahun sekitar 87,59%. Sisanya sebesar 12,41 persen yang buta huruf. Kelompok ini diperkirakan terdiri dari mereka yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau pelayanan pendidikan, penyandang cacat dan penduduk yang berusia lanjut. Perbaikan tingkat melek huruf disebabkan oleh meningkatnya partisipasi pendidikan dasar serta meningkatnya proporsi siswa SD/MI yang dapat menyelesaikan sekolahnya. Berdasarkan jenis kelamin, selisih angka melek huruf laki-laki dan perempuan masih cukup besar yaitu : sekitar 4 persen. Perbedaan angka melek huruf menurut jenis kelamin ini tampak berfluktuasi antar kabupaten. Keadaan tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang berbeda antar wilayah tanpa melihat status jenis kelamin, meskipun disadari pula bahwa di beberapa masyarakat tertentu masih ada yang memprioritaskan anak laki-laki untuk disekolahkan dari pada anak perempuannya. Jika dilihat perkabupaten di Propinsi Sulawesi Barat, hasil Susenas 2006 menunjukkan bahwa variasi angka melek huruf berkisar antara 82 sampai 95 persen. angka melek huruf tertinggi di atas angka 90 persen terlihat didua kabupaten yaitu Majene (95%), dan Mamuju Utara (94%). Sementara itu terdapat satu kabupaten yang angka melek huruf nya di bawah 85 persen, yaitu Kabupaten Polewali Mandar sebesar 82,06 persen. Berdasarkan jenis kelamin dan kabupaten, angka melek huruf laki-laki berkisar antara 80 sampai 95 persen dengan angka terendah di Kabupaten Polman (80,05%), sedangkan untuk

37 perempuan sedangkan angka tertinggi adalah Kabupaten Majene (96,48%) untuk laki-laki. Dengan demikian untuk mendorong peningkatan IPM berskala nasional hingga mencapai posisi yang lebih baik, pemerintah provinsi Sulawesi Barat perlu mengupayakan peningkatan angka melek huruf dan perluasan pendidikan dasar dengan mempertahankan APM SD pada tingkat 99 % dengan mengupayakan peningkatan APK SMP pada tahun 2011 menjadi 95 % (atau jumlah siswa SMP/MTs sebanyak 66.326 siswa dan jumlah Penduduk usia 13 15 tahun sebanyak 69.817 serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5 % atau sebanyak 5.010 pada tahun 2009. Selanjutnya peningkatan mutu elevansi, dan daya saing pendidikan, serta mutu pendidikan merupakan kondisi di mana masukan, proses dan output adalah baik, guru yang sesuai dengan persyaratan, sarana/prasarana yang tidak rusak, dan biaya yang tidak mahal. Oleh karena itu, peningkatan mutu diarahkan pada mutu masukan, proses, output, guru, sarana/prasarana, dan biaya. Sedangkan relevansi pendidikan merupakan kondisi di mana terdapat keterkaitan antara sekolah dengan lapangan pekerjaan sehingga semua lulusan akan memperoleh atau menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan jenis sekolah. Oleh karena itu, relevansi diarahkan untuk melihat kesesuaian antara sekolah dengan lapangan pekerjaan. Pencapaian mutu dan relevansi pendidikan di masa datang diharapkan dapat memberikan dampak peningkatan taraf hidup masyarakat dan daya saing bangsa. Mutu dan relevansi pendidikan ditujukan oleh pencapaian prestasi akademik dan non-akademik yang lebih tinggi serta relevansinya terhadap tuntutan masyarakat dan dunia kerja yang ditunjukan oleh penguasaan iptek.

38 Selain dari itu, mutu pendidikan dapat dilihat dari dimensi kemanusiaan meliputi keteguhan iman dan takwa, etika dan wawasan kebangsaan serta kepribadian yang modern. Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa salah indikator yang turut mempengaruhi meningkatnya persentase angka melek huruf adalah karena

semakin meningkat pula angka partisipasi murni tingkat SD/MI dan menurunnya angka partisipasi kasar (APK), sedangkan peningkatan APM dan penurunan APK akan memberikan kontribusi kepada peningkatan angka melek huruf. Hubungan antara keduanya dapat dilihat pada grafik di bawah ini

Grafik-11
Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun ke Atas
350 300 250 200 150 100 50 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 AngkaPartisipasi Kasar Tingkat SD/MI AngkaMelekHuruf(%) 15tahunke atas AngkaPartisipasi Murni Tingkat SD/MI

Sumber: Kemendiknas, BPS Sulawesi Barat, 2010 Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2007 angka melek huruf (%) untuk usia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan sebesar 86.40%, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya (85,90%) disebabkan oleh faktor APM pada tahun itu juga mengalami peningkatan dan telah menembus angka 90-an (92,17%). Padahal APK justru meningkat tajam dari 94,02% menjadi 109,93%, hal ini disebabkan oleh persentase penrtumbuhan penduduk yang mencapai angka

39 tertinggi selama 5 tahun terakhir (3,23%). Namun demikian, hal tersebut tidaklah terlalu berpengaruh karena disaat yang bersamaan persentase penduduk miskin justru menurun (19,03%), berarti semakin membaik. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendidikan, utamanya pada tingkatan menengah ke atas juga semakin tinggi. Tingginya masyarakat yang mengenyam pendidikan tentu saja akan berdampak positif terhadap peningkatan angka melek huruf tersebut sebagai output dari proses pendidikan formal dan/atau non formal. Pada tahun 2008, angka melek huruf kembali mengalami peningkatan (87,05%) karena APM juga mengalami peningkatan (95,20%) didukung pula oleh APK yang mengalami penurunan drastis (78,69%) karena persentase penduduk miskin berhasil ditekan menjadi 16,73%. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat pada tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat menggembirakan karena merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia (8,54%). Kondisi ini praktis akan memberikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal tersedianya ruang bagi usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan ini akan berkontribusi pada berkurangnya APK dan meningkatnya APM pada tingkat SD/MI. Pada tahun 2009, angka melek huruf justru mengalami penurunan disebabkan oleh faktor menurunnya laju pertumbuhan ekonomi (6,89%) dan semakin tingginya laju inflasi (3,21%), sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya (3,04%). Hal ini berdampak pada kesulitan masyarakat dalam menghadapi gelombang ekonomi yang tidak menentu pada saat itu, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan primer

40 maupun sekunder, termasuk di dalamnya kesulitan akan biaya pendidikan (menengah ke atas). 2.3. Kesehatan Indikator dalam bidang kesehatan dasar yang paling penting adalah menyangkut tentang umur harapan hidup (UHH). Artinya adalah bahwa semakin sehat seseorang, maka semakin besar pula harapan baginya untuk memiliki umur yang panjang. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah UHH. oleh karena itu,

semakin tinggi persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin tinggi pula derajat kesehatan masyarakatnya. Sebaliknya, semakin rendah persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin rendah pula derajat kesehatan masyarakat. Umur Harapan Hidup (UHH) di Sulawesi Barat dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dikategorikan cukup baik karena selalu menunjukkan peningkatan. Jika pada tahun 2004 sebagai tahun pertama berdirinya provinsi ini persentase Umur Harapan Hidupnya hanya sebesar 66,30%, maka 5 tahun berikutnya (2009) berhasil memperbaiki UHH menjadi 67,70%. Peningkatannya tidak terlalu signifikan sebenarnya, tetapi paling tidak UHH menunjukkan tren positif setiap tahun sebagai salah satu jargon percepatan pembangunan dalam bidang kesehatan. Indikator lain dalam bidang kesehatan dasar yang juga dinilai sangat penting adalah pentingnya angka kematian bayi (Infant mortality rate), gizi kurang, dan gizi buruk karena Indikator ini dinilai sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

41 Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan dari luar.

Grafik-12

Sumber: Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2010 Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan

42 program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi dan suntikan anti tetanus. Sedangkan Angka Kematian Post-Neo Natal dan Angka Kematian Anak serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi, serta program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak, program penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak dibawah usia 5 tahun. Kesehatan dan gizi merupakan bagian dari indikator

kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik, salah satu indikator utama adalah angka kematian bayi (AKB) Dari grafik-12 di atas dapat dilihat bahwa penurunan angka kematian bayi dari 30,00 persen tahun 2005 menjadi 27,40 persen tahun 2008 seiring dengan menurunnya grafik angka gizi buruk dari 1,81 persen tahun 2005 menjadi 0,16 persen tahun 2009 dan Gizi kurang dari 8,95 persen tahun 2005 menjadi 2,38 persen tahun 2008. Hal ini memberikan indikasi betapa pembangunan kesehatan di Sulawesi Barat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Pembangunan kesehatan merupakan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan ekonomi. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Secara umum, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan, antara lain dilihat indikator angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, usia harapan hidup, dan prevalensi gizi kurang.

43 Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat, terutama penduduk miskin, terhadap pelayanan kesehatan dasar. Dalam upaya membuat pemberian pelayanan kesehatan makin merata dan bermutu, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dasar sangat diperlukan. Sampai dengan akhir tahun 2009 telah tersedia 178 unit Rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta dan rumah sakit ABRI. 2.171 Puskesmas termasuk Puskesmas Pembantu, dan Klinik Keluarga Berencana sekitar 81 unit. Dan dari jumlah itu terserap sedikitnya 2.487 tenaga kesehatan. Meskipun demikian, banyak golongan masyarakat terutama penduduk miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan karena kendala biaya, jarak dan transportasi. Untuk itu, diperlukan peningkatan

ketersediaan, pemerataan dan mutu sarana pelayanan kesehatan dasar, terutama di Puskesmas dan jaringannya. Dalam upaya memperluas jaringan pelayanan kesehatan dasar di tingkat desa, akan ditingkatkan pelaksanaan poliklinik kesehatan desa sebagai salah satu upaya perwujudan desa siaga. Di poliklinik kesehatan desa tersebut dilaksanakan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam upaya mempercepat penurunan angka kematian bayi, angka kematian ibu dan meningkatkan status gizi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat. Selain

itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar, khususnya bagi penduduk miskin, pemberian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM) akan terus dilanjutkan. Data berikut ini akan menggambarkan beberapa indikator kesehatan yang menjadi perhatian

pemerintah dalam pembangunan bidang kesehatan.

44 Umur harapan hidup di Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan

peningkatan dari 66,30 (tahun 2004) menjadi 67.70 (tahun 2009). Peningkatan ini tentunya berbanding terbalik dengan data angka kematian bayi yang cenderung manurun dari 30.00 (tahun 2005) menjadi 27.40 (tahun 2008). Sedangkan

presentase gizi buruk dan gizi kurang cenderung mengalami penurunan, yaitu dari 8,95 % (tahun 2006) turun menjadi 2,38% (tahun 2008). Beberapa data tidak tersedia di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru pecahan dari Provinsi Sulawesi Barat, hal ini karena data tersebut masih bergabung dengan data Provinsi Sulawesi Barat, kegiatan pendataan khususnya pada Dinas Kesehatan dilakukan pada tahun 2005, sehingga ketersediaan data ada yang mulai tahun 2006. Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu hamil, bayi, dan anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang paling rentan terhadap kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Dengan demikian, upaya penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada kelompok miskin. Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial untuk pelayanan kesehatan perlu terus diupayakan. Meningkatnya ketersediaan obat generik esensial diharapkan dapat mendorong pemakaian obat generik esensial oleh masyarakat umum terutama bagi kelompok miskin, karena lebih terjangkau oleh masyarakat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses serta prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergitas ini, masyarakat

45 diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan,

mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau. Pembangunan kesehatan pada 4 tahun terakhir ini, merupakan bagian dari upaya pencapaian sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 20052009 yaitu meningkatnya status

kesehatan dan gizi masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, menurunnya angka kematian ibu, dan menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita. Untuk itu Pembangunan kesehatan diarahkan pada : (1) Peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, melalui pembangunan, perbaikan dan pengadaan peralatan di Puskesmas dan jaringannya terutama di daerah bencana dan tertinggal; pengembangan

jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit; (2) Peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit dan wabah, peningkatan menular

melalui pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, imunisasi, peningkatan surveilans epidemiologi dan

penanggulangan wabah termasuk flu burung; (3) Penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan anak balita, melalui peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya; dan (4) Peningkatan ketersediaan obat dan pengawasan obat, makanan dan keamanan pangan, melalui peningkatan ketersediaan obat generik,

pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya, peningkatan

46 pengawasan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA). Kebijakan tersebut didukung oleh promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,

peningkatan lingkungan sehat, peningkatan sumber daya kesehatan, pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan

manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan. Menyangkut tentang penyebaran jumlah tenaga perawat kesehatan jika dibandingnya dengan jumlah masyarakat yang akan dilayani perbadingannya semakin meningkat setiap tahunnya dari 0.13% (tahun 2005) menjadi 0,20%

(tahun 2009). Walaupun demikian disadari bahwa tenaga perawat kesehatan di Povinsi Sulawesi Barat masih dibutuhkan utamanya tenaga spesialis.

