Anda di halaman 1dari 15

Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah

berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).

Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut. Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar

Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Premi Jaminan Kematian Penghasilan bruto Pengurangan 1. Biaya jabatan 5%x3.024.000,00 2. Iuran Pensiun 3. Iuran Jaminan Hari Tua 151.200,00 50.000,00 60.000,00

3.000.000,00 15.000,00 9.000,00 3.024.000,00

261.200,00 Penghasilan neto sebulan Penghasilan neto setahun 12x2.762.800,00 PTKP - untuk WP sendiri - tambahan WP kawin 24.300.000,00 2.025.000,00 26.325.000,00 Penghasilan Kena Pajak setahun Pembulatan PPh terutang 5%x6.828.000,00 PPh Pasal 21 bulan Juli 341.400,00 : 12 Catatan:

2.762.800,00

33.153.600,00

6.828.600,00 6.828.000,00

341.400,00

28.452,00

Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.

Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00

Penghasilan, adalah pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Penghitungan besarnya penghasilan dan PPh yang terutang untuk satu tahun pajak secara prinsip hanya bisa dilakukan manakala tahun pajak yang bersangkutan telah berakhir dan WP sudah melakukan tutup pembukuan. Dengan demikian, penghitungan besarnya penghasilan dan besarnya PPh yang terutang tersebut baru dapat diketahui pada saat WP membuat SPT Tahunan PPh.

Akan tetapi dalam konteks perpajakan Indonesia, WP tidak diperkenankan melakukan pembayaran seluruh jumlah PPh yang terutang sekaligus hanya pada saat menyampaikan atau melaporkan SPT Tahunan PPh kepada kantor pajak. WP dalam hal ini diwajibkan untuk mengangsur atau mencicil pembayaran PPh-nya selama tahun pajak berjalan, sebelum membuat dan melaporkan SPT Tahunan PPh. Tapi bagaimana menghitungnya? Bukankah dalam tahun berjalan jumlah penghasilannya belum diketahui dengan pasti?

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ketentuan dan peraturan perpajakan sudah memberikan jawaban serta cara penghitungan angsuran PPh Pasal 25. Ketentuan umum mengenai penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 ini diatur dalam peraturan-peraturan berikut:

Pasal 25 UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 Tahun 2008; Peratuan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 255/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 208/PMK.03/2009 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25;

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Berikut ini akan diberikan beberapa ilustrasi serta contoh penghitungan jumlah PPh Pasal 25 yang harus disetor oleh WP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PPh Pasal 25 Wajib Pajak Lama Dalam hal ini yang dimaksud dengan WP lama adalah WP yang sudah menyampaikan SPT Tahunan PPh, baik orang pribadi maupun WP badan (perusahaan/company). Menurut Pasal 25 ayat (1) UU PPh, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun pajak berjalan dihitung sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lain dikurangi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang telah dipotong/dipungut pihak lain serta PPh Pasal 24 (kredit pajak luar negeri). Maksud dari kata tahun pajak berjalan adalah tahun pajak berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh. Sedangkan ...SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lain.. adalah SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya.

Misalnya saat ini kita sedang berada di Tahun Pajak 2013, tepatnya di bulan Maret 2013, maka tahun 2013 inilah yang disebut dengan tahun pajak berjalan. Dan karena PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 ini dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya, dengan demikian PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 ini dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012.

PPh Pasal 25 Kondisi Biasa Dalam kondisi biasa, PPh Pasal 25 untuk tahun berjalan dapat dihitung dengan mudah. Rumusnya = PPh yang terutang dikurangi dengan kredit PPh Pasal 21 (khusus untuk orang pribadi), kredit PPh Pasal 22, kredit PPh Pasal 23 dan kredit PPh Pasal 24, kemudian hasilnya dibagi dengan 12 (dua belas) bulan. Semua angka yang ada dalam rumus ini diambil dari angka-angka yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya. Misalnya PT ABC pada bulan April 2013 melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 dengan keterangan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak (penghasilan neto) dan PPh yang terutang, yang dilaporkan di Induk SPT Tahunan PPh, masing-masing sebesar Rp 500.000.000,00 dan Rp 125.000.000,00 (asumsi tarif PPh Badan yang digunakan 25%);

Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dilaporkan di Formulir 1771-III (Kredit Pajak Dalam Negeri) total berjumlah Rp 100.000.000,00;

Kredit PPh Pasal 24 yang dilaporkan di Lampiran Khusus 7A (Kredit Pajak Luar Negeri) berjumlah Rp 10.000.000,00.

Dari ketiga keterangan tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 ini bisa dihitung sebesar = (Rp 125.000.000,00 Rp 110.000.000,00) 12 bulan = Rp 1.250.000,00. Dengan demikian, PPh Pasal 25 yang harus disetorkan PT ABC setiap bulan di tahun 2013 ini Rp 1.250.000,00.

Ada Penghasilan Tidak Teratur Jika misalnya dalam Penghasilan Kena Pajak (Rp 500.000.000,00) tersebut ada penghasilan tidak teratur (irregular income), maka PPh yang terutang dalam rumus di atas dhitung ulang terlebih dahulu. Misalnya jika dalam Penghasilan Kena Pajak itu termasuk penghasilan berupa laba-rugi penjualan aset, penggantian asuransi, dan penghasilan-penghasilan lain yang bersifat insidentil.

Jika PT ABC dalam contoh di atas tidak bergerak di bidang usaha jual-beli valuta asing (money changer), maka laba-rugi selisih kurs juga termasuk sebagai penghasilan yang bersifat tidak teratur. Namun demikian jika dalam setiap transaksi yang dilakukannyanya PT ABC menggunakan mata uang asing, maka laba-rugi selisih kurs yang terjadi merupakan penghasilan teratur meski PT ABC bukan money changer.

Dalam penghitungan ulang PPh terutang ini, variabel penghasilan-penghasilan yang tidak teratur dikeluarkan dari Penghasilan Kena Pajak. Pengertian dari kata dikeluarkan di sini bisa berarti ditambahkan atau dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak (penghasilan neto).

1. Jika misalnya dalam Rp 500.000.000,00 tersebut termasuk laba penjualan aktiva (asset), maka laba penjualan aktiva itu dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak tersebut untuk mencari nilai atau jumlah penghasilan neto teraturnya; 2. Jika misalnya jumlah Rp 500.000.000,00 tersebut adalah jumlah penghasilan neto (Penghasilan Kena Pajak) setelah dikurangi dengan rugi selisih kurs (atau rugi penjualan aktiva, atau kerugian insidentil lainnya), maka rugi selisih kurs harus ditambahkan kembali ke penghasilan neto untuk mencari kembali jumlah penghasilan teraturnya.

Kita misalkan jumlah Penghasilan Kena Pajak PT ABC, yang sebesar Rp 500.000.000,00, terdiri dari penghasilan neto dari kegiatan usaha setelah ditambah dengan laba penjualan aktiva Rp 10.000.000,00 dan rugi selisih kurs Rp 15.000.000,00. Ini berarti Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari kegiatan usaha (penghasilan teratur) adalah = Rp 500.000.000,00 (-) Rp 10.000.000,00 (+) Rp 15.000.000,00 = Rp 495.000.000,00. Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 25-nya adalah seperti berikut:

Penghasilan Kena Pajak = Rp 495.000.000,00 PPh Terutang (asumsi tarif PPh 25%) = Rp 123.750.000,00 Kredit PPh (asumsi sama seperti contoh pertama) = Rp 110.000.000,00 PPh yang harus dibayar sendiri = (Rp 123.750.000,00 Rp 110.000.000,00) = Rp 13.750.000,00 PPh Pasal 25 bulanan = (Rp 13.750.000,00 12 bulan) = Rp 1.145.833,00.

PT ABC harus membuat perhitungan PPh Pasal 25 tersebut pada lembaran lain dan harus dilampirkan saat melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 ke kantor pajak.

Ada Kompensasi Kerugian Fiskal Jika PT ABC dalam contoh di atas mengalami kerugian fiskal pada tahun 2011, maka sesuai ketentuan kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan kepada penghasilan neto tahun 2012. Dan apabila masih ada sisa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun pajak 2013, maka sisa kerugian tersebut dapat diperhitungkan untuk penghitungan PPh Pasal 25 tahun pajak 2013.

Misalnya dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 PT ABC melaporkan kerugian sebesar Rp 750.000.000,00, maka untuk tahun pajak 2012 PT ABC dapat mengkompensasikan kerugian tahun 2011 itu terhadap penghasilan neto tahun 2012. Karena penghasilan neto tahun 2012 hanya sebesar Rp 500.000.000,00 berarti masih ada sisa kerugian yang dapat dikompensasi ke tahun pajak berikutnya (maksimal sampai tahun pajak 2016) yaitu sebesar Rp 250.000.000,00.

Jadi meskipun di tahun 2012 ini PT ABC memperoleh laba neto (Rp 500.000.000,00) tetapi PT ABC tidak perlu membayar PPh badan di SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 (SPT Tahunan PPh Badan PT ABC di Tahun Pajak 2012 akan menyatakan Nihil karena ada kompensasi rugi dari tahun sebelumnya).

Akan tetapi, PT ABC dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 tersebut tetap harus menghitung PPh Pasal 25 untuk tahun 2013. Sebab di tahun 2012 PT ABC masih memperoleh laba atau penghasilan neto. Dan untuk menghitung PPh Pasal 25 ini, sisa kompensasi rugi (Rp 250.000.000,00) ikut diperhitungkan dan dikurangkan dari penghasilan neto tahun 2012. Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 adalah seperti berikut:

Penghasilan Kena Pajak = Rp 500.000.000,00 (-) Rp 250.000.000,00 = Rp 250.000.000,00 PPh Terutang (asumsi tarif PPh 25%) = Rp 62.500.000,00 Kredit PPh (asumsi sama seperti contoh pertama) = Rp 110.000.000,00 PPh yang harus dibayar sendiri = (Rp 123.750.000,00 Rp 110.000.000,00) = Rp 0,PPh Pasal 25 bulanan = Rp 0,- (tidak ada angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar dalam tahun 2013).

PT ABC harus membuat perhitungan PPh Pasal 25 tersebut pada lembaran lain dan harus dilampirkan saat melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 ke kantor pajak.

PPh Pasal 25 hasil penghitungan-penghitungan tersebut di atas (baik dalam kondisi biasa, ada penghasilan tidak teratur maupun ada kompensasi kerugian fiskal) mulai berlaku untuk bulan (Masa Pajak) dilaporkannya SPT Tahunan PPh yang bersangkutan. Sedangkan untuk bulan sebelum SPT disampaikan, PPh Pasal 25 yang harus dibayar adalah sebesar PPh Pasal 25 untuk bulan Desember tahun sebelumnya.

Jadi jika misalnya PT ABC melaporkan SPT Tahunan PPh 2012 ke kantor pajak pada bulan April 2013, maka PPh Pasal 25 yang yang dihitung di atas berlaku mulai bulan (Masa Pajak) April 2013 sampai Masa Pajak Desember 2013. Sedangkan untuk bulan Januari sampai dengan Maret 2013, besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh PT ABC adalah sama seperti yang dibayar untuk bulan (Masa Pajak) Desember 2012.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) A. Pengantar 1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai a. Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu. b. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan melaporkannya. c. Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan namanya maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya, sehingga

meskipun PPN dikenakan beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda. d. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%. e. Merupakan beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir. f. Netral terhadap persaingan. PPN bukan merupakan beban yang menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat penjualan. g. Menganut destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.

2. Dasar Hukum a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. b. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 2000. c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. d. Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006. e. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003. f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

3. Istilah Umum a. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. b. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. c. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. d. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf c. e. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. f. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. g. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf f. h. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. i. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean. j. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean. k. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. l. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya. m. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. n. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud dalam huruf m yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. o. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam huruf n yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. p. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. q. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. r. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. s. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undangundang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. t. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undangundang ini. u. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut. v. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut. w. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. x. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. y. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. z. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

aa. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.

B. Objek Pajak 1. Objek Pajak Pertambahan Nilai a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. 2. Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. 3. Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b. jasa di bidang pelayanan sosial; c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e. jasa di bidang keagamaan; f. jasa di bidang pendidikan; g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; j. jasa di bidang tenaga kerja; k. jasa di bidang perhotelan; l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. 4. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah a. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :

kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran televisi; kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga; kelompok mesin pengatur suhu udara;

kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio; kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.

b. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:

kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut pada huruf a; kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya; kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang disebut pada huruf a;

kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering, pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;

kelompok wangi-wangian;

c. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah:

kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;

kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf a.

d. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah :

kelompok minuman yang mengandung alkohol; kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan; kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool; kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;

kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;

kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang disebut pada huruf c, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;

kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak;

kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara; kelompok jenis alas kaki; kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor; kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau keramik; Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain batu jalan atau batu tepi jalan.

e. Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), adalah:

kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus; kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada huruf d, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;

kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf a dan huruf c; kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.

f. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :

kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut pada huruf d; kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau campuran daripadanya;

kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.

g. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :

kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; dan

kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.

h. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah :

kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan

kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.

i. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:

kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc; dan

kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder sampai

dengan 1500 cc. j. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa :

kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;

kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc; dan

kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.

k. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf. l. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:

kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.

m. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :

kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;

kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc;

kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc; trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

n. Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah:

kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan umum;

kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan; kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih termasuk pengemudi, dengan

motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;

kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.

C. Tarif Pajak 1. Pajak Pertambahan Nilai a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen). 2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). b. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

D. Cara Menghitung Pajak 1. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak. 2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. 3. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. 4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. 5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. 6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. 8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan

dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 9. Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);

pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

10.Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Anda mungkin juga menyukai