Bidang Keuangan Negara Kemudian dari sisi keuangan negara kebijakan yang dilakukan yaitu meningkatkan ketahanan fiskal dan mewujudkan kesinambungan fiskal. Permasalahan keuangan negara secara umum yaitu terbatasnya sumber-sumber pembiayaan dan besarnya kebutuhan dana untuk mengatasi permasalahan yang terus meningkat terutama untuk mengatasi berbagai macam bencana nasional seperti gempa bumi dan tsunami di NAD dan Sumut serta gempa DIY dan Jateng. Untuk mewujudkan ketahanan fiskal dan kesinambungan fiskal dalam jangka menengah pada sisi penerimaan negara dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Melanjutkan modernisasi administrasi pajak dan kepabeanan dengan penerapan fiturfitur LTO pada Kantor Pajak Madya (KPP MTO) dan Kantor Pajak Pratama (KPP STO) 2. Melanjutkan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan dalam rangka memperluas basis pajak, serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak untuk mendorong kepatuhan sukarela, melalui perluasan sistem e-registration, e-payment dan pembentukan pusat pemrosesan data. 3. Mengembangkan complain center 4. Mempercepat upaya penyelesaian Undang-undang Perpajakan 5. Untuk mengantisipasi perkembangan praktek-praktek perdagangan ilegal, dikembangkan manajemen risiko dalam penetapan jalur pelayanan, pengoptimalan hasil intelijen sebagai sebagai salah satu parameter dalam penerapan jalur pelayanan impor, mengembangkan pangkalan data intelijen dan penerapan Post Seizures Analysis secara efektif dan menerapkan National Single Windows dan ASEAN Single Windows. Untuk meningkatkan ketahuan fiskal negara juga dilakukan melalui peningkatan penerimaan bukan pajak. Kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan PNBP yaitu : 1. Optimalisasi penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam terutama dengan meningkatkan lifting/ produksi minyak tanah. 2. Menyempurnakan administrasi dan Monitoring penerimaan bagian pemerintahan atas laba BUMN
3. Meningkatkan optimalisasi dan efektivitas pemungutan PNBP sektor SDA non-migas 4. Peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing Kementrian/ Lembaga 5. Peningkatan pengawasan dan penyetoran PNBP yang dikelola Kementrian/ Lembaga Kebijakan untuk meningkatkan ketahanan fiskal dan kemandirian fiskal juga ditempuh melalui upaya meningkatkan efektivitas belanja negara seperti peningkatan kesejahteraan aparatur negara, mempertajam prioritas anggaran yang dikelola pemerintah pusat dan daerah, mempertajam prioritas subsidi, menyediakan harga satuan (unit cost) untuk pengadaan barang dan jasa yang menjadi beban APBN, menyusun dan merumuskan peraturan perundang-undangan di bawah UU no. 32 tahun 2004 dan UU no. 33 tahun 2004, menyusun dan merumuskan kebijakan pendapatan daerah, menyusun dan merumuskan kebijakan dalam penetapan alokasi dana transfer, menyusun dan merumuskan kebijakan pendapatan daerah dan harmonisasi.
Indonesia. Forum Tokyo Club kemudian dilanjutkan dengan Paris Meeting tahun 1967 yang merupakan pertemuan multilateral kedua dengan negara-negara kreditur yang berhasil merumuskan kesepakatan untuk melakukan rescheduling hutang-hutang lama dan dilanjutkan dengan pertemuan di Den Haag bulan Februari 1967 untuk membicarakan bantuan baru yang diperlukan Indonesia. Pertemuan di Den Haag itulah yang merupakan embrio berdirinya Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Pertemuan pertama IGGI dihadiri 7 negara anggota yaitu AS, Belanda, Indonesia, Italia, Jerman Barat, Jepang dan Inggris. Negara non anggota yang hadir sebagai peninjau adalah Austria, Kanada, Norwegia, Selandia Baru dan Swiss. Lembaga-lembaga internasional yang berperan penting dalam pembicaraan menyangkut hutang luar negeri Indonesia yaitu IMF, World Bank/ IBRD, ADB dan UNDP. Sebagai peninjau adalah Organization of Economic Corporation and Development (OECD) yaitu satu organisasi yang merupakan wadah perkumpulan negara-negara industri untuk menyalurkan bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang. Pemerintah telah menentukan kriteria pokok dalam permasalahan hutang luar negeri dengan menyelaraskan dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif sesuai GBHN, yaitu : 1. Bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik 2. Syarat pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali 3. Penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek -proyek yang produktif dan bermanfaat Persoalan hutang luar negeri bergeser pada aspek peningkatan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pinjaman luar negeri yang menunjukkan semakin sulitnya mendapatkan pinjaman-pinjaman baru yang bersifat lunak. Efektivitas dan efisiensi pinjaman luar negeri dalam pembangunan infrastruktur misalnya menyangkut seberapa jauh alokasi pinjaman luar negeri mampu memberikan manfaat yang nyata serta seberapa