Anda di halaman 1dari 81

Bioethics Theory

Etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat (Amin, 1983). Etika juga diartikan sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Dengan demikian etika dapat diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.

Etika berhubungan dengan 4 hal, yaitu dilihat dari segi objeknya, etika membahas perbuatan yang dilakukan manusia, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran dan filsafat, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap suatu perbuatan yang dilakukan manusia apakah perbuatan itu baik, buruk, hina, dan sebagainya, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, dapat berubah-ubah sesuai perkembangan ilmu dan zaman.

Etika dan moral sama-sama membahas perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Perbedaan etika dan moral adalah etika dalam menentukan nilai baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang tumbuh berkembang dan berlangsung di masyarakat. Etika lebih bersifat teoritis, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang perilaku manusia secara universal, sedangkan moral secara lokal (Yaqub, 1983).

____________________ Makalah disajikan dalam Forum Diskusi Ilmiah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Malang pada tanggal 17 Desember 2005

Bioetika atau bioethics atau etika biologi didefinisikan oleh Samuel Gorovitz (dalam Shannon, 1995) sebagai penyelidikan kritis tentang dimensi-dimensi moral dari pengambilan keputusan dalam konteks berkaitan dengan kesehatan dan dalam konteks yang melibatkan ilmu-ilmu

biologis

. Jadi

bioetika

menyelidiki dimensi etis dari masalah-masalah teknologi, ilmu kedokteran, dan biologi yang terkait dengan penerapannya dalam kehidupan (Shannon, 1995).

Bioetika

diartikan sebagai studi interdisipliner tentang problem-problem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik pada skala mikro maupun makro, dan dampaknya atas masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa mendatang (Bertens, 2009). Dalam bioetika diperlukan cara berpikir dan bekerja yang sungguh-sungguh interdisipliner.

Teori Deontologi
Teori deontologi adalah konsep moral yang menitikberatkan pada kewajiban. Konsep ini menyiratkan adanya pembedaan di antara sekian kewajiban yang hadir bersamaan. Satu persoalan kadang terlihat baik dari satu sudut pandang tetapi buruk dari sudut pandang yang lain. Penilaian baik dan buruk tidak semata-mata bertolak dari nilai kebaikan dan keburukan begitu saja (David McNaughton). Baik dan buruk dinilai berdasarkan konteks terjadinya suatu perbuatan. Bisa saja perbuatan A benar berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diterima oleh masyarakat, tetapi konteksnya menyebabkan perbuatan itu terlihat buruk dan berdampak negative manakala dilakukan.

Deontologi berasal dari kata Yunani, deon yang berarti sesuatu yang harus (David McNaughton). Teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Kant (1724 1804). Tulisan-tulisan Kant tentang moral dapat ditemukan dalam karya-karyanya, antara lain Groundwork of the Metaphisics of Moral (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan The Metaphisycs of moral (1797). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti yang sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Hal-hal yang lain seperti kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan sebagainya disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia dipakai oleh kehendak baik manusia (Bertens, 254). Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianism yang mengedapankan tujuan yang ingin dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan. Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban, yang disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan kewajiban karena itu merupakan kewajiban kita, dan untuk itu alasan (reason) tidak diperlukan sehingga perbuatan itu dilakukan.

Suatu perbuatan tidak bisa dinilai baik manakala hanya didasarkan pada alasan tertentu. Kant menekankan bahwa kalaupun reason diapakai dalam suatu perbuatan maka alasan itu harus bisa diterapkan pada semua perbuatan dan bukan alasan yang non-universalizable (Onora Oneill). Alasan itu mengharuskan seseorang melakukan suatu perbuatan begitu saja, tanpa syarat, dan oleh Kant disebut sebagai Categorical imperative. Imperatif kategoris menjadi prinsip bagi kewajiban manusia. Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan etis, baik terhadap diri sendiri maupun dalam relasi sosial. Misalnya, orang tua mempunyai kewajiban

terhadap anaknya, anak terhadap orang tuanya; individu terhadap kelompok sosialnya, dan sebaliknya juga ada kewajiban dari kelompok sosial terhadap individu. Semua itu harus

dilakukan sebagai suatu

kewajiban

Kant juga menyimpulkan adanya otonomi kehendak. Kalau hukum moral difahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom (Bertens, 256). Otonomi kehendak ini mengisyaratkan adanya otonomi individu dalam menentukan suatu perbuatan, yang tentu saja perbuatan itu tetap berdasarkan pada prinsip-prinsip kewajiban. Otonomi yang dimaksud oleh Kant tidak bersifat subyektif, tetapi bahwa manusia memiliki kebebasan yang tunduk pada kewajiban yang bersifat imperatif. Sepanjang kebebasan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kewajiban, maka kebebasan tersebut dapat dibenarkan secara moral. (Kita akan menemukan penjelasan tentang otonomi kehendak ini secara lebih jelas pada saat membahas dilema etis dalam euthanasia).

Pemikiran etika Kant mendapat banyak kritikan. Jika penilaian suatu perbuatan hanya dilakukan berdasarkan kewajiban semata-mata, maka seseorang bisa saja bertindak dengan mengabaikan secara moral hati nuraninya secara serta merta, karena ia harus tunduk pada prinsip kewajiban. Perbuatan yang dilakukan atas prinsip kewajiban demi kewajiban juga dapat berarti seseorang harus bertindak secara membuta sesuai dengan aturan yang ketat, tanpa mengkaji konsekuensi langsung yang akan terjadi dari perbuatan tersebut dalam keadaan khusus, bahkan juga tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjangnya (Henry Hazlitt, 178-9). Alasan lain untuk menyalahkan Kant adalah bahwa dia melihat dengan kecurigaan yang mendalam pada semua kecenderungan alamiah (baca: reason), karena dia berasumsi bahwa semua itu adalah keinginan akan kesenangan yang sempit. Bertrand Russell bahkan mengkritik Kant lewat satire :

"Kant tidak pernah lelah untuk mencaci maki pandangan bahwa kebaikan itu terdiri atas kesenangan, atau atas sesuatu apapun kecuali keutamaan. Dan keutamaan mengandung makna bertindak sebagaimana yang diperintahkan hukum moral, karena hal itu adalah apa yang diperintahkan hukum moral. Tindakan benar yang dilakukan karena motif yang lain tidak dapat dianggap sebagai bajik. ...(Dan Russell berkesimpulan bahwa jika Kant) mempercayai apa yang dia pikir percayai, dia tidak memandang sorga sebagai tempat yang di situ kebahagiaan adalah kebahagiaan, namun sebagai tempat yang di situ mereka memiliki kesempatan yang tidak pernah berakhir untuk melakukan keramahan pada orang yang tidak mereka senangi" (Henry Hazlitt , 178-9).

Kritik Russell di atas menunjukkan bahwa melakukan kewajiban tidak serta merta menunjukkan suatu perbuatan yang sesuai dengan moral. Dalam situasi tertentu, kewajiban bisa bertentangan dengan tuntutan moral, terlebih jika kewajiban itu merupakan kewajiaban yang berdasarkan pada hukum yang bersifat relatif.

Teori Teleologi

Teleologi berasal dari akar kata Yunani telos, yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos, perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana halhal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan kebijaksanaan objektif di luar manusia.

Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir.Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat.Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik.Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.Perbincangan baik dan jahat harus diimbangi dengan benar dan salah. Lebih mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme, ketika yang baik itu dipersempit menjadi yang baik bagi diri sendiri.

Berikut ini merupakan dua aliran dari etika teleology, antara lain : 1. Egoisme Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme. Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri ( self servis). Menurut teori ini, orang bolah saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/ atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, yaitu suatu tindakan yang peduli pada

orang lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Kedua, egoisme etis, adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri

self-interest

).

Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan diri sendiri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Berikut adalah pokok-pokok pandangan egoisme etis: a. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain. b. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tuga adalah kepentingan diri. c. Meski egois etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus menghindari tindakan

d. menolong orang lain e. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.

f. Inti dari paham egoisme etis adalah apabila ada tindakan yang menguntungkan orang lain, maka keuntungan bagi orang lain ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu menguntungkan diri sendiri.

Alasan yang mendukung teori egoisme: a. Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri sendiri. Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan ofensif bagi kepentingan sendiri. Cinta kasih kepada orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.

b. Pandangan terhadap kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis: a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan. b. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas timbulnya rasisme.

2. Utilitarianisme Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number ). Paham utilitarianisme sebagai berikut:

(1) Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak, (2) dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan, (3) kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang banyak (kepentingan orang banyak).

Kritik terhadap teori utilitarianisme: a. Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani. b. Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu /minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak.

Virtue Ethics/ Etika Moralitas

Etika moralitas menekankan peran karakter seseorang dan kebajikan karakter seseorang tersebut merupakan perwujudan untuk menentukan atau mengevaluasi perilaku etis. Kebajikan etika saat ini salah satu dari tiga pendekatan utama dalam etika normatif. Etika moralitas ini diidentifikasi sebagai salah satu etika yang menekankan kebajikan/ karakter moral, berbeda dengan pendekatan yang menekankan tugas atau aturan (deontology) atau yang menekankan konsekuensi dari tindakan (consequentialism). Apa yang utama dari etika ini adalah apakah orang tersebut bertindak mengekspresikan karakter yang baik (kebajikan moral) atau tidak.

Sebagai contoh, seseorang yang membutuhkan pertolongan harus dibantu. Seorang utilitarian akan menunjukkan fakta bahwa konsekuensi dari melakukan hal tersebut akan memaksimalkan kesejahteraan. Seorang deontologist akan bertindak sesuai dengan aturan moral seperti "Lakukan kepada orang lain seperti orang lain memperlakukan Anda". Sementara itu, seorang virtue ethicist bertindak membantu orang tersebut sebagai amal atau karena kemurahhatian.

Karakter seseorang adalah totalitas dari karakter-Nya. Karakter seseorang bisa baik, buruk atau di antara baik maupun buruk. Mereka dapat mengagumkan atau tidak. Para karakter mengagumkan menunjukkan tanda-tanda kesempurnaan dalam karakter, yang disebut kebajikan, dan lawannya adalah keburukan. Ciri-ciri dari karakter yaitu:

1) Disposisi atau kebiasaan -> seperti kecenderungan yang tertanam atau berakar. Mereka telah disebut sebagai alam kedua, yaitu karakter bukan bawaan, belum ada saat seseorang dilahirkan.

2) Dibentuk sebagai akibat dari pemilihan bebas dari berbagaijenis tindakan. Contoh: Seseorang tidak dilahirkan jujur atau pembohong, tetapi orang tersebut menjadi seperti itu oleh karena berulang kali mengatakan yang sebenarnya atau berulang kali berbohong.

Etika moralitas: 1. Adalah karakter mengagumkan, disposisi yang umumnya diinginkan, serta yang berkontribusi untuk sosial harmoni. 2. Memungkinkan kita untuk bertindak sesuai dengan alasan,

3. M

emungkinkan kita untuk merasa tepat dan memiliki niat yang benar

Orang yang karakter

kurang dari kebajikan dapat melakukan apa yang terlihat, d

ari luar, seperti hal yang benar

untuk dilakukan, tetapi motifnya akan meninggalkan sesuatu yang diinginkan.

Namun,

rang jujur

biasanya akan mengatakan yang sebenarnya, dan ia akan melakukannya karena

itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, bukan kar

ena ia takut konsekuensi negatif

ketahuan.

4. Merupakan orientasi terhadap mean, bukan ekstrem (kejahatan berhubungan dengan ekstrem). Dalam studi Aristoteles yang terkenal mengenai karakter, tema yang sering adalah fakta bahwa kebajikan terletak di antara dua keburukan. Keutamaan keberanian, misalnya, terletak di antara sifat buruk keadaan terburu dan pengecut. Pengecut memiliki terlalu banyak ketakutan, orang Ruam memiliki rasa takut terlalu sedikit dan kepercayaan diri yang berlebihan, sedangkan orang berani memiliki jumlah yang tepat.

Pada abad kedua puluh, etika moralitas telah dikembangkan dalam tiga arah utama: Eudaimonisme, agen berbasis teori, dan etika perawatan. Eudaimonism mendasarkan kebajikan pada manusia berkembang, di mana berkembang disamakan dengan menjalankan fungsi khas seseorang dengan baik. Dalam kasus manusia, Aristoteles berpendapat bahwa fungsi khas manusia adalah penalaran. Teori berbasis agen menekankan bahwa kebajikan ditentukan oleh intuisi akal sehat bahwa kita sebagai hakim pengamat menjadi ciri mengagumkan pada orang lain. Cabang ketiga etika moralitas, etika perawatan, diusulkan secara dominan oleh para pemikir feminis. Ini menantang gagasan bahwa etika harus fokus hanya pada keadilan dan otonomi, ia berargumen bahwa ciri-ciri yang lebih feminin, seperti merawat dan memelihara, juga harus dipertimbangkan.

Etika moralitas memiliki poin baik maupun buruk. Poin baik dari etika moralitas adalah bahwa etika ini memusatkan perilaku etik pada seseorang dan apa makna menjadi manusia, selain itu etika ini mencakup seluruh kehidupan seseorang. Sementara, poin buruk dari etika ini adalah tidak memberikan panduan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan pada dilema moral, tidak memberikan pedoman umum mengenai bagaimana menjadi orang yang baik, serta tidak ada kesepakatan umum tentang apakah itu kebajikan dan setiap daftar kebajikan akan relatif terhadap budaya di mana ia sedang disusun. Namun, kita dapat menjadikan seorang bajik sebagai pedoman hidup kita dalam bertingkah laku. Kemampuan untuk menumbuhkan kebajikan yang tepat akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berbeda di luar kendali seseorang karena pendidikan, masyarakat, teman-teman dan keluarga.

Principlism Ethics

Dalam etika profesi, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macammacam.

2. Prinsip keadilan Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya dan tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai.

3. Prinsip Otonomi Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur

tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah.

Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh

tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi

tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku

sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam

pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum

profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar

pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu

hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum

profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak

merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya,

kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku

dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang

merugikan pihak lain tadi.

4. Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.

Selain prinsip-prinsip etika profesi diatas, telah kita ketahui juga beberapa prinsip dasar atau bisa disebut kaidah dasar moral dalam bioetika, seperti : a. Beneficence (tindakan berbuat baik) b. Nonmaleficence (tidak merugikan orang lain) c. Justice (keadilan) d. Otonomi

Anda mungkin juga menyukai