Anda di halaman 1dari 34

Siatem Hukum & Industri Konstruksi

SISTEM HUKUM
Sistem Hukum merupakan keseluruhan elemenelemen dan aspek yang membangun serta menggerakkan hukum sebagai sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dunia ini terdapat berbagai macam sistem hukum yang diterapkan oleh berbagai negara, namun di kalangan civitas akademika kita hanya diakrabkan dengan 2 (dua) sistem hukum yang banyak mempengaruhi sistem hukum sebagian besar negaranegara di dunia. sistem hukum tersebut adalah sistem hukum Eropa Kontinental Anglo Saxon.

1. Sistem Kontinental

Hukum

Eropa

Sistem hukum eropa kontinental banyak dianut dan dikembangkan di negara-negara Eropa. Sistem hukum Eropa kontinental biasa disebut dengan istilah Civil Law atau yang disebut juga sebagai Hukum Romawi. Bersumber dari kodifikasi hukum yang digunakan Dalam sistem hukum Eropa pada masa kekaisaran kontinental, hukum memliki Romawi tepatnya pada kekuasaan yang mengikat masa pemerintahan Kaisar karena hukum yang terdiri Yustinianus yang dari kaidah atau peraturanmemerintah romawi pada peraturan tersebut telah sekitar abad ke-5 antara 527 disusun secara sistematis sampai dengan 565 M dan dikodifikasi (dibukukan).

Dalam sistem hukum Eropa kontinental dikenal adagium yang berbunyi bahwa tidak ada hukum selain undangundang atau dengan kata lain bahwa hukum merupakan undang-undang itu sendiri
Dalam sistem hukum Eropa kontinental tidak dikenal adanya yurisprudensi yang menjadi ciri sistem hukum Anglo Saxon. Putusan hakim hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang bersengketa saja atau pada satu kasus tertentu dan tidak dapat mengikat umum atau dijadikan sebagai dasar untuk memutus perkara lainnya yang serupa

Sistem hukum Eropa kontinental mengenal 3 (tiga) sumber hukum antara lain:
1. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga legislatif atau Statutes;
2. Peraturan-peraturan hukum;

3. Kebiasaan-kebiasaan yang telah hidup dalam masyarakat dan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat diterima sebagai hukum oleh masyarakat.

2. Sistem Hukum Anglo Saxon


Sistem hukum Anglo Saxon merupakan sistem hukum yang pada awalnya berkembang di negara Inggris. Sistem hukum Anglo Saxon juga dikenal dengan istilah common law atau Unwritten Law atau hukum yang tidak tertulis. Sistem hukum Anglo Saxon banyak dianut oleh negaranegara yang menjadi anggota persemakmuran inggris, amerika serikat, kanada dan amerika utara.
Dalam sistem hukum Anglo Saxon dikenal istilah yurisprudensi atau judicial decisions dimana putusan hakim dan atau pengadilan dapat mengikat umum. Hukum atau peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Anglo Saxon tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah kodifikasi sebagaimana yang dapat kita temukan dalam sistem hukum eropa kontinental

Dalam sistem hukum Anglo Saxon hakim memiliki kewenangan yang lebih besar karena tidak hanya bertugas menafsirkan dan menetapkan peraturan-peraturan hukum, namun juga berperan besar dalam menciptakan peraturan hukum atau kaidah hukum yang dapat mengatur tata kehidupan masyarakat Putusan dari seorang hakim dapat berfungsi sebagai pegangan bagi hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang serupa atau sejenis. Oleh karena itulah, sehingga dalam sistem hukum Anglo Saxon, hakim juga terikat dalam prinsip hukum putusan pengadilan yang sudah ada sebelumnya dari perkara-perkara yang sejenis atau sama. Asas ini dikenal dengan sebutan asas doctrine of precedent. Hal tersebut diatas tentu saja tidak berlaku bagi hakim yang akan memutus perkara yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Bila hal itu terjadi, maka hakim dapat menggunakan metode penafsiran hukum untuk membuat putusan berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehatnya. Mungkin inilah sebabnya sehingga sistem hukum ini sering juga disebut sebagai Case Law.

Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon


Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut : 1.Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara. 2.Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum. 3.Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein (yang ada dan seharusnya) sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat. 4.Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.

5. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran. 6. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi. 7. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti. 8. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu. 9. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal. 10.Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan

Hukum Indonesia
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, secara pasti Indonesia belum memiliki sistem hukumnya sendiri. Hukumhukum yang berlaku sesaat setelah Indonesia merdeka, dinyatakan oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu memberlakukan hukum-hukum warisan kolonial Belanda. Kebijakan ini semula dimaksudkan untuk berlaku sementara sambil menunggu hukum nasional ciptaan bangsa Indonesia sendiri. Namun demikian, hingga sekarang hukum warisan kolonial masih berlaku. Hal lain yang mendasari pendapat tentang sistem hukum Indonesia terlihat ketika terjadinya pergantian UUD/konstitusi negara selama empat kali (UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945). Pergantian UUD tersebut sekaligus mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, karena pada dasarnya berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh UUD/konstitusi negara yang bersangkutan.

Memotret sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, akan ditemukan 4 komponen (4 sub sistem hukum) penting yang keberadaannya saling melengkapi satu sama lain. Keempat sub sistem tersebut masing-masing memiliki ciri sendiri, tetapi dalam geraknya saling mempengaruhi bahkan memperteguh satu sama lainnya. Keempat sub sistem tersebut adalah : 1. Hukum Nasionai, 2. Hukum Barat, 3. Hukum Islam, 4. Hukum Adat/kebiasaan.

Sistem Hukum Indonesia


Sistem hukum Indonesia Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum perdata Indonesia


Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Misal Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Sedang hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya : Politik dan pemilu (hukum tata negara), Kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), Kejahatan (hukum pidana),

Hukum Perikatan

Definisi Hukum Perikatan


Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa:
Perbuatan, misalnya jual beli barang. Peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun).

Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), keluarga (family law), waris (law of succession) pribadi(pers onal law).

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.

Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.

Azas-azas Dalam Hukum Perikatan


Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah


1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. 2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya


Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Akibat-akibat Wansprestasi berupa hukuman atau akibatakibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi) Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni: Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyatanyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak; Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor. 2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian. Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. 3. Peralihan Risiko Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

KARAKTERISTIK USAHA INDUSTRI KONSTRUKSI

Gambaran Umum Aktivitas Industri.


Karakteristik utama dari industri konstruksi ini adalah pekerjaan yang dilakukan dalam industri konstruksi didasarkan atas kontrak dengan pemberi kerja. Kegiatan yang dilakukan perusahaan pada industri ini biasanya melebihi dari satu siklus normal operasi perusahaan. Selain itu setiap kontrak biasanya menghasilkan produk yang spesifik dan bukan merupakan produk yang sama. Ruang lingkup kegiatan usaha pada industri konstruksi adalah : 1. Kontrak untuk pembangunan sebuah aset tunggal. 2. Kontrak untuk pembangunan sejumlah aset yang berhubungan erat atau saling tergantung satu sama lain dalam hal rancangan, teknologi dan fungsi atau tujuan dan penggunaan pokok. 3. Kontrak untuk penghancuran atau restorasi aset dan restorasi lingkungan setelah penghancuran aset. 4. Kontrak untuk pemberian jasa dalam bidang perencanaan konstruksi 5. Kontrak untuk pemberian jasa dalam bidang pengawasan pekerjaan konstruksi sejak awal pelaksanaan pekerjaan sampai dengan diserahterimakannya kepada pemberi kerja.

Risiko Industri
Risiko yang melekat pada perusahaan dalam kelompok industri konstruksi tidak terlepas dari karakteristik utama kegiatan perusahaan yaitu penyediaan jasa konstruksi. Oleh karena itu, risiko-risiko yang melekat pada industri konstruksi adalah sebagai berikut :
1. Terlambatnya penyelesaian pekerjaan atas kontrak konstruksi sebagai akibat faktor-faktor eksternal yang terjadi diluar kemampuan perusahaan seperti perubahan faktor politik dan makro ekonomi yang dapat berupa kenaikan tingkat suku bunga yang tinggi dan penurunan daya beli. 2. Terlambatnya pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh pemberi kerja atas pelaksanaan kerja yang telah selesai dilakukan. Keterlambatan ini dapat diakibatkan karena pemberi kerja mengalami kesulitan secara ekonomis untuk melakukan pembayaran secara tepat waktu. 3. Kemungkinan terjadinya perubahan di dalam kontrak dengan pihak pemberi kerja sehingga dapat menimbulkan perubahan estimasi dalam penetapan pendapatan dan biaya atas pekerjaan konstruksi. 4. Kenaikan harga bahan baku yang tidak tercantum dalam perjanjian dengan pemberi kerja dapat menimbulkan perubahan estimasi di dalam penetapan biaya atas pekerjaan konstruksi dan apabila kenaikan harga bahan baku tersebut lebih tinggi dari estimasi pendapatan yang diperoleh maka dapat menurunkan kualitas dari hasil pekerjaan konstruksi tersebut.

5. Risiko Keamanan Risiko menurunnya tingkat keamanan suatu areal, wilayah, negara tempat operasional industri konstruksi yang dapat berakibat terhadap rusaknya aktiva yang dipergunakan atau dibangun perusahaan. 6. Risiko Kelalaian Mitra Usaha. Risiko terjadinya wanprestasi (cedera janji) dari mitra kerjasama operasi yang berakibat meningkatnya biaya maupun menurunnya pendapatan perusahaan secara bersama-sama. 7. Risiko Perubahan Kondisi Sosial Politik Risiko ini berkaitan dengan dampak negatif dari perubahan kondisi sosial politik terhadap operasi perusahaan. 8. Resiko Leverage Resiko yang terkait pada kewajiban perusahaan karena pendanaan yang berasal dari luar perusahaan (external financial) untuk operasi perusahaan konstruksi 9. Risiko Asuransi Risiko gagalnya klaim perusahaan atas kerugian akibat bencana alam atau gangguan usaha

Kontrak Konstruksi

Dalam sebuah proyek konstruksi diperlukan adanya sebuah ikatan kerja antara pengguna jasa dengan penyedia jasa yang digunakan sebagai dasar hukum, berbentuk kontrak konstruksi. Pada umumnya kontrak konstruksi berisi tentang pembagian hak dan kewajiban diantara keduanya.

Kontrak adalah dokumen yang mempunyai kekuatan


hukum, yang dibuat oleh dua orang atau lebih, yang berisi tentang hak dan kewajiban dari pihakpihak yang bersangkutan untuk melaksanakan sebuah perjanjian pekerjaan guna membuat keputusan dimana hasil kesepakatan tersebut ditulis dalam sebuah kontrak, diperlukan sebuah penawaran dan penerimaan. Dalam membuat perjanjian harus melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dan berdasarkan hukum yang berlaku.

Kontrak konstruksi
berarti perikatan tertulis antara pengguna jasa (pemilik proyek / pemberi tugas) dan penyedia jasa (konsultan perencana / kontraktor pelaksana / konsultan pengawas) mengenai kegiatan industri jasa konstruksi

Adapun aspek-aspek dari kontrak konstruksi di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Aspek teknis 2. Aspek hukum 3. Aspek keuangan 4. Aspek perpajakan 5. Aspek perasuransian 6. Aspek sosial ekonomi 7. Aspek administrasi

Anda mungkin juga menyukai