Anda di halaman 1dari 13

KASUS AKUT IDENTITAS PASIEN Nama Usia Jenis Kelamin Agama Alamat Pekerjaan No.

Rekam Medis : : : : : : : D 46 tahun Perempuan Kristen Danau Poso Ibu rumah tangga 0212964

ANAMNESIS Metode Tanggal pemeriksaan Keluhan Utama Riwayat Penyakit Sekarang : : : : Autoanamnesis 2 April 2013 Wajah bagian kanan terasa kaku sejak pagi.

Pasien datang dengan keluhan wajah bagian kanan terasa kaku sejak tadi pagi. Awalnya saat makan pagi, pasien merasa kalau lidahnya tidak dapat merasakan makanan seperti biasanya. Pasien juga merasa bahwa bibirnya terasa kaku. Saat berkumur sewaktu menyikat gigi, pasien merasa bahwa ia tidak dapat menutup mulut bagian kanannya, sehingga air dapat keluar dengan sendirinya. Sewaktu melihat bayangan dirinya di cermin, pasien merasa bahwa bibirnya terlihat tidak simetris saat ia tersenyum. Bagian kanan bibirnya tidak terangkat seperti bagian kirinya. Semakin lama, pasien merasa bahwa rasa kakunya menjalar ke bagian pipi sementara bagian bibir terasa semakin tebal. Rasa kaku dirasakan terusterusan sejak pagi dan pasien merasa bahwa rasa kakunya semakin lama semakin parah. Pasien lalu segera ke puskesmas karena mengira bahwa ia terkena stroke. Pada perjalanan ke puskesmas pasien mulai merasakan bahwa kelopak mata kanan terasa berat dan menutup lebih lambat dibandingkan dengan mata kiri saat

berkedip dan terasa sangat kering. Selain itu, pasien juga merasakan sedikit nyeri disekitar telinga kanannya. Pasien merasa bahwa ini terjadi karena sehari sebelumnya, ia telah mengkonsumsi bakso yang ia rasa mengandung banyak penyedap rasanya. Ia juga merasa terlalu lelah karena melakukan aktivitas seharian tanpa istirahat. Biasanya, pasien mengkonsumsi makanan rumah yang ia masak sendiri. Untuk menghilangkan gejala-gejala ini, pasien belum mengkonsumsi obat apapun. Ia juga tidak mengkonsumsi obat-obatan lain secara rutin. Pasien tidak merasa demam, pusing maupun mual. Ia juga tidak merasa sesak nafas dan BAB serta BAK normal. Pasien setiap pagi bersepeda sekitar 15 menit untuk pergi ke pasar dan 15 menit untuk perjalanan pulang sebagai aktivitas yang dilakukan diluar perkerjaan rumah. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah sakit seperti ini

sebelumnya. Pasien juga tidak menderita penyakit lainnya. Riwayat Penyakit Keluarga : Ibu pasien menderita hipertensi dan ayah pasien meninggal pada umur 61 karena komplikasi dari diabetes mellitus. Riwayat sosial : Tidak ada tetangga maupun teman kerja pasien yang merasakan hal yang sama. Riwayat Penggunaan Obat : Pasien menyatakan belum mengkonsumsi obat apapun. Udah ditulis diatas, ini hapus aja. Riwayat Alergi : Pasien tidak pernah mengalami alergi makanan maupun obat. Riwayat operasi : Pasien tidak mempunyai riwayat operasi

Riwayat lainya maupun obat-obat terlarang. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran Tanda-tanda Vital Blood Pressure Heart Rate Respiratory Rate Temperature Berat Badan Tinggi Badan : : : : : : : :

