Anda di halaman 1dari 4

MIMPI MAREL

Marel kembali bercerita tentang mimpinya kepadaku. Ia memang sangat percaya kepada mimpi. Dan aku sudah paham itu. Ia menganggap bahwa mimpi pasti akan menjadi kenyataan.

Aku bermimpi seorang pangeran tampan menjemputku dari panti asuhan ini dengan menunggang kereta kuda dan. Dan seterusnya. Ku rasa mimpi Marel kali ini begitu berarti baginya. Ia pun menjadi sering melamun menatap ke luar jendela kamar dengan tatapan penuh harap. Mungkin, ia terlalu percaya pada mimpinya.

Tapi, bukankah mimpi Marel kali ini begitu mustahil?Marel. Ia memang gadis cantik dan manis. Ia juga baik. Ia satu-satunya sahabatku di panti asuhan ini. Tapi, untuk yang satu ini kurasa.

Ibu panti pernah bercerita, suatu malam yang damai dan hening ia mendengar suara tangis bayi di depan pintu panti ini. Memang, ini bukan yang pertama kalinya ibu panti mendengar suara tangis bayi. Anak-anak yang tidak diinginkan kehadirannya seperti kami memang selalu di buang ke panti,bukan?Tapi, menurut ibu panti suara tangis bayi ini begitu berbeda. Perlahan ibu panti membuka pintu. Ia begitu terkejut melihat dua bayi disana. Ia lihat jalanan sekitar, tak ada suara kendaraan maupun langkah kaki manusia. Begitu tenang. Hanya angin yang perlahan berhembus. Ibu paruh baya itu kembali terkejut saat melihat satu diantara dua bayi itu hanya memiliki setengah kaki saja. Waktu itu, bayi tersebut mengenakan kain sutra dan terdapat beberapa baju bayi yang sengaja di tinggal oleh si pembuang bayi itu. Dan satu diantaranya hanya terbungkus dengan kain jarik. Tapi meski bayi itu tak bersutra,tubuhnya lengkap. Tak ada cacat sedikitpun. Ibu panti pun mulai merawatnya. Yah, kedua bayi itu adalah aku dan Marel.

Kita tumbuh bersama disini. Saat kita masih kecil, setiap pagi aku akan mengepang rambutnya yang lurus hitam nan panjang dan begitu pun sebaliknya. Bahkan teman-teman panti kami yang lain menjuluki kami anak kembar. Anak kembar. Tak tahu mulai kapan manusia yang jauh dari kelakar itu menjuluki kami.

Kini, usia kami sudah dibilang dewasa. Tapi, hingga detik ini tak ada orang yang sudi mengadopsi kami. Mengapa? Bahkan Sari yang tak lebih pintar dan cantik dari aku dan Marel telah diadopsi. Apakah kami tak layak memiliki orang tua? Atau, kami memang di takdirkan untuk selamanya membusuk di tempat penuh keluh ini? Bahkan aku kini telah sungkan untuk sekedar meminta ini atau itu kepada ibu panti. Apakah begini selamanya nasibku?

Mimpi Marel

Suatu malam kelam, Marel kembali bermimpi. Ia bermimpi jika pangeran dalam mimpinya membawanya pergi. Pangeran dalam mimpinya itu membawanya ke sebuah pusara. Kini Marel tak dapat mengartikan mimpinya. Sudah ku sarankan padanya agar tak percaya kepada mimpi. Tapi ia selalu berdalih, jika mimpi adalah awal dari kehidupan dan mimpi itu akan menjadi kenyataan. Tapi Marel, bukankah mimpi hanyalah bunga tidur semata? Marel kembali diam dalam lamunannya.

Seminggu berlalu dan Marel masih saja larut dalam lamunan panjangnya. Ia semakin gelisah. Sudah berulang kali ku katakan padanya, mimpi hanyalah mimpi. Mimpi hanyalah fantasi sesaat dan sudah juga ku peringatkan agar ia tak terlalu fanatic dengan mimpinya itu.

Aku teringat peristiwa 5 tahun silam. Saat Marel bermimpi ibunya akan menjemputnya. Setiap pagi hingga menjelang matahari terbenam, ia menghabiskan waktunya di pelataran panti. Ibu panti yang cemas menegur Marel agar tak terlalu percaya pada mimpinya. Tapi sikap Marel malah semakin menjadi ketika sebulan kemudian tak ada seorang pun yang datang menemuinya. Ia menjadi sering menangis saat sebagian besar orang telah lena. Bahkan ia hampir mati sia-sia. Bunuh diri. Tapi, kini Marel sahabatku telah menjadi orang yang lebih tegar. Lebih kuat. Tangguh.

Meskipun begitu, aku takut Marel akan mengulang perbuatan bodohnya. Bunuh diri. Aku takut kehilangan Marel. Dia sangat berarti bagi hidupku.

Kuakui, mimpi Marel memang tak jarang menjadi kenyataan. Saat ia bermimpi mendapatkan kartu pos. Dan, terjadilah. Seminggu kemudian Marel mendapatkan kartu pos dari sahabat penanya yang telah lama tak mengirim kartu pos. Ku dengar dari Marel, sahabat penanya itu seorang lelaki yang baik, dan tampan. Ia sedang menimba ilmu di kota pelajar. Dan masih banyak lagi mimpi Marel yang telah menjadi kenyataan.