2.4. Keluarga Berencana a. Contraceptive Prevalence Rate (%) Salah satu program pemerintah dalam mengontrol dan mengatur kelahiran, adalah melalui program keluarga berencana (KB). Pengaturan kelahiran ini diharapkan agar setiap keluarga akan memiliki kesempatan dan lebih leluasa dalam mengatur sumberdaya yang dimilikinya demi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarganya. Berdasarkan tabel-3, Contraceptive prevalence rate (%) selama dua tahun berturut-turut mengalami peningkatan. Tahun 2007 (45,20%), 2008 (52,20%), namun terjadi penurunan di tahun 2009 (50,00%), berarti menurun sebesar 2,20%. Sementara itu, untuk data tahun 2004-2006 belum bisa disajikan karena pada tahun tersebut belum dilakukan pendataan ulang sebagai akibat dari pemekaran wilayah provinsi. Meningkatnya persentase Contraceptive prevalence

47 rate secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 2007-2009. Pada tahun 2007 laju

pertumbuhan penduduk sebesar 3,23% menurun pada tahun berikutnya menjadi 1,54% dan 1,53% pada tahun 2009. Logika dasarnya adalah bahwa semakin tinggi persentase Contraceptive prevalence rate, maka persentase pertumbuhan penduduk akan semakin lamban.

Grafik-13

ContraceptivePrevalenceRate
54 52 50 48 46 44 42 40 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Contraceptive Prevalence Rate

Sumber: BKKBN, Sulawesi Barat, 2010

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memiliki prinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan ini tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi, tapi juga memperhatikan aspek lainnya seperti lingkungan dan sosial. Untuk memenuhi ketiga aspek tersebut, kesehatan menjadi salah satu ranah yang memilik peluang besar. Enam dari delapan target Millenium Development Goals (MDGs) berhubungan dengan kesehatan serta empat di antaranya bahkan dapat dicapai dengan melakukan intervensi di bidang kesehatan reproduksi.

48 Salah satu program kesehatan reproduksi yang telah menghasilkan keberhasilan di Indonesia adalah Program Keluarga Berencana (KB). Program KB sesungguhnya tidak hanya berfungsi untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi di Indonesia sehingga dapat menunjang kelancaran pembangunan. Program KB yang telah dirintis sejak dibentuknya PKBI pada tahun 1957, baru dicanangkan sebagai program nasional pada tahun 1968 melalui terbentuknya LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional). Meski telah berhasil menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia, tingkat pengguna KB tidak mengalami perkembangan yang berarti. Menurut Susenas 2008, proporsi wanita berusia 15-49 tahun berstatus menikah yang sedang dan pernah menggunakan alat KB ialah sebesar 56,62%. Sementara itu, sekitar 30% atau satu dari tiga Pasangan Usia Subur (PUS) di Indonesia pada tahun 2009 mesih belum ikut serta dalam program KB (BKKBN, 2009). Hal tersebut mencerminkan bahwa masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan KB, di antaranya ialah hambatan yang berhubungan dengan tradisi dan agama, kurangnya pengetahuan masyarakat, desentralisasi, efek samping alat kontrasepsi modern, serta rendahnya partisipasi pria dalam KB. Padahal bila dilaksanakan secara maksimal, program KB memiliki potensi untuk menunjang pembangunan kesehatan, yakni mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, menurunkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, mengurangi prevalensi penyakit menular di Indonesia, menurunkan angka kematian ibu (AKI).

49

Grafik-14

JumlahAkseptor BarudanAkseptorAktif
120 100 80 60 40 20 0 2005 2006 20 07 2008 Akseptor B aru Akseptor Aktif

Sumber: BKKBN Sulawesi Barat, 2009 Oleh karena itu, diharapkan Program KB ini dapat dioptimalisasikan melalui kerja sama antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah, sektor swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tenaga kesehatan,

masyarakat, serta media massa. Strategi implementasi yang dapat dilakukan yaitu melalui promosi KB di masyarakat, peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM), peningkatan partisipasi pria dalam program KB, peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, koordinasi penggunaan alat kontrasepsi di antara Pasangan Usia Subur (PUS), pendidikan kesehatan reproduksi anak sejak usia dini, serta membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan Keluarga Berencana..

b. Pertumbuhan Penduduk (%) Salah satu indikator yang dipengaruhi oleh Contraceptive prevalence rate adalah menyangkut tentang pertumbuhan penduduk. Peserta KB di Sulawesi

Barat masih sangat rendah dengan daerah lainnya. Jumlah peserta KB di Sulawesi Barat pada tahun 2009 yang mencapai 50,00% masih berada dibawah rata-rata nasional yang sudah mencapai 70,91%. Hal itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap angka fertilitas total (total fertility rate) yang pada tahun

50 2007 tercatat sebesar 3,5. Angka ini memberikan indikasi bahwa bahwa setiap wanita di Sulawesi Barat akan mempunyai anak sebanyak rata-rata 3,5 orang di akhir masa reproduksinya. Dari hasil Sensus Penduduk Provinsi Sulawesi Barat, tercatat jumlah penduduk untuk tahun 2009 telah mencapai 1.032.256 orang. Jika dibandingkan jumlah penduduk tahun sebelumnya (2008) hanya berjumlah 1.016.663 orang, dengan demikian terjadi penambahan sedikitnya 15.593 orang. Dari data/grafik di atas Nampak ledakan penambahan penduduk terjadi pertama pada tahun 2005 dengan penambahan penduduk sekitar 25.312 orang, dan ledakan kedua terjadi pada tahun 2007 dari jumlah penduduk 1.001.199 orang menjadi 1.016.663 orang (penambahan berkisar 31.330 orang). Jika dilihat jumlah penduduk per kabupaten, maka penduduk Kabupaten Polewali Mandar menempati urutan pertama menyusul Kabupaten Mamuju sebagaimana tabel berikut ini : Tabel : 4 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat, 2010 Lua s Kabupaten Km2 Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara Sulawesi Barat 879,77 2.090,05 2.843,85 8.221,81 2.955,29 16.990,77 Penduduk 150.939 396.253 139.962 336.879 134.303 1.158.336 Penduduk 172 190 49 41 45 68 Jumlah Kepadatan

Sumber : BPS Sulawesi Barat, 2010

51 Nampaknya penambahan jumlah penduduk di Provinsi Sulawesi Barat

banyak disebabkan oleh meningkatnya jumlah pendatang yang mencari pekerjaan dan/atau urusan lainnya, hal ini sesuai dengan laju arus penumpang baik melalui darat, laut maupun udara, seperti pada grafik-15 di bawah ini.

Grafik-15

PertumbuhanPenduduk(%)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010

Pertumbuhan Penduduk(%)

Sedangkan bicara tentang persentase pertumbuhannya, maka sejak tahun 2004 sampai tahun 2009, pertumbuhan penduduk di Sulawesi Barat cukup

fluktuatif. Pertumbuhan penduduk tertinggi dicapai pada tahun 2007 (3,23%) dan terendah pada tahun 2006 (0,02%). Selanjutnya, kembali terjadi penurunan persentase pertumbuhan penduduk yang cukup drastis dari 3,23% menjadi 1,54% ditahun 2008 dan turun lagi menjadi 1,53% pada tahun berikutnya. Salah satu indikator yang mempengaruhi fluktuatifnya pertumbuhan penduduk adalah karena dari tahun ke tahun jumlah akseptor KB juga semakin meningkat.

52 Grafik-16

Pertum bu han Pen du du k(% )


60 50 40 30 20 10 0 2004 2 005 2006 2007 2008 2009

Pert um bu han Pend uduk (%)

Co ntr acepti ve Pr evalenc e Rat e (%)

Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010 Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2007 persentase pertumbuhan penduduk meningkat tajam dari tahun sebelumnya (3,23%) disebabkan oleh faktor masih rendahnya peserta akseptor KB (45,20%). Hal tersebut juga turut dipengaruhi oleh masih tingginya persentase total fertility rate (3,5%). Padahal, persentase untuk angka kematian bayi (AKB) sudah mulai menurun, hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya data kesehatan dan keluarga berencana yang lengkap sehingga tidak dapat mendukung analisis tingkat pertumbuhan penduduk secara akurat. Tahun 2008 pertumbuhan penduduk mengalami penurunan yang cukup drastis (1,54%), ini berarti menurun sebesar 1,69% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya disebabkan oleh faktor meningkatnya peserta contraceptive prevalence rate (52,20%), selain itu angka kematian bayi (AKB) yang relatif masih tinggi (27,40%) juga turut berpengaruh. Selanjutnya, pada tahun 2009 pertumbuhan penduduk justru semakin menurun (1,53%) disebabkan oleh faktor

53 yang sama di tahun 2008, yaitu jumlah peserta contraceptive prevalence rate yang masih tergolong tinggi (50,00%)

2.5. Ekonomi Makro a. Laju Pertumbuhan Ekonomi Secara garis besar laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat cenderung meningkat, tren positif terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi terjadi pada tahun 2008 yang bisa mencapai 8,54%, ini merupakan capaian tertinggi yang diperoleh selama terbentuknya provinsi ini sejak lima tahun yang lalu, bahkan Sulawesi Barat tercatat sebagai provinsi yang memiliki rangking tertinggi dalam hal pertumbuhan ekonomi pada tahun itu. Sedangkan beberapa tahun dari 2004-2009 sifatnya fluktuatif, walaupun demikian, naik turunnya laju pertumbuhan ekonomi pada lima tahun terakhir ini masih dalam batas-batas kewajaran, yaitu masih kurang dari 0.9%. Kondisi tersebut di atas juga tidak terlepas dari status provinsi Sulawesi Barat yang masih tergolong provinsi baru. Membuat laju pertumbuhan ekonomi stabil terlebih untuk melakukan peningkatan, bukanlah perkara yang mudah. Oleh karenanya, keberhasilan pembangunan di Sulawesi Barat tidak terlepas dari peran aktif pemerintah daerah yang berkomitmen penuh untuk membangun Sulawesi Barat demi terwujudnya misi Sulawesi Barat menuju masyarakat yang malaqbi. Pemerintah daerah melalui kebijakan anggaran daerahnya berperan penuh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kebijakan yang dimaksud adalah dengan mengarahkan alokasi belanja rutin pada upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah untuk masyarakat, sementara pengeluaran pembangunan diarahkan pada program proyek prasarana dan sarana sosial.

