Anda di halaman 1dari 0

Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003 41

P
roduktivitas kacang tanah di
Indonesia baru mencapai 1,20 t/ha,
jauh lebih rendah dibanding potensi
hasilnya yang dapat mencapai 2,50 t/ha.
Salah satu penyebab rendahnya
produktivitas tersebut adalah serangan
penyakit virus belang yang disebabkan
oleh peanut stripe virus (PStV) (Saleh
dan Baliadi 1992). Kehilangan hasil
kacang tanah akibat infeksi PStV dapat
mencapai 50%, terutama pada per-
tanaman musim kemarau yang terserang
berat oleh virus sejak tanaman masih
muda (Baliadi dan Saleh 1989a).
PStV pertama kali diidentifikasi di
Amerika pada tahun 1984 (Demski et al.
1984). Di Indonesia, keberadaan PStV baru
dilaporkan secara resmi pada tahun 1987,
meskipun diduga virus tersebut telah lama
menyerang tanaman kacang tanah dan
dikenal sebagai penyakit virus belang.
Selain di Indonesia, virus tersebut juga
menyerang tanaman kacang tanah di
Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Cina,
Korea, Jepang, dan Amerika Serikat
(Reddy et al. 1988a; Demski et al. 1993).
Pengendalian penyakit virus dengan
bioekologi yang kompleks tidak dapat
dilakukan hanya dengan menggunakan
salah satu komponen pengendalian saja.
Penerapan beberapa komponen pe-
ngendalian terpilih secara terpadu dan
serentak dalam satu hamparan yang
luas akan memberikan hasil yang lebih
optimal. Oleh karena itu, pengendalian
penyakit virus belang kacang tanah
hendaklah merupakan bagian integral dari
pengelolaan tanaman secara terpadu
(integrated crop management).
IDENTITAS PEANUT STRIPE
VIRUS
Di Indonesia, penyakit virus belang pada
kacang tanah telah lama diketahui.
Roechan et al. (1978) melaporkan bahwa
EKOBIOLOGI DAN OPTIMALISASI PENGENDALIAN
PENYAKIT VIRUS BELANG PADA KACANG
TANAH MELALUI PENGELOLAAN
TANAMAN SECARA TERPADU
Nasir Saleh
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101
ABSTRAK
Penyakit virus belang pada kacang tanah disebabkan oleh peanut stripe virus (PStV). Penyakit ini merupakan salah
satu masalah utama dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman kacang tanah di Indonesia. PStV mudah
menular melalui beberapa jenis kutu daun (Aphis) secara nonpersisten dan melalui biji, serta mempunyai kisaran
tanaman inang yang luas termasuk beberapa jenis gulma. Hal ini menyebabkan ekobiologi virus-inang-vektor
menjadi sangat kompleks. Pemilikan lahan yang sempit dan modal yang terbatas serta pola dan waktu tanam
kacang tanah yang beragam dalam satu hamparan, menyebabkan usaha pengendalian PStV belum memberi hasil
yang optimal. Pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT) yang mendasarkan pada pengelolaan agroekosistem
yang ramah lingkungan dan dilakukan secara berkelompok dalam satu hamparan yang luas, akan lebih
mengoptimalkan upaya pengendalian penyakit virus belang pada kacang tanah.
Kata kunci: Kacang tanah, penyakit virus belang, pengendalian terpadu
ABSTRACT
Integrated crop management control of peanut stripe virus
Mottle virus disease on groundnut is caused by peanut stripe virus (PStV). The disease is an important constraint
in increasing groundnut productivity in Indonesia. PStV is easily transmitted by several species of aphids through
non-persistent manner and infected seeds. The virus have a broad host range, including some leguminous weeds,
which result in the complexity of ecobiology virus-host-vector interrelationship. The PStV measures have not
been effective because of small fields owned by farmers, limited capital, and various planting time in one particular
groundnut area. Integrated crop management that lays on agroecosystem management to obtain optimum yield
and to be environmentally sound and undertaken in a group at larger planting area, will be likely more effective
to control the mottle virus disease on groundnut.
Keywords: Groundnut, peanut stripe virus, integrated control
42 Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
peanut mottle virus (PMoV) merupakan
penyebab penyakit tersebut. Triharso
(1976) sebelumnya mengidentifikasi
groundnut mottle-y virus (GMoV) sebagai
penyebab penyakit dengan gejala yang
sama.
Pada tahun 1987, berdasarkan gejala
di lapang dan uji serologi, tim peneliti
ICRISAT dan ACIAR menduga penyakit
tersebut disebabkan oleh PStV (Middleton
dan Saleh 1988). Hasil penelitian se-
lanjutnya menunjukkan bahwa penyakit
belang kacang tanah di Indonesia
sebagian disebabkan oleh PMoV dan se-
bagian besar lainnya oleh PStV (Jumanto
et al. 1987; Saleh et al. 1989). Tanaman
kacang tanah yang terinfeksi PMoV atau
PStV menunjukkan gejala yang sama yaitu
berupa belang-belang (mottle) pada daun
(Gambar 1). Hasil penelitian tentang
kisaran inang dan hubungan serologi
membuktikan bahwa PMoV dan PStV
merupakan dua jenis virus yang berbeda,
meskipun keduanya termasuk ke dalam
kelompok yang sama yaitu potato virus-
y (Poty-virus, Tabel 1) (Reddy et al.
1988b).
Zarah Virus
PStV termasuk dalam kelompok Poty-virus,
berbentuk batang lentur dengan ukuran
lebar 12 nm dan panjang 750 nm (Gambar
2a), mempunyai genom berupa benang-
RNA tunggal (single strand) yang
tersusun atas 9.500 nukleotida (McKern
et al. 1991). PStV mempunyai hubungan
serologi dengan anggota virus kelompok
Poty lain, yaitu blackeye cowpea mosaic
virus (BlCMV), soybean mosaic virus
(SMV), adzuki bean mosaic virus (AzMV),
dan clover yellow vein mosaic virus
(CYVMV). PStV tidak mempunyai hu-
bungan serologi dengan PMoV (Demski
et al. 1993). Selain zarah virus, di dalam
jaringan tanaman yang terinfeksi terdapat
benda inklusi berbentuk cakram atau
pinwheel inclusion bodies yang me-
rupakan ciri infeksi virus kelompok Poty-
virus (Gambar 2b).
Penularan Virus
PStV dapat ditularkan secara mudah di
laboratorium dengan cara inokulasi
mekanis dengan menggosokkan ekstrak
daun sakit ke tanaman sehat atau dengan
penyambungan. Di lapang, penyebaran
PStV dilakukan oleh berbagai jenis kutu
Tabel 1. Hubungan serologi dan kisaran tanaman inang yang membedakan
PStV dan PMoV.
Hubungan serologi Peanut stripe Peanut mottle
/tanaman inang virus (PStV) virus (PMoV)
Blackeye cowpea mosaic virus Positif Negatif
Clover vein yellow mosaic virus Positif Negatif
Peanut mottle virus Negatif Positif
Peanut stripe virus Positif Negatif
Chenopodium amaranticolor Bercak klorotik atau Tidak terinfeksi
bercak nekrotik
Phaseolus vulgaris Top Crop Tidak terinfeksi Bercak nekrotik
cokelat kemerahan
Pisum sativum Tidak terinfeksi Infeksi sistemik
mosaik
Sumber: Reddy et al. (1988b).
daun (Aphis sp.) secara nonpersisten
(Sreenivasulu dan Demski 1988) (Gambar
3). Hal ini berarti virus tersebut secara
mudah dan dalam waktu yang sangat
Gambar 1. Gejala penyakit virus belang
oleh peanut stripe virus pada
tanaman kacang tanah.
Gambar 3. Vektor Aphis craccivora Koch.
Gambar 2. Zarah peanut stripe virus (PStV) (kiri), dan Pinwheel inclusion bodies
(kanan).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003 43
berapa gulma polong-polongan yang
biasa tumbuh di sekitar pertanaman
kacang tanah yang secara alami juga
terinfeksi oleh PStV adalah Centrocema
pubescens, C. macrocarpun, Calopogo-
nium caeruleum, Crotalaria striata,
Desmodium siliquosum, Cassia oxiden-
talis, C. obtusifolia, dan Pueraria
phaseoloides (Wongkaew dan Kantrong
1987; Baliadi et al. 1988; Muis et al.
1991).
ARTI PENTING PENYAKIT
VIRUS BELANG
Arti ekonomi suatu penyakit ditentukan
oleh luas penyebaran, intensitas se-
rangan, serta kerugian hasil yang
diakibatkannya.
Penyebaran Penyakit
Selain di Indonesia, penyakit virus belang
juga dilaporkan menyerang tanaman
kacang tanah di Filipina, Malaysia,
Thailand, Myanmar, Vietnam, Cina, India,
Korea, Jepang, dan Amerika Serikat
(Reddy et al. 1988a; Demski et al. 1993).
Di Indonesia, penyakit virus belang
diketahui telah tersebar luas di semua
sentra produksi kacang tanah. Sifat
virus yang mempunyai kisaran inang
yang luas (termasuk beberapa jenis gulma
famili Leguminosae) dan ditularkan
melalui benih, menyebabkan virus
mampu bertahan di lapang dari musim ke
musim dan mampu tersebar ke berbagai
daerah sejalan dengan penggunaan benih
kacang tanah yang terinfeksi virus.
Terdapatnya penyakit virus belang di
daerah bukaan baru dan lahan trans-
migrasi memperkuat dugaan adanya
infeksi virus melalui benih kacang tanah
yang dibawa oleh para transmigran.
Intensitas Serangan dan
Kerugian Hasil
Intensitas serangan penyakit virus PStV
dipengaruhi oleh populasi serangga
vektor dan kondisi lingkungan, yang
selanjutnya mempengaruhi aktivitas
vektor maupun tanaman. Umumnya,
intensitas serangan PStV pada per-
tanaman musim kemarau-II (Juni/Juli-
Agustus/September) lebih tinggi di-
Tabel 2. Jenis kutu daun yang dapat menularkan PStV pada kacang tanah.
Kutu daun Tanaman inang Penularan PStV (%)
Aphis craccivora Kacang tanah 60
A. glycines Kedelai 72,50
A. pomi Apel 30
A. gossypii Kapas 10
A. citricola Jeruk 5
Rhopalosiphum maidis Jagung 2,50
R. padi Padi 15
Schizaphis rotudiventris Rumput teki 60
Trichosiphonaphis sp. Sempal wadak 40
Hysteroneura setariae Setaria sp. 42
Myzus persicae Kubis 70
Sumber: Saleh dan Horn (1989); Suprapto (1991).
singkat (beberapa detik) dapat diisap dari
tanaman sakit dan ditularkan ke tanaman
sehat di dekatnya. Selain Aphis cracci-
vora yang biasa hidup dan berkembang
pada tanaman kacang tanah, lebih dari 10
jenis kutu daun lain termasuk yang hidup
dan berkembang pada gulma dan rumput-
rumputan mampu menularkan virus
(Tabel 2) (Saleh dan Horn 1989; Suprapto
1991).
Aphis glycine dan A.craccivora
mampu menularkan PStV dari kacang
tanah ke kedelai atau sebaliknya. A.
glycine lebih efisien menularkan PStV dari
kedelai ke kacang tanah, sebaliknya
A.craccivora efisien menularkan virus
dari kacang tanah ke kedelai (Roechan
1992).
PStV juga ditularkan melalui benih
yang dipanen dari tanaman sakit. Per-
sentase penularan berkisar antara 0,10
3,30% (Saleh dan Horn 1989; Soenarti-
ningsih et al. 1990). Angka ini jauh lebih
rendah dibanding di Amerika Serikat
yang mencapai 37% (Demski dan Warwick
1986). Persentase penularan virus melalui
biji tergantung pada varietas dan umur
tanaman pada saat terinfeksi. Penularan
virus melalui benih kacang tanah varietas
Anoa dan Gajah mencapai 3%, lebih
tinggi dibanding melalui benih varietas
Kelinci dan Rusa berturut-turut sebesar
1,25% dan 1,43% (Saleh dan Horn 1989)
(Tabel 3). Umumnya, infeksi pada tanaman
muda (sampai umur 1 bulan) menunjukkan
persentase penularan yang berarti. Namun
bila infeksi terjadi pada saat tanaman ber-
bunga atau setelah itu, umumnya virus
tidak mampu menular ke biji. Studi dengan
ELISA (enzyme-linked immunosorbent
assay) menunjukkan bahwa PStV terdapat
di dalam keping biji dan lembaga (embryo
axis) (Demski dan Lovell 1985; Saleh dan
Baliadi 1989b).
Infeksi virus melalui biji terbukti
memegang peranan penting dalam per-
kembangan epidemi dan penyebaran
virus antarmusim, antardaerah/negara
terutama dengan makin majunya transpor-
tasi (Hamilton 1989). Sebagai gambaran,
PStV di Amerika Serikat ditemukan pada
pertanaman plasma nutfah yang berasal
dari Cina (Demski et al. 1984).
Kisaran Inang PStV
Selain kacang tanah, PStV dapat meng-
infeksi tanaman kacang-kacangan lain
seperti kedelai, Glycine max, Pisum
sativum, dan Phaseolus vulgaris. Selain
itu juga menginfeksi secara sistemik
pada Nicotiana clevelandii, Sesamum
indicum, Trifolium incarnatum, dan
Trigonella foenumgraecum (Saleh dan
Baliadi 1992; Demski et al. 1993). Be-
Tabel 3. Penularan PStV melalui biji
pada beberapa varietas
kacang tanah.
Varietas
Penularan
Persentase
lewat biji
1)
Gajah 7/190 3,62
Kelinci 3/240 1,25
Rusa 2/140 1,43
Anoa 3/90 3,33
Kerantil 2/120 1,66
1)
Pembilang = jumlah biji yang positif pada uji
ELISA; Penyebut = jumlah biji yang diuji.
Sumber: Saleh dan Horn (1989).
44 Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
banding musim kemarau-I (Maret/April -
Mei/Juni) atau pertanaman musim hujan.
Hal ini berkaitan dengan meningkatnya
populasi vektor Aphis pada musim
kemarau serta tersedianya inokulum
dalam jumlah yang lebih banyak pada
musim kemarau-II (MK-II).
Kerugian hasil akibat infeksi PStV
berkisar antara 5 hingga lebih dari 60%,
tergantung strain virus, varietas, serta
umur tanaman saat terinfeksi (Baliadi dan
Saleh 1989a; Pakki et al. 1990; Saleh et al.
1990b). Infeksi virus pada saat tanaman
masih muda (berumur 24 minggu) secara
nyata akan mengurangi jumlah dan bobot
polong (Tabel 4). Infeksi pada musim
kemarau, saat tanaman menderita ke-
keringan, mengakibatkan kehilangan hasil
yang lebih besar dibanding infeksi pada
musim hujan saat kondisi tanaman lebih
tegar (Saleh et al. 1990b).
EKOBIOLOGI PStV
Keberadaan dan intensitas serangan PStV
di lapang ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain tersedianya sumber
inokulum, tingkat kerentanan tanaman,
kelimpahan dan aktivitas serangga
penular (vektor), serta faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap aktivitas
vektor. Sejauh ini belum banyak diketahui
pengaruh langsung faktor lingkungan
terhadap agresivitas virus.
Di lapang, sumber inokulum PStV
dapat berasal dari benih terinfeksi,
tanaman budi daya lain, atau tumbuhan
liar/gulma yang terinfeksi virus. Aphis
glycines lebih efektif menularkan PStV
dari tanaman kedelai, gulma Cassia
oxidentalis, dan Cassia tora ke kacang
tanah dibanding A.craccivora (Penta et
al. 1997).
Benih terinfeksi merupakan sumber
penting penularan dan penyebaran virus
di lapang, karena dari benih terinfeksi
akan dihasilkan tanaman muda sakit, dan
karena tersebar secara acak di lapang
maka benih dapat berfungsi sebagai
sumber inokulum yang efisien. Sebagian
besar petani menggunakan benih dari
pertanaman sebelumnya atau membeli di
pasar sehingga tidak diketahui mutunya.
Apabila pertanaman tersebut terinfeksi
oleh PStV maka benih yang digunakan
juga berpeluang terinfeksi PStV.
Di Indonesia, kepemilikan lahan
umumnya sangat sempit dan sering kali
jenis dan umur tanaman dalam satu
hamparan juga beragam. Tanaman kacang
panjang yang ditanam di pematang atau
kedelai yang berada di sekitar pertanaman
kacang tanah dapat berfungsi sebagai
sumber inokulum PStV apabila tanaman
tersebut terinfeksi PStV (Roechan 1992).
Demikian juga tumbuhan liar/gulma
yang ada di dalam petak pertanaman
atau di sekitar tanaman/pagar, dapat
menjadi sumber inokulum PStV (Baliadi
dan Saleh 1989b; Muis et al. 1991).
Di lapang, penyebarluasan virus
sepenuhnya dilakukan oleh vektor Aphis
terutama dari generasi yang bersayap
(alatae), meskipun Aphis yang tidak
bersayap juga dapat menularkan virus
dari satu tanaman ke tanaman di dekatnya
melalui pertautan cabang/daun tanaman.
Generasi serangga bersayap umumnya
terbentuk apabila populasi sudah me-
ningkat dan berdesakan. Aphis bersayap
dapat menularkan virus ke tanaman
dengan jarak yang lebih jauh.
Aphis dengan tipe mulut mencucuk
dan mengisap merupakan vektor PStV
yang efisien. Stilet Aphis dalam waktu
yang singkat dapat mengisap zarah PStV
yang berada di jaringan epidermis dan
endodermis. Sifat Aphis yang selalu
mencoba-coba dalam mendapatkan
makanan yang cocok dengan cara
menusuk dan mengisap cairan tanaman
serta terbang pendek, menjadikannya
sangat efektif untuk penularan virus
PStV yang termasuk kelompok non-
persisten. Ukuran tubuh yang kecil dan
ringan menyebabkan penyebaran Aphis
dapat terjadi secara pasif dengan bantuan
angin. Secara alami, penyebaran Aphis
dapat mencapai radius 50100 m. Di Cina,
pertanaman dengan jarak 100 m dari petak
yang terinfeksi mengalami intensitas
serangan mencapai 15%, tetapi per-
tanaman dengan jarak 200 m terbebas dari
infeksi virus (Demski et al. 1993)
Faktor lingkungan, terutama suhu,
kelembapan udara, dan sinar matahari
berpengaruh secara tidak langsung
terhadap intensitas serangan penyakit
melalui pengaruhnya terhadap tanaman
dan aktivitas vektor. Suhu yang tinggi
pada musim kemarau dapat meningkatkan
populasi dan keperidian vektor. Intensitas
serangan PStV berkorelasi negatif dengan
curah hujan. Curah hujan yang rendah
dan suhu yang tinggi akan meningkatkan
populasi Aphis dan terjadinya epidemi
(Zeyong et al. 1996). Tergantung jenis-
nya, sebagian Aphis tertarik pada cahaya
matahari. Penerbangan aktif umumnya
terjadi pada pagi hari.
Lingkungan juga berpengaruh ter-
hadap kerentanan tanaman terhadap
infeksi virus. Tanaman yang tegar, cukup
hara dan sinar matahari umumnya lebih
toleran terhadap infeksi virus. Pada musim
hujan pertumbuhan tanaman umumnya
relatif tegar sehingga kehilangan hasil
akibat infeksi PStV dapat ditekan.
Tanaman yang kurang cahaya matahari
umumnya lebih rentan terhadap infeksi
virus. Tanaman yang tumbuh terlalu
subur akibat pemupukan N yang ber-
lebihan lebih rentan terhadap infeksi
patogen. Sebaliknya pemupukan P dan K
dapat meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap infeksi patogen (Agrios 1988).
Tabel 4. Kehilangan hasil kacang tanah akibat infeksi virus belang di
Jambegede dan Bontobili, 1989.
Umur tanaman Jambegede Bontobili
saat terinfeksi
Jumlah Bobot Jumlah Bobot
polong/tanaman polong (g) polong/tanaman polong (g)
virus (MST)
1 13, 48* 13, 98*
2 15* 13, 98* 9* 8,40*
4 14, 93* 14, 50* 10, 40* 8,50*
6 19,33 17,68 13,40 15
8 17,77 17,65 15,50 17
10 18,28 19,22 17,20 20,80
Sehat 20,66 18,98 17,80 21,20
*berbeda nyata pada taraf 5% dibandingkan tanaman yang sehat.
MST = minggu setelah tanam.
Sumber: Baliadi dan Saleh (1989a); Pakki et al. (1990).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003 45
Namun sejauh ini peranannya terhadap
infeksi PStV belum diketahui.
KOMPONEN PENGENDALI-
AN PStV
Varietas Tahan
Penanaman varietas kacang tanah yang
tahan terhadap infeksi PStV merupakan
cara pengendalian yang efektif, murah,
cocok dengan cara pengendalian lain,
dan mudah diterima petani. Namun,
sejauh ini belum ditemukan varietas
kacang tanah yang tahan terhadap
infeksi PStV. Pengujian terhadap sekitar
11.000 genotipe kacang tanah dari
koleksi ICRISAT di Muneng dan Bontobili
menunjukkan bahwa semua genotipe
rentan terhadap infeksi PStV, meskipun
beberapa genotipe menunjukkan gejala
yang lebih lemah atau perkembangan
gejala yang lambat (Saleh et al. 1988; Saleh
et al. 1990a) (Tabel 5). Jenis kacang tanah
liar seperti Arachis diogoi, A. helodes,
dan A. globrata diketahui sangat tahan
atau imun terhadap infeksi PStV (Culver
dan Sherwood 1987; Rao et al. 1991). Pen-
dekatan bioteknologi melalui rekayasa
genetik untuk menghasilkan tanaman
transgenik diharapkan dapat membantu
upaya memperoleh tanaman kacang
tanah yang tahan infeksi PStV.
Pendekatan yang dilakukan untuk
mengurangi kehilangan hasil kacang
tanah akibat infeksi PStV adalah dengan
menanam varietas yang toleran. Baliadi et
al. (1993) melaporkan bahwa varietas
Kelinci lebih toleran terhadap infeksi
PStV dibanding varietas Gajah. Rata-rata
masa inkubasi virus pada varietas Kelinci
adalah 10,56 hari, lebih panjang dibanding
pada varietas Gajah yang hanya 8,22 hari.
Demikian juga kehilangan hasil pada
varietas Kelinci (4,21%) lebih kecil
dibandingkan pada varietas Gajah
(9,38%).
Benih Sehat Bebas Virus
Benih sehat merupakan modal utama
dalam upaya pengendalian PStV. Peng-
gunaan benih asalan dari pertanaman
sebelumnya yang terinfeksi oleh PStV
sering menjadi penyebab terjadinya
ledakan penyakit terutama saat populasi
vektor tinggi. Infeksi benih 25% saja
sudah cukup menyebabkan terjadinya
epidemi penyakit yang tinggi pada saat
panen. Penggunaan varietas yang tidak
menularkan PStV melalui benih juga
merupakan upaya untuk mengurangi in-
tensitas serangan PStV di lapang. Benih
yang kecil dan agak keriput menunjukkan
persentase penularan yang lebih tinggi
dibanding benih normal (Zeyong et al.
1990, tidak diterbitkan). Oleh karena itu,
penggunaan benih berukuran besar/
normal dapat mengurangi sumber ino-
kulum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan benih sehat akan memberi
dampak nyata dalam menurunkan inten-
sitas serangan penyakit di daerah yang
lingkungan sekitar relatif bersih dari
sumber-sumber inokulum. Namun, upaya
ini tidak memberi pengaruh nyata di
daerah endemik atau terkontaminasi
dengan sumber-sumber infeksi virus di
lapang seperti halnya kebun percobaan
(Baliadi dan Saleh 1995).
Cara Kultur Teknis
Mengatur waktu tanam yang tepat saat
populasi vektor di lapang masih rendah
merupakan cara yang paling tepat untuk
menghindari serangan penyakit belang.
Waktu tanam yang tepat berbeda untuk
setiap agroekosistem. Di daerah tropika,
populasi kutu daun mulai meningkat
pada akhir musim hujan dan mencapai
puncaknya pada musim kemarau. Oleh
karena itu, intensitas serangan penyakit
virus belang pada pertanaman kacang
tanah awal musim kemarau (MK-I)
umumnya lebih rendah dibanding pada
pertanaman MK-II.
Penanaman kacang tanah secara
terus menerus atau kacang tanah diikuti
dengan kedelai, dapat memberi peluang
lebih tinggi bagi kelangsungan hidup
dan perkembangbiakan virus maupun
vektor. Pergiliran tanaman kacang tanah
dengan tanaman lain yang bukan me-
rupakan inang PStV dapat menekan
perkembangan PStV di lapang.
