Anda di halaman 1dari 7

AIR MATA JUWITA Kilauan permata bening mulai turun di malam yang dingin.

Menjatuhkan kesegaran hakiki bagi alam. Tetes demi tetes secara diskontinu mulai meluruh. Dapat kurasakan aroma khas dari tanah dan dedaunan yang basah. Begitu pula suara katak yang tengah berpesta menyambut musim kawin. Semua menyatu dalam siklus alam yang kekal. Kekal, kata itu seolah membuatku rapuh. Aku mendesah panjang. Seakan melepas kepenatan jiwa. Kurasakan desiran rindu menggerogoti sukmaku. Rindu yang panjang, sepanjang putaran bumi. Rinduku adalah rindu kekal yang tak pernah berujung.Hanya kekekalan cintalah yang membuatku masih bisa bertahan untuk merindu. Mataku menerawang pada gelapnya malam. Telingaku seolah menerima sinyal suara lirih. Suara yang kedinginan, ketakutan dan menderita. Ya suara itu semakin mendekat. Kurasakan bulu romaku berdiri. Seiring dengan bayangan putih yang ditangkap oleh retina mataku dan meneruskannya ke otak. Menjadikan wajah sesosok gadis sebagai interpretasinya. Dia memanggil. Di balik derasnya air hujan dia memanggil. Aku terkesima. Darah ku seolah berhenti mengalir. Kutatap seraut wajah sendunya. Astaga, dia tampak kurus. Tapi tak ada secuilpun yang berubah. Senyumnya tetap senyum yang dulu. Senyum manis berhias lesung pipit yang menawan. Bibirnya tetap saja merah merona bak apel merah. Dia melambailan tangannya. Aku terhanyut dalam bisikan magisnya. Tanpa sadar aku membuka pintu. Aku rindu ingin menemuinya. Tapi dia nakal. Setiap aku dekati, ia seolah menjauh. Semakin jauh. Aku berlari mengejar. Tak ku pedulikan sekujur tubuhku yang dingin menggigil. Rasa rindu ini mengalahkan segalanya. Aku tak mungkin membiarkannya sendirian dalam kegelapan dan kedinginan. Semakin jauh, lentera lampu penduduk bak setitik susu putih di atas kubangan nila hitam kegelapan. Tapi ajaib. Dia seperti di kelilingi cahaya. Dengan busana putih bersih, dia masih tetap saja melambaikan tangannya padaku. Semakin dekat semakin dekat .. PARMIN !! terdengar teriakan keras membelah gelap malam.

Aku seperti tersadar, ku tatap sekeliling. Ku lihat sosok itu meredup. Cahayanya seolah mengurai seiring hujan yang mulai reda.Redup. Dia meredup dan meledak menjadi serpihan-serpihan cahaya kecil. Lantas serpihan cahaya itu menyatu menjadi kilau-kilau cahaya yang segera melesat menuju singgasana langit dan memecah menjadi taburan bintang yang berserak. Bahkan langit pun semarak, seolah tidak pernah mengucurkan air firdaus. Aku terkesima.

Parmin pekik seorang wanita tua memekakkan telingaku. Aku masih tertegun ketika wanita itu menarik tubuhku ke belakang.Aku terjerembab oleh paksaan itu. Parmin kamu sudah gila ya ? istighfar, Parmin, istighfar Aku tidak mengerti maksud wanita itu, yang ternyata adalah Tukiyem, ibuku. Parmin isak wanita itu, Sadarlah, nak. Jangan k amu terbawa suasana hati. Jangan terpedaya ilusi setan, anakku. Semua sudah berakhir, Min. sudah berakhir lanjutnya . Tapi, itu Juwita, Bu. Aku yakin itu Juwita ucapku lemah.

