PENDIDIKAN PANCASILA
KELOMPOK 2 Anggota : Navis Ari Nugroho Indra Cahyanto Rizky Argiawan Sriyono Lukman Budi Anto ( 11503241028 ) ( 11503241029 ) ( 11503241030 ) ( 11503241031 ) ( 11503241032 )
Guna menjamin kelangsungan hidup Bangsa dan Negara dimasa depan, kepada Pemimpin dan Negarawan dituntut dan diharuskan meresapi, memanifestasikan dan mengatualkan nilai-nilai kodrati sendiri, yaitu nilai-nilai Pancasila. Untuk memudahkan peresapan, maka nilai-nilai Pancasila itu disarikan kedalam 45 butir bahan Penataran, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4) sesuai Tap MPR no.II/1978. Suatu keharusan bagi setiap Pemimpin/ Negarawan Untuk mengejawantahkan tiga dimensi nilai Pancasila tersebut, antara lain dengan kemampuan dan kemauan mengamalkan 45 butir P-4 dalam 3 aspek kehidupan sekaligus, dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara Pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila, pada dasarnya sangat ditentukan oleh adanya kesamaan persepsi tentang makna/arti.
kita membahasnya dalam sudut pandang bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah bermakna Tuhan Yang Satu. Lalu apa makna sebenarnya ? Mari kita bahas satu persatu kata dari kalimat dari sila pertama ini. Ketuhanan berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran -an dapat memberi perubahan makna menjadi antara lain : mengalami hal., sifat-sifat . Contoh kalimat : ia sedang kepanasan. Kata panas diberi imbuhan ke- dan an maka menjadi kata kepanasan yang bermakna mengalami hal yang panas. Begitu juga dengan kata ketuhanan yang berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan an yang bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata lain Ketuhanan berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan. Kata maha berasal dari bahasa Sanskerta / Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata maha bukan berarti sangat. Jadi salah jika penggunaan kata maha dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang berarti sangat besar. Kata esa juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata esa bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata esa berasal dari kata etad yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata ini (this Inggris). Sedangkan kata satu dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sankserta maupun bahasa Pali adalah kata eka. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah eka, bukan kata esa. Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur / Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur / mulia, bukan Tuhannya. Dan apakah sifat-sifat luhur / mulia (sifat-sifat Tuhan) itu ? Sifat-sifat luhur / mulia itu antara lain : cinta kasih, kasih sayang, jujur, rela berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya.
Setelah kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari Pancasila NKRI ternyata begitu dalam dan bermakna luas , tidak membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat-sifat luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila pertama dari Pancasila NKRI ini tidak bersifat arogan dan penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya pada satu Tuhan saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya pada banyak Tuhan, karena yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat-sifat luhur / mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka diri bagi keberadaan agama yang juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia meskipun tidak mempercayai adanya satu Tuhan. Menurut Adian Husaini dalam sebuah seminar "Menelusuri Lika-liku Pancasila di Jakarta. Seperti diketahui, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekuler, namun lepas dari perspektif Islam (Islam worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945, sangat kental dengan nuansa Islam worldview." ujar Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pascar Sarjana Universitas Ibnu Khaldun-Bogor ini. Adian memberi contoh dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang besar pengaruhnya dalam penataan kebijakan politik dan ideology dimasa awal Orde Baru. Ali Moertopo pernah merumuskan Pancasila sebagai ideology Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Peter Beek S.J juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama dan tidak condong pada satu agama. Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Dikatakan Adian, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah.
Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan, Segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurun historis maupun artinya serta pengertiannya, Sebagaimana sesuai dituturkan betul dengan tafsiran yang Ki diberikan Bagus sangat oleh alot Islam. dalam Kasman Singodimedjo,
mempertahankan rumusan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhasdap rumusan itu. Ia misalnya, setuju agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dihapuskan. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Ki Bagus mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar ketuhanan, sebagai diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif mencatat dalam bukunya Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti tujuh kata dengan Yang Maha Esa. Dengan fakta ini, tulis Syafii Maarif, tidak diragukan lagi, bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai peganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme). Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. Dengan demikian, tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-Satukan Allah. Bahkan kata Allah juga muncul di alinia ketiga Pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah. Bukankah satu-satunya agama di Indonesia yang nama Tuhannya Allah hanyalah Islam? Bagi kaum Kristen, kata Allah bukanlah nama Tuhan, tetapi hanya sebutan untuk Tuhan di Indonesia. Karena itu, kaum Kristen di Barat tidak menyebut Tuhan mereka dengan nama Allah.
Adian Husaini menyesalkan terjadinya penyimpangan penafsiran Pancasila yang pernah dilakukan dengan proyek indoktrinisasi melalui Program P-4. Pancasila bukan hanya hanya dijadikan sebagai dasar negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasilan dijadikan landasan moral yang dijadikan sebagai wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, antara lain menegaskan: 1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara RI bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebaga dasar negara RI menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 4) Penerimaan dan pengamalam Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya. Kata Adian, tidak salah sama sekali, jika para cendekiawan dan politisi islam berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Jadi siapapun orang Indonesia yang bersungguh-sungguh dan ingin menegakkan Pancasila, tentunya mereka harus siap menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia. Jakarta (voa-islam). Dalam buku Pendidikan Pancasila karangan Rukiyati, M.Hum., dkk disebutkan bahwa arti dan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah : 1. Pengakuan adanya kausa prima ( sebab pertama ) yaitu tuhan yang maha esa. 2. Menjamn penduduk untuk memeluk agama masing masing dan beribadah untuk agamanya. 3. Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan untuk memeluk agama sesuai hukum yang berlaku. 4. Atheisme dilarang hidup dan berkembang di indonesia. 5. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi antar umat dan dalam beragama.
6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik antar agama. Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain di ciptakan oleh penciptanya. Pencipta itu adalah causa prima yang mempunyai hubungan dengan yang di ciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta wajib menjalankan perintah tuhan dan menjauhi larangannya. Dalam konteks bernegara, makna dalam masyarakat yang berdasarkan pancasila, dengan sendirinya menjamin kebebasan memeluk agama masing masing. Sehubungan dengan agama itu perintah dari tuhan yang merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh tuhan, maka untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam alam pancasila seperti kita alami sekarang ini tidak ada pemaksaan beragama, atau orang dapat memeluk agama dalam suasana yang bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat pancasila dengan sendirinya agama di jamin berkembang dan tumbuh subur dan konsekuennya diwajibkan adanya toleransi beragama. Jika ditilik secara historis, memang pemahaman kekuatan yang ada di luar diri manusia dan di luaralam yang da ini atau adanya sesuatu yang bersifat adikodrati ( di atas atau di luar yang kodrat ) dan yang transenden ( yang mengatasi segala sesuatu ) sudah dipahami oleh bangsa indonesia sejak dahulu. Sejak zaman nenek moyang sudah di kenal paham animisme, dinamisme, sampai paham politeisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di dunia sampai masuknya agama agama Hindu, Budha, Islan, Nasrani ke indonesia, sehingga kesadaran akan monoteisme di masyarakat indonesia semakin kuat. Oleh karena itu tetaplah jika rumusan sila pertama pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Butir - Butir Pada Pancasila Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
1)Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2)Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. 3)Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4)Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa 5)Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 6)Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing masing 7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.