Anda di halaman 1dari 24

Referat

CEDERA KEPALA BERAT

Oleh: Aulia Kamal Anshari Derevie Hendryan Moulina Nurfadhilah Prita Kartika Sari Rahmi Nilifda 06120184 06120021 06120016 07120076 07120026

Pembimbing: Dr. Syaiful Saanin, Sp.Bs

SMF BEDAH RS. DR. M.DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2011

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Cedera Kepala Berat. Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik senior di Smf Bedah Rs. Dr. M.Djamil Padang Kedokteran Universitas Andalas. Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Syaiful Saanin selaku pembimbing referat. Penulisan referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 16 April 2011

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2 Insiden cidera kepala meningkat dari tahun ketahun seiring dengan meningkatnya mobilitas penduduk. Dibanding dengan trauma lainnya, cidera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama untuk petugas kesehatan yang berada digaris depan, di mana sarana diagnostik dan sarana penunjang untuk tindakan operasi tidak memadai.

1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas tentang definisi, anatomi dan fisiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis cedera kepala berat.

1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui definisi, anatomi dan fisiologi, klasifikasi, pathogenesis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis cedera kepala berat

1.4 Metode Penulisan Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada berbagai literature.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala 2.1.1 Anatomi Kepala A. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium (3,5). Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii (2,7). Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital
(5,8)

. Kalvaria

khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (3). B. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal
(5)

. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan

ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (3).

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media)
(3)

.
(3)

2. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang . Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis(5). Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (3). 3. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (5). C. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg
(8)

. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum (5). Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus
(8)

. Lobus frontal berkaitan dengan

fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (3,9). D. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial
(3)

. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan

dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari (11). E . Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) (3). F . Perdarahan Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Venavena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (5).

2.1.2 Fisiologi Kepala Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 10 mmHg
(8)

. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat

iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3). Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa

volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie
(3)

. Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari
(8)

cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup

. Aliran darah otak


(3,12)

(ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya . ADO dapat

menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO (3).

2.2 Definisi Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri
(6,13,14)

. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada

kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(15)

. Menurut David A Olson dalam artikelnya

cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala (16).

2.3 Epidemiologi

2.4 Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera Primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya

benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Gambar 1. Coup dan contercoup Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

2.5 Klasifikasi Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi (3,17). a) Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul
(3,17)

. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi

yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak (2). 2. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (3,17). b) Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu(1,8) : Komponen buka mata, disingkat E (eyes) dengan nilai : 4 : buka mata spontan 3 : buka mata dengan rangsang suara 2 : buka mata dengan rangsang nyeri 1 : tidak buka mata
Komponen Verbal, disingkat V (verbal) dengan nilai :
(3,17)

. Glasgow Coma Scale terdiri dari tiga komponen,

5 : orientasi baik, jawaban sesuai dengan pertanyaan 4 : terbentuk kalimat, tetapi tidak sesuai dengan pertanyaan 3 : ada kata, tetapi tidak terbentuk kalimat 2 : ada suara, dengan rangsang nyeri 1 : tidak ada suara, dengan rangsang nyeri
Komponen gerakan, disingkat M (motorik) dengan nilai :

6 : ikut perintah 5 : gerakan melokalisir nyeri, dengan rangsang nyeri 4 : gerakan menolak, terhadap rangsang nyeri 3 : gerakan fleksi abnormal, dengan rangsang nyer 2 : gerakan ekstensi abnormal, dengan rangsang nyeri 1 : tidak ada gerakan, dengan rangsang nyeri

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi (3,7,17,18): 1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat. Biasanya terjadi kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13, biasanya terjadi kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak. 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. c) Secara morfologi cidera kepala secara luas dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu : fraktura tulang tengkorak dan lesi intrakranial. 1. Fraktura tulang tengkorak Fraktura tulang tengkorak mungkin terjadi pada kubah atau basis tengkorak, dapat linier, berbentuk bintang, dan bisa tebuka atau tertutup. Retak dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT-scan dengan kondisi tulang untuk diagnosis. Adanya tanda klinis berupa periorbital ecchymosis, sering disebut hematoma kacamata (raccoon eyes), retroauricular ecchymosis (Battles sign), kebocoran cairan serebrospinal dan lesi N. VII menambah nilai diagnostik dari retak dasar tengkorak. Sebagai pedoman umum, depresi fragmen tulang melebihi ketebalan tulang, memerlukan tindakan operasi. Fraktura terbuka atau compound dengan hubungan langsung antara kulit kepala yang laserasi dan permukaan otak, karena adanya robekan dura, memerlukan tindakan operasi segera(1). Adanya fraktura tulang tengkorak, tidak dapat dianggap remeh, oleh karena berhubungan dengan kekuatan yang menyebabkan retaknya tulang tengkorak. Fraktura linier kubah tengkorak meningkatkan kemungkinan perdarahan intrakranial sampai 400 kali pada penderita yang sadar, sementara 20 kali pada pasien komatous, dimana resiko perdarahan itu sendiri jauh lebih besar(1). 2. Lesi intrakranial. Lesi intrakranial dapat digolongkan dalam lesi fokal atau diffus, namun demikian kedua bentuk ini seringkali timbul bersamaan. Lesi fokal termasuk perdarahan epidural, subdural, dan kontusio (atau perdarahan intraserebral). Lesi diffus, pada umumnya dengan gambaran CT-scan yang normal tetapi memberi gangguan sensorium atau bahkan koma dalam. Berdasarkan dalam dan lamanya koma, lesi

