Anda di halaman 1dari 22

Urgensi Mursyid Dalam Tarekat Tuesday, September 15th, 2009 | Author: Administrator

Allah Swt. berfirman: Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid (Al-Quran). Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Quran dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid. Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Syarani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah dunia ilmu, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan marifat itu sendiri. Jalan marifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka

yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan. Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya. Sebagaimana ayat al-Quran di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan marifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati. Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan. Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam thaat ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Quran disebutkan: Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah. Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan

kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas. Dalam kitab Al-Mafaakhirul Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin Ayyad, ditegaskan, dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya Syekh Abul Hasan asySyadzily ra, bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak minimal ada lima: 1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas. 2. Memiliki pengetahuan yang benar. 3. Memiliki cita (himmah) yang luhur. 4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai. 5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut: 1. Bodoh terhadap ajaran agama. 2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam. 3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna. 4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan. 5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya. Syekh Abu Madyan ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani: 1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan. 2. Mempermainkan thaat kepada Allah. 3. Tamak terhadap sesama makhuk. 4. Kontra terhadap Ahlullah 5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu. Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah. Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri: 1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin. 2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan. 3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi. 4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak. 5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka. Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qanaah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana. Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah: 1) Himmah yang tinggi, 2) Menjaga kehormatan, 3) Bakti yang baik, 4) Melaksanakan prinsip utama; dan 5) Mengagungkan nikmat Allah Swt. Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt. Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra dan Miraj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah. Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asySyarani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan

antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Marifati Qawaidus Shufiyah.

Dzikir Jahar (Keras) Hingga kini, masih banyak orang yang under estimate, merasa tidak mempercayai dengan dalil suudzon dan syak wasangka, apakah benar ada yang dinamakan dzikir jahar atau dzikir keras. Kebanyakan dari mereka, mengira bahwa yang dinamakan dzikir keras itu sesuatu yang tidak ada riwayat dari Rasulnya. Benarkah? Sebagai ilustrasi, sebagaimana orang bijak pernah berkata, bahwa manusia akan dikumpulkan dengan orang yang disukainya. Jika ia mencintai musik, maka ia akan berkumpul dengan para pecinta musik. Jika ia mencintai hobi motor cross misalnya, maka ia akan berkumpul dengan mereka yang mencitai hobi yang sama. Tidak perduli dengan suara bising dan dentuman musik yang menjadi-jadi. Bagi mereka yang penting adalah mencari kenikmatan. Ya, begitulah bahwa manusia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang memiliki hobi dan minat yang sama. Demikian juga dengan dzikir, atau bagi mereka yang menyukai dzikir. Timbulnya pertanyaan, benarkah ada dzikir jahar, ialah keluar dari mereka yang memang belum mencintai apa itu dzikir jahar. Padahal, Allah sendiri adalah firman-Nya menyatakan bahwa orang yang beriman yang memiliki hati suci, jika mendengar dzikir akan tersentuh dan gemetar hatinya, Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan

apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri (QS. Al Anfal ayat 2). Dalam ayat ini, Allah memberi isyarat bahwa mereka yang beriman tidak akan merasa resah tetapi akan tersentuh hati dan jiwanya jika mendengarkan dzikir. Dari ayat ini yang menjadi titik tekan adalah dalam kata dzukiro, yang berarti dzikir itu dibacakan. Berarti orang yang beriman itu mendengar bacaan dzikir, lalu mereka bergetar hatinya. Kemudian, kita bisa menyimpulkan bahwa apa pun yang bisa didengar atau terdengar itu adalah suara yang dinyaringkan atau dikeraskan. Berarti dzikir dalam ayat tersebut adalah dzikir jahar atau dzikir yang dinyaringkan. Untuk lebih jelasnya, maka kita uraikan satu per satu ayat Al Quran dan Hadits yang menerangkan tentang dzikir jahar. HUKUM DZIKIR KERAS (JAHAR) DALAM AL-QURAN DAN AL-HADITS HUKUM DZIKIR JAHAR DALAM AQURAN - 1. Q.S. AL-AROF AYAT 204 : Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat . Penjelasan ayat ini bukan menunjukan dzikir dalam hati tapi dzikir yang terdengar atau dzikir keras. Namun, Ayat di atas seakan bertentangan dengan Al-Quran dan hadits yang lain tentang anjuran untuk berdzikir dalam hati seperti Q.S.Al-Arof ayat 205: Sebutlah nama Allah di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan tidak dengan suara yang keras dari pagi sampai petang, Dan janganlah dirimu menjadi golongan yang lupa (lalai). Sebenarnya Ayat 205 ini tidaklah bertentangan dengan ayat 204 yang menunjukan akan diperintahkannya dzikir jahar. Dan ayat 205 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang dzikir keras karena akan bertentangan dengan dzikir yang telah umum yang biasa dibaca dengan suara keras, seperti takbiran, adzan, membaca talbiyah ketika pelaksanakan haji, membaca al-quran dengan dikeraskan atau dilagukan, membaca sholawat dangan suara keras dan lain-lain. Hanya saja, Q.S AlArof ayat 205 ini hanya menjelaskan tentang dzikir yang tidak memakai gerak lidah yaitu dzikir dalam hati atau khofi. Jadi penjelasan Ayat 205 ini menunjukan, bagaimanapun bentuknya dzikir jika dibaca dalam hati pasti tidak akan mengeluarkan suara karena dzikirnya sudah menggunakan hati, bahkan sudah tidak menggunakan gerak lidah. Kesimpulan dari dua ayat itu, Allah menunjukan adanya perintah dibolehkannya berdzikir dengan jahar (keras) maupun dzikir dalam hati (khofi) yang tidak memakai gerak lidah. - 2. Q.S.AL-BAQOROH AYAT 200 :

Apabila engkau telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menywebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau bahkan berdzikirlah lebih (nyaring dan banyak) daripada itu. Menurut Ibnu Katsir, latar belakang turunnya ayat ini ialah kebiasaan bangsa Arab, baik suku quraisy maupun lainnya pada musim haji mereka biasanya berkumpul di Mudzalifah setelah wukuf di Arafah. Disitu mereka membanggakan kebesaran nenek moyang mereka dengan cara menyebut-nyebut kebesaran nenek moyang mereka itu dalam pidato mereka. Ketika telah memeluk agama Islam, Nabi memerintahkan mereka hadir di Arafah untuk wukuf kemudian menuju mudzdalifah. Setelah mabit di mudzdalifah mereka diperintahkan untuk meninggalkan tempat itu dengan tidak menunjukan perbedaan diantara mereka (dengan cara menyebut kebesaran nenek moyang) seperti yang mereka lakukan pada masa pra Islam. Berbeda dengan Ibnu Katsir, yaitu Mahmud Hijazi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bila kamu selesai mengerjakan haji maka berdzikirlah kepada Tuhanmu dengan baik (dengan cara menyebut-nyebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebutnyebut nama nenek moyangmu sewaktu kamu jahiliyah atau sebutlah nama Allah itu lebih keras daripada kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu itu. Begitu pun penafsiran Ibnu Abbas, seperti terdapat dalam kitab Tanwir al Miqbas ketika menafsirkan kata aw asyadda dzikro yang berarti menyebut Allah dengan mengatakan Ya Abba seperti menyebut nenek moyang Ya Allah. Dua pendapat mufasir di atas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa menyebut nama Allah dalam pengertian dzikrullah dianjurkan setelah menunaikan ibadah haji,. Dzikrullah tersebut dikerjakan dengan suara keras, bahkan boleh dengan suara yang lebih keras daripada suara jahiliyah tatkala mereka menyebut nama nenek moyang mereka ketika berhaji. - 3. Q.S. AL-BAQOROH AYAT 114 : Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalangi-halangi menyebut nama Allah di dalam mesjid-mesjid-Nya .. - 4. Q.S. AN-NUR AYAT 36 : Didalam semua rumah Allah diijinkan meninggikan (mengagungkan) suara untuk berdzikir dengan menyebut nama-Nya dalam mensucikan-Nya sepanjang pagi dan petang. - 5. Dan lain-lain HUKUM DZIKIR JAHAR MENURUT HADITS ROSUL HADITS KE SATU

