Anda di halaman 1dari 11

JAKARTA, KOMPAS.com Setiap 91 detik terjadi satu kejahatan di Indonesia sepanjang tahun 2012.

. Hal ini disampaikan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Inspektur Jenderal Polisi Saud Usman dalam acara refleksi akhir tahun penegakan hukum dan hak asasi manusia di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (26/12/2012). Menurut Saud, jumlah kejahatan di tahun 2012, tepatnya hingga November 2012, mencapai 316.500 kasus. Risiko penduduk yang mengalami kejahatan sekitar 136 orang tahun ini. "Jadi, setiap 1 menit 31 detik terjadi satu kejahatan," ujarnya. Adapun 316.500 kasus kejahatan itu, menurut Saud, terdiri dari 304.835 kasus konvensional, 7.171 kasus transnasional, 3.844 kasus kekayaan negara, dan 650 kasus implikasi kontinjensi. Jumlah tindak kejahatan yang terjadi hingga November tersebut, katanya, menurun dibandingkan satu dan dua tahun sebelumnya. Pada 2011, terjadi 347.065 kejahatan, sementara pada 2010 terjadi 332.490 kasus kejahatan. Saud juga mengatakan baru 53 persen atau 167.653 kasus kejahatan yang berhasil diselesaikan hingga November tahun ini. Artinya, ada sekitar 150.000 kejahatan lagi yang belum dituntaskan Kepolisian. Saud menambahkan, kasus yang ditangani institusinya itu termasuk kejahatan tindak pidana korupsi. Selama tahun 2012 ada sekitar 600 kasus korupsi yang ditangani Polri. Keuangan negara yang berhasil diselamatkan Polri dari penanganan kasus korupsi sekitar Rp 250 miliar. "Ini tidak terlepas dari kontribusi petugas kami di lapangan," katanya.
TEMPO.CO, Jakarta -Lembaga Transparency Internasional Indonesia merilis hasil survey terbarunya mengenai korupsi yang semakin marak terjadi di Indonesia pada Selasa 8 Juli 2013. Berdasarkan survey yang dilakukannya kepada 114 ribu orang di 107 negara "Banyak nilai di konteks antar negara ASEAN, dan diantara negara ASEAN tersebut Indonesia memburuk," ujar Dadang Trisasongko, Sekertaris Jenderal Transperancy internasional Indonesia kepada Tempo Rabu 10 Juli 2013. Dalam temuan survey, kelembagaan pemerintah "Kepolisian, Parlemen, dan Peradilan Di Indonesia masih melakukan praktek korupsi tertinggi," ujar Dadang Trisasongko. Korupsi di tingkat kelembagaan pemerintah tersebut yang membuat Indonesia semakin dinilai mengalami peningkatan tingkat korupsi. Survey yang dilakukan kepada 114 ribu orang ini disebar kepada 1000 orang Indonesia di lima kota antaranya, Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bandung. Berdasarkan hasil survey yang dilakukannya didapat bahwa berdasarkan opini publik para responden, upaya-upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dianggap masih kurang baik. Transparency Internasional Indonesia melakukan survey dua tahunan yang kemudian di rilis pada Selasa 8 Juli 2013. Hasil survey tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat melihat dan menilai institusi-insitusi negaranya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, di Jakarta, Jumat (27/1/2012), mengatakan, kasus perampokan dan perkosaan di dalam angkutan kota (angkot) di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya sudah sangat memprihatinkan. Mengutip data dari Polda Metro Jaya, ia menyebutkan, selama tahun 2011 terjadi 68 kasus perkosaan. Tahun 2010, ada 60 kasus perkosaan. Terjadi peningkatan 13,33 persen. Ini sangat mengkhawatirkan, katanya. (Kompas.com, 27 Januari 2012) Banyaknya kasus pemerkosaan, pencurian, perampokan, pembunuhan, penodongan, pemalakan, penipuan, penembakan, penyihiran, penyulapan, pembiusan, dan sejenisnya di Indonesia memang sudah pada titik kritis. Semuanya banyak terjadi di dunia nyata dan dunia maya (via internet). Angka pemerkosaan sudah tinggi sekali. Data pada tahun 2011, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia didominasi oleh angka perkosaan, yakni 400.939 dan angka terbanyak (70.115 kasus) perkosaan ternyata dilakukan dalam rumah tangga. Pelaku perkosaan dilakukan oleh suami, orangtua sendiri, bahkan saudara dan keluarga terdekat. Sementara perkosaan di tempat umum (publik) sebanyak 22.285 kasus, diantaranya yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan dan di media massa tentang perkosaan di angkot. Selain itu, negara telah melakukan kekerasan yang sama karena telah membiarkan 1.561 kasus perkosaan yang tidak terselesaikan (Sumber: http://jurnalperempuan.com, dikutip dari Laporan Komnas Perempuan 2011). Jika angka kriminalitas sangat tinggi, itu artinya banyak faktor yang berpengaruh. Diantaranya: 1. Lembaga hukum di Indonesia tidak berfungi dengan baik. 2. Para Penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim tidak menjalankan tugasnya dengan baik 3. Hukum di Indonesia memang lemah dalam melindungi rakyatnya. Pasal-pasal hukum masih mudah diselewengkan oleh para penegak hukum dan terdakwa. 4. Pimpinan bangsa dalam hal ini Presiden dan DPR tidak menjadikan penegakan hukum dan keamanan warganya sebagai program wajib dan utama. Kalau sudah begitu pelaksanaannya, maka:

1. Pembunuhan sepertinya akan terus terjadi setiap detik di Indonesia. Padahal satu nyawa sangat berharga. 2. Pemerkosaan sudah dianggap kasus biasa. Tentu saja efeknya angka aborsi akan semakin tinggi, dan harga diri perempuan Indonesia akan jatuh. Solusi yang diberikan pemerintah bukan mencegah tetapi hanya menghibur. 3. Perlu alternatif Hukum yang lebih baik. Hukum di Indonesia perlu diganti dengan hukum yang lebih baik, seperti Syariat Islam. Karena hukum yang digunakan tidak membuat efek jera tetapi justru akan membentuk siklus baru.
4. Penyelesaian Kasus Kriminal Di Bawah 50% 5. JPP Beri Rapor Di Bawah Merah Pada Polres Bantul 6. TRIBUNNEWS.COM BANTUL, - Data kejadian dan penyelesaian kasus selama tahun 2012 dirilis bagian Satreskrim Polres Bantul. Tiga kasus kriminal masih mendominasi kejadian selama setahun ini di wilayah hukum Polres Bantul. 7. Tindak kriminal tersebut masuk dalam kategori pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), pencurian dengan kekerasan (curas). 8. Dalam data tersebut, tercatat kasus curat sebanyak 140 buah dan 45 di antaranya tuntas diselesaikan. Untuk kasus curanmor sebanyak 72 kasus, 21 kasus sukses diungkap, sementara kasus curas sebanyak 56 buah, 21 di antaranya juga sukses diungkap. 9. Sedangkan dari 30 kejadian yang tercatat berdasarkan jenis pasal-pasal yang menjeratnya, total jumlah kasus yang terjadi selama tahun 2012 adalah 508 buah dan 269 di antaranya sukses diungkap. 10. Sayangnya dari tiga kasus kriminal yang mendominasi catatan kejadian selama 2012 tersebut, tingkat penyelesaian terhadap kasus masih di bawah 50 %. 11. Prestasi kurang baik ini mendapatkan tanggapan dingin dari beberapa eleman masyarakat, salah satunya datang dari Jaringan Pemantau Polisi (JPP) Yogyakarta. 12. JPP menilai, secara tidak langsung polisi ikut terlibat menumbuhkan tingkat kriminilitas. Lantaran, kepercayaan warga terhadap penegak hukum berseragam coklat ini berkurang. 13. "Kalau penyelesaian kasus di bawah 50%, tentu tingkat kepercayaan masyarakat akan berkurang dan efek jera pada pelaku kejahatan juga tidak ada," ujar

Koordinator JPP, Bambang Tiong, ketika dikonfirmasi Tribun Jogja, Minggu (23/12). 14. Selain itu, Bambang juga menyatakan, Kapolres Bantul sebagai pimpinan tertinggi tetap harus bertanggungjawab, terlepas dari penyelesaian kasus-kasus tersebut apakah kesalahan para anggotanya atau bukan. 15. "Itu kalau dikasih nilai di bawah merah, atau kalau model kuliah sudah di drop out (DO). Dalam hal ini Polda DIY juga harus mengambil langkah terhadap prestasi Polres Bantul dalam penyelesaian kasus yang banyak tidak terungkapnya ini," tandasnya. 16. Dikonfirmasi secara terpisah, berkaitan dengan hal tersebut, Kapolres Bantul, AKBP Dewi Hartati mengatakan, pihaknya akan mengintensifkan penyelidikan. 17. "Yang pasti akan kita intensifkan lidik dan meningkatkan giat preemtif dan preventif," ujarnya via BlackBerry Messenger, Minggu (23/12/2012). 18. Disinggung soal penyelesaian dari tiga kasus kriminal yang angka keberhasilannya masih di bawah 50%, Dewi menyatakan, tugas polisi bukan hanya pada represif saja, melainkan juga memberikan pengayoman pada masyarakat. 19. "Bagi kami, tugas polisi bukan hanya pada represif, tapi juga memberikan pelayanan dan pengayoman yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Seperti keberadaan babhinkamtibmas di setiap desa, jadi kita harus melihat dari semua sisi dan yang pasti kami berusaha menciptakan situasi kondusif di wilayah Bantul," paparnya.(yud)
JAKARTA - Sebanyak lima kasus pembunuhan sadis yang terjadi di wilayah Jakarta Timur, menemui jalan buntu. Minimnya saksi beserta alat bukti, menjadi alasan polisi sulit meringkus pelaku. Belum lagi amburadulnya data kependudukan masyarakat Ibu Kota yang semakin membuat kasus tersebut semakin sulit terungkap. Pemerintah lagi-lagi nihil menjawab kecemasan masyarakat. Berikut ini lima kasus pembunuhan sadis di wilayah Jakarta Timur, yang didata Kompas.com berdasarkan pemberitaan dari Juli 2011 hingga Juni 2012 : - Senin (11/7/2011) malam : Zainal Abidin (61), mantan office boy Pusat Pengembangan Agrobisnis di Tebet, Jakarta Selatan, ditemukan tewas bersimbah darah dengan luka di kepala. Ia ditemukan di kamar rumahnya di Jalan Raya Centex, Gang Asem, RT 04 RW 09, Ciracas, Jakarta Timur. - Minggu (4/9/2011) sekitar pukul 09:00 WIB : Eti Rosilawati (53) ditemukan tewas di Blok B lantai 4 nomor 12, Rumah Susun Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ibu satu anak tersebut tewas dengan tujuh luka tusuk di bagian leher, dada dan pipi. - Minggu (04/12/2011) pukul 06:30 WIB : Humala Pardede (59), seorang sopir Koperasi Taksi ditemukan

tewas di di gorong-gorong, Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Korban tewas dengan bersimbah darah dan 10 luka tusuk di kepala. - Minggu (6/5/2012) pukul 03.00 WIB : Umar Sidik (18) tewas dicelurit pria tak dikenal. Jasad Umar ditemukan di depan Pasar Pulogadung, Jakarta Timur dengan kondisi luka bacok di leher. Korban sempat dibawa ke rumah sakit namun tewas akibat kekurangan darah. - Rabu (27/6/2012), jasad wanita tanpa identitas terbungkus karung ditemukan tukang ojek di pinggir trase kering Banjir Kanal Timur (BKT), 50 meter darai Jalan Raya Pondok Kopi, RT 01 RW 03, Duren Sawit, Jakarta Timur. Dalam kondisi terikat, di tubuh korban ada luka bekas cekikan di leher, luka memar di pinggul dan kaki. Diduga, wanita tersebut dalam kondisi mengandung. Minim petunjuk Menanggapi fakta tersebut, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur, Ajun Komisaris Besar Dian Perri mengatakan, pihaknya telah berusaha semaksimal mungkin melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Lima kasus yang disebutkan itu, diakuinya, memiliki kendala masingmasing. Singkat kata, mandeknya proses penyelidikan akibat minim petunjuk. "Contohnya pembunuhan yang di Duren Sawit (mayat dalam karung), kalau identitas korban diketahui, lebih mudah. Ini karena minim saksi dan identitas," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (29/8/2012) siang. Meski menemui jalan buntu, Dian mengatakan, pihaknya tetap berkomitmen untuk terus melakukan penyelidikan dengan mencari informasi. Menurut dia, petunjuk saksi mata atau petunjuk lainnya kerap muncul ketika kasus tersebut telah mengendap sekian lama. Dian pun berharap masyarakat juga memiliki peran aktif dalam pengungkapan berbagai kasus tersebut. Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel kepada Kompas.com mengatakan, minimnya petunjuk saksi tak layak lagi dijadikan alasan polisi sulit menguak tabir kasus pembunuhan itu. Petunjuk saksi dianggap bukti rapuh dan subyektif. Terlebih, masuknya ilmu psikologi forensik modern di Indonesia yang tengah berkembang pesat. "Ya, berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi lah," ujarnya. Reza mengatakan, faktor lain yang menyebabkan berbagai kasus pembunuhan sadis tak terungkap, karena karakteristik lembaga penegak hukum yang kuno dan tertutup. Polisi kerap menganggap, penyelidikan harus dilakukan sendiri tanpa campur tangan pihak lain, misalnya dengan hadirnya Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia yang telah berkembang pesat. "Mungkin secara individual sudah ada yang ditangani dokter. Tapi, kerjasama antara institusi, Polri dan Asosiansi Ilmu Forensik Indonesia masih belum terbangun," katanya. Data kependudukan berantakan Reza Indragiri Amriel mengatakan, nihilnya rasa aman yang diciptakan aparat kepolisian atas kasus yang tak terungkap itu, bukan kesalahan institusi berseragam cokelat semata. Di sisi lain, polisi hanya menjadi korban otoritas kependudukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang amburadul. Data kependudukan dasar yang dimaksud adalah identitas, sidik jari, golongan darah, sampel DNA, serta latar belakang keluarga. Proses identifikasi kasus pembunuhan pun demikian, di lapangan, polisi mengambil petunjuk berupa sidik

jari (bila tak ditemukan identitas), foto segala sisi, mendokumentasikan luka pada tubuh korban dan sebagainya. Namun, kesulitan yang kemudian melanda aparat adalah, jika profil korban telah dibuat, muncul pertanyaan, siapa pemilik sidik jari itu? "Itu sebabnya pemerintah menggalakkan e-KTP. Itu kan berkaitan dengan data demografi yang tadi," kata Reza.

