Anda di halaman 1dari 22

ARTHRITIS REUMATOID I. PENDAHULUAN Artritis reumatoid adalah penyakit multisistem kronis yang penyebabnya tidak diketahui.

Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini, karakteristiknya adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis), biasanya menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris (Calleja, dkk. 2009). Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat menyebabkan kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang lebih lanjut pada integritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini. Walaupun berpotensi merusak, artritis reumatoid cukup bervariasi. Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi yang minimal, sedangkan pada penderita yang lain dapat menunjukkan poliartritis progresif yang ditandai kerusakan fungsional (Peter dan Lipsky, 2005). Beberapa penelitian mengatakan bahwa artritis reumatoid mengalami penuruanan dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya. Sebagian besar, tanda dari artritis reumatoid adalah homogen, dan pola dari perubahan sendi dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-artikular yang secara konsisten lebih sedikit terjadi pada orang Asia dan Afrika dibanding dengan orang Kaukasia (Snaith, 2004). II. EPIDEMIOLOGI Artritis reumatoid merupakan penyakit yang jarang pada laki-laki dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun (Snaith, 2004). Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi (kisaran 0,3 1

- 2,1%), wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki. Prevalensi penyakit ini meningkat dengan umur, dan jenis kelamin, perbedaannya dikurangi pada kelompok usia tua. Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari berbagai suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade keempat dan ke-lima dari kehidupan (Eisenberg, dkk. 2005). Faktor resiko genetik tidak sepenuhnya dihitung pada insiden terjadinya artritis reumatoid, hanya menyatakan bahwa faktor lingkungan juga berperan penting pada penyebab dari penyakit ini. Hal ini ditekankan pada penelitian epidemiologi di Afrika yang mengindikasikan cuaca dan urbanisasi merupakan pengaruh utama pada insiden dan tingkat keberatan dari artritis reumatoid pada kelompok dengan latar belakang genetik yang serupa (Lipsky, 2005). III. ETIOLOGI Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa artritis reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis reumatoid yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tapi berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis reumatoid (Lipsky dan Peter, 2005). Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan (Lipsky, Soomer, dan Coote, 2005). 2

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI Sendi sinovial memiliki karakteristik sedemikian rupa sehingga memungkinkan jangkauan gerakan yang luas. Sendi sinovial diklasifikasikan berdasarkan jangkauan gerakan atau berdasarkan bentuk bagian sendi dari tulang yang terlibat (Waugh A and Grand A, 2001).

Gambar 1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial. (1) periosteum, (2) lapisan fibrous terluar dari kapsul, (3) lapisan sinovial bagian dalam dari kapsul, (4) lemak dan jaringan lunak longgar, (5) celah artikular, (6) kartilago, (7) tulang, (8) bare area (Soomer, dkk. 2005).

Setiap jenis sendi sinovial memiliki karakteristik yang sama, yaitu: (Waugh A and Grand A, 2001) a. Kartilago hialin Bagian tulang yang bersentuhan pasti dilindungi oleh kartilago hialin yang menyediakan permukaan yang lembut dan cukup kuat untuk menyerap gaya tekan serta menahan berat tubuh. Lapisan kartilago memiliki ketebalan 7 mm pada orang muda dan semakin tipis dan rentan terhadap tekanan seiring dengan pertambahan usia. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan pada struktur sendi. Kartilago tidak diperdarahi tetapi menerima nutrisi dari cairan 3

