Anda di halaman 1dari 12

BERBAGAI KASUS HUKUM DI INDONESIA

1. DPR Putuskan Bailout Bank Century Tidak Tepat TEMPO Interaktif, Jakarta -Sidang paripurna DPR akhirnya memutuskan bahwa kebijakan pemerintah mengucurkan dana talangan kepada Bank Century tidak tepat. Dalam pemungutan suara, sebanyak 325 anggota DPR memilih opsi kedua atau C. Adapun opsi pertama, A dipilih oleh 212 anggota DPR. Opsi C dipilih oleh anggota fraksi dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, Hanura dan Gerindra. Adapun opsi A dipilih Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Opsi A antara lain menyebutkan bahwa kebijakan Bank Indonesia menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sesuai dengan Perpu No. 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan bertujuan mencegah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Selain itu, disimpulkan juga bahwa tidak ada dana talangan yang mengalir ke partai politik dan pasangan calon Presiden serta wakilnya. Adapun opsi C antara lain berisi telah terjadi berbagai penyimpangan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam pengucuran dana Bank Century. Selain itu diduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh otoritas moneter dan fiskal yang bisa digolongkan sebagai dugaan tindak pidana korupsi. (http://www.tempointeraktif.com/) Komentar Bailout Bank Century merupakan kebijakan Pemerintah (KKSK). Setelah berjalan beberapa bulan kebijakan bailout tersebut oleh DPR dinyatakan salah. Kebijakan tersebut dilakukan oleh Pemerintah yang lama, tetapi DPR kemudian menilai kebijakan yang lama bermasalah. Jadi fungsi pengawasan DPR saat ini mengoreksi Pemerintahan yang lama, kenapa bukan DPR pada waktu itu, atau DPR pada waktu itu mlempem. Ini satu presedent, dimana Pejabat yang menjalankan kebijakan dinyatakan bersalah oleh DPR yang

akan datang. Sehingga Pejabat Pemerintahan sekarang harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan,jangan sampai disalahkan oleh DPR pada periode berikutnya. 2. Penangkapan Susno Terkesan Ada Balas Dendam & Pilih Kasih Jakarta - Tindakan Polri menangkap Susno Duadji dikritik. Semestinya Polri lebih dahulu menuntaskan laporan Susno soal kasus Gayus Tambunan terkait keterlibatan sejumlah jenderal, baru mengusut kasus Arwana. "Jadi kalau sampai ditahan kesan masayarakat akan melihat Polri seperti balas dendam. Kalau melihat perkara kasus Gayus, Susno menyebut ada 2 bintang 1, dan itu tidak dilakukan apa-apa. Polri pilih kasih," kata pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar di Jakarta, Senin (10/5/2010). Untuk kasus Gayus, lanjut Bambang, Polri belum mengungkap siapa aktor intelektual yang membagi-bagi uang Rp 28 miliar. Belum lagi siapa tersangka yang ikut serta menikmati uang itu belum terungkap semuanya. "Polri harus menemukan aktor intelektual dan tersangka yang menikmati uang. Baru maju ke kasus lain. Kalau cara kerja ini kurang sistematis," terangnya.Dia juga menilai upaya penangkapan Susno ini merupakan upaya pembungkaman, agar Susni yang menjdi whistle blower tidak bernyanyi lagi. "Harusnya tuntaskan dahulu yang pertama, baru yang kedua," tutupnya. (http://www.detiknews.com/) Komentar Penangkapan yang dilakukan Mabes Polri terhadap mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji penuh kejanggalan. Salah satunya terlihat dari mekanisme penangkapan Susno yang tengah berada di Mabes Polri untuk memberikan keterangan. Penangkapan itu dilakukan kalau misalnya mau lari dan ada dugaan keras serta alasan kuat untuk menangkap yang bersangkutan. Maka, tidak bisa kami pahami. Ketika datang ke Mabes untuk beri keterangan, langsung diberi surat penangkapan. Padahal datang dengan