Perempuan dalam Pusaran Kasus Korupsi


o
Oleh Siti Maryamah

KETIKA membicarakan korupsi, perempuan bukanlah entitas tunggal. Ada perempuan yang berlaku sebagai pelaku, objek, ataupun korban. Dimulai dari tertangkapnya Maharani Suciyono (MS) dan Ahmad Fathanah (AF), deretan nama perempuan yang terseret kasus suap impor daging ini bergulir seperti bola salju. Menurut pantauan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah perempuan yang menerima aliran dana dari AF mencapai 45 orang. Terkait Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), kolega AF dalam kasus ini, muncul nama Darin Mumtazah (DM), siswi SMK yang disinyalir telah menjadi istri siri LHI. Kasus ini seksi dan mengundang kontroversi, selain karena oknum yang terlibat merupakan petinggi partai yang mencitrakan diri bersih dan peduli, juga karena para perempuan yang terseret seksi secara denotatif. Konstruksi berita di media mengarah pada kesan bahwa keterlibatan mereka dalam kasus ini adalah sebagai objek seks. Gempita berita perempuan di sekeliling kasus suap impor daging dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) AF dan LHI itu seakan melengkapi berita perempuan sebagai pelaku korupsi pada paruh kedua tahun lalu. Diawali dari tertangkapnya Nunun Nurbaeti, pada Desember 2011 di Bangkok, deretan perempuan pelaku korupsi memanjang laksana konvoi. Menyusul kemudian Mindo Rosalina Manullang dari PT Anak Negeri yang terlibat kasus suap Wisma Atlet di Palembang. Kasus ini menyeret nama Angelina Sondakh, politisi dari Partai Demokrat. Banyaknya kasus korupsi oleh politisi perempuan menumbangkan premis bahwa peningkatan keterwakilan perempuan dalam legislatif akan menurunkan tingkat korupsi. Premis ini didasarkan pada asumsi bahwa secara natural, perempuan memiliki sifat lebih hati-hati, moralis, takut risiko, tidak ambisius, dan kurang agresif. Semua sifat itu kurang kondusif bagi dilakukannya korupsi. Tetapi kelemahan utama kajian perempuan dan korupsi adalah cara pandang yang melihat perempuan sebagai identitas gender yang homogen, padahal identitas gender perempuan sesungguhnya sangat majemuk: kelas sosial, ideologi, afiliasi politik, pendidikan, akses pada sumber daya, kepentingan, dan lain-lain. Menurut Danang Widoyoko dari Indonesian Corruption Watch (ICW) korupsi yang rendah di negaranegara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, seperti yang terjadi di negara-negara Skandinavia, tidak berkait dengan gender, tetapi lebih kepada kultur masyarakat yang telah bisa membedakan mana publik dan mana privat, parpol yang sangat kompetitif dan akuntabel, serta pengawasan yang melekat kuat oleh masyarakat dan media massa. Bias Gender Meski demikian, tetap ada bias gender. Ada semacam common sense dalam masyarakat kita, bahwa patut diduga di balik sosok laki-laki korup, ada seorang istri yang serakah dan penuntut. Anehnya, persangkaan bahwa di belakang perempuan korup ada sosok suami yang tamak, tidak mengemuka. Ini salah satu potret bias gender yang tampak dalam pusaran korupsi oleh perempuan. Gaya hidup ala jetset para perempuan itulah yang disorot dan dituduh menjadi biang terjadinya korupsi. Media sibuk memberitakan merek tas, sepatu, baju, operasi plastik, mobil mewah dan gaya hidup para perempuan koruptor. Sifat matrealistis yang dikonstruksikan milik kaum perempuan mestinya terbantahkan dengan fakta bahwa korupsi oleh kaum laki-laki jauh lebih banyak jumlah kasus dan nominalnya.

Spontanitas ungkapan ''Perempuan kok korupsi!'' juga merupakan potret bias gender. Ungkapan itu menunjukkan bahwa jenis kelamin yang lain (laki-laki) dianggap lebih pantas melakukan korupsi, dan karenanya lebih dimaklumi. Padahal, korupsi adalah perbuatan yang tidak pantas bagi laki-laki maupun perempuan. Konvoi korupsi oleh perempuan menunjukkan bahwa korupsi bukanlah persoalan jenis kelamin. Relasi kuasa lebih dominan daripada determinasi gender. Objek Korupsi Di sisi lain, perempuan juga menjadi objek korupsi, misalnya sebagai objek gratifikasi seks. Arus hedonisme yang kuat membuat para perempuan lemah iman terbawa larut. Tak ada acuan nilai yang memandu mereka mengambil keputusan selain keinginan kebendaan. Pejabat publik mestinya punya standar integritas moral yang tinggi. Jika tidak, mungkin tanpa kita sadari, banyak urusan publik yang keputusannya ditentukan oleh maaf-- selangkangan perempuan. Peradaban serasa mundur berpuluh abad ke belakang. Menyedihkan! Kaum perempuan adalah entitas mayoritas korban korupsi. Korupsi yang masif telah menyandera dana pembangunan yang diperlukan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya perempuan. Dengan peran reproduktifnya, perempuan adalah pihak yang paling berkepentingan dengan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Korupsi membuat layanan kesehatan publik menjadi mahal. (24) Siti Maryamah, Ketua LKP Lestari Rahayu, Desa Gumelem Wetan, Susukan, Banjarnegara. ( /) Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter dan Facebook

Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry
Yogyakarta, 26 Januari 2011. Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Radio UNISI 104,5 FM mengadakan talkshow secara on air dengan tema "Perempuan dan Korupsi"

adanya tema ini cukup responsif sekali sehingga banyak mengundang komentar dari kalangan masyarakat terutama dari kaum laki-laki. kaum laki-laki menyatakan bahwa adanya tindak krupsi yang mayoritas dilakukan oleh kaum laki-laki itu dipicu oleh perempuan yang senantiasa menuntut akan apapun terhadap laki-laki. sebaliknya, penelitian di negara maju yang dengan adanya pemimpin seorang perempuan menghasilkan fakta bahwa dengan adanya seorang pemimpin perempuan, negara maju tersebut terbebas dari tindakan kriminal yang disebt KORUPSI

BIAS GENDER DALAM FENOMENA KORUPSI Oleh : Siti Maryamah Anggota IIDN Interaktif, Berdomisili di Banjarnegara. Setengah tahun terakhir, media massa gegap gempita dengan berita para perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi. Meski perempuan terlibat korupsi bukanlah hal baru, tapi sejumlah nama perempuan dalam waktu yang bersamaan terlibat korupsi besar-besaran adalah fenomena baru.

Parade Perempuan Korupsi Gempita berita korupsi oleh perempuan, diawali dari tertangkapnya Nunun Nurbaeti, pada Desember 2011 di Bangkok, Thailand. Tersangka kasus suap senilai 24 Milyar terhadap anggota DPR periode 1999-2004 saat pemilihan DGS BI Miranda S Gultom tahun 2004 ini buron sejak Februari 2011. Kasus Nunun ini kontroversial mengingat statusnya sebagai istri dari mantan Wakapolri, Komjen (Purn) Adang Dorojatun, yang mestinya berlaku sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi, serta status Adang sebagai mantan cagub DKI pada pilgub 2007 yang didukung oleh PKS, sebuah partai yang mencitrakan diri bersih dan peduli. Menyusul kemudian Mindo Rosalina Manullang, mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri yang terlibat kasus suap Wisma Atlet di Palembang. Kasus ini menyeret nama Angelina Sondakh, anggota DPR dari Partai Demokrat yang mulai 27 April 2012 resmi mendekam di sel tahanan KPK. Angie juga diduga terlibat dalam kasus korupsi dana bantuan bagi perguruan tinggi di lingkungan Kemendikbud senilai 600 Milyar. Ada pula nama Inong Malinda Dee yang membobol dana nasabah Citibank dalam 64 transaksi senilai 27,3 Milyar dan 53 transaksi senilai 2 juta dollar AS. Inong yang di dunia maya banyak beredar foto syur-nya, tiba-tiba mengubah penampilan menjadi berkerudung setelah menjadi terdakwa. Soal berkerudung mendadak ini juga terjadi pada Nunun Nurbaeti dan Neneng Sri Wahyuni. Tak kalah heboh kasus Wa Ode Nurhayati, anggota Banggar DPR dari partai PAN, yang berhasil menabung 50,5 Milyar dari berbagai proyek yang negosiasinya melewati Banggar. Perempuan berkerudung ini saat ini tengah menjalani sidang di pengadilan Tipikor Jakarta. Kemudian Miranda S Gultom, sang mantan DGS BI yang ditetapkan menjadi tersangka sejak 26 Januari 2012 setelah penyelidikan sekian lama menemukan bukti kuat bahwa dia terlibat dalam kasus suap pemilihan dirinya sebagai DGS BI pada tahun 2004. Ada pula Dharnawati, yang terlibat dalam kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) bidang transportasi di Kemenakertrans, dan telah divonis 2,5 tahun. Di daerah, ada Titik Kirnaningsih, istri walikota Salatiga, Jawa Tengah yang terlibat dalam korupsi JLS Salatiga senilai 12,2 Milyar. Lalu Imas Dianasari, hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung yang terbukti menerima suap dari perusahaan yang tengah bersengketa dengan serikat pekerjanya. Tertangkapnya Neneng Sri Wahyuni pada Rabu, 13/6/2012,menambah panjang daftar peserta parade ini. Tersangka kasus korupsi PLTS di Kemenakertrans ini telah buron selama 336 hari, dan menjelajah 192 negara dalam pelariannya. Licin luar biasa. Istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarudin ini didakwa menjadi makelar oper kontrak proyek PLTS yang merugikan negara sebesar 3.8 Milyar. Bias Gender Banyaknya kasus korupsi oleh kaum perempuan anggota legislatif menumbangkan premis bahwa peningkatan keterwakilan perempuan dalam legislatif akan menurunkan tingkat korupsi. Premis ini didasarkan pada keyakinan bahwa secaranatural, perempuan memiliki sifat lebih hati-hati, takut resiko, tidak ambisius, kurang agresif dan kompetitif. Semua sifat itu kurang kondusif bagi dilakukannya korupsi. Parade korupsi oleh kaum perempuan membuktikan bahwa asumsi tadi bias gender. Perempuan juga semakin terbukti berani ambil resiko, tak kalah agresif, ambisius dan kompetitif dibanding laki-laki.

