Anda di halaman 1dari 3

Konsep Wujud Menurut Mulla Shadra dan Implikasinya Terhadap Epitemologi Ilmu Pengetahuan Latar Belakang Masalah Konsep

wujud atau existence (being [Inggris]; Etre [Prancis]; Sein [Jerman]) dalam pengertian yang Ada merupakan permasalahan penting sebagai objek sekaligus subyek pembahasan utama dalam kajian filsafat. Darinya terurai dua cabang filsafat utama; ontologi (metafisis) dan epistemologi berdasar pada bagaimana wujud dipahami dan dipersepsikan. Salah satu problem enigmatik berkaitan dengan konsep wujud adalah apakah ia sekedar ungkapan verbal yang dimiliki oleh wujud-wujud partikular ataukah realitas yang sama-sama dimiliki oleh wujud-wujud partikular. Umum dikenal bahwa kaum Asyariyah menganggap istilah wujud hanyalah ungkapan verbal yang digunakan bagi pencipta dan ciptaan, jika tidak, menurut mereka akan ada suatu aspek yang sama-sama dimiliki keduanya dan itu berlawanan dengan gagasan transendensi Tuhan. Berbeda dengan argumen Asyariyah, aliran filosof paripatetik mengatakan bahwa yang menjadi dasar bagi keberadaan alam eksternal adalah wujud. Akan tetapi wujud tersebut satu sama lain berbeda atau tabayun (diversity). Zat entitas-entitas di alam eksternal satu sama lain berbeda. Persamaan wujud tidak terjadi di alam eksternal secara hakiki karena zat di antara entitas-entitas yang ada berbeda secara totalitas. Persamaan di antara entitas yang ada di alam eksternal hanya terjadi di alam mental saja. Konsekuensinya bahwa antara wujud substansi dan wujud aksiden, dan juga antara wujud wajib dan wujud mumkin tidak terdapat aspek kesamaan dalam zat dirinya sama sekali. Apabila persamaan wujud tersebut yang merupakan hasil dari abstraksi di luar zat entitas di alam eksternal- dipredikatkan pada realitas eksternal, predikat tersebut akan bergradasi, yaitu akan melazimkan intensitas kuat dan lemah. Karakter abstraksi pada wujud wajib lebih kuat dibandingkan dengan wujud mumkin. Sementara itu, Urafa meyakini bahwa wujud hanya memiliki satu objek di alam eksternal. Wujud hanya dinisbahkan kepada Al-Haqq secara zati. Asumsi ini bisa dibuktikan dengan menganalisis pernyataan-pernyataan yang digunakan Ibnu Arabi dalam beberapa tulisannya. Dalam beberapa tulisan Ibnu Arabi ditemukan bahwa wujud alam adalah Al-Haqq itu sendiri. Hal ini mengindisikasikan bahwa wujud hanya bisa dinisbahkan pada Al-Haqq dan bukan pada yang lainnya. Sementara yang lain hanya merupakan manifestasi atau tajalli dari AlHaqq. Sayyid Haidar Amuli dalam kitabnya Naqd an-Nuqud fi al-Marifat al-Wujud

menjelaskan bahwa hakikat wujud tidak ada yang lain, kecuali Al-Haqq beserta kesempurnaanNya, sifat-sifat-Nya, dan kekhususan-Nya. Sementara itu mazahir-Nya (theophanic forms), alam dan ciptaan adalah perkara-perkara yang bersifat itibari (derivative) dan secara wujud adalah majazi. Pandangan terakhir yang harus dipertimbangkan adalah pandangan Mulla Hadi Sabzawari, filosof mutakhir madzhab Pahlawi yang banyak berbicara tentang wujud. Dengan tegas ia menolak argumen Asyariyah sebagaimana disebutkan di atas. Menurutnya dalam pernyataan Tuhan ada, yang dimaksud dengan ada bisa jadi non-wujud, sehingga kita menolak Tuhan, atau sesuatu selain yang kita maksudkan dalam pernyataan manusia ada, sehingga kita menolak kemampuan akal kita untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan. Karena kedua kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan, ada dalam kasus Tuhan harus mempunyai makna yang sama dengan ada dalam kasus makhluk ini atau itu. Dengan demikian, wujud merupakan satu realitas yang memiliki tingkatan intensitas dan bukan banyak realitas yang darinya akal mengabstraksikan konsep Wujud. Terlepas dari perdebatan-perdebatan di atas, terdapat pula problem filosofis yang jauh lebih serius dan radikal. Artinya, jika berdebatan antara mutakallim, filosof dan urafa hanya masalah konsep dan realitas wujud, sementara mereka sama-sama meyakini tentang adanya realitas metafisik, saat ini tantangan-tantangan filosofis yang dihadapi kaum intelektual Muslim berasal dari para filosof dan ilmuwan yang telah kehilangan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat metafisik. Bahkan, mereka juga menyebarluaskan pandangan-pandangan antimetafisik dengan cara menyerang fondasi-fondasi metafisik yang dikatakannya sebagai ilusi dan tidak bermakna. Tantangan filosofis yang paling berbahaya terhadap dunia metafisik adalah yang ditimbulkan oleh positivisme. Menurut pandangan positivis, satu-satunya wujud riil adalah yang positif yakni yang bisa diobservasi melalui indra. Segala wujud yang berada di balik dunia fisik (metafisik) hanyalah hasil spekulasi pikiran manusia yang tidak memiliki realitas ontologis di luar kesadaran manusia. Istilah positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1789-1857). Istilah itu berasal dari kata positif. Dengan kata positif ini, Comte membedakan antara yang nyata ( reel) dan yang khayal (chimerique), yang pasti (certitude) dan yang meragukan (lindecision), yang tepat (le precis) dan yang kabur (le vague), yang berguna (lutile) dan yang sia-sia (loiseux), serta

yang mengklaim memiliki kasahihan relatif (le relative) dan yang mengklaim memiliki kasahihan mutlak (labsolut). Dengan isitlah positif ini Comte ingin memisahkan ilmu pengetahuan dari metafisika. Comte ingin melenyapkan penyelidikan filosofis yang tak kunjung usai dan karenya tidak menghasilkan makna apa-apa dan sia-sia, seperti yang dilakukan metafisika. Karena itu, positivisme membatasi penyelidikan hanya pada fakta. Tetapi fakta di sini tidak diselidiki secara ontologis.

Anda mungkin juga menyukai