54 Kebijakan anggaran daerah Sulawesi Barat tercermin melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kondisi perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dari tahun 2004-2009 dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik-17

LajuPertumbuhanEkonomi
10 8 6 4 2 0 2004 2005 2006 2007 2008 LajuPertumbuhan Ekonomi (%) 2009

Sumber: BPS, Bappeda Sulawesi Barat, 2010

Berdasarkan data tersebut di atas, pada dasarnya laju pertumbuhan ekonomi provinsi Sulawesi Barat cenderung mengalami peningkatan. pada tahun 2004 laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 6,00%. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Sulawesi Barat pada saat itu baru memisahkan diri dari Sulawesi Selatan, berdampak pada kondisi daerah belum 100% stabil, termasuk kondisi ekonominya. Tahun berikutnya (2007) laju pertumbuhan ekonomi sudah mulai menunjukkan perbaikan, merangkak dari 6,00% menjadi 6,78%, berarti berhasil dinaikkan sebesar 0,78%, namun setahun berikutnya kembali turun (6,42%) dan kembali naik ditahun 2007 (7,43%). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa hal menggembirakan kaitannya dengan laju pertumbuhan ekonomi ditunjukkan pada tahun 2008 (8,54%). Tahun 2009 kembali turun (6,89%). Menurut Bappeda

55 Sulawesi Barat, pada dasarnya tidak menurun, akan tetapi anggaran belanja daerah yang meningkat mempengaruhi lambannya laju pertumbuhan ekonomi.

Pendapatan daerah Sulawesi Barat mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2008, dimana peningkatan pendapatan daerah tahun 2008 disebabkan oleh naiknya pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan masing-masing sebesar 11,63 persen dan 45,72 persen. Komponen PAD yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah retribusi daerah (sekitar 58,29 persen), meskipun peningkatan ini tidak memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan.

Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai PDRB (atas dasar harga konstan) yang berhasil diciptakan pada tahun tertentu dibandingkan dengan nilai tahun sebelumnya. Penggunaan angka atas dasar harga konstan ini dimaksudkan untuk menghindari pengaruh perubahan harga, sehingga perubahan yang diukur merupakan perubahan riil ekonomi. Dalam penghitungan PDRB 2005, pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun regional dihitung dengan

menggunakan harga konstan Tahun 2000 sebagai tahun dasar.

Selain itu, pendapatan yang berasal dari pajak daerah juga mengalami kenaikan yang cukup besar. Untuk pendapatan yang berasal dari dana perimbangan sebagian besar diperoleh dari dana alokasi umum (DAU). Selama tahun anggaran 20072008, penerimaan Sulawesi Barat masih sangat

bergantung pada sumber dana tersebut. Hal tersebut dibuktikan dari besarnya kontribusi DAU terhadap pendapatan daerah. Pada tahun 2007 kontribusinya mencapai 76,35, meskipun pada tahun 2008 mengalami penurunan kontribusi menjadi 70.93 persen. Hal ini wajar bila mempertimbangkan bahwa Provinsi

56 Sulawesi Barat belum bisa mengoptimalkan sumber pendapatan daerahnya sebagai provinsi yang masih baru. Selain mendapat suntikan dana alokasi umum, tahun 2008 pemerintah Provinsi Sulawesi Barat juga mendapat kucuran dana berupa dana alokasi khusus.

Selain pertanian, sektor lain yang mempunyai kontribusi cukup besar adalah sektor jasa-jasa, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri pengolahan yang masing-masing menyumbang 12,83 persen, 12,74 persen, dan 7,35 persen (keadaan Tahun 2005) terhadap pembentukan total

PDRB Provinsi Sulawesi Barat. Sedangkan sektor listrik, gas, dan air bersih pada tahun yang sama mempunyai kontribusi yang paling kecil, hanya sekitar 0,36 persen.

Menjelang lima tahun Sulawesi Barat berdiri, perekonomian Sulawesi Barat dirasakan semakin membaik. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami peningkatan selama periode 2004-2008. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat tercatat mencapai 8,54 persen dan merupakan peningkatan kinerja perekonomian tertinggi selama periode tersebut. pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,5 persen dibanding tahun 2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2009 mencapai Rp. 2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masingmasing sebesar Rp. 2.082,3 triliun dan Rp. 1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2009 naik sebesar Rp. 662,0 triliun, yaitu dari Rp. 4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar tahun 2009. Rp. 5.613,4 triliun pada

57 Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 15,5 persen, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 13,8 persen, Sektor Konstruksi 7,1 persen, Sektor Jasa-jasa 6,4 persen, Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,4 persen, Sektor Pertanian 4,1 persen, dan Sektor Industri Pengolahan 2,1 persen, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1 persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9 persen yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang besarnya 4,5 persen. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mengalami pertumbuhan sebesar 15,5 persen sekaligus merupakan sumber pertumbuhan terbesar pula terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,2 persen. Selanjutnya sumber pertumbuhan yang cukup besar yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri Pengolahan, dan Sektor Jasa-jasa masing-masing memberikan peranan sebesar 0,6 persen. Selanjutnya nilai ekspor Sulawesi Barat terhadap PDRB dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2004 (data masih bergabung dengan Sulawesi Selatan)

dimana nilai eksport Sulawesi Barat sebesar 1.268.833,75 ribu US$, dengan volume sebesar 657.783.784 ton. Selama tahun 2004, volume ekspor yang terlihat menonjol adalah dari biji kakao yaitu sebesar 201.851,29 ton, disusul dedak gandum 164.959,81 ton dan nikel 73.575,32 ton sedangkan nilai ekspor yang tertinggi pada tahun 2004 adalah nikel yaitu sebesar 792.083.061,03 ribu US$ disusul kakao sebesar 283.830.683,41 ribu US$.

58 Neraca perdagangan dari sisi riil menunjukkan kondisi yang sama dengan sisi absolutnya. Meskipun pada tahun 2008 pertumbuhan ekspor sekitar 16,56 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor sebesar 14,60 persen. Secara riil, nilai ekspor sebesar 545,37 miliar rupiah sedangkan nilai impor mencapai 736,56 miliar rupiah atau terjadi defisit neraca perdagangan sekitar 191,19 miliar rupiah.

b.

Pendapatan Perkapita Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di atas, pendapatan perkapita

juga meningkat selama periode 2004-2009

Grafik-18

Pendapatan Perkapita (Rupiah)

Sumber: Bappeda, BPS Sulawesi Barat, 2010 Pendapatan perkapita salah satunya dijadikan indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Akan tetapi, pendapatan perkapita ini belum tentu menggambarkan kondisi nyata karena penghitungan PDRB mencakup semua aktivitas ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut baik yang merupakan kepemilikan domestik maupun luar daerah itu sendiri. Selama kurun waktu 2004-2008 pendapatan perkapita Sulawesi Barat menunjukkan

peningkatan. Tahun 2004 pendapatan perkapita Sulawesi Barat sekitar 3,96 juta rupiah, naik menjadi 4,56 juta rupiah pada tahun 2005. Selanjutnya mencapai

59 5,162 juta pada tahun 2006 dan 6,091 juta pada tahun 2006. Atau dapat dikatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi dari 6,78 % pada tahun 2005 menjadi 6,42 % pada tahun 2006, meningkat menjadi 7,43 % pada tahun 2007 dan 8,54 % pada tahun 2008. Nilai tertinggi pada tahun 2009 yaitu mencapai 8,671 juta rupiah. Hal ini setidaknya dapat memberikan indikasi bahwa tingkat

kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat mengalami perbaikan yang positif.

c. Laju Inflasi Laju inflasi yang sejak tahun 2004 mencapai angka tertinggi dan cenderung tidak mengalami perubahan pada tahun berikutnya (3,64%). Secara umum laju inflasi Sulawesi Barat relaif tidak stabil. Pada tahun 2008 misalnya yang sudah menembus angka 3,04% terpaksa kembali naik menjadi 3,21% pada tahun berikutnya.

Grafik-19

Laju Inflasi
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009

LajuInflasi(%)

Sumber: Bappeda, BPS Sulbar, 2010 Inflasi didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Kinerja perekonomian yang meningkat merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan kegiatan ekonomi. Namun, secara makro pengendalian inflasi juga tidak kalah pentingnya dengan perbaikan kinerja perekonomian. Tingkat inflasi yang

60 berfluktuasi tinggi menggambarkan besarnya ketidakpastian nilai uang, tingkat produksi, distribusi, dan arah perkembangan ekonomi sehingga dapat

menimbulkan ekspektasi keliru dan manipulasi yang dapat membahayakan perekonomian secara keseluruhan. Sebaliknya, inflasi yang rendah juga tidak menguntungkan perekonomian karena menggambarkan rendahnya daya beli dan permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, tingkat inflasi diukur dengan indeks harga konsumen (IHK) yang dihitung dan diumumkan ke publik setiap bulan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hingga saat ini, terdapat 66 kota besar utama di Indonesia yang menjadi kota IHK sebagai dasar penghitungan inflasi. Salah satunya adalah kota Mamuju. Di Provinsi Sulawesi Barat, penghitungan angka inflasi baru dimulai pada pertengahan tahun 2008. Sebelum melakukan penghitungan inflasi, terlebih dahulu dilakukan pemilihan paket komoditas dan menghitung diagram timbang dari hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tentang barang dan jasa yang dominan dikonsumsi oleh masyarakat. Sedikit gambaran tentang laju inflasi Provinsi

Sulawesi Barat sebagaimana gamnbar berikut : Grafik-20

Laju Inflasi SULBAR Juni 2008 Mei 2009

Laju Inflasi SULBAR Juni 2008-M ei 2009

LajuInflasiSULBARJuni2008Mei2009

Sumber: Bappeda Sulawesi Barat, 2009

61 Selama periode Juni 2008-Mei 2009, laju inflasi Kota Mamuju sangat berfluktuatif terutama pada tahun 2008. Setelah kenaikan BBM yang diumumkan pemerintah pada bulan Mei 2008, harga-harga komoditas mulai bergejolak. Khususnya di Kota Mamuju, laju inflasi pada bulan Juni mencapai 3,04 persen. Pada bulan berikutnya, dampak akibat kenaikan BBM cenderung mengecil. Inflasi yang terjadi hanya sekitar 0,81 persen yang lebih dominan didorong oleh penyesuaian harga saja. Selanjutnya, pada bulan Agustus 2008, laju inflasi kembali bergejolak hingga mencapai level 3,21 persen. Tingginya laju inflasi tersebut selama periode Juni 2008-Mei 2009 dan merupakan inflasi tertinggi diantara 66 kota IHK. Pada bulan Oktober 2008, harga beberapa komoditas utamanya kelompok bahan makanan cenderung turun yang mengakibatkan terjadinya deflasi sebesar 1,56 persen. Usaha pemerintah yang menurunkan kembali harga BBM cenderung tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kurun waktu Juni 2008-Mei 2009, laju perubahan IHK tertinggi terjadi pada Agustus 2008 yang mencapai 3,21 persen dengan nilai indeks sebesar 117,56. Kondisi tersebut diakibatkan oleh peningkatan semua indeks harga kelompok pengeluaran dibandingkan bulan sebelumnya kecuali untuk kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga yang turun sebesar 0,19 persen. Peningkatan indeks harga konsumen tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan sekitar 9,15 persen dengan nilai IHK sebesar 134,71. Sementara itu, IHK kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesa 120,43 dengan laju perubahan IHK sekitar 2,17 persen dibandingkan dengan bulan Juli 2008. Selanjutnya, IHK kelompok perumahan sebesar 113,01; kelompok sandang sebesar 112,56; kelompok kesehatan sebesar 105,43; dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 108,78. Jika

62 diamati IHK per kelompok pengeluaran, nilai indeks harga pada kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau cenderung berfluktuasi. Keadaan ini terutama terjadi selama kurun waktu JuniDesember 2008. Pada bulan Oktober 2008, harga beberapa komoditas utamanya kelompok bahan makanan cenderung turun yang deflasi sebesar 1,56 persen. mengakibatkan terjadinya

Usaha pemerintah yang menurunkan kembali

harga BBM cenderung tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pada bulan Desember 2008, laju inflasi bergerak hingga ke level 1,20 persen lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya naik sebesar 0,08 persen.