Menurut Danang Widoyoko dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dalam dialog mengenai perempuan dan korupsi yang diadakan oleh Junal Perempuan Februari 2012, korupsi yang rendah di negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, seperti yang terjadi di negara-negara Skandinavia, tidak berkait dengan gender, tetapi lebih kepada kultur masyarakat yang telah bisa membedakan mana publik dan mana privat, parpol yang sangat kompetitif dan akuntabel, serta pengawasan yang melekat kuat oleh masyarakat dan media massa. Selain itu, ada semacam common sense dalam benak masyarakat kita, bahwa patut diduga di balik sosok laki-laki koruptor, ada seorang istri yang serakah atau penuntut. Anehnya, persangkaan yang sama bahwa di belakang perempuan koruptor ada sosok suami yang tamak, jarang atau bahkan tidak mengemuka. Inilah salah satu potret konstruksi bias gender yang nampak dalam fenomena korupsi besar-besaran oleh para perempuan. Gaya hidup ala jetset para perempuan koruptorlah yang disorot dan dituduh menjadi salah satu biang keladi terjadinya korupsi. Padahal sifat matrealistis yang dikonstruksikan milik kaum perempuan mestinya terbantahkan dengan fakta bahwa korupsi oleh kaum laki-laki jauh lebih banyak. Spontanitas ungkapan Perempuan-perempuan kok korupsi! juga merupakan potret bias gender. Ungkapan itu menunjukkan bahwa jenis kelamin yang lain ( laki-laki) dianggap lebih pantas melakukan korupsi dan karenanya lebih dimaklumi. Perempuan, karena dianggap sebagai pihak yang diberi nafkah, dan serangkaian sifat yang secara natural dilekatkan padanya membuat sosok perempuan dinilai tidak pantas melakukan korupsi. Padahal, korupsi adalah perbuatan yang tidak pantas bagi laki-laki maupun perempuan.Fenomena parade korupsi oleh kaum perempuan menunjukkan bahwa korupsi bukanlah persoalan jenis kelamin. Korupsi adalah soal bertemunya lemah iman, dengan niat dan kesempatan. ***
Kutipan di atas saya ambil dari pernyataan Anthony Eden, seorang politikus yang pernah menjadi Perdana Menteri Inggris 19551957. Pesan moral yang lebih penting dari kutipan itu: tidak ada paksaan dalam melakukan korupsi. Artinya, kalau seseorang melakukan korupsi, ia tidak boleh berdalih melakukannya karena terpaksa, katakanlah karena gaji rendah. Hal lain yang juga ingin ditegaskan kutipan di atas: korupsi itu suatu tingkah laku yang disengaja, bukan faktor kebetulan, yaitu tingkah laku yang dilandasi niat atau motivasi tertentu. Bahkan kalau kita lihat dari hasil investigasi terhadap suatu perilaku korupsi, jelas sekali bahwa perbuatan itu sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.Tulisan ini ingin menyoroti perilaku korupsi dari sudut pandang psikologi sebagai ilmu yang menjelaskan tingkah laku manusia. Pertama harus diperjelas dulu apa pengertian korupsi tersebut. Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau mendefinisikannya. Bisa dari perspektif legal, ekonomi, atau politik.Secara umum pengertian korupsi harus diletakkan dalam ranah publik.Artinya kalau Anda menggelapkan uang ayah atau paman Anda, itu tidak bisa digolongkan sebagai korupsi, itu namanya penipuan atau pencurian biasa.Pengertian korupsi sebenarnya selalu melekat dalam konteks publik.