Pasien tidak merokok, mengonsumsi alkohol,

Tampak sakit ringan Kompos mentis GCS 15

100/60 mmHg 64 x/min 15 x/min 36.8 oC 58 kg 168 cm : kulit kepala bersih, tidak ada lesi atau benjolan,

a. Kepala i. Mata

rambut berwarna hitam, cukup tebal, dan tidak mudah dicabut. : - Konjungtiva anemis (+/+) - Sklera tidak ikterik - Gerakan bola mata mengikuti arah cahaya - Respon pupil (+/+) - Mata tidak simetris, terdapat logophthalmos di sisi kanan yang hanya dapat menutup sempurna dengan usaha maksimal. Cukup tulis: lagophthalmos (+/-) ii. Hidung : - Pernafasan cuping hidung (-) - Tidak ada deformitas - Simetris kanan dan kiri Tidak ada nyeri tekan maupun masa di mukosa hidung - Tidak ada perdarahan - Fungsi penciuman normal iii. Telinga : Daun telinga simetris kiri dan kanan

iv. Mulut : b. Leher : c. Thorax: Jantung Inspeksi -

Fungsi pendengaran normal Nyeri tekan os. Mastoid kanan Kanal auditoris normal, tidak ada serumen. Mukosa bibir tampak kering Tonsil tidak kemerahan dan ukuran T1/T1 Tidak ada sakit gigi dan caries gigi Tidak teraba pembesaran kelenjar limfe Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid Tidak teraba pergeseran /deviasi trakea

: tidak terdapat deformitas, diskolorasi, benjolan maupun jaringan parut pada dada.

Palpasi Perkusi

: iktus kordis tidak teraba. : batas atas jantung di ICS II parasternal kiri, batas kiri di ICS V garis midclavicula sinistra, batas kanan garis midsternal dextra ICS IV sternum, dan apex pada ICS V kiri.

Auskultasi Paru Inspeksi

: Tidak terdengar adanya suara murmur maupun gallop.

: thorax kanan dan kiri simetris pada saat inspirasi dan ekspirasi. Tidak terlihat adanya deformitas dan retraksi interkostal. Tidak ada jaringan parut, diskolorasi, maupun massa dan tidak ada pectus excavatum, pectus carinatum maupun barrel chest.

Palpasi

: taktil vocal fremitus teraba di kedua lapang paru dan getaran simetris kanan dan kiri. Tidak ada massa,

maupun nyeri tekan. Perkusi Auskultasi : bunyi perkusi sonor di kedua lapang paru. : bunyi verikuler si seluruh lapang paru. Tidak terdengar ronchi maupun wheezing. d. Abdomen i. Inspeksi pada kulit ii. iii. iv. i. Palpasi Perkusi : tidak ada nyeri dengan palpasi ringan maupun dalam, : timpani pada seluruh lapang abdomen tidak teraba pembesaran hati dan limpa Auskultasi : bising usus 6x/menit. Tangan : tidak terdapat lesi kulit, fungsi motorik dan sensorik : bentuk abdomen datar, dengan gerakan nafas simetris, dominasi abdominotorakal, tidak terdapat massa, tidak terdapat lesi

e. Ekstremitas baik, persendian dapat digerakkan normal, capillary refill time kurang dari 2 detik. ii. Kaki : tidak terdapat lesi kulit, fungsi motorik dan : tidak dilakukan pemeriksaan : House-Brackmann Scale Grade III : Tidak dilakukan : Bells Palsy : Stroke Ramsay Hunt Syndrome Miller Fisher Syndrome Tata Laksana Medikamentosa : sensorik baik, sendi-sendi terasa kaku f. Genitalia g. Special Test

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Kerja Diagnosis Banding

i.

Pemberian kortikosteroid (prednisone). Dosis 40-60 mg/hari (oral) atau 1mg/kgBB/hari selama 3 hari, lalu dosisnya diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian. Dosis yang dikasi ke pasien berapa?

ii. iii.

Pemberian obat antivirus (acyclovir) 400mg selama 10 hari. ...x/hari Pemberian obat tetes mata (air mata buatan)

Non-medikamentosa i. ii. iii. iv. Rencana pemeriksaan laboratorium darah lengkap Rencana MRI cranial nerve enhancement Fisioterapi Operasi hanya jika tidak terjadi perbaikan dalam beberapa minggu.

Prognosis Ad vitam : Bonam Ad functionam : Dubia ad Bonam Ad sanationam : Dubia ad bonam

Resume Pasien datang pada tanggal 2 April 2013 dengan keluhan wajah bagian kanan terasa kaku sejak pagi. Awalnya saat makan pagi, pasien merasa kalau lidahnya tidak dapat merasakan makanan seperti biasanya. Pasien juga merasa bahwa bibirnya terasa kaku. Saat berkumur sewaktu menyikat gigi, pasien merasa bahwa ia tidak dapat menutup mulut bagian kanannya, sehingga air dapat keluar dengan sendirinya. Pasien merasa bahwa bibirnya terlihat tidak simetris saat ia tersenyum. Bagian kanan bibirnya tidak terangkat seperti bagian kirinya. Semakin lama, pasien merasa bahwa rasa kakunya menjalar ke bagian pipi sementara bagian bibir terasa semakin tebal. Lalu pasien mulai merasakan bahwa kelopak mata kanan terasa berat dan menutup lebih lambat dibandingkan dengan mata kiri saat berkedip dan terasa sangat kering. Selain itu, pasien juga merasakan sedikit nyeri disekitar telinga kanannya. Pasien merasa bahwa ini terjadi karena sehari sebelumnya, ia telah mengkonsumsi bakso yang ia rasa mengandung banyak

penyedap rasanya. Ia juga merasa terlalu lelah karena melakukan aktivitas seharian tanpa istirahat. Pasien belum mengkonsumsi obat apapun. Pasien memiliki riwayat keluarga hipertensi dan diabetes mellitus. Pada pemeriksaan fisik, tampak partial paralisis bagian kanan wajah pasien. Melalui penilaian HouseBrackmann Scale, pasien digolongkan ke grade III. FIFE Feelings Ideas Functioning : : : Pasien takut penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Pasien merasa bahwa Ia terkena stroke. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa, kecuali yang dilakukan dengan mulut. Expectation Analysis Pada pasien ini, terjadi paralysis di bagian kanan wajah secara tiba-tiba. Kemungkinan diagnosis adalah: 1. Miller Fisher Syndrome adalah varian dari Guillain Barre Syndrome yang sangat jarang dijumpai. MFS dapat menyebabkan gangguan pada nervus cranialis III-VII dan IX-XII. MFS ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia dan arefleksia yang kuat. Pada MFS terdapat double vision akibat kerusakan nervus cranial III dan IV. Selain itu, kelemahan nervus facialis (VII) menyebabkan kelemahan otot pada wajah dan lidah yang bilateral. 2. Ramsay Hunt Syndrome adalah infeksi herpes zoster saraf facial. Biasanya gejalanya berupa kelemahan otot wajah, disertai dengan ruam yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di telinga, langit-langit mulut dan lidah pada sisi yang sama. Selain itu RHS menyebabkan pendengaran yang berkurang, tinnitus, vertigo, nyeri di bagian telinga dan kesulitan menutup satu mata pada bagian yang terkena. Penjelasan tentang MFS dan RHS masukin di paragraf bawah, ngga perlu kamu pisahin : Pasien ingin wajahnya kembali seperti semula.

penjelasan tentang sindroma nya satu2, tapi jadiin satu sekalian sama penjelasan penegakan/penyingkiran diagnosis. Karena pada pasien tidak terdapat gejala-gejala seperti yang ada di Miller Fisher Syndrome dan Ramsay HuntSyndrome, maka diagnosa Bells Palsy lebih sesuai. Bells Palsy adalah paralisis atau kelemahan pada salah satu bagian dari wajah yang disebabkan oleh gangguan pada nervus cranial VII. Gangguan pada nervus cranial VII ini biasanya idiopatik, datang secara tiba-tiba dan hilang dengan sendirinya. Dasar dari pengobatan medicamentosa pada Bells Palsy adalah pemberian kortikosteroid untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang permanen akibat dari pembengkakan nervus facialis di kanal yang sempit. Selain itu, antiviral diberikan untuk mencegah replikasi virus. Walaupun tidak diberikan terapi, pasien Bells Palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Menurut sebuah penelitian, 85% dari penderita Bells Palsy menunjukan perbaikan 3 minggu setelah onset dan 15% sudah sembuh 3-6 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bells Palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala, sepertiga lainnya sembuh namun elastisitas otot tidak sebaik dulu dan sepertiga sisanya mengalami sinkinesis, crocodile tears, spasme hemifacial dan bahkan kontraktur seumur hidup. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells Palsy adalah: 1. Usia >60 tahun 2. Paralisis total 3. Menurunnya fungsi pengecap atau aliran liur pada sisi yang lumpuh 4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan 5. Berkurangnya air mata 6. Diabetes Untuk terapi non medikamentosa, telah direncanakan untuk dilakukan cranial nerve enhancement MRI untuk memastikan diagnosis Bells Palsy. Juga dilakukan