sinovial. b. Ligamentum kapsuler Sendi dikelilingi dan ditutupi oleh jaringan fibrosa yang mengikat tulangtulang yang berkaitan. Jaringan tersebut cukup regang sehingga pergerakan dapat dilakukan tapi juga cukup kuat untuk dapat melindungi dari jejas. c. Membran sinovial Membran sinovial disusun oleh sel epitel dan berfungsi: Melapisi kapsul Menutupi bagian tulang di dalam sendi yang tidak ditutupi oleh kartilago sendi Menutupi seluruh struktur intrakapsuler yang tidak menyokong berat tubuh d. Cairan sinovial Cairan sinovial merupakan cairan kental dengan konsistensi menyerupai putih telur dan disekresikan oleh membran sinovial kedalam kavitas sinovial, dan berfungsi: Menyediakan nutrisi untuk struktur di dalam kavitas sinovial Mengandung fagosit yang mengeliminasi mikroba dan debris seluler Berfungsi sebagai lubrikan Mempertahankan stabilitas sendi Mencegah terpisahnya kedua ujung tulang yang berlengketan, seperti sedikit air yang terdapat diantara dua permukaan kaca e. Struktur intrakapsular lainnya Beberapa sendi memiliki struktur-struktur yang terdapat di dalam kapsul, tetapi berada di luar membran sinovial yang membantu mempertahankan stabilitas, contohnya bantalan lemak dan meniskus pada sendi lutut. Jika struktur tersebut tidak menyokong berat tubuh, biasanya struktur tersebut tidak ditutupi oleh membran sinovial f. Struktur ekstrakapsular 4

Ligamentum, yang bergabung dengan kapsul memberikan stabilitas lebih lagi pada kebanyakan sendi Otot atau tendon, juga menyediakan stabilitas. Selain itu otot dan tendon juga meregang melintasi sendi ketika terjadi pergerakan. Jika otot berkontraksi, otot tersebut akan memendek dan menarik dua tulang sehingga semakin berdekatan.

g. Suplai darah dan persarafan Saraf dan pembuluh darah yang melintasi sendi biasanya bertugas menyuplai kapsul dan otot yang menggerakkannya. V. PATOFISIOLOGI Artritis reumatoid adalah proses inflamasi kompleks yang merupakan hasil reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan proliferasi dari fibroblas sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di seluruh tubuh. Orang-orang yang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda klinik yang bermacammacam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam jaringan sinovial, proses inflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema dan proliferasi kapiler dan sel mesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit yang menghasilkan enzim lisosom dan proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik. Kemudian, dengan teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial, mediator ini dapat merusak kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses ini terus berlanjut dan tidak dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi atau terlihat ankilosis pada tulang (Cothran Jr RL and Matinez S, 2004). Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease, kolagenase dan enzimenzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan sinovial. 5

Proses ini diduga adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Kedua adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir panus, terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut (Carter dan Michael A,.2005) Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan patogenesis artritis reumatoid yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh produksi dari berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF- dan IL-1 juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang (Soomer, dkk. 2005). VI. DIAGNOSIS Diagnosis dari artritis reumatoid dengan anamnesis dan pemeriksaan yang dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Karakteristik pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis, sangat penting, karena hal tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat keberatan dari penyakit (Kent PD and Matteson EL. 2005). 1) Gambaran Klinis Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang bervariasi (Carter, Michael A, 2005) 1. 2. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 3. Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda 6

dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam 4. Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang. 5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi. 6. Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodulnodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. 7. Manifestasi ekstra-artikular; artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak. Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987.

Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the Classification of Rheumatoid Arthritis (Kent PD dan Matteson EL, 2005). 7

Kriteria 1.

Definisi Keka Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi, lamanya setidaknya 1 jam Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14 kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP), pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsofalangs (MTP)

kuan pagi hari

2.

Artrit is pada tiga atau lebih area sendi

3. is 4. is simetris 5. 6. pada tangan

Artrit sendi Artrit Nodu l-nodul reumatoid Seru m reumatoid

Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan, sendi MCP atau sendi PIP Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama pada kedua bagian tubuh Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya

7.

Perub radiografik ahan radiografik

tangan

dan

pergelangan

tangan

posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi

terlokalisasi yang tegas pada tulang. Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis, tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

2) Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis pada pasien dengan artritis reumatoid adalah penilaian standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan adanya gejala-gejala ekstra8

artikular seperti skleritis, nodul-nodul, garukan perikardial, efusi pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah (Kent PD dan Matteson EL, 2005). Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck, dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa silikon (Mettler, 2004).

Gambar 2 : Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan deformitas boutonniere, sering telihat pada artritis reumatoid lanjut (Cothran dan Matinez S, 2004).

3) Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis artritis reumatoid. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M (IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan dari faktor reumatoid bukan merupakan hal yang spesifik pada penderita artritis reumatoid. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5% pada serum orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan 9

usia, sebanyak 10-20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif memiliki faktro reumatoid dalam titer yang rendah (Lipsky dan Carter, 2005) Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang tidak spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit (Carter, 2005). Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita dengan artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat seseorang merasa kelelahan (Lipsky dan Carter, 2005). Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi, walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk artritis reumatoid. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC) meningkat mencapai 2000/L dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian, temuan ini tidak mendiagnosis artritis reumatoid (Lipsky, 2004).

4) Pemeriksaan Radiologi a. Foto Polos Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel (Carter,2004)

10

Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs (Brant WE dan Helms CA, 2007).

Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada pergelangan tangan (Berquist, 2007) 11

Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada tangan (Berquist, 2007) Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis (Eisenberg dan Johnson, 2003). b. CT Scan Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI (Tsou, 2011). CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki 12

kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang (Berquist,2007). c. Ultrasonografi (USG) Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan lokasinya yang dalam (Tsou, 2007).

Gambar 6 : Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada penderita artritis reumatoid (A) bidang longitudinal (B) bidang transverse. M, kaput metakarpal dan P, falangs (Wakefield RJ, 2004).

13

Gambar 7 : (A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi metakarpofalangs. (B) Sendi metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid. FP, bantalan lemak; M dan MC,kaput metakarpal; P, falangs; S, sinovitis (Wakefield RJ, 2004). Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional. Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan artritis reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk artritis reumatoid dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis reumatoid (Tsou, 2007). d. MRI Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid (Tsou, 2007).

14

Gambar 8: koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4, memperlihatkan erosi radial yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3. (Wakefield RJ, 2004). Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan tenosinovitis (Brant WE dan Helms CA, 2007).

VII. DIAGNOSIS BANDING 1) GOUT ARTRITIS Gout merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan akibat langsung dari pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan eksresi asam urat, sedangkan gout 15

sekunder disebabkan oleh pembentukan asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu (Carter, 2005) Pada artritis gout akut, terjadi pembengkakan yang mendadak dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarsofalangeal. Artritis bersifat monoartrikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan sejumlah leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan, alkohol, atau stres emosional. Sendi-sendi lain dapat terserang, termasuk sendi jari tangan, lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku (Carter, 2005).

Gambar 9 : Pembengkakan dan erosi pada sendi PIP-5 (Berquist, 2007). 2) OSTEOARTRITIS Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteorisasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini berkurang bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula 16

terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh artritis reumatoid yang terjadi lebih lama (Carter, 2005).

Gambar 10: Penyempitan celah sendi medial yang asimetrik (Berquist, 2007).

Tabel 2: Perbandingan artritis reumatoid dengan diagnosa banding berdasarkan temuan radiologi (Cothran Jr RL dan Matinez S,2004). Gambaran Radiologi Soft tissue swelling Subluksasi Artritis Reumatoid Periartrikular, simetris Ya Gout Esentrik, tophi Tidak biasa 17 Osteoartritis Intermitten, Kadang-kadang tidak

sejelas yang lain

Mineralisasi Kalsifikasi Celah sendi

Menurun periartrikular Tidak Menyempit

di

Baik Kadang-kadang pada tophi Baik hingga menyempit Punched dengan out garis

Baik Tidak Menyempit Ya, intraartikular Ya Bilateral, simetri pada

Erosi

Tidak

Produksi tulang Simetri

Tidak Bilateral, simetri Proksimal distal ke

sklerotik Menjalar ke tepi korteks Asimetri Kaki,

Lokasi

pergelangan kaki, Distal ke proksimal tangan dan siku Pembentukan kristal Seagull appearance pada interfalangeal sendi

