pada The Sovereign (dalam hal ini berarti raja), dengan tujuan dapat mempunyai kekuatan koersif yang mampu mengatur. Ketika penguasa tidak mampu lagi melakukan kontrol masyarakat yang efektif, maka manusia akan kembali pada keadaan state of nature dan harus memilih leviathan baru. Penggunaan istilah leviathan diambil Hobbes dari nama seekor monster laut yang buas. Hobbes menggunakan istilah ini untuk menggambarkan penguasa yang kuat, mutlak serta ditakuti oleh rakyatnya sehingga akan tercipta keamanan dan ketertiban. Hobbes berpendapat bahwa pemerintahan tirani akan lebih baik daripada pemerintahan anarchy . Menurutnya, meskipun tirani bersifat kejam dan totaliter namun hal tersebut masih lebih baik karena tirani masih mempunyai pemerintah yang berkuasa sehingga dapat mengatur rakyatnya. Sedangkan pemerintahan anarchy adalah keadaan dimana tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur rakyat, sehingga hal ini dapat memicu adanya konflik berkepanjangan serta keamanan yang tidak terjamin. John Locke Pemikiran John Locke sebenarnya sama dengan Thomas Hobbes yang mendasarkan pada empirisme, yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman pancaindera dan bertolak belakang dengan pendapat kaum rasionalis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu terutama berdasarkan dari rasio. Meskipun demikian, rasio berperan juga di dalam proses manusia memperoleh pengetahuan. Locke memandang manusia yang lahir di dunia itu sebagai tabula rasa, yakni ibarat kertas kosong yang tidak mengetahui konsep segala sesuatu. Kebenaran akan terisi sesuai dengan apa yang dituliskan pada kertas tersebut. Seiring perkembangan masa, manusia akan memiliki dua macam pengalaman, yaitu pengalaman lahiriah (external sensation) dan pengalaman batiniah (internal reflection). Pengalaman lahiriah ialah pengalaman yang menangkap segala aktivitas dimana aktivitas tersebut berhubungan dengan panca indera manusia, sebagai contoh adalah kita melihat apel di atas meja. Sedangkan pengalaman batiniah adalah pengalaman yang muncul ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitas empiriknya seperti mengingat aktivitas yang lalu, menghendaki, meyakini dan lain sebagainya. Hanya saja, semasa Locke hidup, dia merasa hidup di tengah-tengah kerajaan despotik sehingga dia berpendapat bahwa penyimpangan yang terjadi sebenarnya adalah tulisan buruk yang mengisi tabula rasa, namun bukan berarti tidak mungkin menciptakan tulisan yang baik pada seluruh tabula rasa. Berkenaan dengan konsep kontrak sosial, Locke menciptakannya atas dasar bahwa manusia itu sebenarnya sama, namun ada yang membedakan diantara manusia-manusia tersebut yakni berkenaan
dengan power yang dimiliki. Terkadang manusia cenderung menggunakan power tersebut demi memenuhi nafsu buruknya (dalam hal ini salah satunya yang dicontohkan oleh Locke adalah kerajaan depostik (terlalu mengekang rakyat) yang kemudian membuatnya lebih mempercayai parlemen daripada raja, untuk itulah diciptakan kontrak sosial dalam upaya untuk melepas dari kondisi yang tidak aman menuju kondisi yang lebih aman. Mekanismenya, setiap anggota masyarakat tidak menyerahkan hakhaknya secara penuh, akan tetapi hanya sebagian saja. Dalam kontrak sosial Locke, masyarakat yang memiliki sumber kewenangan, dalam artian bahwa kepatuhan masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya, hal inilah yang membedakan konsep kontrak sosial antara Hobbes dan Locke. Jika dalam kontrak sosial Hobbes penguasa memiliki kekuasaan yang absolut, maka dalam kontrak sosial Locke, kekuasaannya sangat terbatas. Sumber: Sharma. (1982). Western Political Thought, (Plato to Hugo Grotius). New Delhi: Sterling Private Limited. Suhelmi, Ahmad. (2001). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama