Anda di halaman 1dari 7

Pertanyaan : Bolehkah membayar zakat fitrah dengan uang?

Jawaban : Membayar zakat fitrah dengan uang, menurut Syafiiyyah tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Hanafiyyah diperbolehkan. Catatan Penting : Berpijak pada pendapat yang memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang (yakni hanya Hanafiyah) maka menurut kalangan ini, mengenai kadar uang yang dikeluarkan adalah disesuaikan nilai / harga bahan-bahan makanan yang manshush (disebutkan secara eksplisit dalam hadis) sebagai zakat fitrah, yakni

sho gandum burr Yang kesemuanya mengacu pada nilai harga saat mulai terkena beban kewajiban ( waqtul wujub). Referensi :

1 sho tamr / kurma, atau 1 sho gandum syair, atau sho zabib / anggur, atau

Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab VI/113 Tarsyih al-Mustafdn, 154 Al-Mughni li Ibn Qudmah II/357 Radd al-Mukhtr II/286 Al-Mausuah al-Fiqhiyyah XX/243 Al-Inyah Syarh al-Hidyah III/245 Al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh II/909

PARAMETER KAYA DAN MISKIN


Aug 19th, 2011 | By lbm | Category: BAHTSU MASAIL, Fikih, Fiqh Ramadan, Referensi Share

Kerangka Analisis Masalah Mengamati realita masyarakat, status sosial kaya dan miskin menjadi persoalan yang penting dan terkait erat dengan beberapa persoalan agama. Orang kaya berzakat kepada fakir dan miskin, seorang muslim menyalurkan daging qurban juga kepada faqir miskin, dan lain sebagainya. Namun persoalannya menjadi pelik manakala perspektif agama dan masyarakat memiliki perbedaan parameter dalam menentukan standar orang yang kaya dan yang miskin. Padahal tradisi pembagian zakat dan penyaluran daging qurban sudah berlangsung dari tahun ke tahun.

Sebagian masyarakat hanya menilai bahwa seseorang yang memiliki harta banyak meskipun berujud harta mati (tidak bisa dikembangkan) dan bahkan tidak mampu bekerja adalah orang kaya. Sedangkan mereka yang memiliki harta sedikit meskipun memiliki pekerjaan tetap dan setiap harinya semua kebutuhan dirinya dan keluarganya tercukupi adalah tergolong kelompok masyarakat miskin. Dari sinilah perlu kiranya kita perjelas bagaimana pandangan agama Islam memberi ulasan tentang siapa masyarakat yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin. Pertimbangan : Perhatikan definisi dalam sebagian al-kutub al-mutabarah berikut :

: ( ) : ) -( ) :
Pertanyaan Dalam perspektif fiqh al-madzahib al-arbaah, tepatkah pandangan masyarakat dalam menggolongkan kelompok masyarakat kaya dan miskin seperti di atas terkait dengan hak penerimaan zakat, udhiyah, dan lain-lain ? Jawaban Definisi fakir miskin dalam al-madzahib al-arbaah adalah sebagai berikut :

( 2 :214

Hanafiyah : fakir adalah orang yang memiliki harta berkembang ( nm) kurang dari satu nishb (senilai 200 dirham/+ 754 gram perak) atau orang yang memiliki harta tidak berkembang mencapai nishab namun habis untuk memenuhi kebutuhan primer. Sedang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali. Malikiyah : fakir adalah orang yang memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhan makanan pokok selama satu tahun. Dalam satu riwayat Ibn Qasim, orang yang memiliki lebih dari empat puluh dirham perak tidak berhak menerima zakat. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak mempunyai harta sama sekali.

Syafiiyah : fakir adalah orang yang tidak memiliki harta atau ketrampilan dan kesempatan kerja sama sekali atau memiliki namun tidak mencukupi setengah dari kebutuhan primernya untuk kebutuhan dirinya dan orang yang menjadi tanggung jawab nafakahnya selama umur ghlib (usia rata-rata manusia + 63 tahun). Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya secara penuh.

Hanabilah : fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta sama sekali atau mempunyai harta namun tidak mencukupi setengah dari kebutuhan hidupnya. Ahmad ibn Hanbal dalam pendapatnya yang menjadi pedoman muta`akhirin menegaskan, standar kaya-fakir adalah kebutuhan hidup. Namun dalam pendapatnya

yang diugemi mutaqaddimn Hanabilah, bila orang yang memiliki lima puluh dirham (+135.75 gram perak)atau emas yang senilai itu tidak dapat dimasukkan dalam golongan fakir meskipun harta tersebut tidak mencukupi kebutuhannya. Sedangkan mengenai definisi miskin, Hanbilah tidak jauh beda dengan Syfiiyah. Sehingga pandangan masyarakat tersebut dapat dibenarkan untuk menghantarkan dugaan ( dhan) bahwa seseorang tergolong fakir atau kaya karena telah dilandasi bukti-bukti lahiriyah yang nyata. Namun masalah berhak menerima dan tidaknya harus sesuai dengan kenyataan sebagaimana definisi-definisi di atas. Referensi