Dalam Kitab Bukhori jilid 1: Dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas ra., berkata: Inna rofash shauti bidzdzikri hiina yanshorifunnaasu minal maktuubati kaana ala ahdi Rosuulillaahi sholallaahu alaihi wasallam kuntu alamu idzaanshorrofuu bidzaalika samituhu. Artinya :Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir setelah manusia-manusia selesai dari sholat fardlu yang lima waktu benar-benar terjadi pada zaman Nabi Saw. Saya (ibnu Abbas) mengetahui para sahabat melakukan hal itu karena saya mendengarnya . Selanjutnya dalam hadits :Suara yang keras dalam berdzikir bersama-sama pada waktu tertentu atau bada waktu sholat fardhu, akan berbekas dalam menyingkap hijab, menghasilkan nur dzikir (HR. Bukhari). - HADITS KE DUA Dari Abu Khurairah ra, katanya Rasulullah bersabda: Allah berfirman; Aku berada di dalam sangkaan hamba-Ku tentang diri-Ku, Aku menyertainya ketika dia menyebut-Ku, jika dia menyebut-Ku kepada dirinya, maka Aku menyebutnya kepda diri-Ku. Maka jika menyebut-tu di depan orang banyak, maka Aku akan menyebutnya di tempat yang lebih baik daripada mereka (HR. Bukhari). Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut di depan orang banyak, berarti dzikir tersebut dilakukan secara jahar. - HADITS KE TIGA Diriwayatkan di dalam Al Mustadrak dan dianggap saheh, dari Jabir ra. berkata: Rasulullah keluar menjumpai kami dan bersabda: Wahai saudara-saudara, Allah memiliki malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis-majlis dzikir di dunia. Maka penuhilah taman-taman syurga. Mereka bertanya:Dimanakah taman-taman syurga itu?. Rasulullah menjawab: Majlis-majlis dzikir. Kunjungilah dan hiburlah diri dengan dzikir kepada Allah (HR. Al Badzar dan Al Hakim). Penjelasan hadits ini, bahwa dalam kalimat malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis dzikir di dunia maksudnya berarti dzikir dalam hal ini adalah dzikir jahar yang dilakukan manusia. Karena malaikat hanya mengetahui dzikir jahar dan tidak mampu mengetahui dzikir khofi. Hal ini sebagaimana sabda Rasul: Adapun dzikir yang tidak terdengar oleh malaikat yakni dzikir khofi atau dzikir dalam hati yakni dzikir yang memiliki keutamaan 70x lipat dari dzikir yang diucapkan (HR. Imam Baihaqi dalam Kitab Tanwirul Qulub hal.509). - HADITS KE EMPAT Hadits yang dishohehkan oleh An Nasai dan Ibdu Majjah dari As Saib dari Rasululah SAW, beliau bersabda: Jibril telah datang kepadaku dan berkata, Perintahkanlah

kepada sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suaranya di dalam takbir(HR. Imam Ahmad Abu Daud At Tirmidzi). Penjelasan hadits ini, bahwa sangat jelas tidak dilarangnya dzikir keras tetapi dianjurkan untuk melakukan dzikir jahar. - HADITS KE LIMA Didalam kitab Syabil Iman dari Abil Jauza ra. berkata :Nabi Saw, bersabda, Perbanyaklah dzikir kepada Allah sampai orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian). (H.R.Baihaqi) Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian). Hadits ini menunjukan dzikir jahar karena dengan dzikir jahar (terdengar) itulah orang munafik akhirnya menyebutnya ria . - HADIITS KE ENAM Juga dalam kitab Syabil Iman yang di shohehkan oleh Al-Hakim dari Abu Said AlKhudri ra., berkata :Nabi Saw, bersabda, Perbanyaklah dzikir kepada Allah kendati kalian dikatakan gila. (H.R.Al-Hakim danAl-Baihaqi) - HADITS KE TUJUH, Dari Jabir bin Abdullahra, berkata :Ada seorang yang mengeraskan suaranya dalam berdzikir, maka seorang berkata, semestinya dia merendahkan suaranya. Rosulullah bersabda, Biarkanlah dia,sebab sesungguhnya dia adalah lebih baik. (Al-Baihaqi). Dari Said bin Aslam ra., katanya Ibnu Adra berkata, Aku menyertai Nabi Saw. Pada suatu malam, lalu melewati seseorang di mesjid yang mengeraskan suaranya, lalu aku berkata, Wahai Rosulullah, tidaklah ia termasuk orang ria ? Beliau menjawab, Tidak,tetapi dia pengeluh, (H.R.Baihaqi). PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR JAHAR Imam An-Nawawi berkata : Bahwa bacaan dzikir sir (samar) lebih utama apabila takut ria, atau khawatir mengganggu orang yang sedang sholat atau tidur. Sedangkan yang jahar (dzikir keras) lebih baik apabila tidak ada kekhawatiran tentang hal ini, mengingat amalan di dalamnya lebih banyak manfaatnya, karena ia dapat membangkitkan kalbu orang yang membaca atau yang berdzikir, ia mengumpulkan semangat untuk berfikir, mengalahkan pendengaran kepadanya, mengusir tidur, dan menambah kegiatan (dalam Kitab Haqiqot Al-Tawwasulu wa Al-Wasilat Al-Adlowil kitabi wa As-Sunnah). Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : Irfauu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljamiyatu kal arifiin. Artinya: Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al

jamiyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah. Selanjutnya masih menurut beliau Dan wajib bagi murid-murid yang masih didalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang kepada Allah yang telah menjadikan hati jadi keras bagaikan batu, penghalangnya yaitu seperti sipat malas, sombong, ria, iri dengki dan sebagainya) Imam Al-Ghozali r.a. mengatakan: Sunnat dzikir keras (jahar) diberjemaahkan di mesjid karena dengan banyak suara keras akan memudahkan cepat hancurnya hati yang keras bagaikan batu, seperti satu batu dipukul oleh orang banyak maka akan cepat hancur. KENAPA MESTI DZIKIR KERAS? Ulama ahli marifat mengatakan bahwa untuk mencapai marifat kepada Allah bisa diperoleh dengan kebeningan hati. Sedangkan kebeningan hati itu bisa dicapai dengan suatu thoriqoh (cara), diantaranya banyak berdzikir kepada Allah. Jadi, marifat tidak akan bisa diperoleh jika hati kita busuk penuh dengan kesombongan, ria, takabur, iri dengki, dendam, pemarah, malas beribadah dan lain-lain. Oleh sebab itu dzikir diantara salah satu cara (thiriqoh) untuk membersihkan hati. Sebab, manusia sering menyalahgunakan fitrah yang diberikan Tuhan, sehingga hati mereka menjadi keras. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut, mendorong manusia memiliki hati yang keras melebihi batu. Hal tersebut sebagaimana kalimat yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 74: tsumma qosat quluubukum minbadi dzaalika fahiya kal hijaaroti aw asyaddu qoswatun, artinya Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,bahkan lebih keras lagi. Dari ayat tersebut hati manusia yang membangkang terhadap Allah menjadikan hatinya keras bagaikan batu bahkan lebih keras daripada batu. Maka, jalan keluarnya untuk melembutkan hati yang telah keras bagaikan batu sehingga kembali tunduk kepada Allah, sebagaimana Ulama ahli marifat mengatakan penafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitab miftahu Ash-Sshudur karya Sulthon Awliya Assayyid Asy-Syekh Al-Alamah Al-Arif billah Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin r.a. bahwa fakamaa annal hajaro laa yankasiru illa biquwwatin dlorbil muawwil fakadzaalikal qolbu laayankasiru illa biquwwati , artinya sebagaimana batu tidak pecah kecuali bila dipukul dengan tenaga penuh pukulan palunya, demikian hati yang membatu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan kuatnya suara dzikir. liannadz dzikro laa yutsiru fiijami tsanaati qolbi shohibihi illa biquwwatin, artinya Demikian pula dzikir tak akan memberi dampak dalam menghimpun fokus hati pendzikirnya yang terpecah pada Allah kecuali dengan suara keras. Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : Irfauu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljamiyatu kal arifiin. Artinya: Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jamiyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah.