iktikad baiktapi langsung ditangkap. Kalau bukti kuat, kenapa tidak langsung ditahan. Kenapa harus ditangkap 3. Cicak Vs Buaya Liputan6.com, Jakarta: Episode cicak melawan buaya dimulai saat Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji kesal saat tahu telepon genggamnya disadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah menyidik kasus Bank Century. Polri kemudian melancarkan serangan balasan dengan menyatakan dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto diduga telah menerima uang dari Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo. Tak lama kemudian polisi menetapkan Chandra dan Bibit sebagai tersangka. Terkait dengan itu, keduanya langsung diberhentikan sementara oleh Presiden sebagai pimpinan KPK. KPK pun langsung memberikan perlawanan. Salah satunya dengan mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dan berhasil dikabulkan sebagian oleh majelis hakim. Namun, kejutan datang saat Bibit dan Chandra mendatangi Mabes Polri untuk wajib lapor sebagai tersangka. Polisi menahan keduanya. Selain pasal suap dan pemerasan, keduanya diduga telah menyalahgunakan wewenang dalam pencekalan pengusaha Anggoro dan Joko Tjandra. Bibit dan Chandra ditahan di rutan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat [baca: Bibit dan Chandra Dipindahkan ke Rutan Mako Brimob]. Kasus ini bermula dari rekaman pembicaraan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan Anggoro di Singapura. Rekaman yang kemudian dituangkan ke dalam testimoni ini, menyeret Bibit dan Chandra atas tuduhan menerima duit miliaran rupiah. Nama Anggoro terseret setelah KPK mengembangkan kasus pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api. Bos PT Masaro ini dituding menilap duit negara hingga Rp 13 milliar.

Banyak pihak beranggapan dengan dijebloskannya Bibit dan Chandra ke penjara merupakan puncak perseteruan KPK-Polri. Tanpa memberikan penjelasan rinci alasan ditahannya Bibit dan Chandra, Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri malah menantang pihak yang menuduh adanya rekayasa atau kriminalisasi KPK. Unjuk rasa mendukung Bibit-Chandra dan institusi KPK terjadi di manamana. Di dunia maya, ratusan ribu orang memberikan dukungan kepada komisi tersebut.(http://berita.liputan6.com/) Komentar Kasus Bibit Chandra sejatinya adalah puncak gunung es dari tiadanya keadilan di negeri ini. Ini merupakan petunjuk kuat adanya persoalan besar di negeri ini yang harus diselesaikan oleh Presiden secepatnya. Apabila Presiden tidak segera menuntaskan persoalan ini, dikuatirkan demokrasi terancam dan keadilan akan semakin jauh dari rakyat. Bencana Tsunami Keadilan tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pembentukkan Tim Verifikasi Fakta (TVF). TVP tidak memiliki cukup wewenang, otoritas dan sumber daya untuk membongkar berbagai skandal di Kejaksaan dan Kepolisian. Termasuk untuk membongkar skandal yang menjadi awal dari kriminalisasi Bibit Chandra yakni skandal Bank Century. Oleh karena itu Presiden harus segera mengambil langkah-langkah strategis dan konkret untuk membersihkan mafia peradilan, bukan sekedar sibuk menjaga citra. Langkah itu meliputi pembersihan praktek korupsi, kong-kalikong dan berbagai penyelewengan lainya di institusi Kejaksaan Agung dan Kepolisian diantara dengan mencopot Jaksa Agung dan Kapolri, serta memilih pejabat tinggi penggantinya yang memiliki integritas. 4. Identitas 16 Terduga Teroris Diungkap Hari Ini Metrotvnews.com, Jakarta: Mabes Polri akan merilis penangkapan terorisme dalam sepekan terakhir ini. Polri akan mempublikasikan 16 terduga kasus terorisme yang ditangkap di dua provinsi yakni Jakarta dan Jawa Barat. Polri

akan menjelaskan kronologis penangkapan sekaligus identitas ke-16 orang tersebut. "Penjelasan itu akan disampaikan Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri siang nanti, sekitar pukul 14.00 WIB," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Zaenuri Lubis di Jakarta, Jumat (14/5). Beberapa di antara 16 terduga itu ditangkap di Jakarta yakni Pejaten, Petamburan, Tanah Abang, dan Setu. Sementara sisanya ditangkap di Narogong, Bekasi, Jawa Barat. Tak hanya itu, Polri juga akan merilis penangkapan tiga terduga kasus terorisme di Solo dan Sukaharjo, Jawa Tengah. Polisi juga akan menjelaskan penangkapan enam terduga terorisme di Cawang, Jakarta dan Cikampek, Jawa Barat, kemarin. Lima di antaranya tewas tertembak. Lima jenazah itu masih disemayamkan di RS Polri Kramat Jati, Jawa Timur. Sementara seorang lainnya mendapat luka tembak di kaki. (http://www.metrotvnews.com) Komentar Keseriusan polisi mengungkap jaringan terorisme patut diacungi jempol. Sebab, di tengah memanasnya konflik internal terkait dengan kasus penahanan Susno Duadji, Densus 88 tetap bertugas dengan baik. Namun, itu tidak berarti polisi tanpa cacat dalam mengejar pelaku terorisme. Salah satunya, mengapa setiap perburuan teroris selalu diakhiri dengan penembakan mati? Tak jarang, dalam sebuah operasi, seluruh nyawa teroris selalu berakhir di ujung peluru Densus 88. Perlakuan tersebut jelas berbeda dari langkah polisi saat menangkap pelaku kejahatan konvensional. Pelaku penjambretan, misalnya, biasanya hanya ditembak polisi di bagian kakinya. Padahal, dengan menangkap para teroris hidup-hidup, polisi akan lebih terbantu dalam memburu jaringan terorisme lain. Minimal, mereka bisa menjadi informan polisi untuk mengungkap pelaku lainnya atau menyeret pihak-pihak tertentu yang terlibat. 5. Bentrokan Tanjung Priok

VIVAnews - Bentrokan antara warga dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di makam Mbah Priok, Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, sedikitnya membuat 107 orang terluka, tujuh orang di antaranya kritis dan harus dioperasi. Korban dari aparat tercatat 77 orang. Bentrok terjadi sejak Rabu 14 April 2010 pagi hingga malam ini. Tidak hanya melukai lebih 100 orang, bentrokan juga menyebabkan 20 mobil rusak. Sebanyak 12 truk milik Satpol PP tidak berbentuk lagi karena dipreteli dan dibakar. Mobil water canon polisi juga tidak luput dari amuk massa. Ratusan warga kini masih bertahan di kompleks makam Mbah Priok. Sementara Satpol PP dan polisi terjebak di terminal peti kemas Pelindo II. (http://metro.vivanews.com/) Komentar Bentrokan itu merupakan akumulasi dari dampak penerapan pendekatan keamanan yang lebih dominan dalam kebijakan pembangunan. Pola seperti itu semestinya tidak dipakai, dan lebih mengedepankan pendekatan melalui diplomasikarena selama ini banyak penggusuran yang menimbulkan perlawanan akibat kekeliruan dalam pendekatan 6. KPK Didesak Transparan Soal Pemeriksaan Sri Mulyani & Boediono Jakarta - Pemeriksaan Wakil Presiden Boediono dan Sri Mulyani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) di luar gedung KPK bukan masalah besar. KPK adalah lembaga yang memiliki integritas tinggi dan sulit untuk diintervensi. Apalagi selama ini telah ada juga pejabat Negara yang diperiksa bukan di kantor KPK. Transparansi proses dan hasil pemeriksaanlah yang terpenting. Almarhum Presiden Abdurrahman Wahid juga diperiksa di tempat netral terkait kasus Buloggate. Integritas KPK sudah teruji. Bahkan KPK telah membuktikannya melalui kinerja yang ditunjukkan dalam pembongkaran kasus kasus korupsi. Kewajiban KPK adalah menjadikan proses ini transparan sehingga publik mengetahui dan memahami apa yang terjadi, kata

Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Bara Hasibuan, dalam rilis pada detikcom, Senin (3/5/2010) malam. Bara melihat bahwa kasus Century adalah bola liar yang dapat ditendang oleh pihak manapun. Kasus Century mudah sekali dibelokkan melalui konstruksi berbagai pihak menjadi berbagai versi teori konspirasi. Sri Mulyani dan Boediono sudah menjalani pemeriksaan oleh KPK pekan lalu. Boediono dimintai keterangan di Wisma Negara, sementara Sri Mulyani di Kemenkeu. Pemeriksaan lanjutan bagi Sri Mulyani akan dilakukan siang ini pukul 14.00 WIB di Kemenkeu. (http://www.detiknews.com) Komentar Pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani diharapkan mampu membuka tabir Bank Century. KPK diharapkan mampu mengarahkan pemeriksaan pada bukti-bukti dan indikasi yang ada. Maklum, kasus Century ini adalah bola liar yang dapat ditendang oleh pihak manapun. Kasus Century mudah sekali dibelokkan melalui konstruksi berbagai pihak menjadi berbagai versi teori konspirasi. Sebab itu, tugas terberat KPK adalah bagaimana membuka tabir yang berada di balik skandal Century tersebut. Transparansi atas kasus Century dari KPK adalah sebuah keharusan mengingat kasus ini telah menyita perhatian publik dan seperti hinggap di pundak Beodiono dan Sri Mulyani. Kemanapun Boediono dan Sri Mulyani pergi, hampir dipastikan selalu ada demo yang mempertanyakan soal skandal ini 7. Tantangan Berat Pansus Hak Angket Bank Century Desakan agar pansus membuka aliran dana talangan Bank Century makin deras. Pansus mengisyaratkan akan mengadakan rapat konsultasi dengan sejumlah lembaga tinggi negara untuk membahas kendala pengungkapkan aliran dana Bank Century. Rapat konsultasi itu dilakukan bulan lalu (Kamis, 28/1) dengan menghadirkan pimpinan dari lembaga tinggi negara, yakni BPK,

MA dan MK, dan DPR. Pentingnya mengundang PPATK, KPK, dan BI tentu terkait dengan kewenangan ketiga lembaga ini. Ada sejumlah kendala yang dihadapi Pansus Hak Angket Bank Century terutama terkait aliran dana yang dianggap sebagai rahasia negara dan menjadi kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Pansus Century, membutuhkan seluruh data aliran dana. Pansus DPR perlu meminta solusi dari MA untuk memperbolehkan PPATK memberikan seluruh dokumen aliran dana talangan Bank Century, bukan dalam amplop tertutup seperti sebelumnya. Diharapkan lewat pandangan atau masukan dari MA, ada solusi bagi PPATK untuk memberikan seluruh data aliran dana yang diminta, sehingga penyelidikan yang telah dilakukan Pansus Hak Angket Bank Century betul-betul komprehensif. PPATK mengaku telah menerima permintaan informasi dari BPK soal aliran dana keluar, maksud dan tujuan penggunaan dari rekening pihak-pihak terkait dengan kasus Bank Century di PT Bank Century ke rekening di Bank lainnya yang melibatkan 124 transaksi oleh kurang lebih 50 nasabah. Sebagian besar data itu diperoleh berdasarkan Surat Bank Indonesia tanggal 28 Januari 2009 perihal Data Pihak Terkait dan Pihak Lain yang Diijinkan Menarik Dananya di PT Bank Century Tbk. (http://www.inilah.com/) Komentar Dalam kaitan ini, mayoritas fraksi di parlemen menilai ada indikasi pidana korupsi dalam proses pemberian FPJP dan Penyertaan Modal Sementara terhadap Bank Century. Setidaknya hanya Demokrat dan PKB yang tegas menilai kebijakan bail out tidak salah. Itu berarti aliran dana Century harus bisa diungkap sesuai desakan mayoritas fraksi. Ada kemungkinan besar sikap mayoritas fraksi itu tidak akan berubah saat pemberian pandangan akhir nantinya. Sebagai rakyat biasa, saya berharap mereka menghasilkan karya nyata. Bukan sekadar pertunjukkan politik yang murahan, demi popularitas dan kepentingan kelompok saja. Yang saya butuhkan adalah karya-karya nyata dan etika, sehingga saya tidak rugi membayar pajak tiap bulan, yang salah satunya digunakan untuk menggaji anggota dewan terhormat itu.

8. Kriminalisasi KPK, Presiden Perlu Tegur Polri JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya menegur Kepolisian Negara RI karena telah memeriksa empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hasil pemeriksaannya hanya menyebutkan terjadinya penyalahgunaan wewenang akibat mengeluarkan pencekalan terhadap Joko Tjandra dan Anggoro yang dinilai terlibat korupsi. Sangkaan terhadap empat pimpinan KPK dinilai dapat dikategorikan sebagai kriminalisasi penegak hukum oleh KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. "Dengan demikian tindakan pemberantasan korupsi terancam. Tindakan Polri semacam ini bisa dinilai mewakili kepentingan para koruptor yang selama ini dinilai telah ketakutan terhadap KPK. Oleh sebab itu, Presiden perlu menegur Polri yang telah melakukan kriminalisasi pengeka hukum itu," tandas Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki, saat dihubungi Kompas di Jakarta, Minggu (13/9) petang . Menurut Teten, langkah Polri melakukan kriminalisasi terhadap penegak hukum KPK dikhawatirkan dapat mengancam agenda pemberantasna korupsi yang telah dicanangkan oleh Presiden sendiri di awal pemerintahannya pada tahun 2004 silam. "Saya kira, kalau sangkaan Polri terhadap empat komisoner KPK hanya penyalahgunaan wewenang akibat mengeluarkan pencekalan tersebut, sebaiknya KPK dapat meneruskan penyidikan dan penyelidikan kasus-kasus korupsi lainnya seperti kasus dugaan suap seorang periwa tinggi Polri dalam kasus Bank Century," ujar Teten. Dikatakan Teten, KPK jangan melupakan kasus dugaan suap yang terjadi terkait kasus Bank Century, sebab nilai kerugian negara yang terjadi akibat salah urusan Bank Century, bukan hanya menyebabkan kerugian pada negara, akan tetapi juga kepercayaan terhadap perbankan. (http://www.kompas.com) Komentar KASUS kriminalisasi KPK bagaikan bola salju yang terus membesar dari waktu ke waktu. Bahkan tidak hanya bola salju, kasus menghebohkan ini telah menjadi efek kartu domino yang memakan korban, minimal sudah dua pejabat

penegak hukum jadi korban dengan mengundurkan diri, Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Pengunduran diri keduanya jelas merupakan pukulan telak bagi Polri dan Kejaksaan Agung. 9. 6 Atasan gayus terlibat makelar pajak JAKARTA: Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) Ditjen Pajak menemukan adanya tanda-tanda keterlibatan 6 atasan Gayus Tambunan dalam kasus makelar kasus yang dialami Gayus. Direktur Kitsda Ditjen Pajak Bambang Basuki mengungkapkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihanya yang bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, menemukan adanya tanda-tanda keterlibatan dari enam pejabat pajak tersebut."Ya dari berbagai informasi maupun data yang diperoleh, ada tanda-tanda keterlibatan mereka sehingga status penonaktifannya belum dicabut," jelasnya kepada Bisnis.com hari ini. Sebelumnya, Menteri Keuangan telah membebastugaskan secara definitif 10 orang atasan Gayus untuk keperluan penyelidikan kasus Gayus.Kesepuluh orang itu adalah mereka yang menempati jabatan struktural pada saat Gayus bekerja di Bagian Keberatan dan Banding Pajak. Sepuluh atasan Gayus ini, empat pejabat berada di tingkat Kepala Sub Direktorat. Inisial mereka yakni, D,E, J, M. Sedangkan lima berada di level Kepala Seksi. Inisial mereka yakni, B, Y, A, S, E. Satu lagi atasan Gayus yang telah dibebastugaskan yakni Direktur Direktorat Keberatan dan Banding Bambang Heru. Namun, pekan ini, 4 orang atasan Gayus telah dipulihkan statusnya karena tidak terbukti terlibat dalam kasus makelar kasus yang dilakoni Gayus. Keempat orang itu adalah mantan Kasubdit Banding dan Gugatan I Dwi Astuti, mantan Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi Erma Sulistyarini, Kasi Pengurangan dan Keberatan II dan Pjs Kasi Pengurangan dan Keberatan I Agus Budiono, dan Kasi Pengurangan dan Keberatan IV dan Pjs Pengurangan dan Keberatan III Emir Herteniza.

Komentar Begitu leluasanya seorang PNS golongan IIIA sekelas Gayus menggelapkan uang rakyat hingga Rp25 miliar sangat menyakiti hati rakyat. Bahkan arus tidak percaya pada lembaga ini, mencuat di tengah rakyat sampai menggiring pada anti membayar pajak. Harus segera dilakukan reformasi birokrasi total untuk membenahi institusi perpajakan tersebut. 10. Anggodo Tersangka, Selanjutnya Buru Anggoro Setelah menetapkan Anggodo Wodjojo sebagai tersangka penyuapan terhadap pimpinan KPK, selanjutnya KPK akan memburu tersangka kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo, yang juga kakak kandung dari Anggodo. Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar, pihaknya yakin dengan adanya perjanjian kerjasama dengan lembaga antikorupsi asing. Proses penangkapan terhadap mantan pimpinan PT Masaro Radiokom itu tidak akan menghadapi banyak hambatan. Hal ini dilakukan untuk memperkecil peluang lolosnya Anggoro jika bersembunyi di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. "Sejak Anggoro ditetapkan menjadi tersangka dan melarikan diri ke luar negeri, kami telah menghubungi sejumlah lembaga antikorupsi asing membantu mengejar Anggoro. Dan lembaga-lembaga tersebut menyatakan kesediaannya," katanya. Seperti diberitakan sebelumnya, ditengarai saat ini Anggoro berada di Singapura atau salah satu tempat di Cina. (http://suaramerdeka.com) Komentar Akhirnya setelah sekian lama status Anggodo berubah menjadi tersangka. Lambatnya penetapan status hukum Anggodo ini menimbulkan tanda tanya besar. Padahal, percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah oknum

penegak hukum cukup untuk menjerat adik buronon KPK Anggoro Widjojo ini dengan pasal 53 KUHP tentang upaya percobaan penyuapan.

Anda mungkin juga menyukai