Radd al-Mukhtr vol. II hal. 339, 353-354 Al-Mausah al-Fiqhiyyah vol. XXIII hal. 313 dan vol. XIX hal. 151-152 Ahkm al-Qurn li al-Jashsh vol. III hal. 166 Al-Mughn li Ibn Qudmah vol. II hal. 277-279 Al-Inshf vol. II hal. 221 Al-Mabsth vol. X hal. 187 Asn al-Mathlib vol. I hal. 405

Kerangka Analisis Masalah

Mengamati realita masyarakat, status sosial kaya dan miskin menjadi persoalan yang penting dan terkait erat dengan beberapa persoalan agama. Orang kaya berzakat kepada fakir dan miskin, seorang muslim menyalurkan daging qurban juga kepada faqir miskin, dan lain sebagainya. Namun persoalannya menjadi pelik manakala perspektif agama dan masyarakat memiliki perbedaan parameter dalam menentukan standar orang yang kaya dan yang miskin. Padahal tradisi pembagian zakat dan penyaluran daging qurban sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Sebagian masyarakat hanya menilai bahwa seseorang yang memiliki harta banyak meskipun berujud harta mati (tidak bisa dikembangkan) dan bahkan tidak mampu bekerja adalah orang kaya. Sedangkan mereka yang memiliki harta sedikit meskipun memiliki pekerjaan tetap dan setiap harinya semua kebutuhan dirinya dan keluarganya tercukupi adalah tergolong kelompok masyarakat miskin. Dari sinilah perlu kiranya kita perjelas bagaimana pandangan agama Islam memberi ulasan tentang siapa masyarakat yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin. Pertimbangan : Perhatikan definisi dalam sebagian al-kutub al-mutabarah berikut :

: ( : )

-(

) :

( 2 :214

Pertanyaan Dalam perspektif fiqh al-madzahib al-arbaah, tepatkah pandangan masyarakat dalam menggolongkan kelompok masyarakat kaya dan miskin seperti di atas terkait dengan hak penerimaan zakat, udhiyah, dan lain-lain ? Jawaban Definisi fakir miskin dalam al-madzahib al-arbaah adalah sebagai berikut :

Hanafiyah : fakir adalah orang yang memiliki harta berkembang ( nm) kurang dari satu nishb (senilai 200 dirham/+ 754 gram perak) atau orang yang memiliki harta tidak berkembang mencapai nishab namun habis untuk memenuhi kebutuhan primer. Sedang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali. Malikiyah : fakir adalah orang yang memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhan makanan pokok selama satu tahun. Dalam satu riwayat Ibn Qasim, orang yang memiliki lebih dari empat puluh dirham perak tidak berhak menerima zakat. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak mempunyai harta sama sekali.

Syafiiyah : fakir adalah orang yang tidak memiliki harta atau ketrampilan dan kesempatan kerja sama sekali atau memiliki namun tidak mencukupi setengah dari kebutuhan primernya untuk kebutuhan dirinya dan orang yang menjadi tanggung jawab nafakahnya selama umur ghlib (usia rata-rata manusia + 63 tahun). Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya secara penuh. Hanabilah : fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta sama sekali atau mempunyai harta namun tidak mencukupi setengah dari kebutuhan hidupnya. Ahmad ibn Hanbal dalam pendapatnya yang menjadi pedoman muta`akhirin menegaskan, standar kaya-fakir adalah kebutuhan hidup. Namun dalam pendapatnya yang diugemi mutaqaddimn Hanabilah, bila orang yang memiliki lima puluh dirham (+135.75 gram perak)atau emas yang senilai itu tidak dapat dimasukkan dalam golongan fakir meskipun harta tersebut tidak

mencukupi kebutuhannya. Sedangkan mengenai definisi miskin, Hanbilah tidak jauh beda dengan Syfiiyah. Sehingga pandangan masyarakat tersebut dapat dibenarkan untuk menghantarkan dugaan ( dhan) bahwa seseorang tergolong fakir atau kaya karena telah dilandasi bukti-bukti lahiriyah yang nyata. Namun masalah berhak menerima dan tidaknya harus sesuai dengan kenyataan sebagaimana definisi-definisi di atas. Referensi

Radd al-Mukhtr vol. II hal. 339, 353-354 Al-Mausah al-Fiqhiyyah vol. XXIII hal. 313 dan vol. XIX hal. 151-152 Ahkm al-Qurn li al-Jashsh vol. III hal. 166 Al-Mughn li Ibn Qudmah vol. II hal. 277-279 Al-Inshf vol. II hal. 221 Al-Mabsth vol. X hal. 187 Asn al-Mathlib vol. I hal. 405

339

) ( ( ) (- ) )

( ( )

: : ) ) ( ( 277-279 ) ( ) 197 . . 166 ( 313

. 221

( ( ( ( ( ) ) ( ( ) ) ( ( ) ) ) ) )

) (

187

405 ) -

151-152

Anda mungkin juga menyukai