Penurunan harga BBM tersebut tidak serta merta menurunkan harga barang yang sudah terlanjur naik sebelumnya. Momen hari raya seperti Idul Adha dan Natal juga ikut memicu kenaikan harga komoditas. Hingga pertengahan tahun 2009, laju inflasi cenderung lebih stabil jika dibandingkan tahun 2008. Pada awal tahun 2009, imbas penurunan BBM untuk yang ketiga kalinya pada bulan ini agaknya baru dirasakan oleh masyarakat. Terbukti dengan terjadi deflasi pada bulan Januari 2009 sebesar 0,85 persen. Meskipun pada bulan selanjutnya terjadi inflasi, namun pergerakannya hanya berkisar antara 0,12-0,35 persen saja. Bahkan pada bulan Mei mengalami deflasi lagi sebesar 0,14 persen. Dapat dikatakan bahwa Masing-masing

kelompok komoditi memberikan andil atau sumbangan inflasi berdasarkan bobot dan tingkat kenaikan harga yang terjadi pada kelompok tersebut, sebagai berikut: kelompok bahan makanan -0,99 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,50 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar -0,12 persen; kelompok sandang 0,04 persen; kelompok

63 kesehatan 0,00 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,01 persen; serta kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan -0,27 persen.

Grafik-21

Sumber: Bappeda Sulbar, 2009 Untuk kelompok bahan makanan pada Januari 2009 mengalami deflasi 3,61 persen dengan IHK 135,47, berarti terjadi penurunan indeks harga konsumen dibandingkan desember 2008 dengan IHK yang mencapai 140,55. Dari sebelas sub kelompok dalam kelompok bahan makanan, tujuh sub kelompok mengalami deflasi, dua sub kelompok mengalami inflasi dan satu kelompok tidak mengalami perubahan indeks harga. Deflasi tertinggi terjadi pada sub kelompok lemak dan minyak 11,33 persen dan yang terendah sub kelompok buah-buahan 0,99 persen. Inflasi terjadi pada sub kelompok padipadian, umbi-umbian dan hasilnya 1,01 persen dan sub kelompok ikan diawetkan 15,24 persen, sedangkan sub kelompok yang tidak mengalami perubahan indeks harga adalah bahan makanan lainnya. Kelompok

pengeluaran ini memberikan sumbangan inflasi sebesar -0,99 persen. Komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi antara lain: bandeng 0,21 persen, katamba 0,08 persen, bayam 0,07 persen, beras 0,06 persen, ikan asin belah 0,05 persen, minyak goreng 0,02 persen, kacang tanah, jeruk,

64 tomat sayur, apel, bawang dan putih, baronang, jagung muda, 0,01 labu

parang/manis/merah

tepung

terigu

masing-masing

persen.

Sedangkan komoditi yang memberikan sumbangan inflasi dominan tetapi negatif antara lain: cakalang -0,41 persen, tongkol 0,27 persen, minyak kelapa -0,19 persen, cabe rawit -0,12 persen, cabe merah -0,11 persen, kacang panjang -0,08 persen, daging ayam ras -0,07 persen, ayam hidup -0,05 persen, layang dan kangkung masing-masing -0,04 persen, tomat buah dan telur ayam ras masing-masing -0,03 persen, serta ikan merah, cumi-cumi dan

kembung/gembung masing-masing -0,02 persen. Selanjutnya kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau Kelompok ini pada Januari 2009 mengalami inflasi 2,97 persen dengan indeks harga sebesar 128,33 lebih tinggi bila dibandingkan dengan indeks harga Desember 2008 yang sebesar 124,63. Seluruh sub kelompok pada kelompok ini mengalami ineflasi masing-masing: sub kelompok makanan jadi 3,08 persen, sub kelompok minuman yang tidak beralkohol 0,92 persen dan sub kelompok tembakau dan minuman beralkohol 3,91 persen. Pada Januari 2009, kelompok ini memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,50 persen. Sub kelompok yang dominan memberikan sumbang inflasi adalah sub kelompok makanan jadi sebesar 0,30 persen. Komoditas yang memberikan sumbangan inflasi yang cukup dominan adalah rokok kretek filter 0,15 persen, kue basah 0,10 persen, ayam goreng 0,06 persen, sop 0,04 persen, martabak dan nasi masing-masing 0,03 persen, rokok kretek, ikan bakar dan air kemasan masingmasing 0,02 persen, serta sate dan soto masing-masing 0,01 persen. Untuk bidang kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar Sama halnya dengan kelompok bahan makanan, kelompok ini pada Januari 2009 juga mengalami deflasi sebesar 0,48 persen dengan indeks harga

65 konsumen 111,95, berarti terjadi penurunan indeks harga konsumen dibandingkan Desember 2008 dengan IHK yang mencapai 112,49. Seluruh sub kelompok dalam kelompok ini mengalami deflasi, antara lain: sub kelompok biaya tempat tinggal 0,21 persen, sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air 1,49 persen, sub kelompok perlengkapan rumah tangga 0,18 persen dan sub kelompok penyelenggaraan rumah 0,69 persen. Dalam periode waktu yang sama (Januari 2009), sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air memberikan sumbangan inflasi -0,07 persen yang terbesar dalam kelompok ini, walaupun nilainya negatif. Sub kelompok biaya tempat tinggal, sub kelompok perlengkapan rumah tangga dan sub kelompok penyelenggaraan rumahtangga memberikan andil inflasi -0,03 persen, -0,01 persen dan -0,01 persen. Hanya komoditas kontrak rumah yang memberikan andil inflasi positif, yaitu sebesar 0,05 persen. Sementara itu, komoditas yang memberikan sumbangan inflasi yang cukup dominan tetapi negatif meliputi bahan bakar rumah tangga -0,06 persen, besi beton -0,03 persen, semen dan seng masing-masing -0,02 persen dan sabun detergen bubuk -0,01 persen. Pada Kelompok sandang mengalami inflasi sebesar 0,70 persen pada Januari 2009 dengan IHK 115,37 yang berarti terjadi kenaikan indeks dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK 114,57. Tiga dari empat sub kelompok pada kelompok pengeluaran ini mengalami inflasi, meliputi : sub kelompok sandang laki-laki 0,47 persen, sub kelompok sandang perempuan 0,70 persen dan sub kelompok barang pribadi dan sandang lainnya 1,63 persen. Sedangkan sub kelompok sandang anak-anak mengalami deflasi 0,45 persen. Pada Januari 2009 kelompok sandang memberikan sumbangan inflasi 0,04 persen. Sub kelompok barang pribadi dan sandang lain memberikan andil terbesar pada kelompok ini, yaitu sebesar 0,03 persen. Beberapa komoditi

66 memberikan sumbangan inflasi meliputi: emas perhiasan 0,03 persen dan baju kaos/t-shirt wanita 0,01 persen. Pada Kelompok kesehatan mengalami inflasi sebesar 0,05 persen pada Januari 2009 dengan IHK 107,30 yang berarti terjadi kenaikan indeks dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK 107,25. Hanya sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetika yang mengalami perubahan indeks sebesar 0,09 persen dengan andil inflasi hampir mendekati 0,00 persen. Sedangkan tiga sub kelompok lainnya tidak mengalami perubahan indeks harga. Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Barat No. 06/02/76/Th. III, 2 Februari 2009 terdapat 7 Komoditi yang mengalami perubahan harga adalah deodorant, minyak rambut, sabun mandi cair dan shampo yang bila dijumlah seluh andilnya hampir mendekati 0,00 persen. Selanjutnya pada kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Pada Januari 2009 kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami deflasi 0,13 persen dengan IHK 101,69 yang berarti terjadi penurunan indeks dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK mencapai 101,82. Sub kelompok jasa pendidikan dan sub kelompok kursus-kursus/pelatihan tidak mengalami perubahan IHK dibandingkan bulan sebelumnya. Deflasi terjadi pada sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan 0,29 persen dan sub kelompok rekreasi 0,42 persen, sedangkan sub kelompok olahraga mengalami inflasi sebesar 1,93 persen. Kelompok ini memberikan sumbangan inflasi sebesar -0,01 persen. Hanya beberapa komoditi yang mengalami perubahan harga antara lain: personal komputer/desktop, printer laser, cd-tape-rec-radio, VCD/DVD player, playstation, cuci/cetak film, bola dan pakaian olahrag pria Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan Kelompok ini mengalami deflasi 1,48 persen dengan IHK 105,14 pada Januari 2009, berarti terjadi penurunan indeks

67 dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 106,72. Hal ini dipicu oleh terjadinya deflasi pada sub kelompok transpor 2,56 persen dan ub kelompok sarana dan penunjang transpor 0,32 persen. Sedangkan sub kelompok komunikasi dan pengiriman inflasi 1,70 persen. Sementara itu, sub kelompok jasa keuangan tidak mengalami perubahan IHK dibandingkan dengan IHK Desember 2008.Kelompok pengeluaran transpor, komunikasi dan jasa

keuangan memberikan sumbangan inflasi -0,27 persen terhadap inflasi umum di kota ini Januari 2009. Komoditas yang mengalami perubahan harga dan dominan memberikan sumbangan inflasi adalah telepon seluler 0,07 persen, ban dalam mobil 0,00 persen, solar dan kendaraan carter masing-masing -0,01 persen, angkutan antar kota -0,02 persen dan bensin -0,29 persen.

2.6. Investasi Bagian ini akan menganalisis beberapa indikator, antara lain; Nilai Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta), Nilai Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar), dan Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA.

Grafik-22
2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)

NilaiRealisasiInvestasiPMDN (Rp.Milyar)

Sumber: Penanaman Modal, Sulbar, 2010

68 Nilai realisasi investasi PMDN (Rp. Milyar) menunjukkan capaian yang cenderung meningkat. Jika pada tahun 2004 nilai realisasi investasi PMDN baru berikisar 2.485, maka pada tahun 2009 berhasil dinaikkan menjadi 6.111, berarti selama kurun waktu 5 tahun, Sulawesi Barat berhasil meningkatkan investasi nilai realisasi investasi PMDN sebesar 3.626 dalam milyar rupiah. Penanaman modal atau investasi secara langsung di sektor riil memiliki peran yang dominan dalam pembangunan perekonomian daerah. Selain kegiatan ini memberikan efek pengganda (multiplier) pada pertumbuhan pendapatan daerah, penanaman modal dapat mendorong peningkatan daya beli masyarakat di lokalitas dimana investasi tersebut ditanam. Penanaman modal yang memiliki multipler keterkaitan tinggi dapat menghasilkan peningkatan lapangan kerja dan perkembangan industri hilir dan industri pasokan. Pada grafik di atas Nampak bahwa nilai Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) sejak tahun 2004 hingga 2006 mencapai 1.014.471.276.235 (Rp. Milyar) atau berkisar 1,014 persen. Dari lnilai itu 63,2 persen bergerak pada sector Primer (tanaman Pangan & Perkebunan) dan 27,6 persen pada sector sekunder (Industri makanan). Selanjutnya terjadi peningkatan mulai pada tahun 2007 menjadi 1,142 persen dan tahun 2008 -2009 masing-masing menjadi 1,712 persen atau sebesar direncanakan sebesar 1.712.014.133.552(Rp.Milyar) dari target yang

5.272.871.164.014 (Rp. Milyar), Sementara target

kedepan tahun 2010 mencapai 6.110.980.544.014 (Rp. Milyar). Seluruh rangkaian kegiatan kehadiran penanaman modal di daerah pada akhirnya akan memberikan dampak pada peningkatan kemampuan warga masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta daerah melakukan

pembayaran pajak pada kas pemerintahan Daerah. Peran Penanaman Modal.

