Anda di halaman 1dari 2

Kakawin Sutasoma dalam Sejarah

Dalam konteks sejarah, Kakawin Sutasoma tidak berdiri sendiri. Ada pendahulunya,
misalnya Kakawin Arjunawiwaha dan Mahabharata yang ditulis Pu Kanwa, yang juga gubahan
dari karya Valmiki. Kakawin memiliki pengaruh yang kuat dalam pola pikir dan perilaku
masyarakat Jawa. Filsafat hidup yang terkandung dalam Kakawin Mahabarata misalnya, bahwa
kebenaran yang dibawakan Keluarga Pandawa akan selalu menang terhadap kejahatan yang
direpresentrasikan oleh Kurawa seringkali dijadikan acuan hidup bermasyarakat. Kurang lebih
sama seperti munculnya kakawin Mahabharata yang "dipesan" oleh Raja Erlangga, kehadiran
kakawin Sutasoma juga atas "pesanan" Raja Hayamwuruk.

Apa yang membuat Raja Hayamwuruk memesan Pu Tantular untuk menuliskan kisah
Sutasoma dengan bumbu sastra setempat? Pada saat itu, Hayamwuruk sebagai raja Majapahit
mengalami kekuatan saling bertemu antara agama Siwa dan Buddha. Agar dua kekuatan itu
tidak saling merusak yang akibatnya akan menimbulkan situasi yang tidak menguntungkan bagi
negara besar seperti Majapahit, kakawin ini disusun dan disebarluaskan. Produksi teks Kakawin
Sutasoma yang disponsori oleh kerajaan Majapahit ini besar kemungkinan dimaksudkan agar
tercipta toleransi antaragama Siwa dan Buddha.

Tetapi apakah dalam kenyataannya terjadi yang demikian itu? Menurut pandangan Prof.
Kern, dalam sejarahnya kedua agama ini memang tumbuh dan berkembang bersama, yang
kemudian diistilahkan "vermenging" (percampuran). Namun kemudian menjadi pembicaraan
antara Prof. Krom, Rasser, dan Zoetmulder hingga memunculkan istilah "sinkretisme" atau
"blendeing" (perpaduan, peleburan) antara Siwaisme dan Buddhisme. Namun istilah ini oleh
beberapa sarjana lain dianggap menyesatkan karena dengan munculnya data lebih banyak
mengenai kebudayaan kuno Jawa Timur ternyata bahwa kedua agama, Siwa dan Buddha, tidak
berbaur dalam keseluruhan sistemnya. Siwaisme dan Buddhisme pada prakteknya masih selalu
merupakan agama yang terpisah, juga ditunjukkannya bahwa Buddha terutama dalam Kakawin
Sutasoma dianggap lebih unggul dari pada Siwa. Dalam teks Kakawin Sutasoma, memang
demikianlah pada akhirnya. Siwa yang menitis pada Porusadha "dikalahkan" oleh sifat
pengorbanan Sutasoma yang tak lain adalah Sang Jina, Buddha itu sendiri.

Soewito Santoso dalam buku "Sutasoma" tahun 1975 melakukan penelitian cukup
mendalam atas teks Kakawin Sutasoma dengan menyatakan bahwa Pu Tantular secara jelas
menggambarkan satu seri pertempuran antar dewa-dewa, yang puncaknya adalah perang
tanding antara Sutasoma dan Purosadha. Tanpa keraguan, Pu Tantular bermaksud
menunjukkan kepada pembaca siapakah pemenang yang sebenarnya. Dalam teks itu, terdapat
4 dewata yang penting, yaitu: Brahmà, Wisnu, Siwa, dan Buddha. Dewa-dewa tersebut
bereinkarnasi ke dunia dalam wujud: Dasabahu, Jayawikrama, Porusadha dan Sutasoma.
Pertempuran antara Porusadha dengan Jayawikrama dan dalam pertempuran antara
Porusadha dengan Dasabahu, keduanya mati terbunuh. Porusadha mencapai puncak
kemenangan, namun saat berhadapan langsung dengan Sutasoma, akhirnya ia kalah. Semua
yang gugur di medan pertempuran dihidupkan kembali, segala kehancuran dan kerusakan
direhabilitasi kembali, dan kekuatan Porusadha tidak berdaya untuk membunuh Sutasoma.
Inilah yang secara agung ditulis oleh Pu Tantular bahwa Buddha unggul terhadap Siwa dalam
hal keunggulan kasih sayang dan cinta (ciri utama dari Buddhisme) mengatasi kekerasan.
[*dikutip dari Kebhinnekaan dalam Sutasoma oleh Amang Suramang]

Sumber:
http://www.indonesiaseni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=745:kebhinekaa
n-dalam-sutasoma&catid=55:resensi-buku-sastra&Itemid=137

Anda mungkin juga menyukai