Anda di halaman 1dari 24

AMBLIOPIA DEFINISI Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak mencapai optimal sesuai dengan

usia dan intelegensinya walaupun sudah dikoreksi kelainan refraksinya. Istilah ambliopia fungsional biasanya digunakan pada ambliopia yang dapat disembuhkan dengan terapi oklusi. Pada ambliopia fungsional tidak ditemukan kausa organik pada pemeriksaan fisik mata. Ambliopia organik mengacu kepada ambliopia yang ireversibel. Kebanyakan penurunan fungsi penglihatan karena ambliopia dapat dicegah dengan jenis intervensi yang tepat. Pengembalian fungsi penglihatan tergantung pada tingkat kematangan koneksi visual, lamanya penurunan fungsi penglihatan, dan usia dimulanya terapi. Penurunan fungsi penglihatan karena penyebab organik perlu disingkirkan karena banyak penyakit yang tidak dapat terdeteksi hanya dengan pemeriksaan rutin biasa saja. PATOFISIOLOGI Biasanya ambliopia disebabkan oleh kurangnya rangsangan untuk meningkatkan perkembangan penglihatan. Suatu kausa ekstraneural yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan (seperti katarak, astigmatisme, strabismus, atau suatu kelainan refraksi unilateral atau bilateral yang tidak dikoreksi) merupakan mekanisme pemicu yang mengakibatkan suatu penurunan fungsi visual pada orang yang sensitif. Beratnya ambliopia berhubungan dengan lamanya seseorang mengalami kurangnya rangsangan untuk perkembangan penglihatan makula. Masa kritis dalam perkembangan ketajaman penglihatan pada seseorang dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Perkembangan ketajaman penglihatan dari 20/200 sampai 20/20, yang terjadi dari sejak lahir sampai usia 3 5 tahun. 2. Masa dengan resiko tertinggi terjadinya ambliopia, yaitu sejak usia beberapa bulan hingga 7 8 tahun. 3. Masa dimana ambliopia dapat disembuhkan, yaitu dari waktu terjadinya ambliopia sampai masa remaja, bahkan kadang-kadang sampai masa dewasa.

Ambliopia dapat terjadi selama masa kritis dalam perkembangan penglihatan. Resiko terkena ambliopia meningkat pada anak-anak yang perkembangan mentalnya terlambat, lahir prematur, dan atau mempunyai riwayat ambliopia dalam keluarganya. PENYEBAB AMBLIOPIA 1. Anisometropia Pada anisometropia terdapat satu gambar terfokus dan satu tidak terfokus. Untuk menghilangkan interaksi binokular yang tidak normal ini terjadi inhibisi pada fovea. Ambliopia lebih mudah terjadi pada anisohipermetropia dibandingkan dengan anisomiopia. 2. Strabismus Pada pasien strabismus cenderung memfiksasi pandangan dengan satu mata saja dan tidak mengganti ke mata lainnya. Hal ini menimbulkan inhibisi input visual ke jalur retinokortikal. Kejadian ambliopia lebih sering pada esotropia daripada eksotropia. 3. Anisometropia strabismik Pada keadaan ini didapatkan strabismus yang berhubungan dengan anisometropia. 4. Deprivasi visual Ambliopia terjadi karena kurangnya stimulasi dari retina. Hal ini dapat terjadi bilateral atau unilateral. Penyebabnya antara lain katarak, kornea yang keruh, ptosis, dan tertutupnya kelopak mata karena tindakan pembedahan. 5. Kelainan organik Kelainan struktur pada retina dan saraf optik dapat menyebabkan ambliopia. GEJALA KLINIS Pada pasien yang dicurigai menderita ambliopia harus ditanyakan tentang riwayat penggunaan patch pada mata atau penggunaan obat tetes mata sebelumnya. Juga harus dicari tentang riwayat penyakit mata dan operasi mata. Dari keluarga pasien harus dicari tentang riwayat strabismus dan penyakit mata lainnya, karena penyakit-penyakit mata ini adalah predisposisi untuk ambliopia.

Terdapat beberapa tanda pada mata dengan ambliopia, seperti : 1. Berkurangnya penglihatan satu mata. 2. Menurunnya tajam penglihatan terutama pada fenomena crowding. 3. Hilangnya sensitivitas kontras. 4. Mata mudah mengalami fiksasi eksentrik. 5. Adanya anisokoria. 6. Tidak mempengaruhi penglihatan warna. 7. Biasanya daya akomodasi menurun. 8. Pada ERG dan EEG penderita ambliopia dapat normal yang berarti tidak terdapat kelainan organik pada retina maupun korteks serebri. PEMERIKSAAN AMBLIOPIA 1. Uji crowding phenomena Penderita diminta membaca huruf kartu Snellen sampai huruf terkecil yang dibuka satu persatu atau yang diisolasi, kemudian isolasi huruf dibuka dan pasien disuruh melihat sebaris huruf yang sama. Bila terjadi penurunan tajam penglihatan dari huruf isolasi ke huruf dalam baris maka ini disebut adanya fenomena crowding pada mata tersebut. Mata ini dikatakan menderita ambliopia. 2. Uji densiti filter netral Dasar uji adalah diketahuinya bahwa pada mata yang ambliopia secara fisiologik berada dalam keadaan adaptasi gelap, sehingga bila pada mata ambliopia dilakukan uji penglihatan dengan intensitas sinar yang direndahkan (memakai filter densiti netral) tidak akan terjadi penurunan tajam penglihatan. Dilakukan dengan memakai filter yang perlahan-lahan digelapkan sehingga tajam penglihatan pada mata normal turun 50%. Pada mata ambliopia fungsional tidak akan atau hanya sedikit menurunkan tajam penglihatan pada pemeriksaan sebelumnya. Bila ambliopia adalah fungsional maka paling banyak tajam penglihatan berkurang satu baris atau tidak terganggu sama sekali. Bila mata tersebut ambliopia organik maka tajam penglihatan akan sangat menurun dengan pemakaian filter tersebut.

3.

4.

Uji Worths four dot Uji untuk melihat penglihatan binokular, adanya fusi, korespondensi retina abnormal, supresi pada satu mata dan juling. Penderita memakai kacamata dengan filter merah pada mata kanan dan filter biru pada mata kiri dan melihat pada objek 4 titik dimana 1 berwarna merah, 2 hijau, dan 1 putih. Lampu atau titik putih akan terlihat merah oleh mata kanan dan hijau oleh mata kiri. Lampu merah hanya dapat dilihat oleh mata kanan dan lampu hijau hanya dapat dilihat oleh mata kiri. Bila fusi baik maka akan terlihat 4 titik dan lampu putih terlihat sebagai warna campuran hijau dan merah. 4 titik juga akan dilihat oleh mata juling tetapi telah terjadi korespondensi retina yang tidak normal. Bila terdapat supresi maka akan terlihat hanya 2 merah bila mata kanan dominan atau 3 hijau bila mata kiri yang dominan. Bila terlihat 5 titik yaitu 3 merah dan 2 hijau yang bersilangan berarti mata dalam kedudukan eksotropia dan bila tidak bersilangan berarti mata berkedudukan esotropia. Visuskopi Alat untuk menentukan letak fiksasi. Dengan melakukan visuskopi dapat ditentukan bentuk fiksasi monokular pada ambliopia.

DIAGNOSIS DIFERENSIAL Diagnosis banding untuk ambliopia antara lain adalah akomodatif esotropia, esotropia didapat, esotropia infantil, eksotropia didapat, eksotropia kongenital, sindrom monofiksasi, ptosis kongenital. Adanya anisokoria. Tidak mempengaruhi penglihatan warna. Biasanya daya akomodasi menurun. Pada ERG dan EEG penderita ambliopia dapat normal yang berarti tidak terdapat kelainan organik pada retina maupun korteks serebri. TATALAKSANA Ambliopia merupakan kelainan yang reversibel dan akibatnya tergantung pada saat mulai dan lamanya. Saat yang sangat rentan adalah bayi pada umur 6 bulan pertama dan ambliopia tidak akan terjadi sesudah usia lebih dari 5 tahun.

Ambliopia bila diketahui dini dapat dicegah sehingga tidak menjadi permanen. Perbaikan dapat dilakukan bila penglihatan masih dalam perkembangannya. Bila ambliopa ini ditemukan pada usia di bawah 6 tahun maka masih dapat dilakukan latihan untuk perbaikan penglihatan. Pengobatan dapat dengan : 1. Untuk memulihkan kembali ambliopia pada seorang pasien muda, harus dilakukan suatu pengobatan antisupresi aktif menyingkirkan faktor ambliopiagenik. 2. Oklusi mata yang sehat. 3. Penalisasi dekat, mata ambliopia dibiasakan melihat dekat dengan memberi lensa +2,5 D sedang mata yang baik diberi atropin. 4. Penalisasi jauh dimana mata yang ambliopia dipaksa melihat jauh dengan memberi atropin pada mata yang baik serta diberi lensa +2,5 5. Latihan ortoptik terjadi juling. 6. Pencegahan terhadap ambliopia ialah pada anak berusia kurang dari 5 tahun perlu pemeriksaan tajam penglihatan terutama bila memperlihatkan tanda-tanda juling. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS Komplikasi utama dari ambliopia yang tidak ditangani adalah kebutaan jangka panjang yang ireversibel. Kebanyakan ambliopia bersifat reversibel bila terdeteksi dan ditangani secara dini, sehingga kebutaan dapat dihindari. Setelah satu tahun, sebanyak 73% pasien ambliopia menunjukkan keberhasilan pada terapi oklusi yang pertama. Faktor resiko untuk kegagalan dari terapi ambliopia adalah sebagai berikut : 1. Pasien dengan anisometropia tinggi dan pasien dengan kelainan organik pada mata mempunyai prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan ambliopia karena strabismus mempunyai prognosis lebih baik. 2. Pasien yang mendapat terapi pada usia lebih dini mempunyai prognosis yang lebih baik. 3. Pasien yang terdeteksi menderita ambliopia dengan visus yang belum terlalu menurun, dan mendapat terapi mempunyai prognosis yang lebih baik.

2. 3. ULKUS KORNEA Definisi dan Klasifikasi Ulkus kornea adalah lesi kornea yang melibatkan degradasi stroma kornea. Ulkus kornea merupakan kasus emergensi mata. Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea yaitu sentral dan marginal atau perifer. Ulkus kornea sentral biasanya merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan pada epitel. Lesi terletak di sentral, jauh dari limbus vaskular. Ulkus kornea sentral dibagi menjadi keratitis bakterial, keratitis fungi, keratitis virus, dan keratitis akantamuba. Ulkus perifer terdiri dari ulkus dan infiltrat marginal, ulkus Mooren, keratokonjungtivitis fliktenularis, keratitis marginal pada penyakit autoimun, ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A, keratitis neurotropik, dan keratitis pajanan. Etiologi Ulkus kornea dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun, dan infeksi. Penyebab infeksi adalah bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes simpleks. Bakteri penyebab tersering adalah Pseudomonas. Penyebab lain ulkus lainnya adalah defisiensi vitamin A, lagoftalmos akibat parese nervus VII, lesi nervus III atau neurotropik, dan ulkus Mooren. Patofisiologi Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Proses pembentukan ulkus melibatkan proses penyembuhan lesi di epitel dan stroma, lapisan air mata, persarafan kornea, enzim proteolitik, dan sitokin: 1. Penyembuhan lesi epitel. Ulkus kornea selalu diawali dengan defek epitel. Defek epitel persisten menyebabkan stroma kornea terpajan pada lingkungan eksternal dan mempermudah terjadinya proses degradasi stroma. Migrasi sel epitel terjadi sentripetal sampai defek tertutup seluruhnya. 4.

5.

Penyembuhan lesi stroma. Penyembuhan lesi stroma terjadi melalui migrasi keratosit stroma, proliferasi, dan deposisi matriks ekstraseluler, termasuk kolagen, protein adesi, dan glikosaminoglikan. Nekrosis dan degradasi stroma. Sekresi matriks metaloproteinase, yang berfungsi mendegradasi matriks ekstraseluler dan membran basal, sangat meningkat saat penyembuhan luka. Enzim ini disekresi sebagai proenzim oleh neutrofil, sel epitel yang mengalami lesi, dan keratosit. Peran persarafan kornea. Kornea dipersarafi oleh divisi oftalmika nervus trigeminal dan persarafan simpatis dari ganglion servikalis superior. Penurunan sensasi kornea karena denervasi saraf menurunkan produksi air mata, refleks protektif, dan frekuensi berkedip. Peran lapisan air mata dan sitokin. Air mata mengandung sitokin yang penting dalam regulasi penyembuhan epitel kornea.

Perjalanan penyakit ulkus kornea dapat progresif, regresif, atau membentuk jaringan parut. Bila ulkus disebabkan kokus Gram positif, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae, gambaran tukak terbatas, bulat atau lonjong, berwarna putih abu pada anak ulkus yang supuratif. Ulkus kornea pneumokokus cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. Efek merambat ini dikatakan sebagai ulkus serpiginosa akut. Ulkus ini sering terdapat pada sumbatan duktus lakrimalis dan muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang lecet. Bila disebabkan pseudomonas, ulkus melebar dengan cepat karena bakteri ini menghasilkan enzim proteolitik. Infiltrat dan eksudat yang berwarna hijau kebiruan akibat pigmen yang dihasilkan P aeruginosa khas untuk ulkus ini. Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Ulkus ini biasanya terjadi pada abrasi kornea minor, penggunaan lensa kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama, setelah penggunaan larutan fluoresein atau obat tetes mata yang terkontaminasi. Bila disebabkan jamur, terdapat infiltrat berwarna abu dikelilingi infiltrat halus di sekitarnya (fenomena satelit). Ulkus fungi ini indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion dan peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial. Ulkus ini pernah banyak dijumpai pada pekerja pertanian namun kini

banyak pada penduduk perkotaan karena pemakaian steroid dalam pengobatan mata. Pada ulkus kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epitel yang dikelilingi leukosit polimorfonuklear.Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitivitas di sekitarnya. Ulkus khas pada keratitis virus adalah ulkus dendritik. Ulkus kornea perifer memiliki karakteristik morfologi dan imunologi yang mempermudah terjadi reaksi inflamasi. Tidak seperti kornea sentral yang avaskular, kornea perifer lebih dekat dengan konjungtiva limbal dan memperoleh suplai nutrisi dari arcade kapiler limbus. Tiap stimulus inflamasi pada kornea perifer yang disebabkan invasi organisme, deposisi kompleks imun, trauma, keganasan, menyebabkan datangnya neutrofil dan aktivasi komplemen. Neutrofil menginfiltrasi kornea perifer dan melepaskan enzim proteolitik dan kolagenolitik, metabolit oksigen reaktif, dan zat proinflamasi, yang menyebabkan disolusi dan degradasi stroma kornea. Konjungtiva limal yang mengalami inflamasi juga dapat memproduksi kolagenase yang meyebabkan degradasi stroma kornea. Ulkus dan infiltrat marginal bersifat jinak. Ulkus ini dimulai dengan infiltrat linier atau lonjong, terpisah dari limbus oleh interval bening. Ulkus karena defisiensi vitamin A terletak di sentral, bilateral, berwarna kelabu, indolen, disertai kehilangan kilau kornea di sekitarnya. Kornea melunak dan nekrotik (disebut keratomalasia) dan sering tejadi perforasi. Ulkus neurotropik terjadi karena lesi nervus trigeminus akibat trauma, tindakan bedah, tumor, inflamasi, sehingga kornea akan kehilangan sensitivitas dan refleks berkedip. Keratitis pajanan terjadi jika kornea tidak cukup dibasahi dan ditutupi oleh palpebra. Kornea yang terbuka mudah mengering selama tidur. Ulkus timbul setelah trauma kecil dan terjadi di sepertiga kornea bawah. Gejala Klinis Gejala ulkus kornea adalah mata merah, nyeri ringan hingga berat, fotofobia, penglihatan menurun, kadang kotor. Ulkus pseudomonas dan ulkus marginal menimbulkan rasa amat nyeri. Gejala pada keratitis virus adalah iritasi, fotofobia, dan lakrimasi. Bila kornea sentral yang terkena, terjadi sedikit gangguan penglihatan. Sering ada riwayat timbul lepuh dan demam.

Yang perlu ditanyakan pada ulkus kornea adalah riwayat trauma dan benda penyebab trauma, riwayat pembedahan okular dan adneksa, riwayat infeksi berulang (seperti herpes), riwayat status imunologis, infeksi sistemik, diabetes, malnutrisi, alkoholisme, riwayat penggunaan lensa kontak dan higienenya, riwayat pengobatan mata atau lainnya, riwayat lingkungan sekitar yang endemic suatu penyakit infeksius. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa kemungkinan fokus infeksi. Pemeriksaan Oftalmologi Pada pemeriksaan dengan slit lamp, yang perlu diperiksa adalah: Konjungtiva, sklera, dan kelopak: eritema, injeksi silier, nodul perilimbus, sekret, spasme kelopak Lapisan air mata: derajat, simetri, regularitas, dan adanya debris Epitel: lokasi defek dan regularitas Stroma: penipisan dan infiltrat Endotel: keratic precipitate Bilik mata depan: hipopion dan inflamasi Sensitivitas kornea Simetrisitas kedua mata Pada ulkus kornea terdapat kekeruhan berwarna putih pada kornea. Daerah kornea yang tidak terkena akan tetap jernih dan tidak terdapat infiltrat. Iris sulit dilihat karena edema kornea dan infiltrasi sel radang pada kornea. Pada pewarnaan fluoresein akan memberikan warna hijau yang menunjukkan adanya defek epitel. Pada ulkus kornea sentral, hipopion biasanya menyertai ulkus. Hipopion khas untuk ulkus konea sentral bakteri dan fungi. Hipopion steril pada ulkus kornea bakteri, kecuali terjadi robekan pada membran Descemet. Pada ulkus fungi, hipopion mungkin mengandung unsur fungus. Dapat juga dilakukan pemeriksaan fluoresein. Pemeriksaan ini dapat membedakan ulkus dari abrasi sederhana. Pada keratitis virus akan tampak ulkus dendritik atau geografik. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membantu membuat diagnosis kausal. Jika dicuigai penyebabnya bakterial, dilakukan pewarnaan Gram dari swab kornea. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan sedian hapus dengan larutan KOH 10%. Kerokan dari ulkus kornea fungi, kecuali yang disebabkan Candida, mengandung hifa. Kerokan dari ulkus Candida mengandung pseudohifa atau ragi. Dapat juga dilakukan pewarnaan Giemsa. Sebaiknya pada setiap ulkus kornea dilakukan kultur segera di agar darah, Sabouraud, triglikolat, dan agar coklat. Tatalaksana Kasus ulkus kornea harus dirujuk segera ke spesialis mata. Tujuan pengobatan ulkus kornea adalah menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika topikal atau subkonjungtiva. Antibiotik dipilih yang berspektrum luas, dosis tinggi, dan diberikan setiap jam. Antibiotik sistemik diberikan pada ulkus bakterial bila da keterlibatan sklera atau ada perforasi. Antifungal sistemik diberikan bila ulkus fungal lebar dan dalam atau ada perforasi kornea atau ada keterlibatan sklera. Steroid tidak boleh diberikan pada keratitis fungal. Pemberiannya pada ulkus bakterial masih kontroversial. Steroid topikal juga tidak boleh diberikan pada ulkus perifer yang disebabkan penyakit sistemik karena dapat menghambat sintesis kolagen yang menyebabkan perlunakan kornea. Selain itu diberikan sikloplegik dan analgesik bila nyeri. Mata yang terkena tidak boleh dibebat karena akan menaikkan suhu sehingga akan terjadi efek inkubator. Sekret dibersihkan 4 kali sehari. Debridemen sangat membantu penyembuhan. Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang, kecuali penyebabnya Pseudomonas yang memerlukan pengobatan 1-2 minggu. Pada ulkus neurotropik dapat diberikan air mata buatan dan salep pelumas untuk menjaga agar kornea tetap basah. Inhibitor kolagenase sistemik seperti tetrasiklin 250 mg, 4 kali sehari, atau doksisiklin 100 mg, 2 kali sehari dapat memperlambat progresi ulkus perifer. Siklofosfamid adalah obat pilihan untuk semua ulkus perifer yang disebabkan kelainan jaringan penyambung, seperti arthritis rheumatoid. Sementara menunggu efek kemoterapi siklofosfamid 4-6 minggu kemudian, dapat diberikan prednisone oral dosis tinggi. Pada ulkus kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila dengan pengobatan tidak sembuh atau terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan. Jenis pembedahan dan indikasinya:

1.

2. 3. 4. 5. 6. 7.

debridemen: mengangkat epitel kornea tanpa merusak membrane basal. Indikasi: keratitis virus herpes simpleks epithelial, erosi kornea berulang, untuk mendiagnosis keratitis infektif superficial, meningkatkan penetrasi antibiotik topikal. keratektomi superfisial: mengangkat epitel superfisial, membrane Bowman, dan stroma anterior. Indikasi: biopsi ulkus kornea yang tidak membaik atau mengangkat bahan infektif. tarsorrhaphy lateral atau sentral. Indikasi: keratitis pajanan atau neurotropik. adesi jaringan. Indikasi: lesi dengan kehilangan jaringan minimal, kebocoran aqueous humor persisten, laserasi kecil, luka tusuk. flap konjungtiva. Indikasi: ulkus duperfisial yang tidak membaik atau ulkus kornea perifer dengan descemetocele atau perforasi kecil. patch graft. Indikasi: descemetocele atau perforasi kecil. keratoplasti penetrasi.

Indikasi rawat adalah bila ada ancaman perforasi, bila pasien tidak dapat memberi obat sendiri, respon pengobatan kurang baik, dan perlunya pengobatan sistemik. Tabel 2. Pedoman Tatalaksana Ulkus Kornea Infeksi

UVEITIS Definisi Uveitis adalah peradangan pada uvea yang meliputi iris, badan siliar, dan koroid. Uveitis diklasifikasikan menurut berbagai kategori, yaitu usia, demografik, faktor sosial, lokasi anatomi, kronologi atau durasi, dan karakter lesinya. Berdasarkan lokasi anatominya, uveitis dibagi menjadi: 1. uveitis anterior, terdiri dari iritis, iridosiklitis, dan siklitis anterior. Uveitis anterior adalah bentuk inflamasi intraokular tersering; 2. uveitis intermedia, terdiri dari siklitis posterior, hialitis, koroiditis, dan korioretinitis. Istilah pars planitis hanya digunakan untuk uveitis intermedia yang membentuk gambaran bola salju dan tidak disebabkan oleh infeksi atau penyakit sistemik; 3. uveitis posterior, terdiri dari retinokoroiditis, retinitis, dan neuroretinitis; 4. panuveitis, bila tidak ada lokasi inflamasi yang predominan. Inflamasi terlihat pada bilik depan, vitreus, serta retina dan atau koroid. Epidemiologi Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 15 kasus baru uveitis per 100.000 populasi per tahunnya. Uveitis dapat terjadi pada usia berapapun namun umumnya terjadi pada usia dewasa muda dan anak. Uveitis biasanya terjadi bilateral. 8-15% kasus uveitis adalah uveitis intermedia. Etiologi Penyebab uveitis dapat primer maupun sekunder karena infeksi atau penyakit sistemik. Sebagai suatu proses inflamasi mata, etiologi uveitis dapat diklasifikasikan menjadi 7 i yang meliputi inflammatory (penyakit autoimun primer), infectious (patogen okular dan sistemik), infiltrative (proses neoplastik yang invasif), injurious (trauma), iatrogenic (pembedahan atau obat-obatan), inherited (kelainan metabolik atau distrofik), ischemic (gangguan sirkulasi), dan idiopathic.

Komplikasi Dapat terjadi perforasi kornea dengan prolaps iris, kebutaan karena infeksi intraokular. Komplikasi ulkus kornea adalah terjadinya jaringan parut, neovaskularisasi, penurunan visus, perforasi kornea, dan endoftalmitis. Komplikasi lain yang juga mungkin terjadi adalah katarak, glaucoma, dan kebutaan. Prognosis Prognosis tergantung pada derajat keparahan ulkus, respon pasien terhadap terapi, serta faktor lokal dan sistemik.

Gejala Klinis Uveitis anterior Pasien uveitis anterior datang dengan gejala yang bervariasi. Gejala tersebut meliputi penurunan penglihatan ringan dengan mata yang terlihat normal hingga gejala yang berat seperti nyeri, fotofobia, penurunan penglihatan, injeksi berat, dan hipopion. Pada pasien harus ditanyakan usia, latar belakang ras, dan riwayat okular. Etiologi uveitis anterior multipel. Sebagian besar adalah reaksi inflamasi steril, berbeda dengan sebagian besar sindroma uveitis posterior yang disebabkan infeksi. Sebagian besar kausa uveitis anterior adalah idiopatik (38-60%). Kausa kedua adalah penyakit yang berhubungan dengan HLA-B27. Kausa berikutnya adalah trauma (5,7%). Presentasi klasik uveitis anterior akut adalah nyeri, mata merah, dan fotofobia. Nyeri dideskripsikan sebagai nyeri tumpul di dalam dan sekitar mata. Penglihatan dapat normal atau sedikit menurun. Uveitis intermedia Umumnya pasien datang dengan keluhan pandangan kabur dan seperti melihat benda yang melayang-layang. Jarang terjadi mata merah dan fotofobia. Uveitis posterior Keluhan pasien adalah penurunan penglihatan tanpa disertai nyeri, melihat benda melayang, dan skotoma. Pemeriksaan Oftalmologi Uveitis anterior Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan injeksi silier, keratic precipitate pada kornea (kumpulan leukosit pada endotel). Tipe keratic precipitate dapat menunjukkan klasifikasi uveitis anterior. Keratic precipitate mutton-fat adalah karakteristik uveitis granulomatosa. Keratic precipitate stelata difus terlihat pada iridosiklitis heterokromik Fuchs. Keratitis interstisial didapatkan pada pasien sifilis dan herpes. Flare, yang merupakan protein, dapat terlihat di bilik depan. Jika leukosit di bilik depan ada dalam jumlah yang banyak,

akan terlihat hipopion. Adanya hipopion menunjukkan kemungkinan penyakit HLA-B27, penyakit Behcet, atau endoftalmitis. Pada kasus uveitis anterior akut, kecuali yang disebabkan herpes, tekanan intraockular seringkali rendah namun dapat meningkat pada kasus kronik. Inflamasi yang lama dapat menyebabkan sinekia posterior. Nodul inflamasi pada iris menunjukkan uveitis granulomatosa. Atrofi iris mengarahkan pada herpes zoster sebagai penyebab. Heterokromia adalah temuan klasik pada iridosiklitis heterokromia Fuchs. Lensa dapat mengalami perubahan menajdi katarak yang menunjukkan keterlibatan lensa berulang. Presipitat inflamasi dapat terlihat pada kapsul lensa anterior. Uveitis intermedia Terdapat inflamasi segmen anterior ringan hingga sedang. Kumpulan sel radang (bola salju) cenderung berakumulasi di basal vitreus. Di daerah tersebut dapat juga terdapat eksudat perivaskular dan neovaskularisasi. Sering terlihat eksudat kuning keputihan di retina perifer dan pars plana (snowbanking) yang menunjang diagnosis uveitis intermedia. Uveitis posterior Pada vaskulitis retina dengan funduskopi terlihat eksudasi perivaskular, cell dan flare di bilik depan, dan vitritis. Dapat juga disertai perdarahan retina, cotton-wool spots, edema makular cystoid, neovaskularisasi, perdarahan vitreus, atau edema papil. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan HLA-B27 sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan uveitis nongranulomatosa anterior berulang. Jika uveitis anterior diduga disebabkan penyakit sistemik seperti tuberkulosis dan sifilis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikannya. Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah darah perifer lengkap, urinalisis, angiotensin converting enzyme, VDRL, FTA-ABS. Prlu juga dilakukan foto polos dada.

Tabel 2. Pemeriksaan Penunjang untuk Berbagai Penyebab Uveitis Intermedia Clinical Entity Idiopathic (pars planitis) Sarcoidosis Diagnostic Tests None ACE, chest x-ray, gallium scan, biopsy (possibly) MRI and neurologic consultation if history of neurologic symptoms or optic neuritis, HLADR2 Lyme serology if from endemic region and/or presence of systemic signs VDRL, FTA-ABS GI consultation GI consultation Vitreous cytology with immunophenotyping, lumbar puncture for cytology, neuroimaging

Multiple sclerosis

Lyme disease

Tatalaksana terpenting adalah dengan steroid topikal, periokular, atau sistemik dan sikloplegik. Steroid diindikasikan pada uveitis yang penyebabnya non infeksi. Pemilihan cara pemberian steroid sebagai berikut: Topikal. Untuk uveitis anterior digunakan steroid tetes mata. Frekuensi pemberian dapat setiap jam hingga 2 hari sekali. Steroid pilihannya adalah prednisolon asetat 1% yang botolnya harus dokocok sebelum digunakan. Selama penggunaan pasien dimonitor tiap 4-6 minggu untuk mencegah efek samping hipertensi okuli. Periokular. Jika steroid diharapkan bekerja di bagian posterior atau kepatuhan pasien rendah. Dapat diberikan transseptal atau sub-Tenon. Efek kerjanya lebih lama. Contohnya adalah triamsinolon asetonid. Cara ini tidak boleh diterapkan pada pasien uveitis atau skleritis yang infeksius. Sistemik. Jika terdapat penyakit sistemik yang juga perlu diterapi atau pada uveitis yang mengancam penglihatan yang tidak responsif pada cara pemberian steroid lain. Dapat diberikan oral atau intravena. Steroid oral yang sering digunakan adalah prednison. Sikloplegi tetes mata kerja pendek (siklopentolat) dan kerja panjang (atropin) dapat mengurangi fotofobia karena spasme siliar dan untuk mengatasi atau mencegah sinekia posterior. Pada kasus uveitis yang berat yang tidak responsif terhadap steroid atau pasien yang mengalami komplikasi dengan terapi standar, dapat digunakan imunosupresan. Terapi imunosupresan adalah terapi lini pertama pada pasien penyakit Behcet dengan keterlibatan segmen posterior, granulomatosis Wegener, dan skleritis nekrotikan. Terapi imunomodulasi diberikan pada pasien yang memerlukan terapi steroid sistemik jangka panjang, seperti koroiditis serpiginosa, koroiditis birdshot, penyakit VKH, oftalmia simpatika, dan artritis rheumatoid juvenilis. Indikasi pembedahan pada uveitis adalah rehabilitasi visual, biopsi diagnostik, dan menghilangkan opasitas media refraksi agar dapat memonitor segmen posterior. Misalnya terjadinya katarak, glaukoma sekunder karena blok pupil atau penutupan sudut, ablasio retina. Sebelum pembedahan, terapi medis harus diintensifikasi minimal 3 bulan untuk meredakan inflamasi. Uveitis intermedia dan posterior dapat menyebabkan kekeruhan vitreus yang signifikan yang tidak berespon pada terapi medis. Neovaskularisasi juga

Syphilis Inflammatory bowel disease Whipple disease Lymphoma

Pemeriksaan penunjang untuk uveitis posterior adalah angiografi fluoresein (terlihat mikroaneurisma, teleangiektasis, kapiler nonperfusi, neovaskularisasi, dan edema makular sistoid) untuk menentukan apakah kelainan yang ditemukan adalah kelainan vaskular retina noninflamasi. Pemeriksaan laboratorium dama dengan uveitis anterior Tatalaksana

dapat terjadi pada vaskulitis atau oklusi vaskular sehingga menyebabkan perdarahan vitreus. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan vitrektomi. Vitrekomi juga diperlukan jika inflamasi intraokular tidak atau kurang berespon terhadap terapi atau ada kecurigaan neoplasia intraokular atau infeksi. Komplikasi Komplikasi uveitis anterior adalah katarak, peningkatan tekanan intraokular yang menyebabkan glaukoma, penurunan tekanan intraokular yang menyebabkan atrofi bola mata, sinekia posterior, dan kalsifikasi kornea. ENDOFTALMITIS Definisi dan Klasifikasi Endoftalmitis adalah inflamasi berat dalam rongga intraokular (aqueous atau vitreus humor), biasanya akibat infeksi setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Bentuk endoftalmitis adalah radang supuratif dalam rongga mata.1,2 Secara garis besar, endoftalmitis dibagi menjadi endoftalmitis eksogen dan endogen. Dikatakan eksogen bila port dentre-nya ekstrinsik, dikatakan endogen bila infeksinya berasal dari penyebaran hematogen karena bakteremia.3

Gambar 1. Klasifikasi endoftalmitis oleh Greenwald Epidemiologi 60% kasus endoftalmitis eksogen terjadi pasca pembedahan intraokular. Bentuk endoftalmitis yang paling sering di Amerika Serikat adalah endoftalmitis pasca katarak. 0,1-0,3% operasi katarak mengalami komplikasi endoftalmitis. Endoftalmitis pasca trauma terjadi pada 4-13% trauma tajam mata. Keterlambatan menutup luka akibat trauma tajam berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinnya endoftalmitis. Di Amerika Serikat endoftalmitis endogen jarang terjadi, hanya berkisar antara 2-15% dari seluruh kasus endoftalmitis. Insiden tahunan rata-rata adalah 5 dari 10.000 pasien yang dirawat. Pada kasus endoftalmitis unilateral, mata kanan dua kali lebih sering terinfeksi disbanding mata kiri. Hal ini disebabkan letak mata kanan yang lebih proksimal dan aliran darahnya yang langsung ke arteri karotis kanan. Sejak 1980, infeksi Candida pada penyalahguna obat intravena meningkat. Peningkatan risiko tersebut mungkin disebabkan penyebaran AIDS, penggunaan obat-obatan imunosupresif yang makin sering, dan peningkatan jumlah prosedur invasif (seperti transplantasi sumsum tulang). Etiologi 56-90% endoftalmitis disebabkan oleh organisme Gram positif. Organisme tersering adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus sp. Organisme Gram negatif, seperti Pseudomonas, Escherichia coli, dan Enterococcus, didapatkan pada trauma tajam. Tapi pada endoftalmitis endogen persentase di atas turun bermakna karena proporsi infeksi jamur yang lebih besar. Penyebab tersering endoftalmitis endogen adalah Candida. Faktor risiko untuk terinfeksi Candida antara lain adalah penyalahguna obat intravena, pembedahan, keganasan, hiperalimentasi intravena, jalur endovaskular, diabetes, neutropenia, serta penggunaan antibiotik spektrum luas dan obat-obatan imunosupresif. Patofisiologi Pada keadaan normal, sawar darah-okular memiliki resistensi alami terhadap organisme. Pada endoftalmitis endogen, organisme hematogen

10

menembus sawar darah-okular dengan cara invasi langsung (seperti emboli septik) ataupun dengan melepaskan substansi yang menimbulkan perubahan pada endotel vaskular pada saat infeksi. Destruksi jaringan intraokular dapat disebabkan karena invasi langsung organisme dan atau karena mediator inflamasi respon imun. Prosedur pembedahan yang merusak integritas bola mata (seperti katarak, glaucoma, retinal, keratotomi radial) dapat menyebabkan endoftalmitis eksogen. Gambaran endoftalmitis dapat hanya berupa nodul-nodul putih di kapsul lensa, iris, retina, atau koroid; atau dapat berupa inflamasi seluruh jaringan okular yang menyebabkan bola mata penuh dengan eksudat purulen. Inflamasi ini dapat menyebar ke jaringan lunak orbita. Gejala Klinis Diperlukan kekritisan untuk dapat mendiagnosis dini endoftalmitis endogen. Umumnya pasien mengeluh nyeri pada matanya, pandangan kabur, keluar sekret dari mata, fotofobia, nyeri kepala, dan injeksi mata. Gejala endoftalmitis bakterial biasanya akut, meliputi mata nyeri dan merah, kelopak mata bengkak, dan penurunan visus. Beberapa bakteri, seperti Propionibacterium acnes, dapat menyebabkan inflamasi kronik dengan gejala yang ringan. Organisme tersebut adalah flora normal kulit dan biasanya inokulasi terjadi saat pembedahan intraokular. Sebaliknya, endoftalmitis fungal memiliki perjalanan penyakit yang lambat, dalam hitungan beberapa hari hingga beberapa minggu. Gejalanya meliputi penglihatan kabur, nyeri, dan penurunan visus. Pada pasien sering didapatkan riwayat trauma tajam karena tanaman atau benda asing yang terkontaminasi tanah. Pasien dengan infeksi Candida dapat menderita demam tinggi yang diikuti gejala okular beberapa hari kemudian. Fever of unknown origin yang persisten dapat berkaitan dengan infiltrat fungal retinokoroidal yang tidak terlihat. Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan endoftalmitis juga harus ditanyakan untuk memperkuat dugaan adanya infeksi primer (seperti penyalahgunaan obat intravena, risiko sepsis atau endokarditis, riwayat prosedur oftalmologi invasif2). Pada kasus endoftalmitis pasca operasi, infeksi dapat terjadi segera setelah operasi atau berbulan-bulan hingga bertahun-tahun kemudian seperti pada kasus P acnes.

Pemeriksaan Oftalmologi Temuan pemeriksaan oftalmologis sesuai dengan struktur yang terkena dan derajat infeksi atau inflamasi. Pemeriksaan oftalmologi yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan visus, pemeriksaan eksternal, funduskopi, dan slit lamp mata bilateral. Pemeriksaan dengan slit lamp dan ultrasonografi okular perlu dilakukan untuk melihat adanya kekeruhan vitreus anterior, penebalan retinokoroidal, dan keutuhan retina. Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pengukuran tekanan intraokular. Tanda yang perlu dicari adalah edema dan eritema kelopak mata, injeksi konjungtiva dan sklera, hipopion, vitreitis, kemosis, penurunan atau hilangnya refleks merah, proptosis (tanda lanjut pada panoftalmitis), papilitis, cotton-wool spots, edema dan infeksi kornea, lesi putih di koroid dan retina, uveitis kronik, masaa dan debris vitreus, sekret purulen, demam, serta cells and flare di bilik anterior pada pemeriksaan slit lamp. Tidak adanya nyeri dan hipopion tidak menyingkirkan kemungkinan endoftalmitis, terutama pada kasus infeksi P acnes kronik indolen. Kemosis, proptosis, dan hipopion adalah tanda pada stadium lanjut. Tanda dini seperti Roths spots (titik bulat putih di retina yang dikelilingi perdarahan) dan periflebitis retina dapat terlihat pada funduskopi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium terpenting adalah pewarnaan Gram dan kultur aqueus dan vitreus humor. Kultur darah dan kultur intraokular dari kedua rongga mata sebelum memulai terapi antibiotik kemungkinan besar akan membantu menemukan patogen penyebab. Spesimen kultur juga dapat diambil dari dari tempat lain, seperti urin. Ada juga pendapat yang menyatakan pewarnaan Gram cairan intraokular kurang membantu. Untuk endoftalmitis endogen, pemeriksaan lain yang perlu dilakukan meliputi: darah perifer lengkap dan hitung jenis untuk mengevaluasi tanda-tanda infeksi berupa leukositosis dan shift to the left; laju endap darah untuk mencari penyebab reumatik, infeksi kronis, atau keganasan; blood urea nitrogen dan kreatinin untuk melihat kemungkinan diagnosis atau peningkatan risiko gagal ginjal.

11

Selain pemeriksaan laboratorium diagnostik awal, pemeriksaan terhadap infeksi HIV sebaiknya dipertimbangkan pada orang sehat yang menderita endoftalmitis. Foto polos dada mungkin memperlihatkan gambaran sumber infeksi di paru. Ekokardiografi dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan endokarditis. CT scan atau MRI orbita bisa dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai manifestasi klinis, antara lain kultur dari cairan serebrospinal, tenggorok, feces, catheter tip, atau benda tajam penyebab trauma. Diagnosis Diferensial Diagnosis diferensial endoftalmitis adalah trombosis sinus kavernosus, abrasi kornea, laserasi kornea, ulkus korena dan keratitis ulserativa, endokarditis, ruptur bola mata, herpes zoster oftalmikus, iritis dan uveitis, lupus eritematosus sistemik, serta perdarahan vitreus. Tatalaksana Tatalaksana endoftalmitis dilakukan di gawat darurat. Jika telah didiagnosis atau diduga kuat endoftalmitis, pasien harus dirujuk segera ke spesialis mata untuk evaluasi lebih lanjut. 2 Tatalaksana diberikan berdasarkan penyebab endoftalmitis. Pada endoftalmitis endogen, terapi antibiotik yang tepat adalah kunci keberhasilan tatalaksana. Endoftalmitis endogen responsif terhadap pemberian antibiotik intravena, sedangkan pada endoftalmitis eksogen tidak selalu perlu diberikan antibiotik. Antibiotik sistemik juga diberikan untuk membunuh fokus infeksi yang jauh dan mencegah berlanjutnya bakteremia, dengan demikian mengurangi kemungkinan endoftalmitis pada mata lainnya. Terapi parenteral tidak diperlukan pada endoftalmitis pasca operasi kecuali ada bukti infeksi di luar bola mata. Pada endoftalmitis bentuk lain, perlu diberikan antibiotik spektrum luas bila kultur positif. Antibiotik empirik spektrum luas yang digunakan adalah vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosporin generasi tiga. Sefalosporin generasi tiga mampu mempenetrasi jaringan okular dan efektif terhadap bakteri Gram negatif. Tatalaksana endoftalmitis pasca operasi:

vitrektomi pars plana atau aspirasi vitreus oleh dokter spesialis mata disertai pemberian antibiotik intravitreal, seperti vankomisin, amikasin, atau seftazidim; dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik sistemik dan steroid intravitreal; pasien dengan endoftalmitis pasca operasi biasanya tidak dirawat di rumah sakit. Namun keputusan merawat pasien ditentukan oleh dokter spesialis mata. Tatalaksana endoftalmitis pasca trauma: pasien dirawat di rumah sakit; tatalaksana bila terjadi ruptur bola mata; antibiotik sistemik dengan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosporin generasi tiga. Pertimbangkan klindamisin jika kemungkinan etiologi Bacillus belum dapat disingkirkan dan dicurigai ada kontaminasi tanah; diberikan antibiotik topikal dan intravitreal; pertimbangkan vitrektomi pars plana; diperlukan imunisasi tetanus jika riwayat imunisasi telah lama; sikloplegi tetes mata, seperti atropin dapat diberikan. Tatalaksana endoftalmitis endogen bakterial: pasien dirawat di rumah sakit; antibiotik intravena spektrum luas vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosporin generasi tiga. Pertimbangkan menambahkan klindamisin untuk penyalahguna obat intravena hingga infeksi Bacillus dapat disingkirkan; antibiotik periokular kadang diperlukan; antibiotik intravitreal adalah indikasi; sikloplegi tetes mata, seperti atropin, dan steroid topikal dapat diberikan; mungkin diperlukan vitrektomi untuk organisme virulen. Tatalaksana endoftalmitis Candida:

12

pasien dirawat di rumah sakit; flukonazol oral merupakan indikasi; dapat dipertimbangkan pemberian amfoterisin B intravena atau intravitreal dan sikloplegi tetes mata.

Tabel 1. Dosis antibiotik dan antifungal parenteral Antibiotik Dosis Vankomisin IV: 1 g diinfus dalam 1 jam, dilanjutkan q12h Intravitreal: 1 mg dalam 0,1 mL Gentamisin IV: 2 mg/kg dalam 30-60 menit, dilanjutkan 1,7 mg/kg q8h atau 3-6 mg/kg/hari dibagi 3 dosis Klindamisin IV: 600-900 mg q8h Ceftazidime IV: 2 g q12h Ceftriaxon IV: 2 g q24h Intravitreal: 2 mg dalam 0,1 mL Cefotaxime IV: 2 g q4h Antifungal Dosis Amfoterisin B IV: 3 mg/kg/hari, diinfuskan dalam 2-6 jam, selama 14 hari Injeksi antibiotik intravena telah merevolusi tatalaksana endoftalmitis eksogen namun pada kasus endoftalmitis endogen, keefektifannya masih kontroversial. Demikian juga intervensi bedah, seperti vitrektomi, dilakukan pada endoftalmitis pasca operasi dan pasca trauma tapi kegunaannya pada kasus endogen diperdebatkan. Sumber infeksi dapat digunakan sebagai pedoman pemilihan antibiotik. Pada kasus dengan riwayat infeksi gastrointestinal atau genitourinaria, antibiotik pilihannya adalah sefalosporin generasi dua atau tiga dan aminoglikosida. Vankomisin digunakan untuk penyalahguna obat untuk mengatasi kemungkinan infeksi Bacillus. Bila sumber infeksinya diperkirakan luka, digunakan oksasilin atau sefalosporin generasi pertama. Jika anamnesis pasien, pewarnaan, atau kultur mengarah pada infeksi jamur, rejimen obat harus menyertakan amfoterisin B, flukonazol, atau itrakonazol. Intervensi bedah disarankan terutama untuk pasien yang terinfeksi organisme virulen, visus 20/400 atau kurang, atau keterlibatan vitreus yang berat. Kadang endoftalmitis posterior difus atau panoftalmitis menyebabkan kebutaan,

meskipun telah ditatalaksana dengan baik, namun vitrektomi dan antibiotik intravitreal mencegah atrofi okular atau keharusan enukleasi. Beberapa kerusakan berhubungan dengan mediator inflamasi. Steroid seperti deksametason diberikan intravitreal, meskipun perannya belum jelas. Secara empiris, steroid topikal diberikan pada pasien dengan endoftalmitis fokal anterior atau difus untuk mencegah komplikasi seperti glaukoma dan sinekiae. Komplikasi Penurunan visus dan kebutaan adalah komplikasi endoftalmitis yang tersering. Bila terjadi komplikasi, perlu dilakukan enukleasi. Pencegahan Penggunaan alat pelindung mata dapat mengurangi risiko terjadinya trauma okular dan penetrasi bola mata pada situasi tertentu. Prognosis Fungsi penglihatan pada pasien endoftalmitis sangat tergantung pada kecepatan diagnosis dan tatalaksana. Prognosisnya sangat bervariasi tergantung organisme penyebab. Faktor prognostik terpenting adalah visus pada saat diagnosis dan agen penyebab. Prognosis endoftalmitis endogen secara umum lebih buruk dari eksogen karena jenis organisme yang menyebabkan endoftalmitis endogen biasanya lebih virulen, terdapat pada pejamu yang imunokompromais, dan keterlambatan diagnosis. Pada suatu studi retrospektif, meskipun dengan terapi agresif, dikatakan hanya 40% pasien dengan visus dapat menghitung jari atau lebih baik. Endoftalmitis fokal memberikan respon yang baik terhadap antibiotik intravena dan sekuelenya minimal. Prognosis endoftalmitis difus posterior dan panoftalmitis jauh lebih buruk karena pada akhirnya sering menyebabkan kebutaan, atrofi bola mata, atau enukleasi.3 Tampaknya prognosis juga dipengaruhi kondisi kesehatan pasien. Hal ini terlihat pada suatu studi yang menunjukkan prognosis yang lebih buruk pada pasien diabetes. KONJUNGTIVITIS

13

DEFINISI Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva yaitu peradangan pada selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata.1 ETIOLOGI Konjungtivitis dapat disebabkan infeksi oleh bakteri,virus,klamidia, jamur ataupun parasit; alergi; kimiawi atau iritatif; ataupun idiopatik. Beberapa penyebab konjungtivitis disajikan dalam tabel 1. Tabel 1. Penyebab konjungtivitis2 Bakteri Hiperakut (purulen) Neisseria gonorhoeae, Neisseria meningitides, Neisseria meningitidis subsp kochii Akut (mukopurulen) Streptococcus pneumoniae, Haemophilus aegyptius Subakut Haemophilus influenzae Menahun, termasuk blefarokonjungtivitis Staphylococcus aureus, Moraxella lacunata Jenis jarang (akut, subakut, menahun) Streptococci, Moraxella catarrhalis, Coliform, Proteus, Corynobacterium diphtheriae, Mycobacterium tuberculosis Klamidia Trachoma (Chlamidia trachomatis serotipe A-C) Konjungtivitis inklusi (Chlamidia trachomatis serotipe D-K) Limfogranuloma venereum(LGV) (Chlamidia trachomatis serotipe L1-3) Virus Konjungtivitis folikuler virus akut Demam faringokonjungtivitis (adenovirus tipe 3 dan 7 dan serotipe lain) Keratokunjungtivitis epidemika (adenovirus tipe 8 dan 19) Virus Herpes Simpleks Konjungtivitis hemoragik akut (enterovirus tipe 70, coxsackievirus

tipe A24) Konjungtivitis folikuler virus menahun Virus Molluscum contangiosum Blefarokonjungtivitis Virus varicella-zoster (herpes zoster) Virus campak Ricketsia (jarang) Konjungtivitis non purulen dengan hyperemia dan sedikit infiltrasi Tifus, Murine Tifus, Scrub tifus, Rocky mountain spotted fever, Demam Mediterranean, Demam Q Eksudatif menahun Candida Granulomatosa Rhinosporidium seebri, Coccidioides immitis (San Joaquin Valley fever), Sporotrix schnckii Konjungtivitis dan blefarokonjungtivitis menahun Onchocerca volvulus, Thelazia californiensis, Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium, Taenia solium, Pthirus pubis, larva lalat (Oestrus ovis, dll) Reaksi hipersensitivitas segera (humoral) Konjungtivitis demam jerami (rumput, bulu hewan, dll) Konjungtivitis vernal (musim semi) Keratokonjungtivitis atopik Reaksi hipersensitivitas tertunda 9seluler) Phlyctenulosis Konjungtivitis ringan sekunder terhadap blefaritis kontak Penyakit autoimun Keratokonjungtivitis sicca pada sindrom Sjogren Pemphigod cicatrix Iatrogenik Miotika, Idoxuridine, obat topikal lain, larutan lensa kontak

Fungal (jarang)

Parasit (jarang)

Imunologik (alergi)

Kimiawi/ Iritatif

14

Idiopatik

Bersama penyakit sistemik Sekunder terhadap dakriosistitis/ kanalikulitis

Berhubungan dengan pekerjaan Asam, basa, asap, angina, cahaya ultraviolet, bulu ulat Folikulosis, Konjungtivitis folikuler menahun, Rosasea okuler, Psoriasis, Erythema multiforme mayor (sindrom Stevens-Johnson) dan minor, Dermatitis herpetiformis, Epidermolisis bulosa, Keratokonjungtivitis limbic superior, Konjungtivitis ligneosa, Sindrom Reiter, Sindrom limfonodus mukokutaneous (penyakit Kawasaki) Penyakit tiroid (terpapar, kongestif), Konjungtivitis encok, Konjungtivitis karsinoid, Sarkoidosis, Tuberkulosis, Sifilis Konjungtivitis sekunder terhadap dakriosistitis Pneumococci atau Streptococci beta-haemolitik Konjungtivitis sekunder terhadap kanalikulitis Actinomyces israelli, Candida spp, Aspergilius spp (jarang)

PATOFISIOLOGI Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbi).2 Karena lokasinya agen infeksius dapat menempel pada konjungtiva dan merusak defense mechanism sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis seperti mata merah, sekret, iritasi, rasa panas, sensasi penuh di sekitar mata, dan dapat juga fotofobia.3

TANDA-TANDA KONJUNGTIVITIS Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis, folikel, pseudomembran, granuloma dan adenopati pre-aurikuler. Hiperemia adalah tanda klinik paling mencolok pada konjungtivitis akut. Kemerahan paling nyata pada daerah forniks dan berkurang ke arah limbus (injeksi konjungtiva), disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang mengesankan konjungtivitis bakterial, keputihan

seperti susu mengesankan konjungtivitis alergi. Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti angin, matahari, asap, dll, namun kadang-kadang pada penyakit yang berhubungan dengan ketidakstabilan vaskuler (mis acne rosacea). Epifora (berair mata) sering mencolok pada konjungtivitis. Sekresi air mata disebabkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar atau karena rasa gatal. Transudasi yang ringan juga tinbul dari pembuluh darah yang hiperemik dan menambah jumlah air mata itu. Kurangnya sekresi air mata mengesankan keratokonjungtivitis sicca. Eksudasi merupakan ciri semua konjungtivitis akut. Palpebra bertahi mata pada saat bangun tidur terjadi pada hampir semua konjungtivitis.Beberapa gambaran eksudat adalah sebagai berikut: - Air, kemungkinan disebabkan infeksi virus atau alergi - Purulen, oleh bakteri atau klamidia - Hiperpurulen, disebabkan oleh gonokok atau meningokok - Lengket (berserabut), oleh alergi atau vernal - Seros, oleh adenovirus Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus Mller. Keadaan ini dijumpai pada beberapa konjungtivitis berat, misal trakoma dan keratokonjungtivitis epidemika. Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika sampai di membran basal epitel, berkas pembuluh yang membentuk substansi papila akan bercabang-cabang di atas papilla mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolontonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis mis. trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat. Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia (mis.konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trakoma akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papila besar dengan atap rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Papila seperti ini pada tarsus superior mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler besar dengan sensitivitas lensa kontak, pada tarsus inferior mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila besar pada limbus khas untuk keratokonjugtivitis vernal namun jarang pada keratokonjungtivitis atopik.

15

Kemosis konjungtiva sangat mengesankan adanya konjungtivitis alergi namun dapat terjadi pada konjungtivitis gonokok atau meningokok akut dan terutama konjungtivitis adenovirus. Kemosis konjungtiva bulbi terlihat pada pasien trikinosis. Kadang-kadang kemosis muncul sebelum ada infiltrat atau eksudat seluler jelas. Folikel terdiri atas hiperplasia limfoid lokal di dalam lapis limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung sebuah pusat germinal. Secara klinik dapat dikenali sebagai struktur kelabu atau putih yang avaskuler dan bulat. Pada pemeriksaan dengan slit lamp, pembuluh-pembuluh kecil tampak muncul pada batas folikel dan mengitarinya. Folikel tampak pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus, pada semua konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa konjungtivitis parasit dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang diinduksi pengobatan topikal dengan idoxuridine, dipivefrin, dan miotika. Jika terdapat folikel pada tarsus superior, harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidia, virus atau toksik. Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif yang berbeda derajatnya. Pseudomembran adalah pengentalan (koagulum)di atas permukaan epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel, dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis herpes simpleks primer, konjungtivitis streptokok, difteria, pemphigoid sikatriks, dan eritema multiforme mayor. Konjungtivitis ligneosa adalah bentuk isimewa konjungtivitis membranosa rekuren. Keadaan ini bilateral terutama pada anak-anak, lebih banyak pada anak perempuan, dan mungkin menyertai temuan sistemik lain seperti nasofaringitis dan vulvovaginitis. Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan paling sering berupa khalazia. Penyebab endogen lain adalah sarkoid, sifilis, pemyakit cat-scratch dan koksidiomikosis (jarang). Pada sindrom okuloglandular Parinaud terdapat granuloma konjungtiva dan sebuah limfonodus preaurikular besar, diagnosis dipastikan dengan biopsi. Phlyctenula merupakan reaksi hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroba, mis.antigen stafilokokus atau mikobakterial. Phlyctenula pada konjungtiva pada awalnya terdiri atas perivaskulitis dengan bungkusan limfositik pada pembuluh

darah. Bila sampai terjadi ulkus konjungtiva, dasar ulkus dipenuhi leukosit polimorfonuklear. Limfadenopati preaurikuler adalah tanda penting konjungtivitis. Sebuah nodus preaurikuler jelas tampak pada sindrom okuloglandular Parinaud, dan jarang pada keratokonjungtivitis epidemika. Sebuah nodus preaurikular besar atau kecil, kadang-kadang sedikit nyeri tekan, terdapat pada konjungtivitis herpes simpleks primer, keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis inklusi dan trakoma. Limfonodus preaurikuler kecil tanpa nyeri tekan terdapat pada demam faringokonjungtiva dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati preaurikuler terlihat pada anak-anak dengan infeksi kelenjar Meibom.2 I. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL Terdapat dua bentuk konjungtivitis bakterial : akut (dan subakut) dan menahun. Konjungtivitis bakterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme tertentu seperti Haemophilus influenzae. Lamanya penyakit dapat mencapai 2 minggu jika tidak diobati dengan memadai. Konjungtivitis bakterial akut dapat menjadi menahun. Konjungtivitis purulen yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan komplikasi berat jika tidak diobati sejak dini.2 I.1.Konjungtivitis Bakterial Hiperakut (dan subakut) Konjungtivitis purulen (disebabkan N.gonorrhoeae, N.kochii, dan N.meningitidis) ditandai banyak eksudat purulen. I.1.1.Konjungtivitis Gonore Adultorum Merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan kuman diplokokus gram negatif Neisseria gonorrhoeae. Manifestasi klinis: 1. Presentasi hiperakut, dengan pus kental seperti kepala susu,dalam jumlah yang banyak. 2. Kelopak mata edem dan nyeri 3. Sekret profus dan purulen 4. Konjungtiva menunjukkan hiperemia yang sangat, kemosis, dan terkadang pembentukan pseudomembran

16

Limfadenopati preaurikular yang menonjol, dan pada kasus berat dapat terjadi supurasi dari nodus preaurikular. 6. Keratitis dapat terjadi pada kasus-kasus berat. Awalnya berupa ulserasi marginal pada sulkus yang berisi pus pada limbus, di antara konjuntiva yang bengkak dan kornea. Ulkus marginal dapat menyatu membentuk ulkus berbentuk cincin. Dapat terjasi ulkus kornea sentral yang dapat menyebabkan perforasi dan endoftalmitis.4 Tatalaksana Pasien harus dirawat, dilakukan pemeriksaan kultur dan mata pasien diirigasi dengan garam fisiologik. Antibiotik sistemik Penisilin G 4,8 juta unit dibagi 2 kali sistemik1 Cefoxitin 1g IV atau cefotaxime 500 mg IV 4 kali sehari. Jika hanya konjungtiva yang terkena, pengobatan 1 hari cukup, namun jika kornea juga terkena pengobatan membutuhkan waktu 3-5 hari. Spektinomicin 2 g IM sebagai alternatif pada kasus yang resisten terhadap penisilin.4 Antibiotik topikal Gentamicin atau bacitracin4 Tetes mata Penisilin G 10.000-20.000 unit/ml setiap 1 menit selama 30 menit, kemudian salep Penisilin setiap 5 menit sampai 30 menit, dilanjutkan pemberian salep Penisilin setiap jam selama 3 hari. 1 Pengobatan dihentikan jika pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap hari menghasilkan tiga kali berturut-turut negatif. I.1.2.Konjungtivitis Gonore Neonatorum Konjungtivitis gonore neonatorum, terjadi penularan saat bayi melewati jalan lahir. Manifestasi klinis: 1. Presentasi biasanya antara 1-3 hari setelah kelahiran. 2. Tanda: hiperakut, konjungtivitis purulen, dapat terjadi kemosis dan terkadang terbentuk pseudomembran. Jika tidak diobati kornea dapat ikut terkena.4 Tatalaksana:

5.

Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau dengan garam fisiologik setiap jam. Antibiotik Sistemik Penisilin 50.000 unit/kg BB selama 7 hari1 Ceftriakson 125 mg dosis tunggal IM Kanamicin 75 mg oral2 Antibiotik topikal Salep penisilin1,4 I.2. Konjungtivitis Bakterial Akut Konjungtivitis bakterial akut sering terjadi, dan biasanya dapat sembuh sendiri. Organisme penyebabnya umumnya Staph .epidermidis dan Staph. aureus, tetapi kokus gram positif lainnya seperti Strep .pneumoniae juga merupakan penyebab yang sering, begitu juga kuman gram negatif: H.influenzae dan Moraxella lacunata.4 Gambaran Klinis 1. Gejala akut berupa mata merah, berpasir, rasa terbakar, dan sekret purulen. Dalam perjalanan penyakit, kelopak mata saling menempel satu sama lain dan sulit dibuka saat bangun tidur sebagai akibat akumulasi eksudat selama malam hari. Kadang terdapat edema palpebra. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular oleh tangan ke mata sebelahnya. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat menyebabkan kuman seperti seprei, kain, dll. 2. Tanda : - Kelopak mata terdapat krusta dan dapat terjadi edema ringan - Sekret pada fase awal dapat berupa air ( watery) dan menyerupai konjungtivitis virus. Dalam satu atau dua hari biasanya menjadi mukopurulen. - Konjungtiva berwarna merah , dengan ganbaran maksimal pada forniks dan berkurang ke arah limbus. Pada peradangan yang parah dapat ditemukan membran. - Keterlibatan kornea jarang terjadi meskipun beberapa kasus menunjukkan gambaran epiteliopati punctata superficial dan infiltrat kornea perifer.4 Pemeriksaan Penunjang

17

Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakit purulen, bermembran atau pseudomembran. Kerokan dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa, yang akan menunjukkan banyak neutrofil polimorfonuklear. Uji resistensi antibiotik dapat dilakukan, namun terapi harus dimulai dengan terapi antibiotika empirik.1,3,4 Tatalaksana Sebelum memulai terapi, penting terlebih dahulu membersihkan sekret. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau dengan garam fisiologis. Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bakterial tergantung temuan agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, terapi dapat dimulai terapi topikal antimikroba. Terapi disesuaikan dengan pemeriksaan sediaan langsung kerokan konjungtiva dengan pemulasan Gram.1,4 1. Antibiotik tetes mata a. Asam fusidat merupakan suspensi yang berguna untuk infeksi stafilokokus tetapi tidak untuk kebanyakan bakteri Gram negatif. Terapi inisial 4 kali sehari selama 48 jam kemudian dilanjutkan 2 kali sehari selama beberapa hari. b. Kloramfenikol memiliki spektrum luas. Diberikan setiap 1-2 jam. c. Antibiotik tetes mata lainnya : ciprofloxacin, ofloxacin, gentamicin, neomycin, framycetin, tobramycin, Neosporin (polymicin, B + neomycin + gramicidin) dan Polytrim (polymixin+trimethoprim). 2. Antibiotik salep Antibiotik salep mengandung kadar antibiotik yang lebih tinggi dan waktu kerja lebih lama dibandingkan tetes mata, tetapi penggunaannya terbatas karena menyebabkan penglihatan yang kabur setelah pemberian. Salep digunakan pada malam hari sebelum tidur. Antibiotik yang tersedia dalam bentuk salep : kloramfenikol, gentamicin, tetrasiklin, framicetin, dan Polyfax (polymixin B + bacitracin) dan Polytrim.4 II. KONJUNGTIVITIS VIRUS II.1. Keratokonjungtivitis Adenovirus

Spektrum infeksi adenovirus pada mata bervariasi dari ringan(hampir tidak terdeteksi) sampai dengan berat dengan morbiditas yang signifikan. Penyakit ini termasuk penyakit akibat pekerjaan yang dialami dokter-dokter mata. Penularan virus melalui sekret pernafasan atau mata, dan menyebar akibat kontaminasi handuk atau peralatan seperti tonometer. Masa inkubasi selama 4-10 hari. Mengikuti onset konjungtivitis, virus berada kurang lebih selama 12 hari. Kehati-hatian harus diperhatikan untuk mencegah penularan ketika memeriksa pasien dengan dugaan infeksi adenovirus. Mencuci tangan adalah hal yang penting, begitu juga desinfekstan terhadap instrument oftalmologi. Secara klinis terdapat dua sindrom yang disebabkan infeksi adenovirus : 1. Demam Faringokonjungtiva, yang disebabkan adenovirus tipe 3 dan 7. Biasanya menyerang anak-anak dan dapat menyebabkan infeksi saluran nafas atas. Keratitis terjadi sekitar 30% kasus tetapi jarang yang berat. 2. Keratokonjungtivitis Epidemika, yang sering disebabkan oleh adenovirus tipe 8 dan 19, dan biasanya tidak berhubungan dengan gejala sistemik. Keratitis terjadi sekitar 80% kasus dan biasanya berat. II.1.1.Konjungtivitis Manifestasi Klinis Gejala : onset akut, mata berair, merah, rasa tidak nyaman dan fotofobia. Pada 60% kasus melibatkan kedua mata. Tanda : - Edem palpebra - Sekret berair - Pada kojungtiva dapat terlihat kemosis yang ringan sampai sedang dan folikel-folikel. Kasus yang berat dapat memberikan gambaran perdarahan subkonjungtiva yang berat dan pseudomembran. - Limfadenopati nyeri Tatalaksana Terapi yang diberikan bersifat simtomatik dan suportif, biasanya kesembuhan spontan terjadi dalam waktu 2 minggu. Antivirus tidak efektif dan steroid topikal dihindari, kecuali jika inflamasi yang terjadi cukup parah dan kemungkinan herpes simpleks telah disingkirkan. II.1.2.Keratitis

18

Manifestasi klinis Terdapat tiga stadium dari keratitis karena infeksi adenovirus : 1. Stadium 1 Terjadi dalam 7 hari selama onset, dengan gambaran keratitis epithelial difus yang sembuh dalam 2 minggu. 2. Stadium 2 Memberikan gambaran keratitis epithelial yang fokal dan transien, berkembang satu minggu setelah onset. 3. Stadium 3 Memberikan gambaran infiltrat subepitelial, yang berkembang di bawah lesi epitel yang lepas. Jika tidak diobati, dapat menetap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Tatalaksana Terapi dengan steroid topikal hanya diindikasikan jika mata tidak nyaman atau penurunan tajam penglihatan pada lesi stadium 3. Steroid tidak mempercepat perjalanan penyakit tetapi hanya menekan inflamasi kornea sehingga lesi cenderung kambuh jikalau terapi steroid dihentikan terlalu dini.4 II.2.Konjungtivitis Molluscum contagiosum Molluscum adalah virus onkogenik yang dapat menyebabkan lesi yang khas pada kulit, dan pada membran (jarang). Menyebar melalui kontak erat. Biasanya pada remaja dan dewasa muda. Molluscum juga sering ditemukan pada pasien AIDS, dimana lesi multipel dapat berkembang. Keterlibatan molluscum pada mata biasanya disertai juga dengan keterlibatan bagian tubuh lainnya. Manifestasi Klinis 1. Margin palpebra menunjukkan nodul umbilikata (seperti pusar), kecil, pucat, seperti lilin. Terkadang lesi tersebut tidak terdeteksi dikarenakan bentuknya atipikal atau letaknya jauh dari margin palpebra. 2. Sekret biasanya ringan dan mukoid. 3. Konjungtiva biasanya menunjukkan respon folikel,ipsilateral dengan lesi palpebra. 4. Keratitis epithelial dapat terjadi pada kasus-kasus yang sudah lama, yang dapat berkembang membentuk panus jika tidak diobati. Tatalaksana

Tatalaksana yang diberikan yakni menghancurkan lesi tersebut dengan mengeluarkan isinya, eksisi, cryoterapi atau kauterisasi.4 II.3. Konjungtivitis Herpes Simpleks Konjungtivitis dapat terjadi pada pasien dengan infeksi primer herpes simpleks. Manifestasi Klinis: 1. Kelopak mata dan kulit di sekitar mata menunjukkan vesikel-vesikel herpes unilateral, dan juga terlihat edema ringan. 2. Sekret berair. 3. Konjungtiva menunjukkan respon folikular ipsilateral. 4. Limfadenopati nyeri 5. Keratitis dapat terjadi. Tatalaksana: Terapi yang diberikan adalah antivirus selama 21 hari untuk mencegah keratitis.4 II.4. Virus lainnya penyebab konjungtivitis 1. Enterovirus 70 dan coxsackievirus A24 dapat menyebabkan konjungtivitis folikular bilateral dengan onset mendadak durasi pendek, yang memberikan gambaran perdarahan subkonjungtiva, limfadenopati dan keratitis epithelial yang transien. 2. Newcastle disease , influenza A dan Epstein-Barr dapat menyebabkan konjungtivitis folikular akut.4 III. KONJUNGTIVITIS KLAMIDIA III.1. Keratokonjungtivitis Klamidial Tipe Dewasa Keratokonjungtivitis klamidial pada pasien dewasa merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan bakteri intraselular obligat Chlamydia trachomatis serotipe D sampai K. Pasien dengan konjungtivitis klamidia umumnya berusia muda dan sekitar 50% disertai infeksi genital (cervixitis pada wanita dan uretritis pada pria) yang mana biasanya asimtomatik. Penularan melalui autoinokulasi dari sekret genital meskipun penyebaran dari mata ke mata dapat terjadi. Masa inkubasi sekitar 1 minggu. Manifestasi Klinis

19

Gejala : onset subakut, dapat unilateral atau bilateral, sekret mukopurulen. Tidak seperti infeksi adenovirus, konjungtivitis dapat terjadi selama 3-12 bulan jika tidak diobati. Tanda (secara kronologis): 1. Dapat terjadi edem palpebra yang ringan 2. Sekret mukopurulen 3. Pada konjungtiva palpebra dapat ditemukan hipertrofi papil. Kemudian diikuti perkembangan folikel-folikel besar, dimana paling menonjol pada konjungtiva forniks inferior, tetapi dapat juga melibatkan konjungtiva tarsal superior 4. Limfadenopati tidak nyeri 5. Keterlibatan kornea, meskipun jarang, dapat menyebabkan keratitis epithelial, kekeruhan subepitel, dan infiltrat marginal. 6. Pada kasus yang lama terdapat gambaran penonjolan folikel yang lebih sedikit, tetapi perkembangan skar konjungtiva ringan dan mikropanus superior. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis dapat ditegakan melalui berbagai jenis tes laboratorium. Karena merupakan penyakit yang menular melalui kontak seksual, pasien-pasien juga sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan dan tatalaksana terhadap penyakit menular seksual. Tes-tes yang biasa digunakan adalah: Pemeriksaan antibodi fluorosen monoklonal direk dari sediaan konjungtiva. Enzyme immunosorbent assay untuk memeriksa antigen klamidia. Kultur sel McCoy, yang membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 3 hari. Polymerase chain reaction Tatalaksana 1. Terapi topikal Yaitu dengan salep mata tetrasiklin 4 kali sehari selama 6 minggu. 2. Terapi sistemik, dapat berupa salah satu diantara terapi-terapi berikut: a. Doksisiklin, dapat 300 mg per minggu selama 3 minggu atau 100 mg/hari selama 1-2 minggu. b. Tetrasiklin 250 mg 4 kali sehari selama 6 minggu

c.

Eritromicin 250 mg 4 kali sehari selama 6 minggu jika tidak dapat dengan tetrasiklin4

III.2. Konjungtivitis Klamidia Neonatorum Infeksi klamidia adalah salah satu penyebab utama konjungtivitis neonatorum. Penyakit ini dapat dihubungkan dengan infeksi klamidia sistemik yang menyebabkan otitis, rhinitis dan pneumonitis. Karena infeksi ditularkan dari ibu melalui jalan lahir, maka kedua orangtua harus diperiksa untuk membuktikan adanya infeksi genital. Manifestasi Klinis Biasanya terjadi sekitar 5-19 hari setelah kelahiran. Tanda: Konjungtivitis papiler dengan sekret mukopurulen. Reaksi konjungtiva adalah papil dan bukan folikel, karena bayi belum dapat membentuk folikel sampai dengan usia 3 bulan. Komplikasi yang dapat terjadi jika tidak diobati adalah skar konjungtiva dan pannus kornea superior. Tatalaksana Terapi yang diberikan adalah tetrasiklin topikal dan eritromicin etil suskinat oral 25 mg/kg BB dua kali sehari selama 14 hari.4 III.3. Trakoma Trakoma adalah infeksi yang disebabkan Chlamidia trachomatis serotype A, B, Ba dan C. Penyakit ini mengenai masyarakat sosioekonomi rendah dengan higiene yang buruk. Lalat adalah vektor utama pada siklus infeksi-reinfeksi. Trakoma adalah penyebab kebutaan yang dapat dicegah. Manifestasi Klinis 1. Biasanya terdapat pada anak-anak dengan perkembangan konjungtivitis folikular yang dihubungkan dengan infiltrasi papiler difus. Pada anak berusia <2 tahun, reaksi papiler dapat merupakan gambaran dominan. 2. Inflamasi konjungtiva yang kronis menyebabkan skar dengan garis-garis halus atau skar stelata kecil pada kasus yang ringan, atau skar yang menyatu luas pada kasus yang berat. Keseluruhan konjugtiva terlibat, tetapi yang paling menonjol pada tarsus superior.

20

3. 4. 5.

6.

Folikel limbus, adalah gambaran yang unik. Pada proses penyembuhan, meninggalkan karakteristik yang khas (Herbet pits) Keratitis, selama proses peradangan, dapat berupa keratitis epithelial superior, infiltrasi stroma anterior dan pembentukan pannus. Skar konjungtiva yang progresif, pada kasus yang berat, menyebabkan distorsi kelopak mata, terutama pada tarsus superior, menyebabkan trikiasis, dan entropion. Hal ini dapat merusak sel-sel Goblet pada konjungtiva dan melibatkan duktus lakrimalis. Trakoma end-stage , yauitu berupa kerusakan tajam penglihatan yang parah atau kebutaan karena ulserasi dan kekeruhan kornea.4

1. 2. 3.

Bersifat akut, serangan transien, mata merah, gatal, berair, yang dapat disertai dengan bersin-bersin dan sekret hidung. Dapat terjadi edem palpebra ringan sampai sedang, dan pada kasus berat edem periorbita dapat terjadi. Konjungtiva memberikan gambaran seperti susu, atau merah muda, sebagai akibat edem dan injeksi. Hipertrofi papil dapat ditemukan pada konjungtiva tarsal superior.

Tatalaksana Terapi dengan mast cell stabilizer topical (nedokromil, lodoxamide) atau antihistamin topical (levocabastine, azelastine).4 IV.2. Keratokonjungtivitis Atopik Keratokonjungtivitis atopik relatif jarang, tetapi cukup serius, suatu kondisi yang mengenai pasien muda dengan dermatitis atopi. Daerah kulit yang biasa terkena adalah lipatan leher lateral, pergelangan tangan, fosa poplitea dan antecubiti. Selain keluhan kulit, pasien dapat juga mengalami asma, hay fever, urtikaria, migraine dan rhinitis. Gejala ocular biasanya berkembang selama beberapa tahun setelah onset atau manifestasi atopi lainnya. Manifestasi Klinis 1. Kelopak mata a. Kelopak mata menebal, merah, macerasi dan fisura. b. Dapat terjadi blefaritis stafilokokus kronis, dan harus diobati. 2. Konjungtiva, primer melibatkan forniks inferior dan konjungtiva tarsal a. Infiltrasi pada konjungtiva tarsal menyebabkan gambaran pucat. b. Selama eksaserbasi dapat terjadi kemosis, hiperemi limbus, hipertrofi papiler pada konjungtiva forniks superior dan inferior. c. Pada kasus yang lanjut, sikatriks konjungtiva dapat berkembang membentuk simblefaron yang melibatkan forniks inferior. 3. Keratopati, merupakan penyebab utama kerusakan tajam penglihatan a. Epiteliopati punctata, sering terjadi dan tidak berbahaya. b. Lesi yang lebih lanjut, berupa defek epitel persisten, skar stroma anterior berbentuk tameng (shield-shaped), dan neovaskularisasi perifer. 4. Komplikasi, dapat terjadi keratitis herpes simpleks dan keratitis bakteri.