Selanjutnya masih menurut beliau Dan wajib bagi murid-murid yang masih di dalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang yang akan menghalangi kita dekat kepada Allah, seperti sifat-sifat jelek manusia: iri, dengki, sombong, takabur,dll yang disumberkan oleh hati yang keras). CARA BERDZIKIR DENGAN KERAS YANG DIAJARKAN ROSUL Dalam hadits shohihnya, dari Yusuf Al-Kaorani : Sesungguhnya Sayyidina Ali r.a. telah bertanya pada Nabi Saw. : Wahai Rosulullah, tunjukkanlah kepadaku macammacam thoriqot (jalan) yang paling dekat menuju Allah dan yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama di sisi Allah, maka Nabi Saw menjawab: wajiblah atas kamu mendawamkan dzikkrullah: Sayyidina Ali r.a bertanya lagi: Bagaimana cara berdzikirnya ya Rosulallah? Maka Nabi menjawab: pejamkan kedua matamu, dan dengarkan (ucapan) dariku tiga kali, kemudian ucapkan olehmu tiga kali, dan aku akan mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sedangkan Sayyidina Ali r.a mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali, sedangkan Nabi Saw memdengarkannya. (Hadits dengan sanad sahih, dalam kitab Jamiul Ushul Auliya) Dalam kitab Tanwirul Quluub dijelaskan cara gerakan dzikir agar terjaga dari datangnya Syetan, merujuk Firman Allah dalam Al-Quran Surat AlArof ayat 17: Demi Allah (kami Syetan) akan datang kepada manusia melalui arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kiri. Ayat ini menunjukan arah datangnya syetan untuk menggoda manusia agar menjadi ingkar terhadap Allah. Jelas, sasarannya manusia melalui empat arah; 1. Depan 2.Belakang 3.Kanan 4.Kiri.Maka, dzikirnya pun harus menutup empat arah. Dalam kitab Tanwirul Qulub: ucapkan kalimat LAA dengan diarahkan dari bawah pusat tarik sampai otak hal ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah depan dan belakang. Adapun ditarik kalimat itu ke otak karena syetan mengganggu otak/pikiran kita sehingga banyak pikiran kotor atau selalu suuddzon. Dan ILAA dengan diarahkan ke susu kanan atas, dan kalimat HA diarahkan ke arah susu kanan bagian bawah adapun ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah kanan. Dan ILLALLAH diarahkan ke susu kiri yang bagian atas serta bawahnya, hal ini untuk menutup pintu syetan yang datangnya dari arah kiri, namun lapadz jalalah yaitu lapadz ALLAAHnya diarahkan dengan agak keras ke susu kiri bagian bawah sekitar dua jari, karena disanalah letaknya jantung atau hati (keras bagaikan batu) sebagaimana pendapat Imam Al-ghozali. Syarat berdzikir menurut para Ulama Tasawuf: 1. Dengan berwudlu sempurna 2. Dengan suara kuat/ keras 3. Dengan pukulan yang tepat ke hati sanubari

MANA YANG PALING UTAMA, DZIKIR KERAS (JAHAR) ATAU DZIKIR HATI (KHOFI)? Dalam kitab ulfatu mutabarikin dan kitab makanatu Adz-dzikri bahwasanya Rosul pernah bersabda: sebaik-baik dzikir adalah dalam hati. Dalam kitab tersebut dijelaskan hal itu bagi orang yang telah mencapai kelembutan bersama Allah, hati bersih dari penyakit, hati yang sudah lembut. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama bagi orang yang hatinya keras bagaikan batu, sehingga sulit untuk tunduk pada perintah Allah karena sudah dikuasai oleh nafsunya. Dalam kitab Miftahu Ash-Shudur karya Sulthon Auliya As-Sayyid Asy-Syekh Al-Alamah Al-Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin r.a. bahwa Sulthon Awliya As-Sayyid Syekh Abu A-Mawahib Asy-Syadzili r.a. berkata: Para ulama toriqoh berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, apakah dzikir sir (hati) atau dzikir jahar (keras), menurut pendapat saya bahwa dzikir jahar lebih utama bagi pendzikir tingkat pemula (bidayah) yang memang hanya dapat meraih dampak dzikir dengan suara keras dan bahwa dzikir sir (pelan) lebih utama bagi pendzikir tingkat akhir (nihayah) yang telah meraih Al-Jamiyyah (keteguhan hati kepada Allah) . Imam Bukhori, dalam kitab Sahihnya bab dzikir setelah salat fardlu, berkata: Ishaq ibnu Nasr memberitahu kami, dia berkataAmru memberitahu saya bahwa Abu Mabad, pelayan Ibnu Abbas, semoga Allah meridloi keduanya, memberitahu Ibnu Abbas bahwa Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai dan shalat fardlu sudah biasa dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Ibnu Abbas berkata: Aku tahu hal itu, saat mereka selesai shalat karena aku mendengarnya. Sayyid Ahmad Qusyayi. Q.s., berkata: inilah dalil keutamaan dzikir keras (jahar) yang didengar orang lain, dengan demikian ia membuat orang lain berdzikir kepada Allah dengan dzikirnya kepada Allah. DZIKIR KERAS MERESAHKAN? Dzikir keras tidak akan meresahkan atau mengganggu orang yang hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Dengan terdengarnya dzikir menjadi magnet (daya tarik) yang kuat bagi orang yang beriman, bahkan menjadi kenikmatan tersendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-quran QS.Al-Anfal ayat 2 : Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri . ALLAH TIDAK TULI Ada anekdot dari seorang Ulama Tasawuf pengamal thoriqoh: suatu hari ada dialog antara mahasiswi dan ulama tasawuf. Mahasiswi bertanya: Pak Kiai, kenapa dzikir mesti keras (jahar) padahal Allah itu tidak tuli?. Ulama Tasawuf menjawab dengan membalikan pertanyaan: yang bisa kena sifat tuli itu yang memiliki telinga atau tidak?.

Mahasiswi menjawab: iya yang punya telinga. Ulama Tasawuf kembali bertanya: Kalau Allah punya telinga tidak?. Mahasiswi menjawab: tidak punya. Ulama tasawuf kembali bertanya lagi: apakah dengan suara keras makhluk akan merusak pendengaran Allah?. Mahasiswi menjawab: tidak Pak Kiai. Selanjutnya Ulama Tasawuf mengatakan: oleh sebab itu istighfarlah dan bersyahadatlah dengan baik, bagaimanapun Allah tidak akan tuli dan tidak akan rusak pendengaran-Nya oleh suara kerasnya makhluk. Bagi-Nya suara keras maupun pelan terdengar oleh Allah sama. Hanya saja, hati manusia yang tuli akan perintah Allah. Jadi, dzikir keras bukan untuk Allah dan bukan ingin didengar oleh Allah karena Allah sudah tahu. Tapi tujuan dzikir keras itu diarahkan untuk hati yang tuli kepada Allah yang keras bagaikan batu sedangkan kita tahu batu itu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan yang kuat, begitupun hati yang keras bagaikan batu tidak akan hancur kecuali dengan suara pukulan dzikir yang kuat. Jadi, Allah tidak butuh akan dzikir kita, sebaliknya kitalah yang butuh akan dzikir kepada Allah supaya hati menjadi lembut, bersih dan marifat kepada Allah.

Dzikir yang Wushul (Sampai) Kepada Allah Tuesday, September 15th, 2009 | Author: Administrator

Abul Abbas Al-Mursy bercerita, Aku bertanya kepada guruku berkenaan Dzikir orang-orang yang telah benar-benar sampai (wushul) kepada Allah. Beliau berkata, Dengan cara menggugurkan hawa nafsu dan mencintai Tuhannya. Dan teguh memegang kecintaan itu, dibanding mencintai yang lain daripada Allah. Siapa yang ingin bersahabat dengan Allah, maka seharusnya ia memulai dengan meninggalkan segala syahwat diri (kepentingan pribadi). Sang hamba tidak akan sampai kepada Allah, jika masih ada pada dirinya segala kesenangan dirinya. Dan tidak juga sampai, jika dalam dirinya ada segala keinginan. Ada sebuah cerita di lingkungan Thoriqoh, seseorang yang sudah sepuh sebut saja namanya Tholib yg sudah ikut thoriqoh 20 tahun menghadap mursyidnya.

Tholib : maaf Yai, saya ini sudah menjalani thoriqoh 20 tahunan, ngaji terus.. tapi kok sepertinya saya ko nggak wushul-wushul dengan Gusti Allah ya, Apa yg salah pada diri saya Yai? Mursyid : Sambil tersenyum bijak beliau berkata, Coba pak Tholib bertanya kepada anak muda yang namanya Badrun, di halaqoh Jakarta. Coba tanya kepada dia, bagaimana dia bisa cepat wushul padahal dia ikut thoriqoh cuma 2 tahunan saja. Tholib : Terimakasih Yai, saya besok akan ke Jakarta, untuk bertemu dengan Badrun. Singkat cerita pak Tholib berjumpa dengan Badrun di Halaqoh Pengajian Hikam di Jakarta, lalu di bertanya : Tholib : ini mas Badrun ya? Badrun : Iya pak, maaf bapak ini siapa ya? kok saya baru melihat bapak disini. Tholib : Oh iya kita sama thoriqohnya, cuma saya halaqohnya di Jawa Timur. Maksud kedatangan saya, karena saya disuruh Kyai Mursyid untuk berjumpa dengan mas Badrun. Badrun : Oh.. Kyai Mursyid sampai menugaskan Bapak bertemu dengan saya, apa ada urusan yg penting sekali pak? Tholib : Tidak kok, tapi penting juga sih karena menyangkut perjalanan diri saya. Begini mas Badrun saya ini ikut thoriqoh sudah lama sekali loh, sdh 20 tahunan. Dan saya juga sudah paham dan yakin mengenai dunia tassawuf ini. Tapi itu semua baru terbatas kepada pemahaman ilmu dengan akal saya. Ruhani saya masih belum mengalami wushul dengan Gusti Allah. Lalu kata Yai mursyid, saya disuruh bertanya kepada mas Badrun. Karena Yai Mursyid bilang mas Badrun sudah wushul? Tolong saya mas Badrun, bagaimana cara mas Badrun bisa cepat wushul dengan Gusti Allah? padahal mas Badrun ikut thoriqoh baru 2 tahunan. Badrun tersenyum, tanpa rasa bangga sedikitpun dia berkata : Begini pak Tholib, saya nggak bisa banyak menerangkan metoda atau ilmu mengenai ruhani. Karena saya yakin Bapak lebih menguasai daripada saya yg baru 2 tahunan ini. Lanjutnya Badrun : Cuma 1 yg saya terapkan didalam diri saya, sewaktu mulai ikut thoriqoh.. Tholib : Apa itu mas? Badrun : Di Awal perjalanan ruhani saya, saya coba tanamkan rasa RELA pada hati saya. Tholib : Maksudnya..? Badrun : Ya, saya RELA bahwa diri saya masih berada dalam awal perjalanan.. Saya RELA, bahwa diri saya masih baru dan harus selalu berusaha mengingat dihati melantunkan ALLAH..ALLAH..ALLAH.., Saya Rela, bahwa saya BELUM bisa merasakan apa2 di dalam Hati saya berupa rasa dekat dengan Allah Bahkan sampai saat ini saya pun RELA bahwa saya belum WUSHUL dengan ALLAH.. (sambil berlinangan air mata Badrun menanggung kerinduan Ruh-nya yang menggelegak untuk berjumpa dengan Tuhannya)