Tanaman sakit merupakan sumber
penularan virus di lapang, sehingga
pencabutan tanaman sakit (roguing)
diharapkan dapat mengurangi serangan
penyakit. Namun, roguing saja kurang
efektif menekan penyakit oleh Poty-virus
(termasuk PStV), karena pada saat tanam-
an diketahui menunjukkan gejala terserang
PStV, umumnya telah terjadi penularan
oleh Aphis di lapang. Untuk skala luas,
anjuran mencabut tanaman sakit dinilai
kurang praktis (Saleh et al. 1991).
Menanam dengan jarak tanam yang
lebih rapat ( 2030 cm x 15 cm) 1 biji/lubang
atau 40 cm x 10 cm, 2 biji/lubang dapat
mengurangi persentase tanaman yang
terserang PStV hingga 37,80% dan
meningkatkan hasil 1,30 t/ha. (Saleh dan
Baliadi 1989a; Saleh 1995). Pertanaman
dengan jarak tanam yang lebar atau
populasi tidak penuh, diduga berperan
dalam pendaratan Aphis (Aphis landing).
Tumpang sari kacang tanah dengan
tanaman lain dapat mengurangi inten-
sitas serangan hama/penyakit. Saleh
(1995) menyatakan bahwa dua baris
tanaman jagung, sorgum, dan gude
sebagai tanaman tumpang sari dengan
kacang tanah tidak berpengaruh terhadap
intensitas serangan PStV pada kacang
tanah. Namun, menurut Hasanuddin et
al. (1994), dengan menggunakan empat
baris tanaman jagung di antara baris
tanaman kacang tanah secara nyata
mengurangi intensitas serangan PStV. Hal
ini diduga penggunaan empat baris
tanaman jagung sudah cukup rapat untuk
menghalangi gerakan vektor Aphis.
Salah satu upaya untuk mengurangi
intensitas serangan PStV adalah dengan
menggunakan mulsa mengkilap (reflective
Tabel 5. Galur kacang tanah yang menunjukkan gejala infeksi lemah
terhadap infeksi PStV di Muneng pada tahun 1987, 1988, dan 1989.
Tahun Galur kacang tanah
1987 ICG 1560, ICG 2385, ICG 5428, ICG 6179, ICG 7676, ICG 8483,
ICG 9388, ICG 9910, ICG 105993, PFDRGVT 36, PFDRGVT 38
1988 ICG 640, ICG 1975, ICG 3837, ICG 3844, ICG 8379, ICG 9459
1989 ICGV 88259, ICGV 8806, 85/166-4, 85/165-19, 10/93-2
Sumber: Saleh et al. (1990a).
46 Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
mulching). Di Cina, penggunaan mulsa
plastik atau mulsa plastik perak dapat
mengurangi intensitas serangan PStV
(Zeyong 1990, tidak diterbitkan). Diduga
pantulan sinar yang menyilaukan akan
menghalangi pendaratan vektor ke
pertanaman. Namun di Indonesia, mulsa
plastik tidak secara nyata mengurangi
intensitas serangan PStV, bahkan inten-
sitas penyakit layu bakteri cenderung
meningkat karena suhu tanah yang
meningkat (Baliadi dan Saleh 1995).
Pengendalian Vektor
Di lapang, penyebaran PStV ditentukan
oleh kelimpahan dan aktivitas vektor,
sehingga logikanya pengendalian vektor
dengan insektisida dapat menekan
populasi vektor yang selanjutnya me-
nekan perkembangan penyakit. Namun
untuk virus-virus nonpersisten (termasuk
PStV), penyemprotan insektisida tidak
efektif menekan intensitas serangan
meskipun mampu menekan populasi
vektor (Lobenstein dan Raccah 1980). Di
Muneng (Probolinggo), penyemprotan
insektisida saja tidak mampu menekan
intensitas serangan PStV (Baliadi dan
Saleh 1989b). Insektisida umumnya tidak
mengakibatkan serangga mati secara
cepat, sehingga sebelum mati, serangga
tersebut masih mampu mengisap dan
menularkan virus ke tanaman lain.
PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
adalah tindakan usaha tani secara terpadu
yang bertujuan untuk memperoleh per-
tumbuhan tanaman optimal, memastikan
keberhasilan panen, meningkatkan mutu
hasil, dan melestarikan lingkungan.
Dalam PTT, semua komponen teknologi
usaha tani terpilih yang serasi dan saling
komplementer digabungkan untuk men-
dapatkan hasil panen optimal dan me-
lestarikan lingkungan (Sumarno et al.
1999). Berdasarkan definisi tersebut,
pengendalian hama secara terpadu (PHT),
yang juga merupakan pendekatan eko-
sistem untuk mengendalikan hama/
penyakit tanaman, merupakan bagian
integral dari PTT.
Sampai saat ini belum ditemukan
suatu bahan kimia atau cara fisik yang
dapat mematikan atau menginaktifkan
virus dalam tanaman tanpa mempengaruhi
kehidupan tanaman itu sendiri. Oleh
karena itu, pengendalian penyakit virus
bukan ditujukan untuk menyembuhkan
tanaman yang terinfeksi, namun lebih
mengutamakan pada pengelolaan ling-
kungan atau ekosistem yang dapat
mencegah dan mengurangi terjadinya
infeksi virus pada pertanaman, atau kalau
sudah terjadi infeksi untuk mencegah
dan mengurangi penyebaran sekunder
oleh vektor. Karena pendekatannya
berupa pengelolaan ekosistem, maka
keberhasilan usaha pengendalian pe-
nyakit virus juga ditentukan oleh ke-
terpaduan dan kebersamaan penerapan
komponen pengendalian terpilih dalam
satu hamparan yang luas yang melibatkan
kelompok tani. Pengendalian secara
perorangan tidak menjamin keberhasilan
usaha pengendalian tersebut.
Sejalan dengan konsep pengelolaan
tanaman secara terpadu, maka pengen-
dalian penyakit PStV pada kacang tanah
dapat dilakukan sebagai berikut:
Penentuan Waktu Tanam
Di Indonesia, kacang tanah sebagian
besar (60%) ditanam di lahan tegalan dan
sisanya (40%) di lahan sawah. Di lahan
tegalan, pola tanam yang umum adalah ubi
kayu/jagungkacang tanah; kacang
tanahjagung/kedelai; padi gogokacang
tanah, kacang tanahkacang tanah;
kedelaikacang tanah; sedang di lahan
sawah mengikuti pola padipadikacang
tanah; padikacang tanahjagung atau
tebukacang tanah.
Di lahan tegalan tadah hujan, waktu
tanam sangat ditentukan oleh tersedianya
curah hujan yang cukup. Umumnya
kacang tanah ditanam pada awal musim
hujan (Oktober/November) atau akhir
musim hujan (Februari/Maret) setelah
padi gogo. Pertanaman pada awal musim
hujan biasanya memberikan hasil lebih
baik daripada pertanaman akhir musim
hujan. Di lahan sawah, kacang tanah
umumnya ditanam pada MK-I (Maret/
April), atau MK-II (Juni/Juli) (Sumarno
dan Manwan 1991).
Dalam kaitannya dengan pengen-
dalian PStV pada kacang tanah, maka
penentuan waktu tanam juga dikaitkan
dengan kelimpahan populasi Aphis di
lapang. Umumnya populasi vektor mulai
meningkat pada akhir musim hujan dan
mencapai puncak pada musim kemarau.
Intensitas serangan hama dan PStV
umumnya lebih tinggi pada pertanaman
MK-II. Oleh karena itu, penanaman
kacang tanah sebaiknya dilakukan pada
MK-II setelah padi atau tebu.
Pengolahan Tanah
Agar tumbuh optimal, kacang tanah
menghendaki struktur tanah yang ringan.
Tekstur tanah yang berat dan atau lahan
yang kurang disiapkan dengan baik
mempengaruhi perkecambahan benih dan
perkembangan tanaman. Di lahan tegalan,
kacang tanah banyak ditanam pada tanah
Alfisol dan Ultisol, sedang di lahan sawah
pada tanah Regosol, Andosol, Latosol,
dan Aluvial.
Pengolahan tanah umumnya dilaku-
kan dengan pembajakan, baik di lahan
tegalan maupun lahan sawah. Pengolahan
tanah di lahan tegalan yang cukup
dangkal (kurang dari 15 cm) dan drainase
yang kurang baik menyebabkan tanah
menjadi padat sehingga pertumbuhan
tanaman kurang optimal. Pembajakan
yang lebih dalam disertai pembuatan
bedengan atau saluran drainase setiap
45 m, dan pemberian pupuk organik
dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia
tanah dan meningkatkan hasil kacang
tanah. Di lahan sawah dengan jenis tanah
ringan, petani sering tidak melakukan
pengolahan tanah. Mereka hanya mem-
buat saluran drainase dan guludan yang
dikerjakan pada saat penyiangan pertama.
Pengolahan tanah, di samping untuk
membuat kondisi fisik lahan cukup remah
untuk menunjang pertumbuhan tanaman,
juga sekaligus membenamkan gulma ke
dalam tanah sehingga mengurangi
sumber inokulum PStV. PStV termasuk
virus tidak stabil dan tidak dapat bertahan
di dalam tanah. Pembenaman tanaman
yang terinfeksi PStV ke dalam tanah akan
mematikan virus tersebut.
Pemupukan
Takaran pemupukan yang optimal untuk
menunjang pertumbuhan dan hasil
kacang tanah untuk setiap jenis tanah dan
daerah berbeda-beda. Agar pemupukan
efisien, penentuan takaran P hendaknya
didasarkan pada kebutuhan dan keter-
sediaan hara di dalam tanah (prescription
farming). Kacang tanah mampu mengikat
nitrogen dari udara, sehingga sering
tidak respons terhadap pemupukan
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003 47
nitrogen. Namun, untuk mempertahan-
kan keseimbangan unsur hara di dalam
tanah, diperlukan 2550 kg urea, 50100
kg SP36, dan 50100 kg KCl per hektar.
Pertumbuhan tanaman yang tegar
akan lebih mampu mengeliminir kehilang-
an hasil akibat infeksi PStV. Infeksi PStV
pada tanaman kacang tanah yang tegar
pada musim hujan mengakibatkan
kehilangan hasil berkisar 510%, lebih
kecil dibanding pertanaman pada musim
kemarau yang dapat mencapai 4056%
(Saleh et al. 1990b).
Penggunaan Varietas dan Benih
Sehat
Karena sampai saat ini belum ditemukan
varietas yang tahan terhadap infeksi PStV,
maka dianjurkan menanam varietas yang
relatif toleran terhadap infeksi PStV
seperti Kelinci dan Jerapah. Namun,
pemilihan varietas ini hendaknya juga
mempertimbangkan preferensi pasar.
Penggunaan benih sehat (termasuk
bebas dari infeksi PStV) merupakan
langkah penting untuk menekan per-
kembangan PStV di lapang. Karena sampai
saat ini sertifikasi kesehatan benih belum
dimasukkan dalam program sertifikasi
benih, maka penggunaan benih berlabel
belum menjamin benih bebas dari infeksi
PStV. Benih sehat dapat diperoleh dari
pertanaman sehat atau paling tidak
sampai pada periode berbunga tanaman
masih bebas dari infeksi PStV, karena
infeksi virus setelah tanaman berbunga
umumnya tidak menular ke biji atau
penularannya sangat rendah. Meng-
gunakan benih dengan ukuran biji yang
normal dan bernas juga dapat menghindari
kemungkinan infeksi PStV lewat biji.
Menggunakan benih sehat dengan daya
tumbuh yang tinggi (90%) berarti men-
jamin populasi tanaman yang penuh dan
tegar serta kanopi cepat menutup tanah
sehingga kurang disukai oleh Aphis.
Dengan demikian, kemungkinan infeksi
PStV di lapang juga berkurang.
Jarak Tanam
Petani umumnya menanam dengan cara
ditugal atau diletakkan di alur bajak
dengan jarak tanam 3540 cm x 1015 cm.
Meskipun jarak tanam yang rapat dapat
mengurangi intensitas serangan PStV,
namun dengan pertimbangan ekonomis
dan agronomis, jarak tanam 40 cm x 10 cm,
1 biji/lubang dapat dianjurkan. Pada
musim hujan sebaiknya digunakan jarak
tanam yang sedikit lebih lebar (40 cm x 15
cm) agar kondisi pertanaman tidak terlalu
lembap yang mendorong perkembangan
penyakit jamur dan bakteri.
Rotasi Tanam
Selain kacang tanah, PStV dapat meng-
infeksi tanaman kacang-kacangan lain
seperti kedelai, buncis, dan kapri. Oleh
karena itu, untuk memutus siklus virus
dianjurkan untuk tidak menanam kacang
tanah berturut-turut atau berturutan
dengan kedelai atau kapri.
Sanitasi dan Eradikasi
Sumber inokulum PStV dapat berupa
tanaman yang sakit atau gulma polong-
polongan yang terinfeksi virus. Me-
lakukan monitoring secara dini diikuti
dengan mencabut tanaman yang terinfeksi
PStV dapat mengurangi sumber inokulum.
Demikian juga penyiangan terhadap
gulma, selain mengurangi sumber ino-
kulum, juga menghilangkan persaingan
dalam memperoleh sinar matahari ataupun
unsur hara bagi tanaman. Eradikasi
terhadap gulma atau tumbuhan liar yang
berada di sekitar pertanaman serta di
pagar-pagar di sekeliling kebun dapat
mengurangi sumber inokulum sehingga
diharapkan dapat mengurangi serangan
penyakit PStV pada pertanaman kacang
tanah.
Pengendalian Vektor
Hasil penelitian dengan petakan yang
terbatas menunjukkan bahwa persentase
tanaman yang terinfeksi PStV pada
petakan yang disemprot insektisida
berkisar antara 9,5835,10%, tidak ber-
beda nyata dengan perlakuan tanpa
insektisida yang berkisar 1142,94%. Hal
ini berarti penyemprotan insektisida
tidak efektif menekan intensitas serangan
PStV (Saleh et al. 1991). Namun, apabila
hal ini dilakukan secara serentak dalam
hamparan yang luas, diperkirakan akan
menekan intensitas penyakit karena
perkembangan epidemi penyakit virus
belang di lapang sangat ditentukan oleh
kelimpahan populasi vektor.
KESIMPULAN
Pemahaman ekobiologi penyakit virus
belang kacang tanah diperlukan untuk
menentukan komponen-komponen tek-
nologi pengendalian penyakit yang
efektif di lapang. Pengelolaan tanaman
secara terpadu (PTT) yang mendasarkan
pada pengelolaan ekosistem melalui pen-
dekatan kelompok pada hamparan yang
luas, akan lebih mengoptimalkan upaya
pengendalian penyakit virus belang
kacang tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academy
Press, New York. 803 pp.
Baliadi, Y., N. Saleh, dan N.M. Horn. 1988.
Infeksi alami peanut stripe virus (PStV) pada
leguminosa dan gulma. Penelitian Palawija
3(2): 100104.
Baliadi, Y. dan N. Saleh. 1989a. Pendugaan
kehilangan hasil kacang tanah akibat se-
rangan peanut stripe virus. Seminar Hasil
Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang, 2021 Maret 1989. hlm. 1114.
Baliadi, Y. dan N. Saleh. 1989b. Pengendalian
peanut stripe virus pada kacang tanah
(Arachis hypogaea). Kongres Nasional dan
Seminar Ilmiah PFI X, Denpasar, 1416
November 1989. hlm. 129132.
Baliadi, Y., R. Suseno, N. Saleh, dan T. Santosa.
1993. Empat metode untuk mendeteksi
tingkat kerentanan kacang tanah terhadap
infeksi peanut stripe virus. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Malang. 11
hlm.
Baliadi, Y. and N. Saleh. 1995. Virus diseases of
groundnut in Indonesia with special
reference to peanut stripe virus. Paper
presented at the International Working
48 Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Group on Groundnut Viruses, Khou Kaen,
Thailand, 1315 March 1995. 18 pp.
Culver, J.N. and J.L. Sherwood. 1987. Resistance
to peanut stripe virus in Arachis germplasm.
Plant Dis. 71(2): 1.0801.082.
Demski, J.W., D.V.R. Reddy, G. Sowell Jr., and
D. Bays. 1984. Peanut stripe virus, a new
seed borne poty-virus from China infecting
groundnut (Arachis hypogaea). Ann. Appl.
Biol. 105: 496501.
Demski, J.W. and G.R. Lovell. 1985. Peanut
stripe virus and the distribution of peanut
seed. Plant Dis. 69: 734738.
Demski, J.W. and D. Warwick. 1986. Testing
peanut seeds for peanut stripe virus. Peanut
Sci. 13: 3840.
Demski, J.W., D.V.R. Reddy, S. Wongkaew, Z.Y.
Xu, B.G. Cassidy, D.D. Shukla, N. Saleh, K.J.
Middleton, P. Sreenivasulu, R.D. V.J. Rao,
T. Senboku, M. Dollet, and D. Mc Donald.
1993. Peanut stripe virus. ICRISAT Infor-
mation Bull. (No. 38): 16 p.
Hamilton, R.I. 1989. Seed-borne legume viruses:
Importance, detection and management.
Second Coordinators Meeting on Peanut
Stripe Virus. ICRISAT. p. 1415.
Hasanuddin, A., S. Pakki, dan M. Said. 1994.
Tumpang sari kacang tanah, jagung, dan
kacang tunggak sebagai salah satu alternatif
pengendalian penyakit peanut stripe virus.
Agrikam 9(2): 5156.
Jumanto, H., N. Saleh, and Heryunadi. 1987.
Identity of mottle disease of peanut in
Indonesia. Paper presented at First Peanut
Stripe Coordinators Meeting at MARIF,
Malang-Indonesia, 912 June, 1987. 13 p.
Lobenstein, G. and B. Raccah. 1980. Control of
non-persistently transmitted aphid-borne
virus. Phyto Parasitica 8: 221235.
McKern, N.M., H.K. Edskes, C.W. Ward, P.M.
Strike, O.W. Barnett, and D.D. Shukla. 1991.
Coat protein of poty-virus.7. Amino acid
sequence of peanut stripe virus. Archives
Virology 119: 2535.
Middleton, K.J. and N. Saleh. 1988. Peanut stripe
virus disease in Indonesia and the ACIAR
Project. First Coordinators Meeting on
Peanut Stripe Virus. ICRISAT. p. 46.