Klasifikasi WHO TF : lima atau lebih folikel trakoma pada konjungtiva tarsal superior TI : infiltrasi difus dan hipertrofi papiler konjungtiva superior, yang sekurangkurangnya menutupi 50% pembuluh profunda normal. TS : skar konjungtiva trakomatosa TT : trikiasis atau entropion CO: kekeruhan kornea2,4 Tatalaksana Terapi dengan azitromisin dosis tunggal. Hal yang utama adalah pencegahan yaitu higiene perorangan yang baik di dalam keluarga, terutama mencuci muka pada anak-anak kecil.4 IV. KONJUNGTIVITIS ALERGI IV.1. Rhinokonjungtivitis Alergi Rhinokonjungtivitis alergi, adalah alergi yang umum pada mata, merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang menyebar lewat udara. Pasien seringkali mengalami keluhan-keluhan nasal. Terdapat dua tipe : 1. Rhinokonjungtivitis alergi musiman, dimana alergennya adalah tepung sari bunga, dengan keluhan demam (hay fever)selama musim panas. 2. Rhinokonjungtivitis alergi perenial , dimana alergen biasanya adalah tungau debu rumah yang memberikan keluhan sepanjang tahun. Jenis ini lebih jarang, dan umumnya tidak separah jenis musiman. Manifestasi Klinis

21

Berhubungan dengan keratoconus, katarak presenil dan retinal detachment (jarang) Tatalaksana Terapi mirip dengan keratokonjungtivitis vernal, tetapi karena bersifat kronis terapi keratokonjungtivitis atopik lebih sulit dan lebih lama. 1. Steroid topikal, efektif untuk terapi jangka pendek pada inflamasi yang berat dan keratopati. 2. Mast cell stabilizer, dapat digunakan untuk profilaksis terhadap eksaserbasi. 3. Antihistamin oral, dapat digunakan pada pasien dengan keluhan gatal yang berat. 4. Antibiotik sistemik, seperti azitromicin 500 mg satu kali sehari selama 3 hari dapat digunakan untuk infeksi akibat stafilokokus.4 IV.3. Keratokonjungtivitis Vernal Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva bilateral, rekuren , biasanya dihubungkan dengan riwayat atopi pada pasien atau keluarga. 5 Penyakit ini merupakan penyakit alergi dimana IgE dan mekanisme imun seluler memegang peranan penting.4 Lebih dari 90% pasien keratokonjungtivitis memiliki satu atau lebih kondisi atopik seperti asma, eksim, atau rhinitis alergi. 5 Keratokonjungtivitis vernal umumnya terdapat di daerah tropis dan beriklim sedang seperti Mediterania, Timur Tengah , dan Afrika. 5 Keratokonjungtivitis vernal lebih banyak terdapat pada pria, biasanya mengenai pria muda dengan onset umumnya pada dekade pertama (setelah 5 tahun) dengan durasi sampai satu dekade berikutnya.4,5 Gejalanya biasanya mencapai puncak sebelum usia masa pubertas dan kemudian berkurang, sangat jarang yang menetap sampai usia 25 tahun. 2,4,5 Gejala dan tanda keratokonjungtivitis vernal biasanya terjadi pada musim tertentu, dimana puncak insiden penyakit ini antara bulan April-Agustus, tetapi banyak juga pasien yang mengalaminya sepanjang tahun.2,4 Manifestasi Klinis Seperti gangguan hipersensitivitas tipe I lainnya, gatal adalah keluhan yang penting dan sering ditemukan. 5 Keluhan lain yang juga biasa ditemukan adalah fotofobia,lakrimasi, sensasi benda asing, dan rasa terbakar. 4,5 Sekret mukus yang kental yaitu bertahi mata berserat-serat dan ptosis juga dapat

5.

ditemukan.2,4 Kelainan mata yang ditemukan pada keratokonjungtivitis vernal umumnya terlihat pada konjungtiva dan kornea. Tidak seperti keratokonjungtivitis atopik, kulit kelopak mata biasanya tidak terlibat.5 Tiga tipe klinis utama adalah: (1) palpebral, (2) limbal dan (3) campuran.4 Tanda-tanda pada limbus lebih sering pada orang berkulit gelap, sabaliknya tanda-tanda tarsal dan kornea lebih sering pada pasien yang berkulit terang.2,4,5 1. Keratokonjungtivitis vernal palpebral (secara kronologis) a. Konjungtiva hiperemis yang diikuti hipertrofi papil difus, kebanyakan pada tarsus superor. b. Papil membesar dan berbentuk poligonal dengan atap rata sehingga menyerupai batu kali (cobble-stones). c. Pada kasus yang berat terjadi ruptur jaringan ikat septum, menyebabkan papil raksasa tersebut menonjol dan terbungkus mukus yang banyak. d. Keadaan aktif penyakit memberikan gambaran papil yang merah,bengkak dan kencang. Selama inflamasi menetap papil menjadi terpisah. 2. Keratokonjungtivitis limbal: a. Memberikan gambaran nodul-nodul mukoid dengan permukaan yang bulat dan halus. b. Titik-titik (spots) superficial berwarna putih (HornerTrantas dots) yang merupakan kumpulan degenerasi sel-sel epitel dan eosinofil yang menyebar di sekitar limbus dan masing-masing lesi. Horner-Trantas dots bersifat transien, berlangsung lebih dari satu minggu. Keratopati Epiteliopati punctata ditemukan pada saat awal. Epiteliopati punctata kemungkinan berhubungan dengan efek toksik dari mediator-mediator peradangan yang dikeluarkan dari konjungtiva, dan kemungkinan merupakan prekursor dari shield ulcer, yang merupakan tanda patognomonik dari keratokonjungtivitis vernal. Akibat bersatunya epiteliopati

3. a.

22

punctata maka akan terbentuk erosi epitel, yang nantinya dapat menjadi shield ulcer yang dangkal dengan tepi epitel iregular berwarna putih. Meskipun patogenesis shield ulcer belum dipahami dengan jelas, faktor utama perkembangannya kemungkinan adalah iritasi mekanik kronis oleh papil raksasa pada tarsus. Beberapa bukti menduga bahwa protein-protein yang dilepaskan oleh eosinofil menyebabkan ulserasi. b. Makroerosi, disebabkan karena lepasnya epitel-epitel. c. Plak, biasanya disebabkan makroerosi epitel dimana pada daerah yang terbuka tersebut menjadi terbungkus oleh lapisan mukus yang tidak bisa terbasahi oleh air mata dan menghalangi reepitelisasi. d. Sikatriks subepitelial, tanda dari keterlibatan yang berat dari kornea sebelumnya. e. Pseudogerontoxon, menyerupai arkus senilis dan biasanya ditandai oleh sebuah gambaran busur di daerah limbus yang sebelumnya mengalami inflamasi.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada pemeriksaan swab konjungtiva tarsal superior dan Horner-Trantas dots, ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak. Biopsi konjungtiva memberikan gambaran ditemukannya sel mast dalam jumlah yang besar pada substantia propia. Analisis histokimia sel mast pada keratokonjungtivitis vernal menunjukkan tryptase protease netral dan chymase. Terdapat peningkatan proliferasi fibroblast yang menyebabkan deposisi kolagen di dalam substantia propia sehingga terjadi penebalan konjungtiva. Sel limfosit B dan T ditemukan lokal, berkombinasi untuk memproduksi IgE. IgE spesifik dan IgG sebagai sebagai mediator peradangan, histamin dan tryptase telah dapat diisolasi pada air mata pasien-pasien keratokonjungtivitis. Meskipun keratokonjungtivitis vernal dikenal sebagai hipersensitivitas tipe I, beberapa bukti mendukung keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV.5 Tabel 2.Perbedaan Atopik 5 Keratokonjungtivitis Vernal dengan Keratokonjungtivitis

Karakteristik Onset usia Jenis kelamin Variasi musim Sekret Sikatriks konjungtiva Horner-Trantas dots Neovaskularisasi kornea Eosinofil pada konjungtiva Terapi swab

Keratokonjungtivitis Vernal Umumnya pada usia yang lebih muda Lebih sering pada pria Biasanya gangguan terjadi pada bulan-bulan musim semi. Sekret kental dan tebal Horner-Trantas dots dan shield ulcer biasanya sering ditemukan Tidak ada Terdapat dalam jumlah yang lebih banyak

Keratokonjungtivitis Atopik Tidak ada predileksi jenis kelamin tertentu Sepanjang tahun Sekret berair dan jernih Insiden tinggi Jarang terdapat HornerTrantas dots Cenderung berkembang menjadi neovaskularisasi yang dalam Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit

1. Steroid topikal diindikasikan terutama untuk mengobati


keratopati, meskipun dibutuhkan sebagai terapi jangka pendek pada pasien-pasien yang hanya mengalami keterlibatan konjungtiva dengan rasa tidak nyaman yang berat. 2,4,5 Jika mungkin, sebaiknya digunakan steroid yang lemah seperti fluorometholon daripada predisolon atau deksametason. Hal ini dikarenakan, meskipun digunakan untuk periode yang lama fluorometholon biasanya tidak menyebabkan kenaikkan tekanan intraokuler pada individu yang susceptible.4 Steroid yang kuat digunakan harus dengan perhatian khusus karena risiko tinggi terjadinya komplikasi steroid-induced seperti peningkatan tekanan intraokuler dan katarak. 2,4 Seringkali, pemberian steroid dapat dihentikan sama sekali di antara serangan, dan jika terjadi eksaserbasi akut diobati dengan dosis tinggi, kemudian

23

2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

diturunkan secara bertahap sampai dosis kecil sesegera mungkin.4 Mast cell stabilizer, seperti nedocromil 0,1 % drops dua kali sehari atau lodoxamide 0,1% empat kali sehari digunakan sebagai terapi dasar yang dapat mengurangi kebutuhan akan terapi steroid.2,4,5 Obat-obat tersebut tidak memiliki efek samping seperti steroid dan oleh karena itu dapat digunakan untuk periode yang lama. Namun obat-obat tersebut tidak seefektif steroid dalam mengatasi eksaserbasi akut.4 Asetilsistein 5% drop empat kali sehari dapat berguna untuk terapi terhadap pembentukan plak pada tahap awal karena kemampuannya sebagai mukolitik.4,5 Siklosporin A topical dapat digunakan pada kasus-kasus yang resisten terhadap steroid.4,5 Debridement plak mukus pada tahap awal dapat mempercepat perbaikan reepitelisasi defek epitel. Keratektomi lamelar pada plak yang melekat kuat dapat digunakan. Injeksi steroid supratarsal sangat efektif pada pasien-pasien yang tidak responsif dengan terapi konvensional.4 Terapi untuk untuk shield ulcer pada kornea membutuhkan salep antibiotic-steroid.5 Klamidia Minim Umum Sedang Mengucur Lazim, hanya konjungtivitis inklusi PMN, sel plasma, badan2 Atopik(Alergi) Hebat Umum Sedang Minim Tak ada Eosinofil

eksudat Sakit tenggorok, panas yang menyertai

Kadang2

Kadang2

inklusi Tak pernah

Tak pernah

Tabel 3. Diagnosis banding tipe konjungtivitis1 Klinik&Sitologi Viral Bakteri Gatal Minim Minim Hiperemia Umum Umum Air mata Profuse Sedang Eksudasi Minim Mengucur Adenopati Lazim Lazim preaurikular Pewarnaan kerokan dan Monosit Bakteri, PMN

24

Anda mungkin juga menyukai