Tukiyem menggelengkan kepala. Bukan, Min. apa yang kamu lihat itu bukan Juw ita. Juwita telah pergi anakku, ia minggat dan tak tahu dimana rimbanya. Itu hanya halusinasimu. Ayo kita pulang, Nak ! ucap Tukiyem seraya memegang tanganku. Tidak, Bu. Aku tidak mau pulang. Aku kasihan kepada Juwita. Dia kedinginan. Dia sendirian dalam gelap. Aku tak bisa membiarkannya sendiri. Aku Cukup potong Tukiyem. Plak ! sebuah tamparan keras mendarat mendarat di pipiku. Kurasakan perihnya menjalar nikmat ke syarafku. Membuat darahku mendidih. Lihatlah ucap Tukiyem seraya menyalakan senternya. Aku terperanjat. Jantungku berdegup kencang. Kengerian menjalar manakala ku tahu bahwa tiga langkah di depanku adalah jurang yang menganga lebar dan dalam. Aku kehabisan kata-kata. Seluruh tubuhku lemas. Tukiyem segera menarik tanganku. Kami menyusuri lebatnya pepohonan yang basah serta hamparan sawah yang mulai berair. Kami pulang. Ku lirik arah belakangku. Juwita ada di sana. Senantiasa tersenyum sambil tak henti-henti melambaikan tangannya padaku. *** Aku sudah lama mengenal Juwita. Bahkan sejak bangku TK. Dia adalah anak saudagar kaya. Meskipun anak orang kaya, Juwita tidaklah sombong. Ia senang bergaul dengan siapa saja. Termasuk denganku yang seorang anak petani miskin. Sayangnya, orang tua Juwita terlalu berlebihan dalam mengatur Juwita. Tak jarang Juwita merasa tertekan olehnya. Bagi Juwita, apa yang dikatakan orang tuanya adalah suatu keharusan yang wajib dilaksanakan. Benar-benar kolot. Sampai akhirnya, orang tua Juwita menjodohkannya dengan anak rekan bisnis mereka, bernama Doan, putra dari Babah Halim. Juwita tak bisa menolaknya. Dan sebaliknya, aku pun menderita karena bulir-bulir cinta mulai bersemi di dada. Ya aku yang anak melarat ini

mencintai Juwita yang anak konglomerat. Betapa dunia mentertawakanku. Biarlah, walau cinta ini tak akan mungkin terbalas, tapi setidaknya aku masih bisa mencintainya dalam hati. Karena cinta tak harus memiliki. Besok adalah hari pernikahan Juwita dan aku akan berpura-pira sakit agar aku tak menyaksikan prosesi pernikahan yang membuat lukaku memerah dan perih. Cukup aku doakan saja dalam hati agar Juwita bahagia selamanya, walau hatiku teriris untuk itu. Pagi yang menjadi hari kesedihanku tiba juga. Aku bergegas wudlu. Aku ingin meminta kepada Allah SWT agar aku diberi kekuatan dalam menerima kenyataan pahit ini. Saat aku akan membuka pintu kamar, aku tertegun melihat amplop putih terselip dibawahnya.Sebuah surat. Ku pungut benda itu dan kubawa ketempat yang terang guna kubaca. Ternyata tak ada nama pengirimnya.Surat itupun lantas aku buka dan kubaca.

Untuk Parmin, Saat kau baca surat ini, mungkin aku sudah tak berada disini. Aku terpaksa menulis surat ini karena tak tahu harus berbuat apa lagi. Kau tahu Min, aku tak mau dijodohkan dengan Doan. Dia itu anak nakal yang suka mabuk-mabukan dan main perempuan. Sudah berkali-kali aku jelaskan pada orang tuaku perihal hal ini. Tapi mereka tak bergeming. Aku lelah dan capek hidup seperti ini terus. Jadi, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Aku ingin bebas Min, aku ingin menentukan sendiri arah dan tujuan hidupku. Maafkan aku jika kau marah dan kecewa padaku. Jujur kuakui, aku pun berat melakukan ini. Tapi setidaknya, aku masih punya peluang untuk maju dan bersaing di kota besar. Doakan aku, ya Min. juga sampaikan salamku buat kedua orang tuaku JUWITA Aku benar-benar seperti mau meledak. Antara rasa haru, sedih, senang, kecewa, campur aduk menjadi satu. Tapi, lantas apa yang harus aku lakukan; batinku dalam hati .Akhirnya, setelah menunaikan sholat Shubuh, aku segera bergegas menuju ke rumah orang tua Juwita. Disana ternyata kepanikan telah lebih dulu menyergap. Segera aku menjelaskan duduk perkaranya. Tak lupa aku tunjukkan surat Juwita tadi. Bagai di sambar petir disiang bolong. Bapak Juwita mencak-mencak begitu mendengar penjelasan bahwa Juwita minggat. Ibu Juwita pun tak kuasa membendung air matanya. Bapak Juwita tiba - tiba memecahkan barang-barang beserta ucapan maafku karena telah mengecewakan mereka.