Marel. Ia memang sudah dewasa. Lahir dan batin. Tapi, kedewasaannya tak mampu membuat keyakinan atas mimpinya menurun. Bahkan semakin menjadi. Ia semakin fanatik pada mimpinya. Menganggap mimpi adalah segalanya.

Marel yang kini termenung menerawang ke luar jendela bukan Marel yang dulu lagi. Ia kini semakin menjadi gadis pendiam, pelamun dan bahkan bicaranya pun makin ngawur-ngelantur. Ia selalu menceritakan pangeran dalam mimpinya setiap ku tanya apa yang ia pandang di luar jendela. Selalu, selalu pangeran dalam mimpinya. Aku kini

Mimpi Marel

mulai jenuh melihat sikap Marel. Jadi, kubiarkan saja ia begitu, berbuat sesuka hatinya. Asalkan ia merasa bahagia walaupun sesungguhnya itu kebahagiaan yang hampa.

Hari-hari silih berganti. Marel makin tak karuan. Kini sebulan sudah berlalu. Empat hari lagi Marel genap berusia 20 tahun. Sebenarnya aku ingin memberinya sebuah kejutan kecil. Tapi, di sisi lain aku takut membuatnya semakin keruh.

Saat aku menghampirinya, tiba-tiba ia berkata,Shal,ingatkah ketika aku bercerita padamu tentang mimpiku saat kita masih kelas 3 SD?

Mimpi apa? Aku telah lupa. Begitu banyak mimpinya yang ia ceritakan padaku. Tentang ibunya, asalusulnya, paku di halaman, kematian teman kami, kartu pos, masa depanku, dan yang terakhir ku ingat mimpi tentang pangerannya. Dan lalu apa lagi? Aku sungguh tak memiliki daya ingat yang kuat.

Tentang hidupku yang hanya 20 tahun?Masih ingat?Tanya Marel

Oh, mimpi konyol itu? Untuk mimpi yang satu itu sebaiknya tak usah kau percayai. Itu tak mungkin menjadi kenyataan.

Yah, ku kira kau ada benarnya. Aku akan bertahan hidup disini menunggu pangeranku membawaku pergi. Lalu, aku dan pangeranku akan hidup bahagia selamanya. Betul,kan?

Marel, apakah kau kini telah menyadari kebodohan atas keyakinanmu itu?

Marel jadi berubah. Ia tak lagi menatap menerawang ke luar jendela dengan pandangan yang kosong. Kini, ia menyibukkan diri dengan melukis dan,dan, menulis surat, surat cinta. Yah, kurasa yang Marel tulis itu sepucuk surat cinta. Karena, kertas beramplop merah muda itu diberinya parfum.

Tuhan, lama kelamaan aku merasa sikap Marel malah membuatku bingung. Soal lukisan-lukisannya, suratsurat yang melimpah ruah tak karuan di kamarnya itu, dan mimpi Marel tentang usianya.

Malam ini, Marel akan genap berusia 20 tahun. Tapi, seharian ini aku tak melihat Marel keluar dari kamarnya. Mungkin aku terlalu sibuk menyiapkan kejutan untuk malam ini.

Mimpi Marel

Dengan kue tart di tangan, bersama semua penghuni panti asuhan ini aku member kejuten padanya. Mala mini pasti Marel sudah tertidur pulas di kamarnya. Janggal. Saat kubuka pintu kamarnya, ternyata pintu kamarnya tak dikunci. Marel selalu mengunci kamarnya setiap malam.

Kamarnya gelap. Dalam hati ku bertanya, bukankah Marel tak bisa tidur tanpa cahaya? Marel, kau sungguh membuatku bingung. Saat salah seorang anak asuh menyalakan lampu, terlihat seorang gadis telah tergantung terbujur kaku. Ia mengenakan gaun putih. Marel..

Seketika seisi ruangan tersentak dan tanpa terasa kue tart di tanganku terjatuh begitu saja.

Marel, hal bodoh apa yang kau lakukan? Marel, aku tak rela jika kau mati dengan cara seperti ini..

Seminggu setelah kepergian Marel, ada seorang lelaki yang datang. Ia tampan. Namanya Rega. Ia mengaku sebagai teman Marel. Tapi, dalam benakku, lelaki itu tak asing lagi. Aku sering melihatnya. Tapi dimana??

Tuhan, betul. Ia adalah lelaki dalam lukisan Marel. Seketika kuambil lukisannya dan surat yang saat itu masih tergeletak berserak di kamar Marel. Dan, semua itu- lukisan dan surat surat itu memang untuknya..

Walau mereka tak saling jumpa, tapi kekuatan cinta mereka begitu kuat.

Mengapa pangeran Marel datang terlambat? Aku begitu menyesal. Sahabat macam apa aku ini? Aku tak bisa berbuat sesuatu untuk Marel yang ku akui sebagai sahabat. Aku marah, pada diriku sendiri dan juga Marel. Teganya kau menyindirku dengan cara yang begitu menyakitkan?

Marel, pangeranmu telah datang, andai kau mau sedikit bersabar, pasti kau kini bahagia dengan pangeranmu. Marel, tak jarang tangisan pilumu terdengar olehku. Suaramu masih bisa kudengar hingga saat ini. Yah, ia menghantuiku kemana ku pergi. Hingga akhirnya kuterpasung dalam ruangan sempit dan kotor ini tertawa bersamamu berkelakar tak tertakar. ~

Mimpi Marel

Anda mungkin juga menyukai