Anda di halaman 1dari 12

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REFARAT & LAPORAN KASUS MARET 2013

INDIKASI PEMBERIAN OBAT ANTIPSIKOSIS SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)

OLEH : Anni Fitria 10542001208

PEMBIMBING : dr. Hawaidah, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2013

INDIKASI PEMBERIAN OBAT ANTIPSIKOSIS


1

I.

Pendahuluan Berbagai agen yang digunakan untuk menerapi gangguan psikiatrik disebut dengan tiga istilah umum yang dapat saling menggantikan : obat psikotropik, obat psikoaktif, dan obat

psikoterapeutik. Dahulu, agen-agen tersebut dibagi menjadi empat kategori : (1) obat antipsikotik atau neuroleptik, digunakan untuk menerapi psikosis; (2) obat antidepresan, digunakan untuk menerapi depresi; (3) obat antimaniak atau penstabil mood; dan (4) obat antiansietas atau ansiolitik yang digunakan untuk menerapi ansietas. Meskipun demikian, pembagian ini sekarang kurang sah daripada di masa lalu karena banyak obat dari satu golongan digunakan untuk menerapi gangguan yang sebelumnya diterapi dengan golongan obat lainnya.1 Antipsikosis bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting antipsikosis ialah : (1) berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas, dan labilitas emosional pada pasien psikosis; (2) dosis besar tidak menyebabkan koma dalam ataupun anastesia; (3) dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; (4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis.2 Pada antipsikosis yang lebih baru, efek samping

ekstrapiramidal minimal sehingga antipsikotik menurut efek samping ekstrapiramidal yang ditimbulkan terbagi menjadi antipsikotik yang tipikal (efek samping ekstrapiramidal yang nyata) dan antipsikotik yang atipikal (efek samping ekstrapiramidal yang minimal).2 Penggunaan klinis obat psikotropik dalam hal ini obat antipsikotik ditujukan untuk meredam (suppression) gejala sasaran tertentu dan pemilihan jenis obat disesuaikan dengan tampilan gejala sasaran yang ingin ditanggulangi, sehingga sangatlah penting untuk

mengetahui indikasi penggunaan obat psikotropik, dalam hal ini obat antipsikosis.3 II. Klasifikasi obat antipsikosis Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan efek

ekstrapirmidal yang dapat ditimbulkan, obat antipsikosis dapat dibagi menjadi1,2,3 : a. Antipsikotik tipikal Antipsikotik tipikal atau disebut juga dengan antipsikotik generasi I (APG I) merupakan obat yang bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin 2 dan dapat menimbukan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat ini mencakup golongan fenotiazin rantai alifatik (cth. Klorpromazin), rantai piperidin (cth. Thioridazine), dan rantai piperazine (cth. Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine), golongan butirofenon (cth. Haloperidol), dan golongan diphenylbutyl-piperidine (cth. Pimozide). Prototip kelompok ini adalah klorpromazin (CPZ) yang merupakan derivat fenotiazin golongan alifatik. Hingga saat ini obat tersebut masih tetap digunakan sebagai antipsikosis karena ketersediaan dan harganya yang murah. Obat antipsikosis tipikal lain yang sering digunakan butirofenon.2 b. Antipsikotik atipikal Antipsikotik atipikal atau disebut juga dengan antipsikotik generasi II (APG II) merupakan obat yang bekerja sebagai antagonis serotonin-dopamin. Obat golongan ini hampir tidak dapat menimbulkan reaksi ekstrapiramidal. Obat ini mencakup golongan Benzamide (cth. Supiride), golongan Dibenzodiazepine (cth. Clozapine, Olanzapine, Quetiapine, Zotepine) dan golongan benzisoxazole (cth. Risperidon, Aripiprazole). III. Mekanisme kerja obat antipsikosis yaitu haloperidol yang merupakan golongan

Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter pada manusia yang sangat berperan pada mekanisme terjadinya gangguan psikotik. Dopamin sendiri diproduksi pada beberapa area di otak, termasuk subtantia nigra dan area ventral tegmental. Dopamin memiliki banyak fugsi di otak, termasuk peran pentingnya pada perilaku dan kognisi, pergerakan volunter, motivasi, penghambat produksi prolaktin (berperan dalam masa menyusui), tidur, mood, perhatian, dan proses belajar. Dopaminergik neuron (neuron yang menggunakan dopamin sebagai neuro transmitter utamanya terdapat pada area ventral tegmental (AVT) pada midbrain, substantia nigra pars compacta dan nucleus arcuata pada hipotalamus, jalur dopaminergik merupakan jalur neural pada otak yang mengirimkan dopamin dari satu regio di otak ke regio lainnya. Ada 4 jalur utama dopamine: 1. Jalur mesolimbik memproyeksikan jalur dopamine dari badan sel didaerah ventral tegmental batang otak terminal akson daerah limbik seperti nucleus acumben. Jalur ini di duga sangat berperan terhadap perilaku emosional, khususnya halusinasi audiotorik dan delusi. Hiperaktivitas dari jalur ini secara hipotesis diduga berperan penting terhadap timbulnya gejala positif psikosis. 2. Jalur mesokortikal memproyeksikan jalur dopamine dari badan sel ke daerah ventral tegmental batang otak (berdekatan dengan badan sel mesolimbic) ke daerah korteks cerebri. Gangguan pada jalur ini di duga berperan terhadap timbulnya gangguan kognitif dan timbulnya gangguan gejala negative psikosis. 3. Jalur nigrostriatal memproyeksikan jalur dopamine dari badan sel substansia nigra batang otak yang menuju ke ganglia basal atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari ekstrapiramidal motorik. yang berfungsi mengontrol gerakan

4. Jalur tuberoinfundibular menghubungkan nucleus arkuatus dan neuron preifentikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Mekanisme kerja obat antipsikotik berpusat pada keempat jalur dopaminergik tersebut diatas. Antipsikotik tipikal bekerja dengan cara menghambat reseptor Dopamin D2 receptors (D2 receptors) pada jalur mesolimbik sehingga mengurangi gejala positif pada skizofrenia. Sedangkan pada jalur mesokortikal, hambatan pada reseptor D2 dapat berakibat timbulnya gejala kognitif atau gejala negatif yang semakin berat. Antipsikosis tipikal juga menghambat reseptor D2 pada jalur nigrostriatal yang berfungsi untuk mengontrol gerakan motorik. menyebabkan terjadinya extrapyramidal syndrome Hal inilah yang (EPS) seperti

parkinsonism, diskinesia tardive, dan hyperkinetic movement disorder pada penggunaan antipsikosis tipikal. Sedangkan efek antipsikosis tipikal pada jalur tuberoinfundibular menyebabkan terjadinya hyperprolactinemia.4 Antipsikotik atipikal sendiri disamping berafinitas terhadap reseptor D2 juga terhadap serotonin 5 HT2 resceptors (serotonin-dopamin antagonis). Pada jalur mesolimbik blokade reseptor D2 lebih kuat daripada antagonis 5HT2A. Hal ini dapat membantu mengurangi gejala positif. Sebaliknya pada jalur mesokortikal, terdapat lebih banyak reseptor 5 HT2 dibandingkan dengan reseptor D2. Hal ini dapat membantu mengurangi gajala negatif sebab apabila reseptor D2 pada jalur ini dapat menyebabkan gangguan kognitif dan gejala negatif yang nyata. 4 5HT2A antagonis pada antipsikosis atipikal berikatan dengan reseptor 5HT2A pada jalur nigrostriatal dan menghambat pelepasan 5HT sehingga menyebabkan pelepasan dopamin yang lebih banyak, hal ini dapat mengurangi kemungkinan timbulnya EPS. Pada jalur

tuberoinfundibular, dopamin antagonis menghambat pelepasan prolaktin sedangkan seotonin antagonis menyebabkan pelepasan prolaktin. Kerja

antagonis antara keduanya menyebabkan tidak terjadinya pelepasan prolaktin ke dalam darah.4 IV. Indikasi terapeutik Gejala sasaran (target syndrome) dari penggunaan obat antipsikosis adalah sindrom psikosis. Butir-butir diagnostik sindrom psikosis adalah3 : 1. Adanya hendaya berat dalam RTA (Reality Testing

Ability/kemampuan daya menilai realitas). Dengan adanya ganguan RTA tersebut, maka akan bermanifestasi berupa kesadaran diri (awareness) terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan (insight) terganggu. 2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental yang akan

bermanifestasi berupa adanya Gejala Positif dan Gejala Negatif. Gejala Positif berupa gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi Pikiran yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi

(halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali. Gejala Negatif berupa gangguan perasaan (afek tumpul, respon minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia). 3. Hendaya berat dalam seperti fungsi tidak mau kehidupan bekerja, seharimenjalin

hari, bermanifestasi

hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin. Berdasarkan jenisnya, indikasi penggunaan antipsikotik dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Antipsikotik tipikal

Antipsikotik tipikal sebagai anatagonis reseptor dopamin efektif untuk penatalaksanaan skizofrenia jangka panjang maupun jangka pendek, gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif, gangguan waham, gangguan psikotik singkat, episode manik, dan gangguan depresi berat dengan ciri psikotik. Obat ini mengurangi gejala akut dan mencegah perburukan dimasa mendatang.1 Umumnya antagonis reseptor dopamin dianggap lebih efektif pada terapi gejala positif skizofrenia (halusinasi, waham, dan agitasi) dibandingkan terapi gejala negatif (penarikan diri secara emosional dan ambivalensi) atau disosiasi kognitif. Antagonis reseptor dopamin itu sendiri juga dapat menimbulkan gejala negatif. Pada umumnya juga diyakini bahwa gejala paranoid lebih efektif diterapi dibandingkan gejala nonparanoid, dan bahwa perempuan lebih responsif dibandingkan laki-laki.1 Antipsikotik juga sering digunakan dalam kombinasi dengan obat antimanik untuk menerapi psikosis atau manik pada gangguan bipolar. Selain itu, antagonis reseptor dopamin juga efektif dalam terapi gejala psikotik akibat penyebab organik (misal, tumor). Agitasi dan psikosis akibat keadaan neurologis seperti demensia tipe Alzheimer juga berespon terhadap terapi antipsikotik.1 Berikut ini beberapa obat antipsikotik tipikal yang sering digunakan : a. Klorpromazin (CPZ) Indikasi utama klorpromazin ialah untuk mengurangi gejala skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Klorpromazin juga dapat digunakan untuk mengurangi gejala mania pada pasien dengan gangguan bipolar.5 Obat standar untuk terapi gangguan bipolar, lithium, carbamazepine, dan valproat, umumnya memiliki onset kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan antipsikotik di

dalam terapi gejala akut. Praktik yang umum adalah dengan menggunakan terapi kombinasi pada awal terapi dan kemudian secara bertahap menghentikan antipsikotik.1 Indikasi lain

penggunaan klorpromazin yaitu mengatasi rasa gelisah dan cemas setelah menjalani operasi.5 Selain itu, klorpromazin dapat digunakan untuk mengobati porphyria akut intermittent, yaitu suatu penyakit herediter berupa kelainan pembentukan heme pada rantai hemoglobin yang memiliki trias yaitu nyeri abdomen, sensifitas terhadap cahaya matahari, dan gangguan pada sistem saraf yang bermanifestasi sebagai gangguan mental dan kepribadian serta gangguan otot berupa kejang.5,6 b. Haloperidol Indikasi utama haloperidol ialah untuk psikosis. Haloperidol juga merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette yaitu suatu kelainan neurologik yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing) dan explosive utterances of foul expletives (korpolalia, mengeluarkan kata-kata jorok). 2 Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibandingkan dengan CPZ, namun sama kuatnya dalam hal menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang disebabkan oleh apomorfin.2 Pada sistem otonom, haloperidol dapat menyebabkan pandangan kabur (blurring of vision). Pada sistem kardiovaskular, haloperidol dapat menyebabkan hipotensi tetapi tidak sesering CPZ. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80 % pasien yang diterapi dengan haloperidol.2

c. Trifluoperazine

Trifluoperazine

adalah

obat

antipsikosis

dari

golongan

phenotiazine rantai piperazine dengan efek antipsikosis poten, anxiolitic, dan antiemesis. Trifluoroperazine memiliki efek sedatif sedang dan dapat menyebabkan hipotensi, dan seperti antipsikosis pada umumnya, dapat pula menyebabkan reaksi ekstrapiramidal.7 Trifluoperazine dosis rendah diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk pasien dengan gangguan kecemasan, episode depresi pada gangguan kecemasan, dan agitasi. Pada dosis yang lebih tinggi, penggunaan Trifluoperazine diindikasikan untuk mengatasi gejala dan mencegah kekambuhan pada penderita dengan skizofrenia khususnya untuk tipe paranoid. Gejala-gejala seperti iritabilitas berat, tidak adanya pengendalian impuls, permusuhan berat, hiperaktivitas menyeluruh, dan agitasi berespons terhadap terapi jangka pendek dengan trifluoperazine.7 d. Thioridazine Thioridazine digunakan sebagai terapi lini kedua pada penderita skizofrenia dewasa. Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosi labil, dan perilaku destruktif. Thioridazone juga dapat digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional berupa anxietas, depresi, dan agitasi. Hal ini disebabkan karena thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamin di sistem limbik daripada sistem ekstrapiramidal pada sistem saraf pusat.8 2. Antipsikotik atipikal Antipsikotik atipikal efektif untuk menerapi psikosis akut dan kronis seperti skizofrenia dan gangguan skizoafektif pada orang dewasa dan remaja. Antipsikosis atipikal juga efektif untuk menerapi depresi psikotik serta untuk psikosis akibat trauma kepala, demensia, atau obat terapi.1

Antipsikotik atipikal sama baiknya, atau lebih baik dibandingkan dengan antipsikotik tipikal untuk terapi gejala positif pada skizofrenia dan jelas mengunggulinya untuk terapi gejala negatif. Dibandingkan dengan antipsikosis tipikal, mereka yang diterapi dengan antipsokosis atipikal lebih jarang kambuh dan memerlukan lebih sedikit perawatan di rumah sakit.1 Clozapine memiliki efek samping yang berpotensi

mengancam nyawa sehingga obat ini sekarang hanya digunakan untuk pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap semua antipsikotik lain. Terapi antipsikosis atipikal pada diskinesia tardive ini menekan gerakan abnormal tetapi tidak tampak memperburuk gangguan gerakan. Antipsikosis atipikal juga efektif bagi pasien dengan ambang gejala ekstrapiramidal yang rendah.1 Antipsikotik atipikal juga berguna untuk pengendalian awal agitasi selama episode manik, tetapi kurang efektif untuk pengendalian jangka panjang gangguan bipolar. Olanzapine dan risperidone dapat digunakan untuk memperkuat antidepresan dalam penatalaksanaan jangka pendek depresi berat dengan ciri psikotik. Antipsikosis atipikal juga efektif dalam terapi gangguan skizoafektif meskipun risperidone dilaporkan mencetuskan mania pada orang dengan gangguan skizoafektif. Penambahan olanzapine dan clozapine dapat memperbaiki hingga dua pertiga orang dengan gangguan bipolar refrakter.1 Berikut ini beberapa obat antipsikotik atipikal yang sering digunakan : a. Klozapin Klozapin merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan potensi lemah. Kozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif maupun yang negatif.

10

Obat ini juga cocok bagi pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun, karena klozapin memiliki risiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan antipsikosis yang lain, maka penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentolerir antipsikosis yang lain. Indikasi lain clozapine mencakup terapi pada pasien dengan diskinesia tardive berat.2 b. Risperidon Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala positif maupun negatif. Disamping itu diindikasikan juga untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan Tourette syndrome.2 c. Olanzapin Indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun positif pada penderita skizofrenia dan sebagai antimania. Obat ini juga menunjukkan efektivitas pada pasien depresi dengan gejala psikotik.2 d. Quetiapin Indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun positif pada penderita skizofrenia. Obat ini dilaporkan juga meningkatkan kemampuan kognitif pasien skizofrenia seperti perhatian, kemampuan berpikir, berbicara dan kemampuan mengingat membai. Disamping itu obat ini juga diindikasikan pula untuk gangguan depresi dan mania.2 V. Pemilihan sediaan2 Obat golongan antipsikosis merupakan obat simtomatik. Pemilihan obat ditujukan untuk sejauh mungkin menghilangkan gejala penyakit dalam rangka pemulihan kesehatan mental pasien, obat dengan efek samping seringan mungkin, dan bebas interaksi merugikan dengan obat lain yang mungkin diperlukan.

11

Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan sediaan obat antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek farmakologi yang menyertainya. Berhubung perbedaan efektivitas antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat dari tiap golongan untuk tujuan pengobatan tertentu. Pemilihan jenis obat antipsikosis juga dapat

mempertimbangkan gejala psikotik yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.

12

Anda mungkin juga menyukai