diffus dapat digolongkan dalam konkusi ringan, konkusi klasik, dan diffuse axonal injury. a) Lesi Fokal Perdarahan epidural Perdarahan epidural terjadi di antara tulang dan duramater, biasanya berbentuk bikonveks atau lentikular. Paling sering berlokasi pada daerah temporal atau temporoparietal dan penyebab paling sering adalah robeknya a.meningea media oleh fraktura. Penyebab lainnya adalah perdarahan dari vena-vena diploika yang juga berhubungan dengan fraktura. Kadang-kadang dapat terjadi karena robeknya sinus venosus, khususnya pada daerah parietoksipitalis dan fossa posterior. Walaupun perdarahan epidural jarang (0,5% dari seluruh cidera kepala dan 9% diantaranya koma), seharusnya segera dilakukan diagnostik dan penanganan yang cepat. Bila ditangani dengan cepat, prognosisnya biasanya sangat baik karena kerusakan otak dibawahnya biasanya minimal. Luaran cidera kepala secara langsung berhubungan dengan status neurologis penderita sebelum operasi. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural jauh lebih banyak daripada perdarahan epidural (lebih kurang 30% dari cidera kepala berat). Biasanya terjadi oleh karena robeknya jembatan vena antara korteks dan sinus venosus, namun dapat juga terjadi oleh karena robekan arteri kortikal. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer, oleh karena itu kerusakan otak dibawahnya biasanya jauh lebih berat dan prognosis juga jauh lebih jelek dibandingkan perdarahan epidural. Tingginya mortalitas dapat diturunkan dengan tindakan operasi amat segera dan penanganan pemberian obat-obatan yang agresi. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio otak murni sering ditemukan. Frekuensi diagnosis meningkat seiring dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas CT-scan. Terlebih lagi, kontusio sangat sering bersamaan dengan perdarahan subdural. Daerah yang paling sering terkena adalah lobus frontalis dan lobus temporalis, walaupun demikian dapat mengenai seluruh bagian otak termasuk otak kecil dan batang otak. Perbedaan yang jelas antara kontusio dan perdarahan intraserebral masih kabur. Kontusio

dapat dalam periode jam atau hari, menghilang atau berubah menjadi perdarahan intraserebral.

b) L e s i

D i f f u s

Gambar 2. Lesi intrakranial

b) Lesi Diffus Merupakan tipe cidera yang paling sering ditemukan. Terdiri dari tiga tipe yaitu : Konkusi ringan, dimana penderita tetap sadar, tetapi terjadi kehilangan fungsi neurologis sesaat. Cidera inilah yang paling umum, tetapi karena derajatnya ringan, sering tidak dilaporkan. Bentuk sedang dari konkusi berupa kebingungan dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini sembuh sempurna dan tidak berhubungan dengan gejala sisa yang berat. Bentuk yang lebih berat menyebabkan kebingungan disertai amnesia baik retrograd maupun antegrad

Konkusi klasik, adalah cidera dimana penderita kehilangan kesadarannya. Pada kondisi ini selalu disertai dengan beberapa derajat dari amnesia pascatrauma, dan lamanya amnesia merupakan ukuran yang baik untuk menentukan beratnya cidera. Kehilangan kesadaran sementara dan reversibel. Pada defenisi terdahulu, penderita kembali sadar sepenuhnya dalam 6 jam, namun beberapa penderita sadar lebih awal. Banyak penderita dengan konkusi klasik tidak menderita sekuele selain amnesia yang berhubungan dengan trauma, tetapi penderita lainnya mungkin mengalami defisit neurologis untuk waktu yang lama. Termasuk kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia dan depresi. Ini dikenal sebagai post-concussion syndrome dan merupakan suatu gangguan yang bermakna. Diffuse axonal injury (DAI), adalah istilah yang digunakan untuk koma pascatrauma dalam jangka waktu lama yang tidak berhubungan dengan lesi massa atau iskemia. Penderita mengalami koma dalam dan dalam waktu yang berkepanjangan. Penderita sering kali memperlihatkan tanda deserebrasi atau dekortikasi dan seringkali dengan cacat berat, bila mereka dapat bertahan hidup. Penderita-penderita ini sering kali memperlihatkan gangguan fungsi autonom, seperti hipertensi, hiperhidrosis, dan hiperpireksia, yang pada mulanya disangka sebagai lesi primer batang otak. Membedakan antara DAI dan hipoksia batang otak tidaklah mudah dan mungkin terjadi secara bersamaan.

2.6 Diagnosis 2.6.1Anamnesis

2.6.2 Pemeriksaan Fisik dan neurologis Pemeriksaan tanda-tanda vital yang dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan
(6,27)

. Pengukuran tingkat keparahan

pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan sebagai standar internasional (6,26,28).

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (3,6,17) Glasgow Coma Scale Respon membuka mata (E) Buka mata spontan Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara Buka mata bila dirangsang nyeri Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang Kata-kata tidak teratur Suara tidak jelas Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon motorik (M) Mengikuti perintah Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3 Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala tidak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita (6,28). 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 4 3 2 1 Nilai

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala
(29,30)

. CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan

kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15(3). CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak (29,30,31). Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan scan tomografik terkomputerisasi
(6,30)

. Pada pasien cedera kepala berat, penundaan

transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (3).

Gambar 3. Epidural Hematom

Gambar 5. Subdural Hematom 2.8 Penatalaksanaan Penderita yang tergolong dalam cidera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Walaupun defenisi cidera kepala berat mencakup cidera otak secara luas, namun kesemua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi. A. Survei primer dan resusitasi Cidera otak kadang-kadang terjadi oleh karena faktor sekunder. Dalam studi kasus yang melibatkan 100 penderita dengan cidera otak berat, yang dievaluasi pada saat tiba di ruang gawat darurat, 30% hipoksemia, 13% hipotensif dan 12% anemia. Penderita yang datang dengan hipotensi, angka kematiannya lebih dari 2 kali dibanding penderita yang normotensi. Sedangkan pada penderita yang hipoksia sebagai akibat hipotensi, mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya pada penderita dengan cidera kepala berat. 1. Jalan nafas dan pernafasan Henti nafas sementara sering menyertai cidera kepala. Apneu berkepanjangan, mungkin penyebab kematian seketika ditempat kejadian. Yang paling penting segera dilakukan adalah intubasi endotrakeal dan pemberian ventilasi dengan 100% oksigen sampai kadar gas darah diperoleh. Hiperventilasi dapat dilakukan dengan hati-hati. Walaupun mungkin dapat memperbaiki

asidosis sementara dan menurunkan secara cepat tekanan intrakranial pada penderita dengan dilatasi pupil, namun tidak seluruhnya memberikan keuntungan. Bila dilakukan, sebaiknya Pco2 dipertahankan pada level 25 35 mmHg. 2. Sirkulasi Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama kemunduran pada penderita dengan cidera kepala. Pada penderita yang hipotensif, volume darah normal harus segera dikembalikan. Biasanya hipotensi bukan karena cidera otak murni kecuali pada stadium terminal bila terjadi kegagalan batang otak. Secara umum, penyebab hipotensi adalah kehilangan darah secara bermakna. Hal-hal lain mungkin karena cidera sumsum tulang belakang, kontusio jantung atau tamponade dan pneumotoraks tension sebagai penyebab lainnya. B. Survei Sekunder Penderita dengan cidera kepala berat sering mengalami cidera ganda. Pada satu seri penderita dengan cidera kepala, lebih 50% cidera sistemik yang memerlukan penanganan ahli lain(1). C. Pemeriksaan Neurologis Segera setelah status kardiopulmoner penderita stabil, pemeriksaan neurologis secara cepat dan teratur harus dilaksanakan. Dalam hal ini adalah pemeriksaan GCS dan respons pupil. Pemeriksaan refleks okulosefalik dan kalorik dapat ditunda sampai adanya ahli bedah saraf. Sangat penting melakukan pemeriksaan neurologis sederhana sebelum memberi sedasi atau menidurkan penderita. Oleh karena keadaan klinis penderita sangat penting untuk menentukan tindakan, diingatkan jangan memakai long-acting paralityic agents. Pemberian morfin 4 6 mg IV berulang, berguna untuk analgesia dan sedasi. Pada penderita yang koma, respons motorik terbaik memberikan nilai prognostik yang lebih akurat dibanding respons yang lebih buruk. Walaupun demikian untuk meengetahui kemajuan penderita, lebih baik melaporkan respons motorik terbaik dan terburuk. Dengan kata lain respons motorik kiri dan kanan dicatat terpisah. Pemeriksaan secara berkala diperlukan karena keragaman respons terjadi dengan berlalunya waktu. Pemeriksaan ukuran dan reaksi cahaya pupil sangat penting dilakukan pada pemeriksaan awal. Sebagaimana diketahui, herniasi lobus temporalis adalah dilatasi pupil ringan dan reaksi lambat terhadap cahaya. Dengan memberatnya herniasi, terjadi dilatasi pupil diikuti ptosis dan paresis m. rectus

medial dan otot-otot mata lainnya yang dipensarafi oleh N. III. Dilatasi pupil dan tak ada reaksi pupil bilateral, mungkin disebabkan perfusi otak yang kurang, atau sangat jarang oleh karena kerusakan N. III bilateral. D. Prosedur Diagnostik Pemeriksaan CT-scan seharusnya dilakukan secepat keadaan memungkinkan, idealnya dalam 30 menit setelah trauma. CT-scan juga diulang bila ada perubahan dalam status klinis penderita. Dalam pembacaan CT-scan, satu hal sederhana harus diikuti untuk menghindari penemuan yang salah. Kulit kepala mungkin bengkak atau adanya subgaleal hematoma pada tempat yang mengalami benturan. Tulang kepala yang retak nampak lebih jelas pada kondisi tulang, namun juga dapat terlihat pada kondisi jaringan lunak. Penemuan penting pada gambaran CT-scan ialah adanya hematoma intrakranial dan pergeseran garis tengah (efek massa). Pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih secara umum bermakna dan biasanya memerlukan tindakan operasi. Walaupun tidak selalu dapat dibedakan antara perdarahan subdural dengan epidural, namun gambaran epidural biasanya lentikular yang disebabkan perlekatan erat dura dengan permukaan dalam tulang tengkorak pada bagian sutura, yang mencegah meluasnya hematoma. Sebelum CT-scan ditemukan, ventrikulografi udara dan angiografi merupakan sarana diagnostik yang penting pada penderita komatous karena cidera kepala. Namun saat ini (terutama di Amerika) sangat jarang, mungkin tak pernah lagi dipergunakan untuk mendiagnosis cidera kepala. PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA. Pendekatan perawatan intensif pada cidera kepala berat berhasil menurunkan mortalitas dari sekitar 50% pada tahun 1970 menjadi 36% pada saat ini(2). Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah kerusakan sekunder terhadap otak yang sudah mengalami kerusakan primer. Prinsip utama, ialah bagaimana memberikan lingkungan yang optimal terhadap neuron yang cidera sehingga terjadi perbaikan yang mengarah kepada fungsi normal. Sebagai tambahan bagi tindakan fisiologis yang dapat memberikan lingkungan optimal terhadap sel otak, banyak

obat-obat baru yang secara klinis telah diuji pada cidera kepala berat. Namun demikian pemakaian obat-obat tertentu memerlukan konsultasi dengan ahli bedah saraf. a. Cairan intravena Cairan intravena diberikan untuk resusitasi dan menjaga agar penderita tetap normovolemia. Konsep dehidrasi yang diperkenalkan pada masa lalu, sekarang jauh lebih merugikan dibanding faedahnya terhadap penderita. Walaupun demikian, jangan memberikan cairan yang berlebihan. Secara khusus ditekankan, jangan memberikan cairan hipotonis, lebih jauh lagi, pemberian cairan glukose dapat menyebabkan hiperglisemia, yang sudah diketahui berbahaya bagi otak yang mengalami cidera. Oleh karena itu cairan yang dianjurkan adalah garam normal atau ringer laktat untuk resusitasi. Pemeriksaan kadar sodium dimonitor secara hati-hati. Hiponatremia berhubungan dengan edema otak, harus dicegah atau diterapi secara agresif. b. Hiperventilasi Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, hiperventilasi harus dilakukan secara hatihati. Hiperventilasi berfungsi menurunkan Pco2 dan menyebabkan konstriksi pembuluh darah otak. Penurunan volume intrakranial menolong untuk menurunkan tekanan intrakranial. Hiperventilasi yang agresif dan berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia otak karena vasokonstriksi yang berat yang justru menyebabkan penurunan perfusi otak. Pada masa kini hiperventilasi digunakan secara moderat dan jangka waktu terbatas yang dimungkinkan. Secara umum, dijaga agar Pco2 berada pada level 30 mmHg atau lebih. Level antara 25 dan 30 mmHg masih dapat diterima bila terjadi peninggian tekanan intrakranial. Namun demikian, segala cara harus dilakukan untuk mencegah hiperventilasi penderita dengan Pco2 dibawah 25 mmHg. c. Manitol Manitol 20% digunakan secara luas untuk menurunkan tekanan intrakranial. Dosis yang secara luas diterima adalah 1 g/kg berat badan secara bolus intravena. Dosis besar manitol tidak boleh diberikan pada penderita yang hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi kuat pemberian manitol adalah penderita komatous yang sebelumnya normal, normal pupil yang kemudian menjadi dilatasi tanpa atau dengan hemiparesis. Pada kasus ini diberikan dosis besar (1 g/kg) bolus intravena, cepat (5

menit) dan penderita segera dibawa untuk CT-scan ataupun langsung kekamar operasi. Manitol juga diindikasikan pada penderita dengan dilatasi pupil bilateral tanpa reaksi yang tidak hipotensif. d. Furosemida Obat ini digunakan bersama manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial. Diuresis dapat ditingkatkan dengan kombinasi kedua obat ini. Dosis yang diberikan antara 0,3-0,5 mg/kg berat badan intravena. e. Steroid Penelitian-penelitian terdahulu tidak menunjukkan adanya efek menguntungkan dari steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial ataupun memeperbaiki luaran cidera kepala berat. Oleh karena itu steroid tidak dianjurkan pada penanganan penderita dengan cidera kepala akut. f. Barbiturat Barbiturat efektif menurunkan takanan intrakranial yang tidak mempan dengan cara lain. Tidak boleh digunakan pada penderita hipotensif. Terlebih lagi, hipotensi dapat terjadi pada pemakaian obat ini, oleh karena itu tidak diindikasikan pada fase resusitasi. g. Antikonvulsan Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% dari semua penderita yang masuk rumah sakit dengan cidera kepala tertutup dan 15% pada cidera kepala berat. Tiga faktor utama yang berhubungan dengan terjadinya late epilepsy: (1) kejang yang timbul pada minggu pertama, (2) perdarahan intraserebral, dan (3) fraktura depresi. Penelitian terdahulu tidak menunjukkan adanya keuntungan yang bermakna pada pemberian antikonvulsan untuk pencegahan, namun demikian, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa phenytoin menurunkan insiden kejang pada minggu pertama trauma, tetapi tidak setelahnya. Studi tersebut nampaknya menyarankan menghentikan pemberian anti konvulsan pencegahan setelah minggu pertama. Diazepam atau lorazepam dapat digunakan untuk mengontrol kejang secara cepat. h. Obat-obatan lainnya. Dalam penelitian laboratorium telah banyak obat-obat yang dicoba untuk memperbaiki luaran cidera kepala. Pada percobaan pada tikus dengan cidera kepala buatan, pemberian MgSO4 dapat meningkatkan respons motorik(3) dan dapat menurunkan efek neurotoksis

dari glutamat(2). Juga dilaporkan pemakaian propofol untuk sedasi disertai pengaturan tekanan intrakranial pada penderita yang dioperasi, memberi hasil yang baik dan aman(4). Pemberian obat-obatan ensefalotropik, oleh beberapa penulis dilaporkan dapat memberikan perbaikan terhadap luaran cidera kepala. Pada satu studi kasus yang melibatkan 61 penderita dengan koma pasca trauma kepala, pemberian piracetam, walaupun tidak berdampak terhadap mortalitas, namun dapat memperbaiki derajat kesadaran pada penderita yang hidup(9). 2.9 Komplikasi Komplikasi Cedera Kepala Berat : 1. Kebocoran cairan serebrospinal 2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. 3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis. 4. Kejang pasca trauma 2.10 Prognosis Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS sewaktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar. skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal sebesar 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri, yang bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera Primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan

neurokimiawi. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi. Berdasarkan mekanisme terbagi menjadi cedera kepala tumpul dan cedera tembus. Untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma, yaitu Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat, cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13, cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15. CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala. CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15. CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak
(29,30,31)

. Selain itu juga dapat

digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan scan tomografik terkomputerisasi

3.2 Saran Seorang dokter harus memiliki kompetensi untuk dapat mengetahui, mendiagnosis dan mengenal pemeriksaan radiologi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis.

Anda mungkin juga menyukai