69 Penanaman modal secara konseptual meliputi antara lain tiga kegiatan utama: (a) investasi masyarakat, (b) investasi swasta dalam rangka PMDN dan PMA dan (c) belanja barang modal serta pengeluaran rutin oleh Pemerintah Daerah. Kegiatan investasi dalam penanaman modal dapat berbentuk

pembangunan pabrik-pabrik baru atau perluasan kepemilikan lahan yang akan digunakan untuk kegiatan usaha. Penanaman modal ternyata bukan hanya merupakan monopoli kegiatan yang dilakukan oleh pihak masyarakat dan pengusaha di sektor swasta. Wujud usaha ini dapat berbentuk kegiatan yang biasa dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam berbagai aktivitasnya untuk pengeluaran-pengeluaran belanja barang dan jasa, kegiatan penyertaan modal dalam proyek infrastruktur, pengembangan sistem informasi, serta kegiatan pemberian jasa pelayanan kepada publik. Dari sudut pandang pengklasifikasian jenis penanaman modal seperti ini terlihat cukup luasnya cakupan penanaman modal di suatu daerah. Bangkitnya era desentralisasi dan otonomi daerah di tanah air merupakan peluang besar bagi para pemilik modal, pelaku ekonomi dan pemerintahan daerah untuk mengembangkan jenis-jenis penanaman modal tersebut. Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada pemerintahan daerah untuk merealisasikan visi dan misi serta rencana-rencana pembangunan wilayah dengan memobilisir kehadiran industri-industri andalan, kegiatan produksi dan perdagangan oleh perusahaan kecil dan menengah, serta usahausaha rumah tangga oleh berbagai kalangan masyarakat. Bagi perusahaan domestik yang telah melakukan kegiatan usahanya di satu wilayah, masuknya

70 para penanam modal baru akan membuka berbagai peluang dalam kerjasama investasi dan produksi secara lebih luas lagi. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan daerah, porsi investasi pemerintah daerah cenderung akan mendominasi keseluruhan investasi yang terjadi di daerah. Baru setelah tahapan kegiatan industrialisasi terlewati maka porsi investasi pemerintah ini akan menurun dan digantikan dengan penggelembungan investasi swasta. Sedangkan pada tahapan pembangunan daerah yang telah maju, peran investasi masyarakat secara berangsur menguasai mayoritas realisasi investasi di suatu daerah. Grafik-23

Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)


0.2 0.15 0.1 0.05 0 2004 2005 2006 2007 2008 NilaiRealisasi Investasi PMA (US$ Juta) 2009

Sumber: Penanaman Modal, Sulbar, 2010 Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 hingga 2006 tidak tersedia data tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Sulawesi Barat, Pada tahun 2007 nilai realisasi investasi PMA sebesar 182.609(US$ juta) atau sekitar 0,18 %, nampaknya angka ini bertahan hingga tahun 2009, sehingga dapat dikatakan nilai PMA di Sulawesi Barat Konstant pada angka 0,18%. Namun jika dibandingkan dengan Rencana PMA yang disetujui tercatat sejak

71 tahun 2004 2007 sebesar 10.037.500.000(US$ juta) dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 25.109.239.000(US$ juta) dan pada tahun 2009 menjadi 31.473.069.000 (US$ juta) Kegiatan investasi PMA yang dapat dikembangkan di daerah dan berpotensi menghasilkan devisa dan efek pengganda terbesar dapat dicirikan sebagai berikut: 1. Kegiatan industri pertanian berorientasikan ekspor 2. Kegiatan industri pengolahan dan industri pasokan yang menggunakan lebih banyak tenaga kerja dan bahan baku local 3. Kegiatan industri berteknologi madya dan tinggi yang memanfaatkan para pekerja trampil dan professional 4. Kegiatan tambak ikan dan udang, industri pengalengan dan industri pengolahan hasil barang pertanian dan perikanan 5. Kegiatan industri elektronika, komputer dan produk-produk peralatan kedokteran dan farmasi 6. Kegiatan industri pengolahan hasil hutan, industri perabotan rumahtangga menggunakan listrik . industri pakaian, dan industri kerajinan 7. Kegiatan industri mesin dan pasokan peralatan pabrik 8. Kegiatan industri galangan kapal serta produksi otomotif, dsb. Sedangkan kegiatan investasi PMA yang diperkirakan kurang memberikan dampak dan pengaruhnya pada kemajuan pertumbuhan perekonomian daerah, karena cenderung memberikan efek pengganda yang relatif kecil, antara lain terdiri dari: 1. Kegiatan industri berat berteknologi tinggi yang sebagian besar bahan baku dan tenaga kerjanya diimpor.

72 2. Kegiatan perdagangan dan usaha retail skala besar seperti kawasan mall, hypermarket dan keagenan penjualan barang-barang impor 3. Kegiatan industri karoseri mobil 4. Kegiatan perbankan dan asuransi 5. Kegiatan usaha pertambangan 6. kegiatan penangkapan ikan dengan peralatan modern 7. kegiatan industri yang footloose seperti sepatu, minuman, pengepakan, kantor perwakilan dsb. Dari daftar kegiatan industri ini semakin jelas perlunya Pemerintah Daerah melakukan upaya industrial targeting pada kegiatan-kegiatan investasi swasta dari luar daerah (PMDN dan PMA) yang memberikan efek pengganda tinggi. Proses pengembangan industri tersebut seyogyanya hanya dipilih pada beberapa jenis kelompok industri saja yang memiliki prospek pasar, keterkaitan erat pada industri pasokan lokal dan keterkaitannya dengan kompetensi yang dimiliki daerah, Proses prioritasisasi demikian diharapkan akan dapat

mendorong laju perkembangan perekonomian daerah secara berkelanjutan. Investasi PMA yang termasuk dalam kategori kelompok industri yang menghasilkan pengganda rendah bukan berarti perlu dihindari; karena investasi pada kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga berpotensi dalam menghasilkan laju pertumbuhan perekonomian daerah yang cukup berarti. Hanya saja biasanya industri yang demikian kurang dapat memberikan dampak simultan pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal di daerah, perkembangan industri pasokan di daerah dan tambahan lapangan kerja yang tinggi. Penanaman modal secara langsung lebih merupakan pilihan untuk mendorong laju pertumbuhan perekonomian daerah dibandingkan dengan investasi pada investasi portofolio aset keuangan. Hal ini beralasan mengingat

73 jenis investasi yang dilakukan oleh para kreditur, investor finansial, dan investor perseorang pada aset-aset keuangan (saham, obligasi, asuransi, dsb) tidak memiliki tingkat kepastian pada hasil efek multipliernya yang lebih berkelanjutan. Artinya, jika kita perhatikan kehadiran investasi sektor finansial dalam perspektif kepentingan daerah, umumnya kegiatan-kegiatan investasi pada sektor keuangan dan asuransi sangat rentan (vulnarable) pada kejadian-kejadian lingkungan bisnis serta iklim investasi yang ada di daerah tersebut Sedangkan investasi di sektor riil dengan karakternya yang terikat dengan lokasi tertentu (location spesific asset) akan lebih bertahan menetap di daerah jika pada saat-saat tertentu terjadi goncangan instabilitas lingkungan usaha yang mempertinggi resiko negara (country risk). Investasi perusahaan untuk pembelian lahan usaha, pabrik-pabrik dan mesin-mesin akan sedikit sulit untuk segera ditutup dan dipindahkan (withdrawals) pada kegiatan-kegiatan usaha di daerah lainnya apabila di daerah terjadi gangguan keamanan dan resiko berusaha tersebut. Iklim Investasi dan Peningkatan Kesiapan Daerah. Penanaman modal di daerah perkotaan dan wilayah hinterland yang subur dan menjanjikan akan tumbuh berkembang sejalan dengan suasana iklim investasi dan iklim usaha yang ramah dan terpelihara dengan baik. Merupakan suatu kebutuhan bagi para pengusaha bahwa dalam melakukan penanaman modal, pada rentang waktu yang direncanakannya mereka dapat memperoleh kembali dan merealisasikan arus penjualan dan menutupi biaya modal dari kegiatan usaha yang digelutinya tersebut. Memang iklim investasi merupakan syarat mutlak tanpa dapat ditawar-tawar bagi kehadiran penanaman modal di suatu daerah. Isu berikutnya jika demikian adalah bagaimanakah iklim investasi ini dapat dibangun dan dikembangkan. Singkat kata, iklim investasi yang positif di

74 daerah dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya berkesinambungan yang dilakukan oleh para birokrat dan para pelaku ekonomi di daerah dalam hal-hal berikut ini: 1. Memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan daerah dan produk hukum yang berkaitan dengan kegiatan penanaman modal sehingga tidak memberatkan beban tambahan pada biaya produksi usaha. 2. Memelihara keamanan dari potensi gangguan kriminalitas oleh oknum masyarakat terhadap aset-aset berharga perusahaan, terhadap jalur distribusi barang dan gudang serta pada tempat-tempat penyimpanan barang jadi maupun setengah jadi. 3. Memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang ditujukan pada para investor, meliputi perijinan investasi, imigrasi, kepabeanan, perpajakan dan pertahanan wilayah. 4. Memberikan secara selektif rangkaian paket insentif investasi yang bersaing 5. Menjaga kondisi iklim ketenagakerjaan yang menunjang kegiatan usaha secara berkelanjutan. Bagi kepentingan para penanam modal asing maka selain iklim investasi tersebut, kehadirannya masih perlu didukung oleh adanya ketentuan-ketentuan dan perlakuan yang tidak diskriminatif, yang diberikan pada para pengusaha lokal atau domestik dalam arena memperebutkan pangsa pasar. Sudah selayaknya jika para pemilik modal asing menginginkan adanya perlindungan dan jaminan investasi atas ancaman terjadinya resiko nasionalisasi dan eksproriasi. Merekapun menginginkan adanya jaminan dalam hak untuk dapat mentransfer laba maupun deviden, dan hak untuk melakukan penyelesaian hukum melalui arbitrase internasional.

75 Atas dasar ini dipandang perlu dan sudah merupakan keharusan bagi Indonesia segera meratifikasi RUU Penanaman Modal yang telah terkatungkatung keberadaannya sejak tahun 1995. Undang-Undang Penanaman Modal secara nasional ini akan diterima jika Pemerintah Pusat segera melakukan restrukturisasi organisasi lembaga publik dan departemen pada tingkat pusat dan kemudian memberikannya kewenangan yang lebih luas pada Pemerintah Daerah dalam merencanakan dan mengatur rumah tangganya secara lebih leluasa. Upaya menarik penanaman modal untuk berinvestasi di lokalitas tertentu di satu wilayah pada tahun-tahun mendatang akan menjadi semakin kompleks dengan adanya globalisasi. Persaingan memperebutkan arus lalulintas modal antar benua akan semakin bersaing mengingat lokalitas-lokalitas alternatif di dunia telah tumbuh berkembang semakin banyak dan luas. Pertimbanganpertimbangan azas-azas efiensi, aksesibilitas dan kesiapan kompetensi daerah akan merupakan kunci sukses bagi peningkatan penanaman modal dalam era otonomi daerah.

Para pelaku ekonomi di daerah dan aparat birokrasi pemerintahan daerah perlu secara bersama mulai melakukan persiapan-persiapan dalam upaya terprogram meningkatkan kompetensi daerah. Upaya awal yang paling mendasar adalah membangun kesiapan sumber daya manusia yang trampil dan cekatan. Sekolah-sekolah kejuruan industrial, ekonomi, teknologi dan bahasa dapat dibangun secara sinergi antar unsur-unsur pelaku ekonomi yang ada di daerah. Memang benar tenaga kerja trampil berpotensi untuk hijrah lintas daerah. Akan tetapi mengingat keberadaan ikatan-ikatan sosial yang masih kuat di beberapa daerah di tanah air serta terbangun nya program pengembangan

76 industri daerah, potensi bermigrasinya tenaga kerja trampil ke wilayah-wilayah ekonomi di kota metropolitan dapat dikurangi.

Berikutnya ketersediaan fasilitas prasarana industri seperti pergudangan, jalur transportasi untuk logistik barang, pelabuhan, terminal serta hub-hub intra moda transportasi, sumber energi, air bersih, saluran irigasi lintas-desa, lembaga-lembaga ekonomi dan finansial pedesaan, serta pos-pos kolektor dan penyimpanan produk-produk hasil pertanian perlu dibangun secara memadai dan berkualitas.

2.7. Infrastruktur Bidang infrastruktur mempunyai peran yang sangat penting dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antar kawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya.

Untuk mengetahui perkembangan infrastruktur di Sulawesi Barat khususnya menyangkut tentang kondisi jalan, baik jalan nasional maupun jalan provinsi, akan diuraikan berikut ini.

77

Grafik-24 Kondisi Jalan Nasional

Sumber: Dinas PU, BPS Sulbar, 2010

Pembangunan infrastruktur adalah bagian integral dari pembangunan Provinsi Sulawesi Barat. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antarkawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya. Masalah utama yang dihadapi Provinsi Sulawesi Barat dalam

pembangunan berbagai aspek adalah ketertinggalannya dalam hal infrastruktur

78 dan prasarana wilayah. Dua dari lima kabupaten yang ada masih relatif sulit dijangkau dari ibu kota provinsi yakni Mamasa dan Mamuju Utara. Sementara itu, masih banyak wilayah terpencil yang sulit dijangkau kendaraan roda empat, bahkan roda dua, karena jalan dan jembatan yang belum memadai. Hubungan antar desa, desa dengan ibu kota kecamatan, hingga ke ibu kota kabupaten, belum menjamin mobilitas manusia dan barang yang memadai, serta belum semua desa dapat dilayani kebutuhan air bersih dan prasarana pengairan. Inilah yang menyebabkan desa-desa di Provinsi Sulawesi Barat berkategori tertinggal. Dalam hubungan keluar daerah, bandar udara yang ada juga belum memungkinkan lalu lintas pesawat berbadan besar; sementara pelabuhan laut memerlukan pembenahan serius untuk bisa menopang arus manusia dan barang lewat laut. Pada pembangunan jalan dan jembatan diperlukan adanya koordinasi dan pembagian kewenangan penanganan terhadap jalan dan jembatan, yang meliputi jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Keadaan saat ini panjang jalan nasional adalah 544 Km, dengan jumlah jembatan nasional 443 buah. Sedangkan untuk panjang jalan provinsi 602,95 Km, dengan jumlah jembatan provinsi sebanyak 173 buah. Pada kenytaannya kondisi jalan dan jembatan di Provinsi Sulawesi Barat masih sangat memprihatinkan dan hendaknya segera tertangani. Perkembangan Jalan Nasional 2005-2009 dengan panjang 544 Km dimana pada tahun 2005 kondisi Jalan Baik dan Sedang hanya berkisar 20 % sedangkan yang kondisi rusak ringan dan berat menghampiri 80 %. Perhatian Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur sehingga mengalami yang perkembangan yg signifikan dimana di tahun 2009 kondisi Jalan Baik dan

79 Sedang telah mencapai 80 % sedangkan kondisi Rusak Ringan dan Rusak Berat hanya di bawah 20 % dan berada di Batas Sulsel-Polewali-MajeneMamuju sedang ditangani di Tahun Anggaran 2010 dan dilanjutkan 2011. Adapun Perkembangan jalan Provinsi 2006-2009 dengan panjang pada tahun 2006 adalah 602 Km dengan kondisi jalan baik dan sedang 25 % dan Rusak Ringan dan Rusak Berat 75 %. Tahun 2009 panjang jalan Provinsi 441 Km dimana kondisi Jalan Baik dan Sedang 33 % dan Rusak Ringan dan Rusak Berat 67 %.

2.8. Pertanian Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu ukuran pendekatan yang berguna untuk melihat potret kesejahteraan rumah tangga petani. Dengan kata lain, indikator ini bukanlah satu-satunya ukuran yang dapat melihat

kesejahteraan petani. Namun, pada kenyataannya masih sangat sedikit ukuran yang mengungkap masalah tersebut. Hingga saat ini, NTP yang masih diperhatikan dan dikenal (popular) di masyarakat. Indikator ini mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumahtangga petani. Jika NTP lebih besar dari 100 maka dapat diartikan kemampuan daya beli petani periode tersebut relative lebih baik dibandingkan dengan periode tahun dasar, sebaliknya jika NTP lebih kecil atau di bawah 100 berarti terjadi penurunan daya beli petani. Perkembangan NTP di Sulawesi Barat cenderung berfluktuasi. Meskipun demikian, selama periode setahun terakhir (April 2008-April 2009) nilai indeksnya selalu lebih besar dari 100. NTP pada bulan April 2008 sebesar

80 100,81 (2007=100). Angka tersebut terus mengalami peningkatan hingga April 2009 yang mencapai 105,14. Dapat diartikan bahwa taraf kehidupan rumah tangga petani di Sulawesi Barat pada bulan April 2009 secara agregat mengalami kenaikan dan cukup mendapatkan keuntungan (surplus) yang berarti. Hal ini digambarkan dari indeks harga yang diterima petani (126,36) mengalami peningkatan sebesar 15,66 persen, dibandingkan dengan indeks yang dibayar petani (120,26) yang hanya meningkat sebesar 10,90 persen. Peningkatan tertinggi dari kenaikan indeks yang diterima petani (It) terjadi pada subsektor perikanan sebesar 20,26 persen yakni dari 102,06 menjadi 122,74. Sementara peningkatan It terendah dialami oleh subsektor hortikultura yang hanya mencapai 12,49 persen dengan perubahan indeks dari 94,94 (April 2008) menjadi 106,8 (April 2009). Secara umum, gambaran perkembangan NTP di Sulawesi Barat mengalami peningkatan positif atau dengan kata lain kesejahteraan petani cenderung baik. Namun, pengamatan menurut sub sektor menunjukkan bahwa kesejahteraan tersebut hanya dinikmati oleh sebagian rumahtangga petani saja. Berdasarkan penghitungan NTP di Sulawesi Barat, masih terdapat tiga subsektor yang indeks NTP-nya di bawah 100. Keadaan ini menggambarkan bahwa harga komoditas yang diproduksi petani belum dapat mengimbangi laju kenaikan harga barang-barang dan jasa yang dikonsumsi, baik untuk biaya produksi maupun kebutuhan rumahtangganya. Kenaikan biaya produksi ini dipicu oleh kelangkaan pupuk bersubsidi, akibatnya harga pupuk melonjak tajam. Hingga April 2009, keadaan ini terutama dirasakan petani tanaman pangan dan hortikultura. Indeks harga yang diterima petani tanaman pangan pada bulan April 2009 hanya sebesar 115,4 lebih kecil jika dibandingkan dengan indeks harga yang dibayar petani mencapai 119,39. Sementara itu, It

81 hortikultura pada bulan yang sama sebesar 106,8 lebih kecil daripada (Ib) yang mencapai 119,65. Meskipun (It) ini telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, namun peran aktif pemerintah dalam mengambil kebijakan yang menguntungkan petani diharapkan lebih besar lagi.

2.9. Kehutanan Hutan merupakan potensi alam sebagai salah satu common property resources yang sangat berharga, mengingat beragam fungsi yang sangat vital bagi keberlanjutan kehidupan lokal, nasional maupun global. Kawasan hutan di berbagai daerah ada yang mencapai sekitar 28.22 % dari luas daratan , yaitu sekitar 1. 30 juta Ha, digolongkan menjadi kawasan hutan produksi 802.768 Ha, kawasan hutan lindung 315. 500 Ha dan kawasan hutan konservasi 230.153 Ha (NKLHD,1998). Penekanan pertumbuhan ekonomi selama PJP I, telah memacu pula semakin meningkatnya tekanan terhadap cadangan potensi hutan. Sedangkan keadaan kawasan hutan bakau diperkirakan tinggal 10 %.

Grafik-25
PersentaseLuasLahan Rehabilitas idalam Hutan terhadap Lahan Kritis
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Persentase L uas L ahan Rehabilitasi dalam Hutan terhadap Lahan Kritis

Sumber: Dinas Kehutanan Sulbar, 2010

82 Data tersebut di atas menunjukkan bahwa, pada tahun 2004 luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis mencapai 55,49%, secara bertahap mengalami peningkatan tiap tahun berikutnya. Tahun 2005 (50,32%), 2006 (69,77%), dan selama tiga tahun, yaitu 2007-2009 tidak mengalami peningkatan (88,70%) Berdasarkan data dari dinas terkait, sebagian besar permukaan daratan di Sulawesi Barat masih tertutupi hutan. Tercatat pada tahun 2007 proporsi luas hutan terhadap luas daratan masih sebesar 75,21 persen. Artinya setiap 100 Ha luas daratan masih sekitar 75,21 Ha yang berupa hutan. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya hutan yang ada di Sulawesi Barat masih sangat berpotensial. Selain daripada itu, Sulawesi Barat masih memiliki modal utama sebagai paru-paru wilayah Indonesia pada umumnya dan Provinsi Sulawesi Barat pada khususnya. Meskipun demikian, perubahan luas hutan tersebut cenderung telah menunjukkan adanya konversi lahan yakni dari kawasan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Pada tahun 2008, luas hutan berkurang sebesar 425 Ha menjadi 12.355 Ha atau sekitar 72,72 persen terhadap luas daratan. Kawasan hutan tersebut tersebar di sebagian besar wilayah di tiap kabupaten. Pada tahun 2008, Kabupaten Mamuju merupakan kabupaten dengan luas hutan terbesar yakni sekitar 6.751 Ha atau menutupi sebesar 82,11 persen wilayah daratannya. Sedangkan untuk Kabupaten Polewali Mandar sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Barat memiliki luas hutan sebesar 1.215 Ha atau proporsi hutan terhadap daratannya hanya sekitar 58,13 persen. Sementara luas lahan rehabilitasi

dalam hutan terhadap lahan kritis data yang akurat belum tersedia.

83 Penyusutan luas hutan dapat terjadi karena kebakaran hutan,

penebangan yang tidak terencana secara cermat atau disebabkan karena pencurian serta alih fungsi. Khususnya penyusutan luas hutan karena pencurian melalui penebangan liar. Hal tersebut menunjukkan indikasi bahwa secara umum masih terdapat kesenjangan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan. Telah terjadi perubahan paradigma pengelolalaan hutan yaitu: menuju pegelolaan hutan secara berkelanjutan yang mana selama ini menempatkan pengelolaan hutan sebatas forest timber management menjadi forest

resource and total ecosystem management sehingga hutan diharapkan dapat berfungsi sebagai ekologis, sosial budaya dan produksi/ekonomi secara terpadu. Dalam rangka menuju pengelolaan hutan secara berkelanjutan di Sulawesi Barat maka perlu dipilih strategi untuk meningkatkan ketiga fungsi tersebut. Untuk meningkatkan fungsi ekologi hutan maka upaya yang dilakukan dititik beratkan pada kawasan daratan yang memiliki kelerengan lebih 45 % dan peka terhadap erosi. Sedangkan di kawasan perairan dalam hal ini adalah kawasan hutan mangrove maka dititik beratkan pada kawasan yang memiliki abrasi laut yang pada tingkat yang membahayakan serta pada kawasan muara sungai. Fungsi sosial budaya diupayakan untuk semakin melibatkan peran serta masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan . Disamping itu sebagai fungsi ekonomi diupayakan berfungsi sebagai penyangga

keberlanjutan sistem produksi, konservasi dan pendaya manfaatan kekayaan yang terkandung di dalamnya serta untuk berbagai penggunaan secara terpadu. Beberapa hal prioritas adalah:

84 a. Evaluasi, Perencanaan dan Pengembangan Program Rehabilitasi dan Reboisasi serta Perlindungan Hutan Secara Berkelanjutan. b. Pemantapan dan Pembuatan: Peraturan, Kelembagaan Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan Berbasis Partisipasi dan Kearifan Masyarakat Lokal. c. Model-model Pengelolaan Hutan secara Berkelanjutan bersama

masyarakat (Community forest management system) d. Sistem Informasi dan Pendataan Pengelolaan Potensi Hutan Secara Berkelanjutan

2.10. Kesejahteraan Sosial Pembangunan kesejahteraan sosial adalah pembangunan yang

diperhadapkan dengan masalah kemiskinan, keterlantaran, tuna sosial, tindak kekerasan, bencana alam dan sebagainya yang dinilai membuat manusia menderita dalam ukuran wajar. Permasalahan tersebut perlu penanganan secara komprehensif dan berkelanjutan agar tidak memperburuk kondisi kemiskinan structural, prilaku anti sosial, kondisi disharmodis, kerawanan sosial dan tindak kejahatan yang akan menjadi pemicu terjadinya disintegrasi sosial. Hal ini secara potensial akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang pada akhirnya menjadi beban sosial masyarakat dan pemerintah dan membutuhkan biaya pembangunan yang lebih besar. Paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini mengarah pada pengembangan potensi individu keluarga dan masyarakat dalam mengoptimalkan kekuatan dan potensi yang mereka miliki, untuk mengatasi atau memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan diharapkan

85 berperan aktif sebagai pelaku perubahan sosial (pembangunan) dalam rangka meningkatkan tarap kesejahteraan sosial yang lebih baik. Dalam rangka mendorong meningkatkan, memperluas dan

melembagakan prakarsa dan dukungan serta peran aktif masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial, diperlukan informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Informasi tersebut mencakup permasalahan-permasalahan bidang kesejahteraan sosial, potensi-potensi kesejahteraan sosial serta upaya atau proses pemecahan masalah-masalah berdasarkan metode pekerjaan sosial. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada sebagian warga negara yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri dan hidup dalam kondisi kemiskinan. Mereka umumnya mengalami hambatan fungsi sosial dalam hidup

bermasyarakat, kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dasar dan tidak dapat menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, yang dihadapi oleh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

adalah belum terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan dan kebutuhan dasar lainnya.