diruangan. Tingkahnya seperti orang gila. Surat dari Juwita ia sobek-sobek dan diinjak-injak. Aku berusaha menenangkannya. Dengan penuh rasa malu, orang tua Juwita menghubungi semua warga dan menjelaskan tentang pembatalan pernikahan Jjuwita. Semua orang kaget. Juwita minggat, malam terakhir sebelum besoknya menikah. Dan inilah tragedi yang segera menjadi racikan bumbu-bumbu gosip dan pergunjingan ibu-ibu. Keluarga Jjuwita benar-benar kehilangan muka. Tak terhitung kerugian materi dan immateri yang diderita. Belum lagi sumpah serapah dan cercaan dari keluarga calon besan, Babah Halim. Keluarga Juwita benar-benar menjadi pesakitan. Usaha yang dirintisnya bangkrut lantaran kelurga Babah Halim sebagai partner menolak menyuplai barang. Rumah yang dulu megah kini dijual. Berganti dengan rumah kecil yang sederhana. Itulah saksi bisu akibat dari kediktatoran orang tua terhadap anaknya. Dan akupun masih merindukannya. Pada sosok cantik Juwita yang selalu ramah. Entah kapan aku bisa bertemu lagi dengannya. *** Suatu pagi di bulan Desember. Dingin. Pepohonan kaku menggigil. Air hujan tak henti menetes deras. Aku menyusuri pematang sawah. Walau mendung kelabu, semangatku bekerja membajak sawah tetap menggebu. Tak kuhiraukan dinginnya air yang menerpa. Aku tetap giat bekerja. Baru saja aku selesai membajak ketika seorang warga memberitahuku. Juwita telah kembali. Aku membanting topi pandanku dan bergegas pulang. Mungkin inilah kenyataan dari ilusi yang aku alami beberapa waktu lalu. Aku memang mendapat firasat Juwita akan pulang. Euforia kebahagiaan membuatku bergegas menemuinya. Juwita, bagaimana keadaannya sekarang. Setelah tiga tahun tak bertemu. Apakah masih seperti dulu, ataukah sudah menjadi orang kaya. Aku penasaran. Semakin dekat. Entah mengapa aku merasakan ada keganjilan. Tak ada suara gemuruh suka cita. Semua orang nampak hening, berkerumun dihalaman rumah Juwita. Semua terkesima. Firasatku jelek. Apalagi kulihat ayah dan ibu Juwita menangis. Ada apa ini gerangan? Aku menyeruak dikerumunan orang-orang. Dan. Aku berusaha menata kepingan hatiku yang hancur. Serpihan hatiku berserak dan hancur terinjak-injak. Air mataku mengalir deras kala menatap sosok Juwita didepanku. Aku tak percaya akan semua ini. Ini benarbenar diluar logika. Juwita.itukah juwita? Seorang perempuan yang nampak kotor dan dekil. Wajahnya hitam legam tak terurus. Rambutnya acak-acakan dan cenderung gimbal. Bajunya lusuh, dengan

sobekan dan tambalan disana sini. Matanya yang cekung menatap lurus kedepan dengan hampa. Pandangannya kosong. Tuhan, cobaan apalagi yang kini menghampiri juwita? Dia sakit jiwa ucap Parno, bapak Juwita. Maksud bapak?tanyaku tak mengerti. Parno menghela nafas panjang. Dengan isyarat tangan, beliau memanggil seorang gadis yang lumayan cantik. Agaknya ia seumuran aku dan Juwita. Namanya Linda. Dia teman juwita sewaktu bekerja. Dia yang akan menjelaskanujar Parno. Aku lantas diajak Linda keruang tamu. Jadi.ucapku tak sabar, Linda menghela nafas Ini terjadi tiga tahun lalu. Saat gerimis rintik-rintik, aku menemukan Juwita menggigil kedinginan dipinggir jalan. Aku kasihan, kubawa Juwita pulang ke kostku. Dia kurawat sampai akhirnya dapat berpikir positif lagi. Sebab ia mengaku hampir bunuh diri karena frustasi dengan hidupnya. Untunglah, itu tidak terjadi. Setelah beberapa lama, Juwita diterima bekerja disebuah perusahaan garmen. Gajinya lumayan, ia bahkan sering membagi gajinya dengan fakir miskin dan anak-anak jalanan. Namun sayang tak semua karyawan diperusahaan itu menyenanginya. Ada juga yang membencinya setengah mati. Jadilah orang yang membenci Juwita itu menebarkan fitnah keji. Usahanya berhasil. Juwita diberhentikan dengan tidak hormat, ia menjadi frustasi dan banyak melamun. Ada kebekuan dimatanya yang dingin. Aku menghembuskan nafas yang sekian lama aku tahan. Malang, kesialan kembali menghampiri ujar Linda meneruskan. Seluruh kompleks perumahan beserta kostku ludes dilalap si jago merah. Dalam keadaan panik aku segera dijemput kedua orang tuaku tanpa ada waktu guna mengabari Juwita yang tengah melamar pekerjaan. Aku benar-benar berdosa menelantarkan Juwita dalam kesendirian, yang membuatnya sakit jiwa. Aku yang salahisak Linda tertahan. Jadi, begitu mengetahui rumah tempat tinggalnya ludes terbakar, Juwita benar -benar putus asa, begitu? tanyaku pilu Iya jawab Linda. Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku diperbolehkan orang tuaku untuk bekerja kembali. Tapi Juwita sudah tidak ada jejaknya. Ia seolah menghilang ditelan bumi. Sudah sekian lama aku mencari, tapi tidak ketemu. Sampai akhirnya tiga hari yang lalu aku menemukannya tidur dipinggir jalan. Dengan kondisi yang memprihatinkan, seperti ini. Betapa tangisku meledak melihat keadaannya. Lantas aku berinisiatif untuk membawanya pulang.

Untunglah aku masih menyimpan alamat rumah ini. Aku berjanji akan membantu guna kesembuhannya janji Linda. Aku terdiam, kehabisan kata-kata. Kudekati Juwita yang hanya duduk termenung. Ia seperti tidak menghiraukan kedatanganku. Ia kini punya dunia sendiri. Dunia yang bagiku adalah dunia kesepian abadi. Kutatap raut wajah Juwita. Ia nampak lebih tua. Goresan luka telah menyayat dalam wajahnya. Menimbulkan ekspresi wajah yang tidak dapat dijelaskan oleh katakata. Kupegang tangan kecilnya. Dia menampiknya dengan kasar. Lantas berteriak-teriak dan menjerit keras. Aku panik. Kedua orang tua Juwita berusaha menenangkannya. Dengan isyarat, kedua orang tua Juwita menyuruhku menjauh. Aku maklum. Perlahan aku mulai mengundurkan diri. Atas inisiatif aku dan Linda, akhirnya Juwita dibawa kerumah sakit jiwa Surakarta. Aku telah membuka tabunganku guna membiayai biaya berobat Juwita. Sungguh, betapa haru orang tua Juwita mendengar rencanaku dan Linda. Mereka memeluk kami dan mengucapkan terima kasih disertai linangan air mata. Aku dan Linda turut meneteskan air mata.

Menurut dokter, Juwita mengidap gangguan jiwa yang disebut skizofrenia. Dibutuhkan ketelatenan dan keuletan serta kesabaran agar Juwita dapat kembali normal. Tapi, aku tetap setia menunggunya, tak peduli berapa lama, bahkan walau sampai mati sekalipun aku tetap menemaninya. Hanya demi Juwita *** Tetes-tetes waktu terus bergulir. Hari berganti hari. Musim berganti musim. Dan roda nasibpun terus berputar. Setelah sekian lama aku menanti, akhirnya apa yang aku nantikan tiba juga. Juwita sudah sembuh. Tadi pagi aku mendapat kepastian dari dokter. Memang, beberapa bulan belakangan ini Juwita tidak boleh dijenguk. Dengan alasan pendekatan kejiwaan perawat dengan pasien. Aku menurut saja. Toh semua itu demi kesembuhan Juwita.

Aku, Linda beserta keluarga Juwita dan beberapa orang warga bergegas berangkat kerumah sakit jiwa Surakarta. Aku penasaran ingin melihat sosok Juwita setelah sekian lama tak bertemu. Terakhir, dia sudah mau mengobrol denganku. Aku senang sekali waktu itu. Kuceritakan pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak antara aku dan dia. Dan Juwita tampak tersenyum sembari mengingat-ingat kejadian tersebut. Sedikit demi sedikit dia mulai ingat. Juwita telah berangsur pulih. Akhirnya rombongan kami tiba didepan kamar Juwita. Aku mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran tengah dikumandangkan. Suara yang bening, lunak, dan terang itu

hanyalah satu orang yang punya. Juwita. Kubuka pintu kamar dengan hati-hati. Semakin lebar kubuka. Dan seketika aku mengucap syukur. Kupastikan pandanganku. Ada seorang gadis muslimah berbaju putih dan juga mengenakan jilbab warna senada tengah mengaji. Dia menghadap ke arah yang berlawanan. Kulangkahkan kakiku mendekatinya. Semua orang mengharap-harap cemas. Alunan suara merdunya berhenti. Tanpa sadar dia menoleh. Bang Parmin ucap Juwita lembut menyapa. Aku tersenyum. Terima kasih, Tuhan.. ***

Anda mungkin juga menyukai