Anda di halaman 1dari 4

Para ahli percaya bahwasanya multifaktorial berperan bersama-sama dalam menjadikan asma sering kambuh di malam hari.

Penyebab penyebab yang diyakini memberikan kontribusi dalam mencetuskan asma pada malam hari antara lain, ritme sirkardian, pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen, pengaruh tidur, perubahan sekresi saluran nafas, posisi berbaring, GERD (Gastroesophageal Reflux Disorder), dan perubahan suhu. Pertama adalah ritme sirkaridian. Pada abad 19, Salter merupakan orang pertama yang memahami bahwa ritme sirkardian berperan dalam kambuhnya asma di malam hari. Fungsi tubuh tertentu berkurang dan memuncak pada variasi waktu setelah melewati periode 24 jam. Contohnya, pada banyak orang fungsi paru memuncak pada pukul 4 sore dan mencapai titik terendah pada pukul 4 pagi. Pencapaian titik terendah tersebut adalah periode dimana serangan asma sering terjadi, mungkin dikarenakan tubuh lebih rentan untuk diserang pada waktu tersebut. Siklus circadian atau biasa disebut variasi diurnal tergantung siklus tidur dan bangun seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang bekerja pada malam hari dan tidur selama siang hari lebih mungkin mendapat serangan asma selama siang hari. Akhir akhir ini juga telah diketahui bahwa hormone melatonin mungkin memainkan peran penting dalam mencetuskan serangan asma pada malam hari. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pineal yang membantu mengatur ritme sirkardian seperti makan dan tidur. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa melatonin juga meningkatkan jalur alergi peradangan, sehingga membuat serangan asma lebih mungkin terjadi. Dari penelitian diketahui bahwa asma yang muncul pada malam hari ada korelasi dengan ritme sirkardian hormon dalam darah dan tonus parasimpatis. Pada awalnya diketahui bahwa kortisol dalam darah memegang peranan penting pada serangan asma malam hari. Hal itu dikarenakan pada variasi diurnal kadarnya yang terendah didapati antara pk 24.00 dan pk. 1.00, tetapi akhirakhir ini diketahui ternyata peranan kortisol darah tidaklah besar. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan kadar katekolamin bersamaan dengan penurunan PEFR pada malam hari dan penurunan yang terendah didapati pada pukul 04.00. Selain itu ada pula hubungan terbalik antara keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin naik pada pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR. Selain itu epinefrin yang merupakan suatu beta adrenergic agonist yang kuat juga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat mengurangi bronkokonstriksi. Jadi perubahan siklus sirkardian epinefrin dalam darah membangkitkan asma malam hari dengan mengurangi bronkodilatasi dan membantu pelepasan mediator bronkhogenik dari sel mast. Pengurangan epinefrin pada malam hari mengakibatkan meningkatnya kadar asetilkolin yang mengakibatkan bertambahnya respon pada penderita asma yang hiperresponif terhadap neurotransmiter ini. Ada juga bukti bahwa kolinergik juga meningkat pada malam hari dan menyebabkan asma muncul malam hari. Peningkatan kolinergik itu diduga merupakan efek lanjut dari penurunan kadar adrenalin yang menyebabkan berkurangnya inhibisi adrenergik. Kedua adalah pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen. Pengaktifan sel mast bukan hanya menimbulkan reaksi asma awal dengan penyumbatan bronkus tetapi pada beberapa penderita

dapat memperberat serangan asma 6 jam kemudian yang dikenal sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma lambat ini merupakan karakteristik asma kronis. Karakteristik asma tersebut memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan pemicu iritasi. Kebanyakan gejala ini berkembang dalam waktu empat sampai delapan jam setelah terpapar. Karena risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari, reaksinya lebih mungkin terjadi pada malam hari. Sehingga reaksi yang tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya asma pada malam hari. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa alergen memegang perangan dalam patogenesis asma yang muncul malam hari(Chen, 1982). David dick pernah melakukan penelitian dengan memaparkan penderita pada debu gandum, maka akan timbul asma akut dan wheezing yang kambuh kembali pada malam hari selama seminggu kemudian, walaupun pada siang hari faal parunya normal(Davies, 1976). Disamping itu, Cockroft juga melakukan penelitian dengan pemaparan alergen pada dua penderita. Pada penelitian tersebut terjadi reaksi lambat pada kedua penderita yang menjadikan asma timbul malam harinya dan muncul selama beberapa hari berikutnya(Chockroft, 1984). Para peneliti ini mendapatkan bahwa alergen meningkatkan reaktivitas bronkus yang perubahan maksimalnya terjadi pada waktu serangan asma malam hari. Peningkatan hiperreaktivitas bronkus tersebut bertahan walaupun wheezing malam hari telah hilang dan FEV 1 telah kembali normal. Para peneliti ini berkesimpulan bahwa reaktivitas bronkus non spesifik meningkat terhadap pemaparan satu antigen yang mengakibatkan respon asma lambat, sehingga dapat menyebabkan asma muncul pada malam hari. Penting diingat bahwa pemaparan tunggal terhadap alergen dapat memulai deretan peristiwa yang menjurus ke pada peningkatan penyumbatan dan hiperreaktivitas bronkus. Selanjutnya perubahan-perubahan ini dapat bertahan untuk beberapa hari setelah pemaparan antigen tunngal. Selain itu derajat penyumbatan akan menjadi lebih berat bila pemaparan antigen terjadi pada malam hari(Cervais, 1977). Proses lain yang mendukung reaksi alergi ini, antara lain kontrol saraf autonom terhadap sekresi sel mast, penurunan kadar katekolamin malam hari, dan tingginya tonus saraf simpatis yang menyokong pelepasan mediator-mediator sel mast. Ketiga adalah pengaruh tidur. Pengaruh tidur dalam patogenesis asma yang muncul pada malam hari telah menarik perhatian para peneliti dan hasilnya masih dipertentangkan. Lopes berkesimpulan bahwa pada orang normal, sewaktu tidur terjadi kenaikan resistensi bronkus 230% dibandingkan pada waktu bangun(Lopes, 1983). Perubahan resistensi ini mungkin berhubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus pada bagian atas sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama tidur. Jika hal ini terjadi pada penderita asma maka penyumbatan bronkus akan menjadi lebih besar lagi. Clark dan Hetzel meneliti variasi diurnal faal paru pada pekerja-pekerja dengan asma dan mendapatkan variasi diurnal peak flow rate berhubungan dengan tidur tapi tidak dengan waktunya(Clark, 1977; Hetzel, 1979). Bila pekerja-pekerja mengubah bekerja pada malam hari, maka serangan asma terjadi pada waktu tidur siang hari. Peneliti-peneliti lain mendapatkan hasil yang bertentangan mengenai pengaruh tidur dan variasi diurnal atau ritme sirkardian pada malam hari. Ada yang menyatakan bahwa pengaruh ritme sirkardian jam 3.00 subuh pada peak expiratory flow rate lebih berperan dibandingkan tidur itu sendiri. Sehingga dapat kita simpulkan

bahwa tidur memegang peranan dalam penyempitan saluran nafas, tetapi bukanlah yang terpenting. Keempat adalah perubahan sekresi saluran nafas. Seperti yang kita ketahui bersama, penyumbatan lendir membantu obstruksi bronkus pada penderita asma. Begitu juga retensi sekresi bronkus pada malam hari juga membantu gejala-gejala asma yang muncul malam hari. Dari penelitian diketahui bahwa berkurangnya pembersih mukosilier ini terutama terjadi pada malam hari. Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah fenomena ini lebih berat pada penderita asma dan apakah berperan mengakibatkan wheezing pada malam hari(Bateman, 1978). Rhinosinusitis kronik dan postnasal drip keduanya dipercaya menjadi faktor yang berkontribusi pada asma yang muncul malam hari. Pada banyak orang dengan penyakit asma, saluran pernapasan menjadi lebih meradang pada malam hariya. Kelima adalah posisi berbaring. Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan mengalami gangguan faal paru yang progresif dan PEFR turun 13% selama 2 jam berbaring dan 24% selama 4 jam berbaring. Gangguan ini reversibel dan akan kembali normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi telentang untuk jangka waktu yang lama juga menyebabkan serangan asma pada malam hari, walaupun mekanismenya belum jelas(Popping, 1988). Keenam adalah Gastroesophageal Reflux Disoerder. Banyak diantara para pasien asma juga mengalami acid reflux atau GERD (Gastroesophageal Reflux Disorder) yang ternyata memiliki keterkaitan dengan munculnya asma di malam hari. GERD terjadi ketika katup yang memisahkan esophagus dan lambung mengalami malfungsi dan menjadikan isi lambung (asam dan enzim pencernaan) memasuki esophagus. Kondisi ini akan memburuk pada malam hari dikarenakan pada posisi tidur dengan berbaring katub akan lebih mudah terbuka. Jika ini terjadi, dinding esophagus akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan nyeri dada, sendawa, dan nyeri perut. Iritasi dan batuk yang sering dihasilkan dari kenaikan asam lambung ini dapat memicu gejala asma. Pada Refluks gastro-oesophageal pembersihnya cepat pada siang hari, tetapi pada penderita oesophagitis selalu terjadi refluks pada malam hari karena aktivitas otot oesophagus berkurang dan pembersihan asam diperlambat. Refluks pada malam hari ini dapat menimbulkan serangan asma dan pengobatan refluks pada penderita asma dapat memperbaiki pernafasan(Davies, 1976; Chockroft, 1984). Ketujuh adalah perubahan suhu. Udara dingin diketahui sebagai salah pencetus asma. Di samping itu suhu tubuh dapat turun dengan cepat selama tidur, yang mana dapat membantu mencetuskan serangan sama. Itulah faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kambuhnya asma di malam hari. Dari berbagai faktor penyebab tersebut, ada faktor yang dapat kita kendalikan dan ada faktor yang tidak dapat kita kendalikan. Kita tidak mungkin mencegah penyakit asma yang muncul malam hari secara

keseluruhan, tetapi rencana pencegahan dan perawatan yang tepat dapat secara drastis mengurangi insiden dari gejala. Sehingga pencegahan yang paling tepat, pertama adalah mencegah faktor faktor yang berperan sebagai pencetus asma pada malam hari sehingga dapat mencegah hiperreaktivitas bronkhus. Kedua adalah pengobatan yang digunakan untuk mencegah hiperreaktivitas bronkhus, yaitu dengan kortikosteroid inhalasi. Ketiga adalah mencegah bronkhokontriksi dengan menggunakan slow-release theophyline, slow-release beta agonist atau obat antikholonegik inhalasi. Kambuhnya serangan asma pada malam hari adalah merupakan sifat dari asma dan bukan keistimewaan akibat ritme sirkardian. Faktor-faktor lain seperti pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen, pengaruh tidur, perubahan sekresi saluran nafas, posisi berbaring, GERD (Gastroesophageal Reflux Disorder), dan perubahan suhu juga turut membantu wheezing pada malam hari, tetapi bukanlah faktor yang paling dominan. Jadi asma nokturnal itu adalah akibat dari interaksi yang kompleks beberapa faktor endogen dengan faktor lingkungan dan pencegahan yang paling tepat adalah mencegah faktor pencetus serta mengontrol reaktivitas bronkhus dengan obat-obatan. Demikianlah analisis pengaruh waktu malam hari terhadap munculnya penyakit asma sehingga dapat menjadi dasar dalam preventif asma nokturnal.

Anda mungkin juga menyukai