Pemenuhan kebutuhan dasar bagi PMKS membutuhka pengelolaan tersendiri, karena jangkauan dan populasi sasaran yang luas membutuhka koordinasi dan kemitraan dalam pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan fungsi-fungsi sosial penyandang masalah kesejahteraa sosial melalui pendekatan dan intervensi profesi pekerjaan sosial sehingga PMKS dapa ditingkatkan fungsi sosialnya agar mampu mengakses pelayanan sosial dasar.

86 Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam penanganan masalah kesejahteraan sosia telah mendorong bergesernya paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dengan lebih mengefektifkan sistem perlindungan sosial melalui pelayanan rehabilitasi sosial, bantua dan jaminan sosial serta program kompensasi bagi masyarakat miskin yang terkena dampak negatif dari berbagai kebijakan ekonomi, seperti program kompensasi pengurangan subsid Bahan Bakar Minyak (BBM) dan bantuan langsung tunai yang telah dilaksanakan beberap waktu yang lalu. Selanjutnya, untuk mengembangkan pelaksanaan bantuan dan jaminan sosial tersebut, sejak tahun 2007 disediakan program baru bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) persyaratan (pemeriksaan kehamilan ibu, yang memenuhi

imunisasi dan pemeriksaan rutin

balita, menjamin keberadaan anak usia sekolah di SD/MI dan SMP/lr4Ts), dan pengurangan pekerja anak yang dilaksanakan melalui Program Keluarga Harapan. Bantuan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai masih

dimungkinkan sebagai alternatif solusi terakhir untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin yang terkena dampak negatif kebijakan pemerintah. Hal ini, untuk mengantisipasi kemungkinan pengurangan subsidi BBM sebagai

akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi akhir-akhir ini dan cenderung terus meningkat. Bentuk bantuan sosial sebaga Sejak berdirinya kelembagaan Badan Kesejahteraan Sosial Daerah (BKSD) Provinsi Sulawesi Barat berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 146/X/2005 tentang Pembentukan Orgasnisasi dan Tata Dinas, Badan dan Kantor Daerah Provinsi Sulawesi Barat maka itu pula BKSD Provinsi Sulawesi Barat berbenah diridalam melaksanakan program pembangunan sosial dan kemasyarakatan.

87

Grafik-26

PersentasePendudukMiskin(%)
30 25 20 15 10 5 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 PersentasePenduduk Miskin(%)

Sumber: BPS, Sulbar, 2010

Sebagaimana yang tergambar pada grafik di atas, bahwa persentase penduduk miskin menunjukkan perkembangan dan tren yang positif. Hal ini bisa dilihat dari semakin menurunnya persentase penduduk miskin (%) dari tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2005 (24,22%), 2006 (20,74%), 2007 (19,03%), 2008 (16,73%), dan 2009 (15,29%).

Dari Data BPS Provinsi Sulawesi Barat sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat dijelaskan bahwa Penduduk miskin dari 20,74 % pada tahun 2006 menurun menjadi 15,29 % pada Tahun 2009 bahkan kini hingga bulan Maret 2010 telah mencapai 13,58 % atau menurun 34,52%

selama kurun waktu 4 tahun dan sudah mendekati persentasi Nasional sebesar 13,33%. Dengan demikian penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Barat cukup signifikan dengan laju penurunan sekitar 9,12 persen pertahun.

88 Grafik-27

PerkembanganGarisKemiskinan
140 120 100 80 60 40 20 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 PersentasePenduduk Miskin(%) GarisKemiskinanNon Makan GarisKemiskinanMakan

Sumber: BPS Sulbar, 2010

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Selama periode 2008 2010 garis kemiskinan naik sebesar 16,97 persen, yaitu dari Rp. 146.492 perkapita perbulan pada tahun 2008 menjadi Rp. 171.356 perkapita perbulan pada tahun 2010. Dan jika diperhatikan komponen garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Selain itu, persentase penduduk miskin (%) juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pengangguran terbuka dan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat pada grafik berikut.

89

Grafik-28 Persentase Penduduk Miskin (%)


30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 2004 2005 2006 2007 2008 2009

PersentasePenduduk Miskin(%) TingkatPengangguran Terbuka(%) LajuPertumbuhan Ekonomi (%)

Sumber Data: BPS Sulbar, 2010 Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2006, persentase penduduk miskin masih tergolong tinggi (20,74%) diakibatkan oleh faktor

tingginya tingkat pengangguran terbuka (6,45%), selain itu laju pertumbuhan ekonomi saat itu juga ikut menurun (6,42%) menurun sebesar 0,36% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terjadi penurunan terhadap persentase penduduk miskin (16,73%) diakibatkan oleh faktor semakin membaiknya laju

pertumbuhan ekonomi (8,54), disaat yang sama tingkat pengangguran terbuka juga turut berkurang (4,92%) disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat sehingga mampu membuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan kesempatan berusaha seluas-luasnya, sekurang-kurangnya mampu membuka usaha mandiri. Masyarakat yang bekerja, akan mampu memenuhi kebutuhannya, minimal masyarakat terbebas dari miskin makan terlebih itu ketika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan lain di luar dari kebutuhan pokok.

90 Pada tahun 2009, kembali terjadi penurunan persentase penduduk miskin (15,29%). Sama hal dengan tahun-tahun sebelumnya, bahwa tingkat pengangguran dan laju pertumbuhan ekonomi merupakan dua indikator yang turut berpengaruh dalam melihat persentase penduduk miskin di Sulawesi Barat.

Grafik-29
Tingkat Pengangguran Terbuka dan Angkatan Kerja

Sumber: BPS Sulbar, 2010 Selama kurun waktu 2006-2008 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) meningkat dengan kisaran antara 61-67 persen setiap tahunnya. Sedangkan tingkat pengangguran pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 4,92 persen setelah tahun sebelumnya mencapai 5,68 persen. Bahkan pada tahun 2009 mencapai nilai 4,10 persen. Namun, tekanan yang terjadi akibat tingginya harga minyak dunia berdampak terhadap meningkatnya harga bahan bakar minyak pada pertengahan tahun 2008 memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Terbukti dengan tingginya tingkat inflasi kota Mamuju pada pertengahan hingga akhir tahun 2008. Laju inflasi pada bulan Mei 2008 sebagai respon terhadap shock kenaikan BBM mencapai 3,04

91 persen. Inflasi tertinggi di sepanjang tahun terjadi pada bulan Agustus dimana laju inflasi hingga mencapai 3,21 persen Selama periode Februari 2008-2010 jumlah pengangguran mengalami penurunan sekitar 4.741 orang atau setara rata-rata menurun sebesar 9,15 % setiap tahun. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Barat pada

periode tersebut memiliki angka yang terkecil dalam pulau Sulawesi, hal ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun Sulawesi Barat selalu terendah. Pada bulan Februari 2010 jumlah angkatan kerja mencapai 546.168 orang, mengalami peningkatan cukup signifikan sebanyak 30.341 orang (5,88%) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (keadaan Februari 2009). Bila dibanding keadaan Februari 2008 mengalami peningkatan sebesar 68.332 orang dengan kata lain selama periode Februari 2008-Februari 2010 terjadi pertumbuhan rata-rata penduduk angkatan kerja sebesar 6,91 %.

3. Rekomendasi Kebijakan Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terpengaruh oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Upaya mengatasi masalah kemisikinan tersebut, selain merupakan pelaksanaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan

92 untuk meningkatkan hak dan martabatnya, juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya saing di masa depan. Pengangguran masih merupakan isu yang terus menerus harus ditanggulangi, karena terjadinya pengangguran merupakan ciri pembangunan yang belum mantap. Selain itu, terdapat hubungan antara pengangguran dengan kemiskinan. Mereka yang menganggur atau mempunyai pekerjaan yang tidak tetap, atau berada dalam status underemployment, umumnya berada dalam kategori pendapatan rendah. Sebaliknya mereka yang memperoleh pekerjaan tetap dapat digolongkan ke dalam pendapatan menengah atau tinggi Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran harus berjalan seiring dengan upaya untuk meningkatkan pemerataan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelompok dan antar individu. Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada. Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat mengurangi kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, peningkatan pembangunan infrastruktur harus dipercepat untuk mendukung sarana dan prasarana kegiatan ekonomi. Kebijakan ini tentunya diharapkan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan pelayanan bidang pendidikan, peningkatan pelayanan bidang kesehatan, percepatan revitalisasi pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, percepatan pembangunan

93 ekonomi daerah, percepatan pembangunan infrastruktur dan prasarana wilayah, kesejahteraan sosial dan kesatuan bangsa, serta penguatan

kapasitas SDM dan kelembagaan pemerintah.

D. Kesimpulan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2010 terbagi atas dua tahap, yaitu; (1) Evaluasi pelaksanaan RPJMN tahun 2004-2009, dan (2) Evaluasi Relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 2009, yaitu: agenda Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah mendukung program yang terjabarkan dalam RPJMN 2004-2009 berdasarkan pada tiga agenda pokok. Hal ini dibuktikan dengan capaian tiap indikator yang menunjukkan tren positif ke arah yang lebih baik, semakin berkembang dan

bertumbuh, baik mengenai indeks, tingkat, nilai, jumlah, angka, maupun persentase, hampir di segala sektor pembangunan. Beberapa indikator yang menunjukkan tren positif antara lain; indeks pembangunan manusia yang setiap tahun mengalami peningkatan, laju pertumbuhan ekonomi yang berhasil mencapai persentase tertinggi dalam periode

94 berjalan sebesar 8,54% sekaligus berhasil menembus rangking pertama nasional dalam hal laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2008. Indikator lain yang cukup menggembirakan adalah laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2009 berhasil ditekan menjadi 1,53% disebabkan karena meningkatnya contraceptive prevalence rate. Sama halnya dengan persentase penduduk miskin yang berhasil dikurangi (15,29%) sejalan dengan semakin berkurangnya pula tingkat

pengangguran terbuka. Begitu pula dengan pendapatan perkapita yang sejak awal terbentuknya provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai 3.995.774 berhasil dinaikkan menjadi 8.671.818 di tahun 2009. Namun demikian terdapat pula beberapa indikator yang menunjukkan hasil yang terkesan konstan, fluktuatif, tidak berubah, bahkan menurun, seperti laju inflasi yang berfluktuatif dari tahun ke tahun, angka partisipasi kasar yang juga naik turun dari segi jumlah dan persentasenya, begitupula dengan infrastruktur, dan beberapa indikator yang lain. Kondisi ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam rangka melakukan perbaikan, sehingga ke depan program Bangun Mandar betul-betul bisa terwujud melalui empat strong point Sulawesi Barat (Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Gernas Kakao) sebagai basis pembangunannya. Sementara itu, masih terdapat beberapa tabel yang tidak terisi karena keterbatasan data Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sulawesi Barat, sehingga perlu adanya upaya studi tentang pemetaan (pembuatan) database potensi dan kompetensi lokal secara akurat yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja pembangunan daerah dimasa-masa yang akan datang.

95

BAB III RELEVANSI RPJMN 2010 2014 DENGAN RPJMD PROVINSI SULAWESI BARAT

1.

Pengantar Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan

mendasar seiring dengan tuntutan dibidang politik, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan pengelolaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengatur sistem Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan secara langsung. Paparan Visi, Misi dan Program Kepala Daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja Pemerintah Daerah untuk 5 (lima) tahun kedepan. Untuk maksud memberi arah pedoman bagi pelaksanaan pembangunan Provinsi Sulawesi Barat lima tahun kedepan, maka perlu ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Barat.

RPJMD ini merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan Program Kepala Daerah yang penyusunannya dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJM-Nasional) yang memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan agenda pembangunan daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Daerah terpilih harus telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-Daerah) paling lambat 3 (tiga) bulan setelah pelantikan dengan Peraturan Kepala Daerah.

95

96 Dalam penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi Barat beberapa dokumen perencanaan yang dijadikan pedoman adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Dokumen perencanaan pembangunan tersebut digunakan sebagai pedoman agar tercipta kesesuaian dan kesatuan antar dokumen perencanaan pembangunan baik di tingkat Nasional maupun di tingkat Daerah. Sehingga terjadi kesinambungan dan integrasi pelaksanaan pembangunan. Provinsi Sulawesi Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2004. Provinsi Sulawesi Barat ini merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Barat, sesuai aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 20 Tahun 2002 tanggal 18 September 2002, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Majene Nomor 10 tahun 2000

tanggal 10 Maret 2000, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Polewali Mamasa Nomor 12/KPTS/DPRD/VI/2000 Tahun 2000 tanggal 19 Juni Nomor

2000, Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Mamuju

42/KPTS/DPRD/2000 Tahun 2000 tanggal 6 Oktober 2000, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mamasa Nomor 26/KPTS/DPRD-

Mamasa/2003 tanggal 27 Desember 2003, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mamuju Utara Nomor IST/KPTS/DPRD-MAMUJU UTARA/2004 tanggal 23 Agustus 2004. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 ini pula, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dan berkedudukan sebagai unsur

97 penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengisian anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat tersebut didasari dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 161.56-1028 Tahun 2005 tanggal 25 November 2005, dan telah diambil sumpah/janjinya pada tanggal 7 Desember 2005. Dengan selesainya pengisian anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat dan Pemilihan Pimpinan DPRD tersebut merupakan tonggak sejarah baru bagi provinsi ini karena telah mempunyai lembaga perwakilan rakyat yang permanen, utuh dan representatif, yang nantinya diharapkan dapat menjadi penyalur aspirasi rakyat, menjadi mitra sejajar pemerintah daerah Dengan demikian RPJMD Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan untuk 5 Tahun, adalah RPJMD tahun 2006 2011, dan hingga tahun 2010 ini tetap

digunakan sebagai pedoman bagi seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Barat untuk membuat Rencana Strategis (Renstra) yang berisi program dan kegiatan SKPD yang akan dilaksanakannya untuk jangka waktu 2006 2011. Program dan kegiatan SKPD yang termuat dalam Renstra SKPD merupakan penjabaran arah kebijakan dan prioritas program pembangunan yang telah ditentukan dalam RPJMD. Setiap tahunnya masing-masing SKPD, membuat Rencana Kerja SKPD (Renja-SKPD) sebagai pelaksanaan tahunan Renstra SKPD. RPJMD Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan juga menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten Se-Provinsi Sulawesi Barat dalam menetapkan RPJMD Kabupaten. Sedangkan RPJMD Kabupaten menjadi pedoman bagi SKPD Kabupaten masing-masing dalam membuat Rencana Strategis SKPD dan selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja SKPD Kabupaten. Sehingga pelaksanaan pembangunan antar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Se-Provinsi Sulawesi Barat terjadi kesesuaian dan saling berintegrasi, guna mencapai Visi Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2006 2011

98 RPJMD Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2006 - 2011, merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang bersifat strategis, di samping karena muatannya yang menjadi arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah lima tahun ke depan, juga karena dokumen RPJMD memiliki relevansi yang terintegrasi dengan dokumen perencanaan pembangunan lainnya.

2.

Proiritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional Belum tersedia data lengkap tentang program Pembangunan Sulawesi Barat

(2010 -2014) yang dapat digunakan sebagai bahan pembanding RPJMN 20102014.

3.

Rekomendasi a. Rekomendasi terhadap RPJMD Provinsi 1) Pemerintah Sulawesi Barat perlu mengantisipasi konflik dan pariwisata melalui kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dengan

peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan golongan masyarakat kurang beruntung, 2) Pemerintah daerah juga harus melakukan penanganan komunitas adat terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam dan perlindungan sosial; 3) Pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat, dan revitalisasi nilai kebangsaan; 4) Pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan berbasis

99 budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi, peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan. 5) Pemerintah daerah perlu melakukan peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi. 6) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender. 7) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian. 8) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG di tingkat provinsi dan kabupaten. 9) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi

perempuan dalam proses pembangunan. 10) Dalam bidang kesehatan, perlu ada kerjasama antara Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan untuk meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan

gender di sektor kesehatan. 11) Dalam konsep otonomi daerah, perlu dijalin kerjasama antara kantor Meneg PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional, dan lembaga-lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Barat.

100 12) Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada. 13) Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat

mengurangi kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik kuantitas maupun kualitasnya. 14) Pemerintah Sulawesi Barat harus melakukan peningkatan

pembangunan infrastruktur secara cepat untuk mendukung sarana dan prasarana kegiatan ekonomi.

b. Rekomendasi terhadap RPJMN 1) Pembangunan manusia seutuhnya sebagai pengejawantahan dari pembangunan pendidikan berkesinambungan perlu didukung oleh standarisasi pendidikan berbasis lokal, karena penetapan standarisasi pendidikan haruslah berdasarkan pada kemampuan, potensi dan segala sumber daya yang dimiliki di seluruh wilayah NKRI. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga negara, dalam konteks ini negara bertugas untuk memenuhi hak dasar masyarakatnya 2) Pemerintah perlu melakukan pengembangan kerangka kebijakan tentang ketahanan nasional republik Indonesia melalui pendekatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya menuju terciptanya masyarakat yang adil, demokratis, dan sejahtera. Masalah penting yang harus segera mendapat perhatian adalah konflik horizontal, terorisme, dan sebagainya yang tentu saja akan berdampak pada timbulnya ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

101 3) Pemerintah perlu melakukan pemerataan terhadap pembangunan, bukan hanya dalam konteks pembangunan pendidikan dan kesehatan, tetapi juga harus mencakup pembangunan dalam bidang infrastruktur. Oleh karena itu koordinasi tata ruang wilayah otonomi harus betul-betul dijalankan sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional. 4) Pemerintah perlu secara intensif melakukan peningkatan komunikasi antarnegara, khususnya terhadap negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia mengenai konsistensi pemetaan wilayah antar dua Negara, sehingga tidak akan ada lagi saling klaim hak kempemilikan wilayah

102

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2010 terbagi atas dua tahap, yaitu; (1) Evaluasi pelaksanaan RPJMN tahun 2004-2009, dan (2) Evaluasi Relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi expost untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 2009, yaitu: agenda Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah mendukung program yang terjabarkan dalam RPJMN 2004-2009 berdasarkan pada tiga agenda pokok. Hal ini dibuktikan dengan capaian tiap indikator yang menunjukkan tren positif ke arah yang lebih baik, semakin berkembang dan bertumbuh, baik mengenai indeks, tingkat, nilai, jumlah, angka, maupun persentase, hampir di segala sektor pembangunan. Beberapa indikator yang menunjukkan tren positif antara lain; indeks pembangunan manusia yang setiap tahun mengalami peningkatan, laju pertumbuhan ekonomi yang berhasil mencapai persentase tertinggi dalam

102

103 periode berjalan sebesar 8,54% sekaligus berhasil menembus rangking pertama nasional dalam hal laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2008. Indikator lain yang cukup menggembirakan adalah laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2009 berhasil ditekan menjadi 1,53% disebabkan karena meningkatnya contraceptive prevalence rate. Sama halnya dengan persentase penduduk miskin yang berhasil dikurangi (15,29%) sejalan dengan semakin berkurangnya pula tingkat pengangguran terbuka. Begitu pula dengan pendapatan perkapita yang sejak awal terbentuknya provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai 3.995.774 berhasil dinaikkan menjadi 8.671.818 di tahun 2009. Namun demikian terdapat pula beberapa indikator yang menunjukkan hasil yang terkesan konstan, fluktuatif, tidak berubah, bahkan menurun, seperti laju inflasi yang berfluktuatif dari tahun ke tahun, angka partisipasi kasar yang juga naik turun dari segi jumlah dan persentasenya, begitupula dengan infrastruktur, dan beberapa indikator yang lain. Kondisi ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam rangka melakukan perbaikan, sehingga ke depan program Bangun Mandar betul-betul bisa terwujud melalui empat strong point Sulawesi Barat (Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Gernas Kakao) sebagai basis pembangunannya. Sementara itu, masih terdapat beberapa tabel yang tidak terisi karena keterbatasan data Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sulawesi Barat, sehingga perlu adanya upaya studi tentang pemetaan (pembuatan) database potensi dan kompetensi lokal secara akurat yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja pembangunan daerah dimasa-masa yang akan datang.

104 B. Rekomendasi 1. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai: Pada agenda ini direkomendasikan agar memandang konflik dan pariwisata sebagai sesuatu yang perlu diantisipasi melalui kebijakan

pembangunan kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas adat terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam dan perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat, dan revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi, peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan.

2. Agenda Pembangunan Indonesia yang Adil dan Demokratis Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru belum ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang gender, dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan

Pengarusutamaan Gender maka diperlukan langkah sebagai berikut: a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.

105 b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender. c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian. d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG di tingkat provinsi dan kabupaten. e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan

pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan dalam proses pembangunan.

Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar 14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen.

Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini:

106 a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional maupun daerah.

b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama antara Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan untuk meningkatkan kebijakan dan program-program

pengarusutamaan gender di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi daerah, kerjasama kantor Meneg PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan lembaga-lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Barat.

c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi perangkat daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan

Perempuan dan KB dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok dan fungsinya adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam meningkatkan pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Barat.

107 3. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terpengaruh oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Upaya mengatasi masalah kemisikinan tersebut, selain merupakan pelaksanaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan untuk meningkatkan hak dan martabatnya, juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya saing di masa depan. Pengangguran masih merupakan isu yang terus menerus harus ditanggulangi, karena terjadinya pengangguran merupakan ciri pembangunan yang belum mantap. Selain itu, terdapat hubungan antara pengangguran dengan kemiskinan. Mereka yang menganggur atau mempunyai pekerjaan yang tidak tetap, atau berada dalam status underemployment, umumnya berada dalam kategori pendapatan rendah. Sebaliknya mereka yang memperoleh pekerjaan tetap dapat digolongkan ke dalam pendapatan menengah atau tinggi Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran harus berjalan seiring dengan upaya untuk meningkatkan pemerataan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelompok dan antar individu. Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi

108 yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada. Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat mengurangi kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, peningkatan pembangunan infrastruktur harus dipercepat untuk mendukung sarana dan prasarana kegiatan ekonomi. Kebijakan ini tentunya diharapkan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan

pelayanan bidang pendidikan, peningkatan pelayanan bidang kesehatan, percepatan revitalisasi pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, percepatan pembangunan ekonomi daerah, percepatan pembangunan kesatuan

infrastruktur dan prasarana wilayah, kesejahteraan sosial dan

bangsa, serta penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai