Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Suatu bentuk awal ekonomi pasar dan merkantilisme,

yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai "kapitalisme Islam", telah mulai berkembang antara abad ke-8 dan ke-12. Perekonomian moneter pada periode tersebut berdasarkan mata uang dinar yang beredar luas saat itu, yang menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya independen secara ekonomi. Pada abad ke-20, kelahiran perbankan syariah tidak terlepas dari hadirnya dua gerakan renaisans Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis dan modernis. Sekitar tahun 1940-an, di Pakistan dan Malaysia telah terdapat upayaupaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Tahun 1963, Islamic Rural Bank berdiri di desa Mit Ghamr di Kairo, Mesir. Perbankan syariah secara global tumbuh dengan kecepatan 10-15% per tahun, dan menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang konsisten di masa depan. Laporan dari International Association of Islamic Banks dan analisis Prof. Khursid Ahmad menyebutkan bahwa hingga tahun 1999 telah terdapat lebih dari 200 lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, yaitu di negaranegara dengan mayoritas penduduk muslim serta negara-negara lainnya di Eropa, Australia, maupun Amerika. Diperkirakan terdapat lebih dari AS$ 822.000.000.000 aset di seluruh dunia yang dikelola sesuai prinsip-prinsip syariah, menurut analisis majalah The Economist. Ini mencakup kira-kira 0,5% dari total estimasi aset dunia pada tahun 2005. Analisis Perusahaan Induk CIMB Group menyatakan bahwa keuangan syariah adalah segmen yang paling cepat tumbuh dalam sistem keuangan global, dan penjualan obligasi syariah diperkirakan meningkat 24 persen hingga mencapai AS$ 25 miliar pada 2010.

BAB II PERBANKAN SYARIAH 2.1 PENGERTIAN PERBANKAN SYARIAH Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Selanjutnya yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya hal tersebut berdasarkan Pasal 1 angka UU Perbankan Syariah.

2.2 FUNGSI DAN TUJUAN PERBANKAN SYARIAH Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tujuan penyaluran dana oleh perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan, meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Tujuan perbankan syariah ini identik dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil dan seksama serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul pasa satu kelompok saja, tetapi tersebar kepada seluruh masyarakat. Ciri penting sistem ekonomi Islam itu digambarkan dalam surah AlHasyr (59) ayat 7 yang artinya sebagai berikut : ...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...

2.3 KEGIATAN USAHA BANK SYARIAH Selain fungsi dan tujuan perbankan syariah dan perbankan konvensional yang pada dasarnya sama, begitu juga dengan kegiatan usaha bank syariah yang

pada dasarnya sama dengan bank konvensional, yaitu meliputi bidang pengumpulan dana, penyaluran dana berupa pembiayaan, dan jasa-jasa perbankan syariah lainnya.

2.3.1 Karakteristik Produk Bank Syariah Pada dasarnya terdapat beberapa karakteristik produk-produk bank syariah: a. Semua Pihak Diperlakukan sebagai Mitra Nasabah diperlakukan sama sebagai mitra oleh bank syariah. Bank syariah tidak membedakan penggolongan nasabah dari segi agama. Hal yang paling pokok dari bank syariah, yaitu tidak boleh ada penambahan pendapatan secara tidak sah (riba), traksaksi untung-untungan (maisir), transaksi yang tidak jelas (gharar), objek transaksi yang dilarang dalam syariah (haram) dan ketidakadilan bagi pihak lain (zalim) b. Pengembangan Produk-Produk Bank Syariah Dalam rangka pengembangan produk, bank syariah harus berpedoman kepada prinsip syariah dan perlu mempertimbangkan kententuan hukum positif yang ada. c. Distribusi Keuntungan Bank dan nasabah berbagi risiko dan keuntungan. Dalam praktiknya, prinsip berbagi risiko ini belum siap diterima masyrakat karena itu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya menetapkan Lembaga Keuangan Syariah boleh menggunakan prinsip bagi hasil maupun bagi untung dalam pembagian hasil usaha dengan mitranya. d. Jasa-Jasa Pembiayaan yang Beragam Bank syariah dapat dinamakan universal bank karena melakukan kegiatan investment bank dan commercial bank.

PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARIAH PENDANAAN JASA PEMBIAYAAN

BAB III PEMBIAYAAN SYARIAH

3.1 PENGERTIAN PEMBIAYAAN SYARIAH Pembiayaan adalah salah satu jenis kegiatan usaha bank syariah. Yang dimaksudkan dengan pembiayaan berdasarkan PBI No. 13/13/PBI/2011 adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa : a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudarabah dan musharakah;

b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah dan sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istisna; d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qard; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. 3.2 JENIS JENIS PEMBIAYAAN SYARIAH BERDASARKAN AKAD 3.2.1 Pembiayaan Bedasarkan Akad Mudharabah a. Definisi Akad Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana (sahibul mal) kepada pengelola dana (mudarib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. b. Tujuan dan Manfaat dari sisi bank syariah akad mudharabah adalah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana. Sedangkan bagi nasabah adalah untuk memenuhi kebutuhan modal usaha melalui sistem kemitraan dengan bank.

c.

Landasan Hukum Pasal 19 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c serta Pasal 21 huruf b angka 1 UU Perbankan Syariah, Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudarabah. PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana.

BANK(MODAL 100%)

NASABAH (KEAHLIAN/ KETERAMPILAN) NISBAH Y%

NISBAH X%

AKAD PEMBIAYAAN PROYEK USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL

3.2.2 Pembiayaan Bedasarkan Akad Musharakah a. Definisi Akad Musharakah adalah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masingmasing. b. Tujuan dan Manfaat Bagi bank syariah, pembiayaan musharakah adalah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana, dan memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil sesuai pendapatan usaha yang di kelola. Bagi nasabah, adalah untuk memenuhi kebutuhan modal usaha melalui sistem kemitraan dengan bank. c. Landasan Hukum Pasal 19 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c serta Pasal 21 huruf b angka 1 UU Perbankan Syariah, FDSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah

3.2.3 Pembiayaan Bedasarkan Akad Murabahah a. Definisi Akad Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak. b. Tujuan dan Manfaat Bagi bank adalah sebagai bentuk penyaluran dana untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk margin. Bagi nasabah adalah untuk memperoleh barang tertentu melalui pembiayaan dari bank.

c.

Landasan Hukum Pasal 19 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d serta Pasal 21 huruf b angka 2 UU Perbankan Syariah, Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. No 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah dll

3.2.4 Pembiayaan Bedasarkan Akad Salam a. Definisi Akad Salam adalah transaksi jual beli suatu barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu sepenuhnya. b. Tujuan dan Manfaat Bagi bank adalah sebagai bentuk penyaluran dana untuk memperoleh barang tertentu sesuai kebutuhan nasabah akhir . Bagi nasabah adalah untuk memperoleh dana di muka sebagai modal kerja untuk memproduksi barang. c. Landasan Hukum Pasal 19 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d serta Pasal 21 huruf b angka 2 UU Perbankan Syariah, Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/IV 2000 tentang Jual Beli Salam

3.2.5 Pembiayaan Bedasarkan Akad Istisna a. Definisi Akad Istisna adalah transaksi jual beli suatu barang dakam bentuk

pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. b. Tujuan dan Manfaat

Bagi bank adalah sebagai bentuk penyaluran dana dalam rangka menyediakan barang yang diperlukan oleh nasabah dan bank memperoleh pendapatan dalam bentuk margin. Bagi nasabah adalah untuk memperoleh barang yang dibutuhkan sesuai spesifikasi tertentu.

c.

Landasan Hukum Pasal 19 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d serta Pasal 21 huruf b angka 2 UU Perbankan Syariah, fatwa-fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istisna

3.3 KASUS KASUS DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH 3.3.1 Kasus Mudharabah

Penyimpangan Praktek Mudharabah Bank Syariah. Setali tiga uang dengan produk murabahahnya bank syari'ah yang mengandung transaksi terlarang, produk mudharabahnya juga mengalami hal yang sama.

Pada artikel sebelumnya, Amir Zaim Saidi pernah membahas tentang pengertian dan tata cara mudharabah/qirad dengan merujuk kepada kitab Al Muwatha karya Imam Malik, sebagai berikut: Qirad adalah kontrak kerjasama pembiayaan dagang antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang lain adalah pemilik tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama. Pihak kedua menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan keuntungan yang diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak pertama tersebut. Kondisi-kondisi kontrak qirad adalah sbb: 1. Kontrak diawali dan diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar Emas atau Dirham Perak), tidak dalam bentuk komoditas.

2. Keuntungan dari usaha, bila diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan dituangkan dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55 3. Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya (100%) ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi kerugian yang ditimbulkan karena Agen/pelaku usaha menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen. 4. Kontrak tidak mensyaratkan suatu garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau tidaknya usaha bersangkutan. 5. Kontrak tidak boleh mensyaratkan jaminan dari Agen atas aset-aset berharganya kepada pemilik modal. 6. Tidak ada pembatasan kontrak atas dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan suatu siklus usaha. 7. Keuntungan usaha tidak boleh digunakan oleh pihak Agen sampai semua milik pemodal telah dibayarkan. Sekarang mari kita telaah hukum qirad tersebut di atas dengan praktek mudharabah perbankan syariah.

Kejelasan Status Kepemilikan Modal dan Status Agen/Mudharib Dalam poin ini jelas dinyatakan bahwa status modal adalah mutlak milik pemilik modal/shohibul mal dan status agen adalah orang yang mengelola modal/uang milik pemodal untuk usaha perdagangan . Namun hal ini tidak berlaku pada sistem perbankan syariah. Bank syari'ah memiliki status ganda, yaitu sebagai pemodal dan juga sebagai agen dalam satu waktu. Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika pada pagi hari, bank berhubungan dengan nasabah (kreditur) pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, dimana pada siang harinya bank berperan sebagai pemodal, yaitu jika bank berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan modal usaha. Status ganda yang diperankan oleh bank ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan selama ini adalah akad hutang piutang dan bukan akad mudharabah. Jika bank berkilah bahwa dana titipan nasabah berbentuk wadhiah yad dhamanah (barang titipan yang bisa dipergunakan), dimana bank memiliki hak untuk menggunakannya, hal itu hanyalah akal-akalan hukum saja (pemelintiran istilah dayn/qard menjadi wadi'ah) agar bank memiliki legalitas mengelola titipan uang nasabah dan selanjutnya dapat menjalankan skenario mudharabah sebagai pemilik modal. Perlu diketahui, bahwa hukum asal barang titipan adalah mubah dengan ketentuan si penerima titipan wajib menjaga amanah barang yang dititipinya dan

tidak boleh menggunakan barang titipan tersebut baik seizin maupun tanpa izin pemilik barang. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka si penerima titipan telah berkhianat karena tidak dapat menjalankan amanah. Celakanya, dana nasabah yang berupa titipan/wadi'ah itu digunakan oleh bank untuk disalurkan kepada pihak ketiga, yaitu para pengusaha yang memerlukan modal usaha melalui skema mudharabah/bagi hasil, dimana bank bertindak sebagai pemilik modal/shohibul maal sedangkan pengusaha sebagai agen/mudharib. Kerancuan hukum mulai tampak pada skema mudharabah ini. Dana nasabah (wadi'ah) yang seharusnya dijaga dan tidak boleh dipergunakan, namun bank mempergunakannya untuk kepentingan bisnis demi mencari keuntungan dengan menyalurkan kembali kepada pihak ketiga. Dengan demikian, dalam pandangan Hukum Islam akad mudharabah versi bank syari'ah ini tidak dibenarkan dan berubah akadnya menjadi akad qard/dayn (peminjaman/piutang) karena bank memiliki hak kepemilikan utuh atas dana nasabah yang dititipkannya dan selanjutnya dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan kontrak bisnis yang mendatangkan keuntungan. Dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/ keuntungan, maka itu adalah riba. Status berikutnya, yaitu bank bertindak sebagai mudharib (agen) juga tidak bisa diterima. Alasannya adalah ketika pemilik modal (nasabah) membuat kontrak mudharabah kepada pihak bank dengan cara menunjuk pihak bank sebagai pihak kedua (mudharib) yang akan mengelola dana nasabah dalam pembiayaan suatu usaha, ternyata bank melanggar kontrak tersebut. Hal ini terjadi karena bank tidak memilik usaha sektor riil yang akan mendatangkan keuntungan usaha, melainkan hanya produk perbankan yang semuanya sebatas pembiayaan dan pendanaan. Peran perbankan hanya penyalur dana nasabah dan tidak berperan sebagai pelaku usaha (mudharib) karena takut menanggung resiko usaha serta ingin mendapatkan keuntungan saja. Dikarenakan bank tidak memiliki usaha riil, maka lagi-lagi bank menyalurkan dana nasabah kepada pihak ketiga yang memerlukan modal usaha sebagaimana skema mudaharabah dengan menggunakan dana titipan nasabah (wadi'ah). M. Arifin bin Badri, MA., dalam bukunya Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah, (Pustaka Darul Ilmi, 2009), hal. 164, mengutip perkataan Imam AnNawawi sebagai berikut: "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan akad mudharabah. Jika ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah pertama dan berubah statusnya menjadi perwakilan/mediator bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan bagi dirinya sedikitpun dari keuntungan yg diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua tidak syah/batal".

Dengan demikian maka jelaslah bahwa status bank syari'ah dalam kontrak mudharabah sesungguhnya hanyalah perantara alias CALO dan bukan sebagai pemilik modal/shohibul maal ataupun pengusaha/mudharib. Jika bank mengklaim sebagai pemilik modal, maka ia mendustakan kenyataan yang sebenarnya yaitu sebagian besar dana yg dikelola adalah milik nasabah. Jika ia mengklaim sebagai pengusaha maka kenyataanya bank tidak memiliki usaha sektor riil dan menyalurkan kembali modal nasabah kepada pengusaha lain. Inilah tipu muslihat mudharabah a la bank islam yang jarang diketahui umat muslimin demi melegalkan serta melestarikan kapitalisme berbasis riba. B. Bank Tidak Mau Menanggung Resiko Kerugian Kondisi dalam kontrak mudharabah menyebutkan bahwa kerugian usaha ditanggung 100% oleh pemilik modal jika agen tidak melakukan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kerugian dan juga kondisi kontrak yang tidak membenarkan penyertaan jaminan asset/modal agen baik sebagian maupun keseluruhannya. (lihat penjelasan kondisi-kondisi mudharabah #3 dan #5 sebelumnya). Namun kondisi-kondisi tersebut tidak berlaku dalam praktek mudharabah bank syari'ah. Bank tidak mau menanggung kerugian jika usaha mengalami kegagalan/kerugian. Jika terjadi kerugian usaha, niscaya bank akan meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Misalnya seorang pengusaha A yang mendapatkan kucuran modal dari bank syariah B untuk pembiayaan usaha penggilingan gabah dengan perjanjian bagi hasil 50% - 50%. Namun di tengah jalannya usaha, musibah terjadi pada A hingga mengalami kerugian usaha. Gudangnya terbakar, atau dirampok atau kejadian force majeur lainnya, sehingga modal yang tersisa di tangan A tinggal 30%. Dalam situasi seperti ini Bank Syari'ah B akan tetap meminta A agar mengembalikan modalnya secara utuh 100%. Kasus semacam ini tentu saja bertentangan dengan syarat dan kondisi mudharabah, dimana kerugian ditanggung 100% oleh pemilik modal, yaitu Bank B, karena kerugian terjadi bukan disebabkan oleh kelalaian A yang melanggar kontrak perjanjian tetapi oleh hal-hal di luar itu. Untuk menghilangkan resiko kerugian sedini mungkin, sebelum kontrak perjanjian disepakati, bank meminta jaminan asset/modal dari nasabah pelaku usaha yang selanjutnya akan dijadikan sebagai instrument pembayaran modal pinjaman jika terjadi kerugian atau kegagalan usaha. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi HUTANG PIUTANG yang berbunga alias RIBA. Para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan

utuh jika terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil/tidak benar. (lihat Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni). Sangat jelas bagi kita bagaimana perbankan syariah menampakkan wajah aslinya dalam pelaksanaan praktek mudharabah, yaitu sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya, Bank Konvensional !!! Saya menukil statemen Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, penulis buku Perampokan BangsaBangsa (Mizan, 2010) berikut ini: " perbankan syariah dan perbankan konvensional itu bukan cuma bersaudara kembar, tetapi adalah kembar siam!" Dan ternyata statement tersebut terbukti dalam praktek mudharabah bank syari'ah yang meyimpang dari praktek muamalah syar'iah, dimana bank tidak mau menanggung kerugian usaha dan meminta jaminan asset nasabah pelaku usaha. Praktek ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya - bank konvensional, hanya berbeda dalam istilah, yang satu bernama mudharabah sementara kembarannya bernama kredit usaha berbunga. Jika demikian kondisinya, lantas DIMANA LETAK SYAR'INYA Bank Syari'ah? Bahkan ada bank syari'ah yang berani beriklan tanpa takut akan akibatnya (azab dari Allah subhanahu wa ta'ala karena telah merubah-ubah hukum-Nya) dengan mengusung jargon palsu "Pertama Murni Syariah"!! Sebagai penutup saya menukil kisah yang dituturkan M. Arifin bin Badri dalam buku yang sama sebagai berikut: Majalah MODAL edisi 36, tahun 2006, hal. 26 27 memuat kisah pemain 'Golf Syari'ah' berikut ini: "Ada sebagian pemain golf yg biasanya berjudi ketika bermain golf, telah menamakan kebiasaan judinya dengan ' golf syari'ah'. Cara yg mereka lakukan ialah dengan mengumpulkan uang judinya dengan sebutan Tabarru', bila dana yg telah terkumpul habis, kembali mereka mengumpulkan lagi dengan sebutan Shadaqoh. Dan bila telah habis, mereka mengumpulkan uang lagi dengan sebutan Infaq, dan demikian seterusnya. Pada akhir permainan, mereka mengecek siapa dari mereka yang paling banyak kalah (paling apes). Jika ada dari mereka yang kehabisan uang atau menderita banyak kekalahan , maka pemenang diwajibkan mengeluarkan zakat 2,5% kepada yang bersangkutan. Perilaku para pemain 'golf syari'ah' tersebut adalah haram, bahkan dosanya lebih besar dari pada pegolf judi lainnya. Karena selain menanggung dosa judi, mereka juga menanggung dosa mempermainkan istilah-istilah syari'at yg tidak pada tempatya. (kisah ini persis apa yang dimaksud perkataan Amir Zaim Saidi, yaitu dosa bank syari'ah 300% bahkan lebih besar dari itu daripada dosa bank konvensional 100%. Karena selain dosa akan akad/transaksi yang mengandung riba, ditambah dosa bank syari'ah yang telah mempermainkan istilah-istilah muamalat yang tidak pada tempatnya serta penyimpangan hukum mu'amalah syar'i dalam prakteknya). Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk memakan lemak. Mereka mengakali

pengharaman itu dengan cara mecairkan lemak tersebut, lalu menjualnya dan kemudian hasil penjualan lemak itulah yg mereka makan. Menanggapi perilaku keji kaum Yahudi ini, rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu". (HR. Bukhari dan Muslim). Hasbunallahu wa ni'mal wakil... Masyaallah La Quwwata illa Billahi... Rahmat Affandi - Pegawai Pusdiklat Kementerian Agama, al-Wakil Wakala Radya

