Anda di halaman 1dari 16

RABIES Muh Elyas, Irmayani Aboe Kasim

I.

DEFINISI Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua

mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1 Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.2

II.

EPIDEMIOLOGI Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan terutama

oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan tropik adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area endemik 1 sampai 2% dari pasien yang diotopsi menunjukkan tanda tanda rabies. Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan peningkatan perjalanan ke negara negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah membuat perhatian mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.2

Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%. Akan tetapi, sebagian besar kasus profilaksis pasca pemajanan dihubungkan dengan gigitan anjing dan kucing.4 Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga pernah ditemukan.2

III.

ETIOLOGI Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk

peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus. Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid merangsang antibody yang mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif. Antibody antirabies digunakan pada analisis imunofluororescent diagnostic yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat antigenic dan biologic. Variasi variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang progresif.1

Gambar 1 Rhabdovirus (dikutip dari kepustakaan 1)

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56C waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37C dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1 dan 2, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.2

IV.

PATOGENESIS Kejadian pertama pengenalan hidup melalui epidermis atau ke dalam membran

mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada berkas neurotendinal dan/atau neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer dengan kecepatan 3mm/jam. Secara eksperimen, viremia terbukti terjadi, tetapi tidak dianggap mempunyai peranan pada penyakit yang secara alami didapat. Sekali virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk mencapai jaringan jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paruparu, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Perjalanan menuju kelenjar saliva menyebabkan transmisi lanjutan penyakit melalui saliva yang terinfeksi. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.3

Gambar 2. Proses Perjalan Virus (dikutip dari kepustakaan 5)

Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun (rata rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu dan jarak sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral juga dapat mempengaruhi ekspresi penyakit. Respons imun yang diperantai sel dicatat pada pasien dengan ensefalitis rabies, tetapi tidak ada pasien dengan rabies paralitik.3 Neuropati rabies menyerupai penyakit viral lain pada sistem saraf pusat: hiperemia, berbagai derajat kromatolisis, piknosis nuklear dan neurofagia sel saraf; diinfiltrasi oleh limposit dan sel plasma ruang Virchow-Robin; infiltrasi mikroglia dan area parenkim destruksi sel saraf. Pada model hewan eksperimental, sering terjadi infeksi adenohipofisis karena virus rabies, dengan pengurangan pada hormon pertumbuhan dan pelepasan vasopresin. Lesi rabies yang patognomik adalah badan negri. Massa eosinofilik ini,

berukuran sekitar 10nm tersusun atas matriks fibilar halus dan partikel virus rabies. Badan negri tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon, korteks serebral, otak tengah, hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis medulla spinalis. Badan negri tidak ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan tidak adanya badan negri ini pada material otak tidak menyingkirkan diagnosis.3 V. MANIFESTASI KLINIS Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.1 Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) jarang, sembuh.1

Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien.1 Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.1 Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, peride lucid menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan tiupan yang lembut sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6C. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler,lakrimasi meningkat, salivasi, berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.2

Gambar 3. Penderita Rabies (dikutip dari kepustakaan 3)

Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm neuritis optik dan kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran tradisional foaming at the mouth. Hidrofobia, kontraksi diafragma involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan, faringeal, dan laringeal yang dimulai dengan menelan cairan, tampak pada sekitar 50% kasus. Terkenanya nukleus amigdaloideus menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan. Pasien menjadi koma, dan terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya dan bertanggung jawab pada perjalanan penyakit yang menurun cepat. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1 Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang menyerupai sindroma Landry-Guillan-Barr (dumb rabies, rage tranquille). Pola klinis ini terjadi paling sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada mereka yang mendapat profilaksis rabies pasca pemajanan.1 Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang digambarkan dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada transplantasi jaringan. Jaringan transplan dari dua donor yang meninggal karena dicurigai sindroma Landry-Guillan-Barr menimbulkan rabies klinis dan kematian pada resipien. Pemeriksaan patologik retrospektif pada otak dari kedua resipien menunjukkan badan negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas dari setiap mata donor yang dibekukan.1 Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies (dikutip dari kepustakaan 1) Stadium Inkubasi Lamanya (% kasus) < 30 hari (25%) 30-90 hari (50%) 90 hari 1 tahun (20%) >1 tahun (5%) Manifestasi klinis Tidak ada

Prodromal

2-10 hari

Parestesi, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise,

anoreksia, mual & muntah, nyeri kepala, lethargi, agitasi, anxietas, depresi

Neurologik akut Furious (80%) 2-7 hari Halusinasi, bingung,

delirium, tingkah laku aneh, agitasi, hidropobia, menggigit, hipersalivasi,

disfagia, afasia, inkoordinasi, hiperaktif, aerofobia, disfungsi spasme faring,

hiperventilasi, saraf otonom,

sindroma abnormalitas ADH Paralisis flaksid

Autonomic Paralitik 2-7 hari

instability,

hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia/hipertermia,

Koma

0-14 hari

hipotensi, disfungsi pituitari, rhabdomiolisis, aritmia dan henti jantung

VI.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas

terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat (12000 sampai 17000 sel permikroliter) tapi mungkin normal atau setinggi 30000 sel per mikroliter.1 Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi saliva, jarang cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan (otak), (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak.(1) Sampel otak diperoleh dengan pemeriksaan postmortem atau pada biopsi otak yang ditujukan untuk (1) pemeriksaan inokulasi tikus untuk isolasi virus (2) pewarnaan antibodi fluoresen (FA, fluorescent antibody) untuk antigen virus, dan (3) pemeriksaan histologik dan/atau mikroskopik elektron untuk melihat badan Negri.(1) Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi netralisasi terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel serum merupakan diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk diagnosis mungkin diperoleh dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan adanya antibodi netralisasi terhadap rabies dalam cairan serebrospinal. Profilaksis rabies pasca pemajanan jarang menimbulkan antibodi netralisasi-cairan serebrospinal terhadap rabies. Jika adanya, biasanya dengan titer yang rendah, misalnya kurang dari 1:64, sedangkan titer cairan serebrospinal dalam rabies manusia dapat bervariasi dari 1:200 sampai 1:160000.(1) Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak, cairan serebrospinal dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahanbahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan dengan adanya neuralizing antibodi.2 Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi

respons antibodi pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi (pada CSS kadarnya 2-25% dari serum).2 Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah teknik isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal penyakit (minggu I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat terjadi negatif palsu.2 Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2 Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)2

Gambar 4. Negri Bodies ( dikutip dari kepustakaan 3)

VII.

DIAGNOSIS BANDING Rabies harus difikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik

atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.2 Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya akan menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme laring.2 Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.2 Rabies paralitik dapar dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.2 Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster dan enterovirus seperti coxsackievirus, echovirus, poliovirus, dan enterovirus manusia 68 hingga 71. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geograpi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.1 VIII. PENATALAKSANAAN Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun

tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsanganrangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.2 Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.2 IX. KOMPLIKASI Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.2 X. PENCEGAHAN Setiap tahun lebih dari 1 juta orang Amerika digigit binatang. Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam kepulauan Amerika digigit

kelelawar yang kemudian lolos sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi. 4 Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap, jika mungkin. Binatang buas atau yang sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau berkeliaran terlibat dalam pemajanan rabies, khususnya binatang yang terlibat gigitan tanpa ada rangsangan, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati. Individu yang terkena binatang buas yang lolos dan mengandung rabies (kelelawar, skunk, serigala padang rumput, rubah, raccoon, dan lain-lain). Dalam area tempat rabies diketahui atau diduga ada maka orang tersebut sebaiknya menerima imunisasi terhadap rabies baik pasif maupun aktif.4 Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies rabies pada waktu menggigit.(4) Penanganan luka Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%. luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.(4) Profilaksis pasca paparan Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan

panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.1 Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).4 Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.4 Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross Intradermal (TRCID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.4 Profilaksis pra-pemajanan Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan, penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat profilaksis pra-

pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4 Efek samping/komplikasi vaksinasi Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4 Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan dan penderita diberikan kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.4 SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4 Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami reaksi miripkompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus, dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya dihubungkan dengan adanya -propriolakton-albumin serum manusia yang berubah dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang rendah. Mereka dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih

untuk tidak menerima dosis booster rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.5 XI. PROGNOSIS Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang

melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4

DAFTAR PUSTAKA

1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison Prinsipprinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 1999. p.938-941 2. Chin, James. Manuals disease eradication an infection. Edisi 17. American Public Health Association, 2013 3. Ritarwan K. 2004. Rabies. (Online). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf, diakses 29 September 2013 4. Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1736-1740. 5. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds). Mandell, Douglas amd Bennets Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, p 1811 1820

Anda mungkin juga menyukai