Muis, A., A. Hasanuddin, U.S. Saputra, dan
Fachrudin. 1991. Penularan peanut stripe
virus pada kacang tanah (Arachis hypogaea)
dan tanaman leguminosae lainnya. Agrikam
7(3): 7986.
Pakki, S., M. Basir, W. Wakman, S. Saenong, A.
Hasanuddin, and K.J. Middleton. 1990. Yield
losses of peanut due to peanut stripe virus
(PStV). Agrikam 5(2):7183.
Penta, S., S. Rasminah C.S., dan N. Saleh. 1997.
Efektivitas gulma famili Leguminosae
sebagai sumber inokulum peanut stripe
virus (PStV) kacang tanah dengan vektor
Aphis glycines dan Aphis craccivora.
Program Pascasarjana Universitas Bra-
widjaja, Malang. 16 hlm.
Rao, P.R.D.V.J., A.S. Reddy, S.K. Chakrabarty,
D.V.R. Reddy, V.R. Rao, and J.P. Moss. 1991.
Identification of peanut stripe virus resist-
ance in wild Arachis germplasm. Peanut Sci.
18: 12.
Reddy, D.V.R., J.W. Demski, K.J. Middleton, and
J.C. Wynne. 1988a. Survey for peanut stripe
virus in East and Southeast Asia. First
Coordinators Meeting on Peanut Stripe Virus.
ICRISAT. p. 1213.
Reddy, D.V.R., J.W. Demski, and N.M. Horn.
1988b. Identification of peanut stripe virus.
First Coordinators Meeting on Peanut Stripe
Virus. ICRISAT. 26 p.
Roechan, M., M. Iwaki, N. Saleh, D.M. Tantera,
and H. Hibino. 1978. Virus diseases of legume
plants in Indonesia. 4. Peanut mottle virus.
Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor. (No.
46). 11 p.
Roechan, M. 1992. Infeksi virus belang kacang
tanah pada kedelai dan penularannya pada
kacang tanah. Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman
Pangan Bogor. 1920 Februari 1991. hlm.
526530.
Saleh, N., A. Kasno, K.J. Middleton, D.V.R.
Reddy, N.M. Horn, and Y. Baliadi. 1988.
Screening of peanut germplasm to peanut
stripe virus in Indonesia. AARD-ACIAR
Collaborative Meeting at MARIF, Malang.
2021 April 1988. 7 p.
Saleh, N. and N.M. Horn. 1989. Transmission
of peanut stripe virus by its vectors and
groundnut seeds. Penelitian Palawija 4(2):
118122.
Saleh, N., N.M. Horn, D.V.R. Reddy, and K.J.
Middleton. 1989. Peanut stripe virus in
Indonesia. Netherland J. Plant Pathol. 95:
123127.
Saleh, N. dan Y. Baliadi. 1989a. Pengaruh jarak
tanam terhadap perkembangan penyakit virus
belang dan hasil kacang tanah. Laporan
Tahunan 1989. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.
hlm. 4142.
Saleh, N. dan Y. Baliadi. 1989b. Deteksi PStV
dalam biji kacang tanah menggunakan DAC-
ELISA dengan penisilinase. Kongres Na-
sional dan Seminar Ilmiah PFI X. Denpasar,
1416 November 1989. hlm. 136137.
Saleh, N.,Y. Baliadi, K.J. Middleton, and D.V.R.
Reddy. 1990a. Resistance screening of peanut
germplasm to peanut stripe virus. AARD-
ACIAR Evaluation Meeting at CRIFC,
Bogor, 2629 November 1990. p. 1821.
Saleh, N., Y. Baliadi, K.J. Middleton, and D.V.R.
Reddy. 1990b. Yield loss assessment of peanut
caused by peanut stripe virus. AARD-ACIAR
Peanut Improvement Project Review and
Planning, MARIF, Malang 2629 November
1990. 5 p.
Saleh N., Y. Baliadi, A. Munip, S. Karsono,
Riwanodja, dan Suwono. 1991. Pengendalian
peanut stripe virus pada kacang tanah dengan
kultur teknis dan insektisida. Risalah Seminar
Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm.
193198.
Saleh, N. dan Y. Baliadi. 1992. Penyakit virus
belang kacang tanah (peanut stripe virus)
dan usaha pengendaliannya. Monograf Balai
Penelitian Tanaman Pangan Malang No. 8.
22 hlm.
Saleh, N. 1995. Pengaruh tumpang sari dan
kepadatan tanaman terhadap perkembangan
intensitas serangan serta hasil kacang tanah.
Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan
1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang. hlm. 128134.
Soenartiningsih, W. Wakman, S. Saenong, A.
Hasanuddin, D.V.R. Reddy, and K.J.
Middleton. 1990. Seed transmission study
of peanut stripe virus (PStV). Agrikam 5(2):
8487.
Sreenivasulu, P. and J.W. Demski. 1988.
Transmission of peanut mottle and peanut
stripe viruses by Aphis craccivora and
Myzus persicae. Plant Dis. 72: 722723.
Suprapto, A. 1991. Pengujian Penularan Virus
Belang Kacang Tanah (PStV) oleh Vektor
Aphis dan melalui Biji Kacang-kacangan.
Thesis Fakultas Pertanian Universitas Bra-
widjaja, Malang. 34 hlm.
Sumarno dan I. Manwan. 1991. Program
Nasional Penelitian Kacang-kacangan. Di-
terjemahkan oleh R. Soehendi dan A.A.
Rahmianna dari National Coordinated
Research: Grain Legumes. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Malang. 82 hlm.
Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono.
1999. Konsep usaha tani ramah lingkungan.
Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV.
Bogor, 2224 November 1999. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor. 27 hlm.
Triharso. 1976. Penelitian Penyakit-penyakit
Virus Kacang Tanah. Disertasi Doktor
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 157 hlm.
Wongkaew, S. and S. Kantrong. 1987. Detailed
studies on peanut stripe and peanut yellow
spot disease (summary in English).
Proceeding of the Fifth Groundnut Research
Conference, 1921 March 1986. p. 223
232.
Zeyong, X., Z. Zongyi, K. Kunrong, C. Jinxang,
and D.V.R. Reddy. 1996. Current research
on groundnut virus disease in China. Proc.
Groundnut Virus Diseases in the Asia-Pacific
Region. ICRISAT. p. 26.

Anda mungkin juga menyukai