Anda di halaman 1dari 6

JNC VII menyarankan beberapa hal dalam menjaga pola hidup untuk mencegah hipertensi, antara lain: 1.

Penurunan berat badan bagi yang obesitas, 2. Perencanaan pola makan yang ketat, namun kaya akan potassium dan kalsium, untuk mencegah hipertensi. DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), 3. Aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi pasien, 4. Penghentian konsumsi obat.

Obat-obat Antihipertensi Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta (blocker), Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis kalsium (Nafrialdi, 2007). a. Diuretik Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya (Nafrialdi, 2007). Natrium menurunkan tahanan vaskuler dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf, yang diduga berkaiatan dengan terjadinya peningkatan pertukaran natrium-kalsium dengan hasil akhir peningkatan kalsium intraseluler. Efek tersebut dapat dikurangi dengan pemberian diuretik atau pengurangan natrium (Benowitz, 2001). Diuretik terutama golongan tiazid merupakan obat lini pertama dalam pengobatan hipertensi. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi : tiazid, loop, agen penahan kalium dan antagonis aldosteron (Anomin, 2006). 10 1). Golongan Tiazid Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat. Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid, bendroflumotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon) (Nafrialdi, 2007). Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (+ GFR >30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia dan disfungsi seksual (Anonim, 2006). 2). Diuretika Kuat (loop diuretics) Diuretika kuat menghambat resorpsi cairan dari loop Henle asending dalam tubulus ginjal dan merupakan diuretika yang kuat (Anonim, 2000). Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kretinin serum >2,5 mg/dL) atau gagal jantung (Nafrialdi, 2007). Termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemid, torasemid, bumetanid dan asam etakrinat. Efek samping diuretik kuat 11 hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik kuat menimbulkan

hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah (Anonim, 2006). 3). Diuretik Hemat Kalium Amilorid dan triamteren merupakan diuretika lemah. Keduanya menyebabakan retensi kalium karenanya digunakan sebagai alternatif yang lebih efektif daripada memberikan suplemen kalium pada penggunaan diuretika kuat atau tiazid (Anonimb, 2007). Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien gagal ginjal, atau bila dikombinasikan dengan penghambat ACE, ARB, -blocker, AINS atau dengan suplemen kalium (Nafrialdi, 2007). Spironolakton juga merupakan diuretika hemat kalium, dan memperkuat tiazid atau diuretika kuat dengan cara mengantagonisasi aldosteron (Anonim, 2000). b. Penyekat Reseptor Beta (-blocker) Menurut Nafrialdi (2007) berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat penggunaan -bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor 1, antara lain: 1. penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung 2. hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II 12 3. efek sentral yang mempengaruhi aktivitas simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin. c. Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin (Penghambat ACE) Penghambat ACE bekerja dengan cara menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II . Obat-obat golongan ini efektif dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Penghambat ACE harus dipertimbangkan untuk pengobatan hipertensi bila tiazid dan beta-bloker dikontraindikasikan, tidak dapat ditoleransi, atau gagal mengendalikan tekanan darah. Termasuk dalam golongan obat ini adalah kaptopril, elanapril dan lisinopril (Anonim, 2000). Obat-obat golongan ini terutama diindikasikan untuk hipertensi pada diabetes tergantung insulin dengan nefropati, dan mungkin untuk hipertensi pada semua pasien diabetes (Anonimb, 2007). Interaksi obat yang penting termasuk interaksi dengan suplemen kalium ataupun diuretik hemat kalium, yang dapat mengakibatkan hiperkalemia. Obat antiinflamasi nonsteroid dapat menghambat efek hipotensi penghambat ACE dengan menyekat efek vasodilatasi bradikinin, paling sedikit untuk sebagian, terjadi melalui prostaglandin (Benowitz, 2001). d. Penyekat Reseptor Angiotensin II (ARB) ARB menghambat secara langsung reseptor Angitensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia: 13 vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus (Anonim, 2006). Berbeda dengan penghambat ACE, obat-obat golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tampaknya tidak menimbulkan batuk kering persisten yang biasanya mengganggu terapi dengan penghambat ACE. Termasuk antagonis Angiotensin II yang spesifik adalah losartan, valsartan, kandesartan dan irbesartan (Anonim, 2000). e. Calcium Channel Blockers (CCB) Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi (Nafrialdi, 2007).

Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridin. Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinamik yang lain. Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik sedangkan nifedipin yang bekerja dengan cepat telah dikaitkan dengan meningkatnya insiden efek samping kardiovaskuler (Anonim, 2006). f. Antihipertensi Golongan Lain Termasuk dalam golongan ini adalah antihipertensi dari golongan penghambat saraf adrenergik (-1 blocker), agonis -2 sentral dan vasodilator. Agen penghambat adrenergik (-2 blocker) antara lain Metildopa dan Klonidin. Keduanya bekerja dengan menghambat reseptor -2 sehingga menyebabkan 14 vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer

KOmplikasi Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung.4 Diagnosis Evaluasi hipertensi Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi: 1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular atau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga dapat memberi petunjuk dalam pengobatan (Tabel 3) 2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi 3. Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis. Diagnosis Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer karena pasien dengan hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya (lihat tabel 2). GEJALA KLINIS

Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai faktor resiko tambahan (lihat tabel 3), tetapi kebanyakan asimptomatik. Faktor resiko mayor Hipertensi Merokok Obesitas (BMI 30) Immobilitas Dislipidemia Diabetes mellitus Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan) Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55 tahun atau perempuan < 65 tahun) Kerusakan organ target Jantung : Left ventricular hypertrophy Angina atau sudah pernah infark miokard Sudah pernah revaskularisasi koroner Gagal jantung Otak : Stroke atau TIA Penyakit ginjal kronis Penyakit arteri perifer Retinopathy BMI = Body Mass Index; GFR= glomerular Filtration Rate; TIA = transient ischemic attack Pemeriksaan laboratorium2 Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium, kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 12 jam) termasuk HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai. Kerusakan organ target Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan diagnostik sebelumnya guna membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti: Otak: stroke, TIA, dementia Mata: retinopati Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard, pernah revaskularisasi koroner Ginjal: penyakit ginjal kronis Penyakit arteri perifer

Pghbg grs tebal adlh kombinasi yg baek

Hipertensi dan Angina Pektoris JNC 7 recommends BBs or long-acting CCBs as first-line agents. JNC 7 merekomendasikan BBS atau CCBS panjang bertindak sebagai agen lini pertama. Patients with acute coronary syndrome (unstable angina or myocardial infarction) should be initiated on BBs and ACEIs. Pasien dengan sindrom koroner akut (angina tidak stabil atau infark miokard) harus dimulai pada BBS dan ACEIs. After myocardial infarction, BBs, ACEIs, and aldosterone antagonists have been shown to be beneficial. Setelah infark miokard, BBS, ACEIs, dan antagonis aldosteron telah terbukti bermanfaat. Hypertension and Heart Failure Hipertensi dan Gagal Jantung ACEIs and BBs should be instituted in hypertensive patients with asymptomatic heart failure. ACEIs dan BBS harus dilembagakan pada pasien hipertensi dengan gagal jantung tanpa gejala. Recent data suggest that patients with symptomatic ventricular dysfunction or end-stage heart disease also would benefit from other agents such as BBs, ARBs, and aldosterone antagonists. Data terakhir menunjukkan bahwa pasien dengan disfungsi ventrikel gejala atau stadium akhir penyakit jantung juga akan mendapat manfaat dari agen lain seperti BBS, ARB, dan antagonis aldosteron. In cases of inadequate blood pressure control, the long-acting CCB amlodipine provides a safe option for the hypertensive patient with heart failure. 14 Dalam kasus mengontrol tekanan darah yang tidak memadai, acting CCB amlodipine-panjang memberikan pilihan yang aman untuk pasien hipertensi dengan gagal jantung. 14 Hypertension and Diabetes Mellitus Hipertensi dan Diabetes Mellitus JNC 7 suggests thiazide-type diuretics, BBs, ACEIs, ARBs, and CCBs for patients with hypertension and diabetes mellitus. JNC 7 menyarankan diuretik thiazide-jenis, BBS, ACEIs, ARB, dan CCBS untuk pasien dengan hipertensi dan diabetes mellitus. These agents have shown benefit in reducing the incidence of CV disease and stroke in diabetic patients. Agen ini telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi kejadian penyakit CV dan stroke pada pasien diabetes.

Hypertension and Renal Disease Hipertensi dan Penyakit Ginjal JNC 7 recommends that patients with hypertension and renal disease receive ACEIs or ARBs. JNC 7 merekomendasikan bahwa pasien dengan hipertensi dan penyakit ginjal menerima ACEIs atau ARB. Doserelated biochemical adverse effects, such as an increase in serum creatinine (~35% above baseline) or mild hyperkalemia, should not limit the use of these agents. efek biokimia Dosis-terkait merugikan, seperti peningkatan kreatinin serum (~ 35% di atas dasar) atau hiperkalemia ringan, seharusnya tidak membatasi penggunaan agen ini. Nonetheless, patients should be closely monitored. Meskipun demikian, pasien harus diawasi secara ketat. Often, a minimum of 2 to 3 agents is needed to control blood pressure in patients with renal disease. Seringkali, minimal 2 sampai 3 agen diperlukan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien dengan penyakit ginjal. A combination including a diuretic is beneficial. Sebuah kombinasi termasuk diuretik adalah menguntungkan. Optimal doses of loop diuretics should be considered. dosis optimal dari diuretik loop harus dipertimbangkan. Hypertension and Cerebrovascular Disease Hipertensi dan Penyakit Cerebrovascular A combination of an ACEI and a thiazide-type diuretic is given a firm recommendation for reducing stroke rates. Kombinasi dari ACEI dan diuretik thiazide-type diberi rekomendasi perusahaan untuk mengurangi tingkat stroke. Nonetheless, the benefits of acute lowering of blood pressure during stroke are still unclear. Meskipun demikian, manfaat akut menurunkan tekanan darah selama stroke masih belum jelas.

Anda mungkin juga menyukai