pemeriksaan darah lengkap untuk melihat ada tidaknya infeksi ataupun gangguan hemodinamik lainnya. Tinjauan Pustaka JUDUL: Bells Palsy Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut. Penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan terjadi di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Bells palsy, sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos). Epidemiologi Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut di dunia. Sedangkan di Indonesia, insiden Bells Palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak terdapat perbedaan insiden antara cuaca panas maupun dingin. Patofisiologi Menurut penelitian, pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Meski demikian dalam jangka waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang

atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada saat keluar melalui foramen mental. Dengan bentuk kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemi dapat menyebabkan gangguan konduksi. Selain itu, paralisis nervus fasialis akan menyebabkan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian, penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Kelumpuhan pada Bells palsy akan membuat bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Etiologi Penyebab gangguan di nerbus cranial VII umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Idiopatik c. Trauma d. Infection e. Malignancy Manifestasi Klinis Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos). Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

Gangguan atau kehilangan pengecapan.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium : tidak ada yang spesifik, namun dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Pemeriksaan Radiologi : MRI untuk menyingkirkan diagnosis stroke. Selain itu, pada pasien Bells Palsy akan menunjukkan adanya enhancement pada nervus cranialis VII Penegakan Diagnosis Tidak ada diagnosis pasti untuk Bells Palsy, namun dapat ditegakkan jika ditemukan melalui MRI adanya enhancement di nervus cranial VII tanpa adanya gangguan di nervus lainnya. Selain itu, semua diagnosis banding seharusnya telah disingkirkan. Penilaian House-Brackmann Scale dilakukan untuk menilai sejauh mana kerusakan yang telah terjadi di nervus kranialis agar dapat menentukan prognosisnya. House-Brackmann Scale:

Grade
I II

Definition
Normal symmetrical function in all areas Slight weakness noticeable only on close inspection Complete eye closure with minimal effort Slight asymmetry of smile with maximal effort Synkinesis barely noticeable, contracture, or spasm absent

III

Obvious weakness, but not disfiguring May not be able to lift eyebrow Complete eye closure and strong but asymmetrical mouth movement

with maximal effort Obvious, but not disfiguring synkinesis, mass movement or spasm IV Obvious disfiguring weakness Inability to lift brow Incomplete eye closure and asymmetry of mouth with maximal effort Severe synkinesis, mass movement, spasm V Motion barely perceptible Incomplete eye closure, slight movement corner mouth Synkinesis, contracture, and spasm usually absent VI No movement, loss of tone, no synkinesis, contracture, or spasm

Tata Laksana Medikamentosa i. Pemberian kortikosteroid (prednisone) dengan dosis 40-60 mg/hari (oral) atau 1mg/kgBB/hari selama 3 hari, lalu dosisnya diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian. ii. iii. Pemberian obat antivirus (acyclovir) 400mg selama 10 hari. Pemberian obat tetes mata (air mata buatan) digunakan saat sadar untuk menggantikan air mata yang hanya sedikit produksinya. Pelumas diberikan saat tidur karena pemberian obat tetes mata sebelum tidur tidak adekuat untuk mengganti cairan selama tidur. Non-medikamentosa v. vi. Rencana pemeriksaan laboratorium darah lengkap Rencana MRI cranial nerve enhancement

vii. viii.

Fisioterapi Operasi hanya jika tidak terjadi perbaikan dalam beberapa minggu.

Prognosis Ad vitam : Bonam Ad functionam : Dubia ad Bonam Ad sanationam : Dubia ad bonam

Referensi Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2 Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-17 Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174

Anda mungkin juga menyukai