Arrigo dan Claussen (2003) misalnya mendefinisikan korupsi sebagai mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Jadi jelas dalam pengertian ini,segala bentuk penggelapan,pencurian terhadap dana publik untuk menguntungkan diri sendiri adalah perbuatan korupsi. Termasuk juga dalam pengertian ini ketika Anda menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya kepentingan orang yang memberikannya Anda dahulukan (kepentingan publik diabaikan). Jadi otomatis Anda bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah Anda menyalahgunakan kekuasaan publik (abuse of political power or authority). Pertanyaannya adalah mengapa orang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk kepentingan pribadinya? Secara psikologis, jawaban tersebut harus kita telusuri dari halhal yang mendasari orang berperilaku dalam suatu konteks tertentu. Menurut pandangan teori behavioris, tingkah laku seseorang adalah fungsi dari lingkungannya. Tingkah laku yang tampak adalah semata-mata hasil respons seseorang terhadap stimulus dari lingkungannya. Misalnya Anda berperilaku ikut antrean karena lingkungan (sebagai stimulus) mengarahkan Anda untuk antre. Kalau tidak ikut antre, Anda akan menerima konsekuensi tidak menyenangkan dalam bentuk hukuman dan sanksi. Begitu pula sebaliknya kalau Anda ikut antre akan menerima konsekuensi menyenangkan (dalam bentuk hadiah atau pujian). Pola tingkah laku akan stabil mengikuti logika konsekuensi dari imbalan dan hukuman ini. Pandangan ini dianggap terlalu pasif sehingga timbul pandangan lain yang bernama socio-cognitive approach. Pandangan ini menambahkan, selain ditentukan oleh mekanisme imbalanhukuman (reward and punishment) dari lingkungan yang terkesan sangat sederhana, dalam bertingkah laku individu juga ditentukan oleh struktur kognitif yang banyak ia pelajari lewat proses sosial. Teori yang lain, teori kepribadian, menambahkan bahwa individu adalah insan yang mempunyai sifat-sifat (traits) unik tertentu yang membedakan suatu orang dengan orang lain. Dalam kasus korupsi,secara psikologis, tentu menjadi jelas bahwa perbuatan menyalahgunakan wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian. Pertanyaannya: mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

Penelitian-penelitian empiris mengenai korupsi mengonfirmasi anggapan tersebut.Pada umumnya faktor penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek. Pertama, kerusakan pada lingkungan makro (negara) di mana sistem hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi rusak.Kerusakan tersebut menjadi latar lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang. Tentunya menjadi jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulangulang karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Kedua,pengaruh dari iklim koruptif di tingkat meso (misalnya kelompok, departemen). Ketiga karena faktor kepribadian.(*) Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/psikologi-korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai