Anda di halaman 1dari 31

KASUS BEDAH ANAK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 15 TAHUN DENGAN PERITONITIS GENERALISATA e.c. APPENDISITIS PERFORASI

Periode : 12 Agustus 14 Agustus 2013

Oleh: Caesaria Christ Haryadi Pembimbing: dr. Suwardi, Sp. B., Sp. BA. G99122025

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

2013

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Nama Ayah Pekerjaan ayah Nama Ibu Pekerjaan ibu Agama Tanggal Masuk Tanggal Periksa No. RM II. ANAMNESIS Anamnesis diperoleh dengan cara autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap orang tua pasien dilengkapi dengan rekam medis rumah sakit A. Keluhan Utama Nyeri seluruh lapang perut B. Riwayat Penyakit Sekarang 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri perut dirasakan di daerah ulu hati dan lama-lama dirasakan ke kanan bawah, nyeri dirasakan terus menerus dan seperti ditusuk-tusuk. Panas (+), mual (+), muntah (+). BAB dan BAK normal. Oleh keluarga, pasien dibawa ke bidan dan diberi obat-obatan. : An. G : 15 tahun : Laki-laki : Tn. S. : Wiraswasta : Ny. P : Ibu rumah tangga : Islam : 9 Agustus 2013 : 12 Agustus 2013 : 01211142

1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri di seluruh lapang perut. Karena tidak ada perubahan pasien dibawa ke RS dr. Moewardi C. Riwayat penyakit dahulu Riwayat diare Riwayat asma Riwayat sakit serupa Riwayat mondok D. Riwayat penyakit keluarga Riwayat alergi obat/makanan : disangkal Riwayat sakit serupa Riwayat mondok E. Anamnesa sistemik 1. 2. Sistem saraf pusat Mata : pusing (-), kejang (-), kaku kuduk (-), nyeri kepala(-). :pandangan berkunang-kunang (-), ikterik (-), pandangan dobel (-), pandangan berputar (-), pandangan kabur(-). 3. 4. 5. 6. 7. Hidung Telinga Mulut Tenggorokan Sistem respirasi : mimisan (-), pilek (-). :pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-). : sariawan (-), luka pada sudut bibir(-), gusiberdarah(-), mulut kering (-). : sakit menelan (-), sulit menelan (-), suara serak (-). : sesak napas (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-) : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

8. 9.

Sistem kardiovaskuler :dada ampeg (-),sesak napas saat beraktivitas (-), berdebar-debar (-) Sistem gastrointestinal : mual (+), nafsu makan berkurang (-), muntah (+), sakit perut (+), susah BAB (-),sebah (-), nyeri ulu hati(+),kembung(-)

10. 11. 12. 13. 14. 15.

Sistem muskuloskeletal : lemas(-), nyeri sendi (-) dan kaku sendi (-). Sistem genitourinaria : nyeri saat kencing (-),darah (-),sulit memulai kencing (-), kencing sedikit (-). Ekstremitas atas Ekstremitas bawah : luka (-),ujung jari terasa dingin (-),bengkak (-), : luka (-),ujung jari terasa dingin bengkak (-). Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), mengigau (-), emosi tak stabil (-), menggigil (-). Sistem integumentum : kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-). (-),

III. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan umum B. Vital sign Tekanan darah Nadi RR suhu C. Kepala D. Mata : compos mentis, gizi kesan : : 120/80 mmHg : 82x/menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup : 20X/menit : 380 C : mesocephal : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), gerak bola mata (N/N) E. Telinga F. Hidung : sekret (-/-), darah (-/-) : bentuk asimetris, napas cuping hidung (-), secret (-)

G. Mulut H. Leher I. Thorak J. Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi K. Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi L. Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi M. Genitourinaria N. Muskuloskletal

: sianosis (-), mukosa bibir dan mulut kering (-), T1-T1 : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-) : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), retraksi (-) : ictus cordis tidak tampak. : ictus cordis tidak kuat angkat. : batas jantung kesan tidak melebar. : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-). : pengembangan dada kanan = kiri. : fremitus raba kanan kurang dari kiri, nyeri tekan (-/-). : sonor/sonor. : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-). : distended (-) : bising usus (+) normal : timpani : nyeri tekan (+) di seluruh lapang perut, defance muscular (+) : BAK dan BAB normal : nyeri (-) pada anggota gerak

O. Ekstremitas Akral dingin _ _ _ _ _ _ Oedema _ _

P. Rectal Toucher

: TMSA normal, ampula normal, nyeri (+), STLD (+), feses (+)

IV.

PEMERIKSAAN KHUSUS Psoas sign (+) Obturator sign (+) Rovsing sign (+)

V.

ASSESSMENT I Peritonitis generalisata e.c. suspek appendicitis perforasi

VI.

PLANNING I Infus KAEN 3B 20 tpm Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam Cek DR 2 Pasang DC

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil pemeriksaan laboratorium Patologi Klinik 9 Agustus 2013 Parameter Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Hasil 15.9 48 6.57 22 Nilai Normal 14-17.5 33-45 3.8-5.8 4,5-14,5 Satuan g/dl % 106/L 103/L

Trombosit MCH MCHC MCV RDW MPV PDV Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit PT APTT INR

244 24.2 33.3 72.7 11.4 8.1 16 0.80 0.10 90.60 3.60 4.90 17.9 37.3 1.580

150-450 28.0-33.0 33.0-36.0 80.0-96.0 11.6-14.6 7.2-11.1 25-65 0.00-4.00 0.00-1.00 29.00-72.00 33.00-48.00 00.00-6.00 10.00-15.00 20.00-40.00

103/L pg g/dl /um % fl % % % % % % Detik Detik

VIII.

ASSESSMENT POST LAPAROTOMI Post laparotomi appendictomi e.c. appendisitis perforasi

TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al, 2008) B. Anatomi dan Fisiologi

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai

peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003). Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas 1m2 (Heemken, 1997). Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003). Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001). Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003). Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001). Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara: 1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian

10

atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001). Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997). 2. Penghancuran bakteri oleh sel imun Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997). Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003). Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau antiinflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ (Marshall, 2003). 3. Lokalisasi infeksi sebagai abses Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan

11

tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans, 2001). C. Etiologi Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk: Peritonitis primer (Spontaneus) Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial. Peritonitis sekunder Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).

12

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder Regio Asal Penyebab Boerhaave syndrome Malignancy Esophagus Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Peptic ulcer perforation Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal Stomach stromal tumor) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Peptic ulcer perforation Duodenum Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic* Cholecystitis Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct Biliary tract Malignancy Choledochal cyst (rare) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic* Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones) Pancreas Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic* Ischemic bowel Incarcerated hernia (internal and external) Closed loop obstruction Small Crohn disease bowel Malignancy (rare) Meckel diverticulum Trauma (mostly penetrating) Ischemic bowel Diverticulitis Malignancy Large Ulcerative colitis and Crohn disease bowel and Appendicitis appendix Colonic volvulus Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian Uterus, abscess, ovarian cyst) salpinx, and Malignancy (rare) ovaries Trauma (uncommon) 13

Peritonitis tertier Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen). D. Patofisiologi Reaksi adalah keluarnya menjadi satu tetapi dapat awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri nanah eksudat fibrinosa. Kantong-kantong sehingga infeksi fibrosa,

(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel dengan menetap permukaan sebagai sekitarnya bila pita-pita membatasi menghilang, yang kelak infeksi.Perlekatan biasanya menghilang

dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008). Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran sel. Pelepasan dapat memulai mengalamikebocoran. berbagai respon mediator, Jika seperti defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian misalnya sehingga interleukin, membawa hiperinflamatorius,

ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008). Organ-organ dinding abdomen didalam mengalami cavum peritoneum termasuk disebabkan oedem. Oedem

oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.

14

Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan Bila bahan penuh yang atau Dengan menjadi sulit dan tersebar menimbulkan luas pada umum, penurunan perfusi (Fauci et al, 2008). menginfeksi perkembangan permukaan peritoneum peritonitis umum. bila infeksi menyebar, dapat timbul

peritonitis

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen lengkung usus 2008). usus, yang mengakibatkan meregang dehidrasi, dan syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkungdapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al,

Sumbatan dapat menimbulkan

yang ileus

lama

pada

usus adanya

atau

obstruksi

usus

karena

gangguan

mekanik

(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu

15

obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008). Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan melalui mulut keusus halus kuman dari dan oleh S. Typhi dan asam yang air masuk tubuh lagi ditempat yang manusia Sebagian masuk di ini peyeri makan mencapai yang biasanya yang limfoid tercemar. sebagian plaque

kuman dimusnahkan ileum terminalis ileum pada tifus

lambung,

jaringan

mengalami terjadi

hipertropi pada penderita

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008). Perforasi akibat peritonitis bagian depan Nyeri ini dan atau tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan duodenum yang daerah keseluruh

peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium generalisata. menyebabkan mendadak pankreas. Perforasi peritonitis terutama Kemudian lambung akut. dan Penderita di

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. timbul enzim dirasakan menyebar epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).

16

Pada benda

apendisitis

biasanya fibrosis

biasanya dan

disebabkan

oleh

penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, asing, striktur karena neoplasma. diproduksi tersebut mempunyai tekanan vena akan nekrosis oedem, makin intralumen sehingga terjadi atau perforasi Obstruksi mukosa banyak, dan udem infark dan keterbatasan diapedesis tersebut menyebabkan namun elastisitas menghambat aliran bakteri, ulserasi dinding apendiks dinding apendiks al, 2008). Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul dengan sepsis abdomen bila dapat mengakibatkan organ yang peritonitis berongga sampai intra mengenai bertambah kemudian mukus lama yang mukus

mengalamibendungan,makin dinding limfe aliran sehingga menyebabkan mukosa, yang

apendiks yang dan

peningkatan

mengakibatkan obstruksi dengan terganggu menimbulkan

arteri

diikuti

ganggren

sehingga

akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et

peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).

17

E. Klasifikasi Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Peritonitis Bakterial Primer Merupakan dalam abdomen. Penyebabnya menjadi dua, yaitu: -Spesifik : misalnya Tuberculosis -Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. 2. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari: Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi

ke dalam cavum peritoneal. 18

usus.

Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang

disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,

misalnya appendisitis. 3. Peritonitis tersier, misalnya: -Peritonitis yang disebabkan oleh jamur - Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. 4. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
-

Aseptik/steril peritonitis Granulomatous peritonitis Hiperlipidemik peritonitis Talkum peritonitis

F. Manifestasi Klinis Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970). Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006). Gejala 19

Nyeri abdomen Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada

peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006). Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989). Anoreksia, mual, muntah dan demam Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989). Facies Hipocrates Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970). Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989). Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal

20

diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).

Syok Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua

factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970). Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970). Tanda Tanda Vital Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989). Inspeksi Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita

21

diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

Auskultasi Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara

usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970). Perkusi Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970). Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).

22

Palpasi Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen

pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et al,1970). Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989). G. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali

23

pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970). Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989). Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006). Radiologi Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970). Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

24

H. Tatalaksana Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006). Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan Peradangan menyebabkan yang menyeluruh cairan pada membran ke peritoneum cavum perpindahan ekstraseluler dalam

peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989). Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006). Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).

25

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

Antibiotik Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, bakteri golongan anaerob Enterobacteriaceae yang tersering dan Streptococcus, sedangkan adalah

Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989). Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970). Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisikondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989). Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

26

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989). Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006). Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).

Oksigen dan Ventilator Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisikondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

27

Penanganan Operatif Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

Kontrol Sepsis Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara

28

parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

I. Komplikasi Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).

29

J. Prognosis Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).

30

DAFTAR PUSTAKA Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni 2012. http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. AppeltonCentury Corp, Hal 784-795 Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63 Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1 , McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917 Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4 Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms . Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36 Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34 Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection . Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37 Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

31

Anda mungkin juga menyukai