Anda di halaman 1dari 2

Supaya Enak, Gimana Ngomongnya Ya?

Seorang kawan yang bekerja sebagai trainer pernah bertutur: Jika diadakan tes kepribadian setanah air, agaknya mayoritas orang Indonesia masuk kategori Sanguinis. Mereka ini sangat berkiblat pada pergaulan, penerimaan sosial, pokoknya sangat memperhatikan omongan teman dan pendapat orang lain lah. Pendeknya, mereka berpikir seperti tagline filem Naga Bonar, "Apa kata dunia?" Sangat mendengarkan opini orang lain tentang diri sendiri dan bertindak dari situ. Ini juga dijumpai pada orang Malaysia dan Filipina, namun tidak tampak pada perilaku kebanyakan warga negara lain seperti Korea atau Jerman. Lho, kenapa begitu? Dia jawab, "Karena mereka didominasi banyak kepribadian melankolis dan koleris." Apa pengaruhnya terhadap etos kerja? Dia bilang, proses pengambilan keputusan lambat, karena menunggu kesepakatan dan penerimaan semua pihak. "Ah, orang Jepang juga begitu," bantah saya. "Beda," tukas dia. Orang Jepang dan Korea memang harus mufakat, tapi keputusannya didorong "renungan internal" alias introspeksi yang mendalam. Maklumlah, melankolis kan? Jadi outputnya berupa hasil renungan mendalam yang digabung bersama, bukan karena rasa `nggak enak' sama orang lain. Ditambah lagi mentalitas instan, wah, kok makin ciut saja harapan kita untuk gemar berpikir panjang sebelum memutuskan. Apakah kepribadian Sanguinis itu berpengaruh pada gaya komunikasi kita? Saya kira: Ya. Kita cenderung menganggap orang yang "enak diajak ngobrol" punya nilai lebih. Makin hebat ngobrolnya, makin tinggi value-nya. Tidak heran, di negeri ini gosip seputar artis dan rumor di lantai bursa bisa sama panasnya. "Ngobrolnya enak," begitu biasanya komentar kita tentang figur yang dirasa hebat. Beda banget dengan komentar orang Barat, "He thinks great," atau "She is reasonable." Pemikirannyalah yang mereka segani. Tuhan Mahaadil: Para Sanguinis ini dibekali juga kecenderungan doyan pamer. Inilah yang menjadi modal mereka untuk berani nongol di depan umum. Tapi tak banyak urusan selesai hanya dengan nekad tampil lalu ngobrol. Kalau Anda harus menjelaskan pembunuhan sadis atau tubrukan mobil kantor, mustahil membenahi situasi dengan ngobrol. Di sinilah kita gemar saling lempar, "Kamu deh yang ngomong, kan lebih ngerti." "Ah, kamu aja. Saya nggak pantas." Sebetulnya semuanya mengerti duduk persoalan dan semuanya pun sama pantas. Yang tidak ada ialah kemampuan (dan kemauan) bicara di depan audiens. Semua merasa "tidak tahu gimana ngomongnya supaya enak" karena bukan sekedar ngobrol Kemahiran semacam itu harus dilatih. Itu public speaking bicara depan umum.

Public Speaking sejati bukan asal ngobrol jadi wajar kalau terkesan repot dan tidak enak. Hm, masa' mau bicara saja pakai dilatih segala? Dalam situasi kritis: Pesawat jatuh, olah TKP, atau mobil kantor yang lecet tadi, semuanya butuh orang-orang yang terlatih untuk berbicara menyampaikan fakta. Jika Anda merasa cukup bermodal jago ngobrol, lupakanlah: Public Speaking sama sekali beda! Kesuksesan Public Speaking itu ada pada persiapan. Tidak satupun penyataan (dan tanggapan) yang keluar dari mulut public speaker kawakan tanpa dirancang lebih dulu. Serba dibuat-buat dong? Tidak, karena justru di sini seninya: Public Speaking yang baik itu alamiah. Tidak manipulatif. Dalam Public Speaking, Anda bukan bicara untuk menyenangkan perasaan audiens. Yang Anda lakukan ialah berbicara untuk membuat segalanya terdengar alamiah. Jadi dalam situasi demikian, gimana ngomongnya supaya enak? Buatlah agar alamiah. Bagaimana supaya alamiah? Persiapkan diri

Salam Tantowi Yahya Public Speaking School www.tantowi-yahya.com

Anda mungkin juga menyukai