3.3.2 Kasus Musharakah PT. Lancar Jaya Shipyard merupakan suatu perusahaan transportasi kapal membutuhkan modal kerja untuk operasional usaha sebesar Rp. 6.000.000.000,(enam milyar Rupiah) dan mengajukan fasilitas pembiayaan pada BRISyariah Cabang Palembang, berdasarkan surat permohonan PT. LJS tanggal 28 April 2011, dan bank telah menyetujui pemberian fasilitas dengan skema Musyarakah dengan plafond Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) berdasarkan Surat Persetujuan Pemberian Pembiayaan (SP3) / offering letter tertanggal 05 Mei 2011 dengan analisa pembiayaan sebagai berikut: 1. PT. LJS telah beroperasi penuh selama 5 tahun dan memiliki armada 3 unit kapal mother vessel (bulk Carrier), 2 unit tug boat dan 3 unit barge dengan analisa keuangan sbb : 1. total asset sebesar Rp. 648.000.000.000,-; 2. Bank Loan sebesar Rp. 34.000.000.000,- (dengan hasil BI Checking positif/lancar dan tidak masuk dalam DHN) 3. Total sales Rp. 73.000.000.000,4. Total equity Rp.64.000.000.000,5. Growth pertahun 35% 2. Pendapatan Perusahaan PT. LJS sebagian besar berasal dari shipment batu bara yang dipesan oleh PT. KII (berdasarkan kontrak dengan PT. PLN dan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun perusahaan tersebut dapat membukukan keuntungan sebesar Rp. 35.000.000.000,- (tiga puluh lima milyar rupiah); 3. Untuk biaya operasional kapal pertahun sebesar Rp. 6.000.000.000,- ; 4. PT. LJS telah memperoleh kontrak (Perjanjian Pengangkutan) batubara dari PT. KII (selaku supplier batu bara ke PT. PLN) selama jangka waktu 1 tahun dengan total kontrak Rp.8.000.000.000,-

5. Ybs hendak memperoleh fasilitas pembiayaan modal kerja pada

BRISyariah dengan jangka waktu 1 tahun berdasarkan kontrak tersebut dengan porsi 62% untuk BRISyariah dan 28% porsi PT. ASS ;

Struktur Pembiayaan sebagai berikut : Fasilitas Plafond Penggunaan : Line Facility Wal Musyarakah : Rp. 6.000.000.000,: Modal Kerja Perusahaan : Rp. 400.000.000,-

Biaya Administrasi

Obyek Musyarakah :Pekerjaan dari PT. KII dengan nilai pekerjaan sebesar Rp. 8.000.000.000,- untuk pekerjaan pengangkutan batu bara pesanan PT. PLN. Dokumen dan Data PO terlampir. Proyeksi Revenue : Rp. 2.500.000.000,-

Porsi Pembiayaan : Bank sebesar Rp. 6.000.000.000,- (75%) : Nasabah sebesar Rp. 2.000.000.000,- (25%) Nisbah Jaminan : Multi Nisbah, sesuai tabel terlampir : 2 unit tug boat dan 1 unit barge

dengan melampirkan dokumen sebagai berikut : 1. Legalitas Nasabah : Anggaran dasar perseroan berikut pengesahannya, TDP, SIUPAL, KTP pengurus, NPWP, Surat keterangan domisili 2. Groose Kapal berikut dok kapal (shipbuilder certificate, ship drawing, sertificate from BKI) Dokumen Pengikatan 1. Akad Musyarakah 2. Akta Pembebanan Hipotek 3. Lampiran (Tanda terima Barang, Tanda Terima Uang dan Proyeksi Pendapatan) Jadwal pelunasan dan cara pembayaran

3.3.3

Kasus Murabahah

CV. Mustika, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri air mineral, membutuhkan 2 unit truk tangki karena permintaan yang meningkat. Kemudian CV. Mustika mengajukan pembiayaan ke Bank XYZSyariah dan ditawarkan produk Murabahah Investasi. Harga 1 unit truk tangki adalah Rp 200.000.000,- dan CV Mustika membutuhkan 2 unit. Maka dari pengajuan pembiayaan tersebut diperoleh data sebagai berikut:

Dalam akad murabahah bank harus membeli terlebih dahulu secara resmi barang yang dipesan. Kemudian bank menawarkan kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya). Oleh karena itu bank diperkenankan meminta nasabah membayar uang muka sebagai tanda jadi. Namun dalam prakteknya bank tidak secara langsung membeli aset, melainkan memberi kuasa (wakalah) kepada nasabah.
Uang muka menjadi bagian pelunasan Piutang Murabahah, jika akad murabahah disepakati[1]. Di sini, uang muka diakui sebagai angsuran pokok pertama, sehingga hutang murabahah CV Mustika yang digunakan oleh bank dalam menghitung angsuran adalah sejumlah Harga Jual dikurangi dengan uang muka. Dari data-data tersebut di atas, maka dapat diperoleh perhitungan angsuran per bulan sebagai berikut: = (Harga Jual Uang Muka) / Jangka waktu = (429.750.000 50.000.000) / 12 = 31.645.833 Angsuran yang dibayarkan oleh CV Mustika setiap bulannya terdiri dari dua komponen, yaitu Pokok dan Margin. Jadwal Pembayaran Angsuran Dalam metode anuitas, porsi pokok dan margin mengalami perubahan pada setiap angsuran yang dibayarkan. Porsi pokok mulai dari kecil

dan selanjutnya membesar, kebalikannya, porsi margin mulai dari besar dan selanjutnya mengecil. Dengan perhitungan eq. rate secara effektif anuitas, maka jadwal angsuran CV Mustika menjadi sebagai berikut

3.3.4 3.3.5

Akad Salam Bai as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi

petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, dilakukanlan akad bai as-salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel. Bai as-salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai. Contoh kasus: Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan sebesar Rp5.000.000,00. Pembiayaan tersebut sudah mencakup ongkos bibit dan upah pekerja. Ia berencana menanami sawahnya dengan bibit jenis IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual dipasar dengan harga Rp2.000,00 per Kg. Penghasilan yang didapat dari sawahnya biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantar beras ini setelah 3 bulan. Bagaimana

cara perhitungannya? Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh petani sebesar Rp5.000.000,00. Sedangkan harga beras jenis IR36 di pasar Rp.2.000,00 per Kg. Karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp5.000.000,00 dibagi Rp2.000,00 per Kg). Beras tersebut dapat dijual kepada pembeli berikutnya. Setelah melalui negosiasi, bank menjualnya sebesar Rp2.400,00 per Kg, yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp6.000.000, (bila dihitung secara umum, bank mendapat keuntungan jual beli, bukan pembungaan uang, sebesar 20% margin). Secara umum aplikasi perbankan bai as-salam dapat digambarkan dalam skema berikut ini. Produsen ditunjuk oleh Bank 4.Kirim Pesanan 5.Bayar 3.kirim Dokumen 2.Pemesanan Barang 1.Negosiasi Pesanan Nasabah & Bayar dengan Kriteria Tunai

BAB IV KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA http://fathirghaisan.wordpress.com/2011/10/13/musyarakah-mutanaqisha-contohkasus/ http://www.wakalanusantara.com/detilurl/Penyimpangan.Praktek.Mudharabah.Ba nk.Syariah/695

http://fathirghaisan.wordpress.com/2011/10/10/murabahah-contoh-kasus/

Anda mungkin juga menyukai