Karakteristik membedakan

yang

Poliartrikular

VIII. PENATALAKSANAAN Tujuan terapi dari artritis reumatoid adalah (1) mengurangi nyeri, (2) mengurangi inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan fungsi sendi, dan (5) mengontrol perkembangan sistemik (Lipsky dan Carter, 2005). Adapun penatalaksanaan dari artritis reumatoid adalah sebagai berikut: 1. Obat-obatan a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID) Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat sintetase 18

prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin (Carter, 2005). Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan artritis reumatoid. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan ini memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-piretik (Lipsky, 2004). b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas, Dpenicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini memberikan beberapa karakteristik (Lipsky, 2004). Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak dapat mengendalikan artritis reumatoid. Beberapa obat-obatan yang telah disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs Administration untuk dipakai sebagai obat artritis reumatoid. Tujuan pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat kemajuan penyakit (Carter, 2005). 2. Terapi glukokortikoid Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi simptomatik pada penderita artritis reumatoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi tulang (Lipsky, 2004). 3. Operasi Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita artritis 19

reumatoid dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun artroplasti dan penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan mengurangi disabilitas (Lipsky, 2004). IX. PROGNOSIS Beberapa tampakan klinis pada pasien artritis reumatoid nampaknya memiliki nilai prognostik. Remisi dari aktivitas penyakit cenderung lebih banyak terjadi pada tahun pertama. Jika aktivitas penyakit berlangsung lebih dari satu tahun biasanya prognosis buruk. Wanita kulit putih cenderung memiliki sinovitis yang lebih persisten dan lebih erosif dibanding pria (Lipsky, 2004) Harapan hidup rata-rata orang dengan artritis reumatoid memendek 3-7 tahun dari orang normal. Peningkatan angka mortalitas tampaknya terbatas pada pasien dengan penyakit sendi yang lebih berat, sehubungan dengan infeksi dan perdarahan gasrointestinal. Faktor yang dihubungkan dengan kematian dini mencakup disabilitas, durasi dan tingkat keparahan penyakit, penggunaan glukokortikoid, umur onset, serta rendahnya status sosio-ekonomi dan pendidika (Lipsky, 2004).

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Lipsky, Peter E. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper LK, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, and Jameson JL, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.1968-76 2. Kent PD and Matteson EL, editors. Clinical Feature and Differential Diagnosis. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.11-23 3. Calleja, Michele. Rheumatoid Arthritis, Spine. [Online]. 2009. [cited 2011 March 4. 5. 3]:[2 screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/398955-overview Snaith, Michael L. ABC of Rheumatology 3rd ed. London: BMJ Books; 2004.p.50-5 Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal S. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art Imaging, Image Interpretation, and Clinical Implications. Austria: RadioGraphics; 2005.p.381-398 6. 7. 8. 9. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5 Coote A and Haslam P, editors. Crash Course Rheumatology and Orthopaedics 1st ed. New York : Mosby; 2004.p.51-9 Waugh A and Grand A, editors. Rose and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Illness 9th ed. Edinburg: Churchill Livingstone; 2001.p.414-5 Cothran Jr RL and Matinez S, editors. Radiographic Findings. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.80-9 10. 11. Carter, Michael A. Arthritis Reumatoid. Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1385-91 Mettler , Fred A. Essentials of Radiology 2 nd ed. New York: Elsevier Saunders; 2004.p.310-1 21

12. 13. 14.

Brant WE and Helms CA, editors. Fundamentals of Diagnostic Radiology 2nd ed. New York: Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.1135 Berquist, Thomash H. Musculoskeletal Imaging Companion 2 nd ed. New York: Lippicott Williams & Wilkins; 2007.p.803-6 Tsou, Ian YY. Rheumatoid Arthritis, Hands. [Online]. 20010. [cited 2011 March 3]:[3 screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/401271-overview

15.

Wakefield RJ, Conaghan PG, and Emery P, editors. Ultrasonography and Magnetic Resonance Imaging for Diagnosis and Managenet. In: St.Clair EW, Pisetsky DS, and haynes BF, editors. Rheumatoid Arthritis 1 st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.98-104

16. 17.

Carter, Michael A. Gout Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1402-6 Carter, Michael A. Osteoarthritis. Dalam: Price, SA and Wilson LM, editors. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2005.hal.1380-3

22

Anda mungkin juga menyukai