Tholib : Astaghfirullah Dipeluknya Badrun erat erat berdua mereka sesugukkan.. Ruh mereka seolah terbang menuju hadirat-NYA.. lalu Pak Tholib seolah mendengar Mursyidnya berkata didalam relung hatinya yang terdalam.. Hai Tholib Rasa RELA itulah yang sesungguh mempunyai NILAI Disisi Allah.. Karena sesungguhnya apabila ALLAH meRidhoi hambaNYA, maka DIA akan memberikan rasa ke-RELA-an dalam diri hamba-NYA dalam menjalani TakdirNYA dng penjagaan-NYA dalam menjalani Syariat-NYA. Baik hamba-NYA yg sudah WUSHUL maupun yg sedang berjalan menuju kepadaNYA. Bukankah RIDHO-NYA yang kalian mau dari ALLAH? Artinya, sama saja antara orang yg sedang berjalan menuju wushul, dengan orang sudah wushul disisi Allah kalau Allah sudah meRidhoi kepada hamba-NYA, hanya tugasnya saja yg berbeda..

Iman, Islam dan Ikhsan Wednesday, November 04th, 2009 | Author: Administrator Di torikoh Syadziliyah kita selalu diajarkan salah satu dalam rangkaian doa kita selalu minta ketetapan Iman, Islam dan Ikhsan. Iman, yaitu membenarkan dalam hati dan mengikrarkan dalam lisan dan dan mengamalkan dengan rukun-rukun. Islam, yaitu mengikuti segala yang datang dari Nabi Muhammad S.a.w dan meninggalkan segala hal yang dilarangnya. Ihsan, yaitu engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya dan apabila engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Allah melihatMu.

Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata, Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam, Rasulullah menjawab, Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya. Orang itu berkata, Engkau benar. Kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya. Orang itu berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang Iman, Rasulullah menjawab, Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitabkitab-Nya, kepada utusan-utusan-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Orang tadi berkata, Engkau benar. Orang itu berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang Ihsan. Rasulullah menjawab, Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu. Orang itu berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang kiamat, Rasulullah menjawab, Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Selanjutnya orang itu berkata lagi, beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya, Rasulullah menjawab, Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan. Kemudian pergilah ia (orang yang bertanya tersebut), aku tetap tinggal beberapa lama, kemudian Rasulullah berkata kepadaku, Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu? Saya menjawab, Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui, Rasulullah berkata, Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu. Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syariat dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah. Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu. Kalimat Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad.. adalah riwayat yang masyhur. Nasai meriwayatkan dengan kalimat, Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah. Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya. Dari hadits ini dipahami bahwa Islam dan Iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syariat. Namun terkadang, dalam pengertian syariat, kata Islam dipakai dengan makna Iman dan sebaliknya. Kalimat, Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya mereka para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui

bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu. Kalimat, Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitabkitab-Nya. Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya. Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan. Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Quran dan Hadits Rosululloh. Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu dan dalam QS. Al-Qamar : 49, Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguhsungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati. Kalimat, Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Pada pokoknya merujuk pada kekhusyuan dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah. Kalimat, Beritahukan kepadaku tanda-tandanya ? sabda beliau : Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya maksudnya jika banyak perempuan yang telah melahirkan anaknya kemudian anaknya tersebut berprilaku seperti seorang majikan kepada budaknya.

Kalimat, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan maksudnya jika banyak orang kaya yang telah melihat masyarakat disekitarnya yang tidak mampu, miskin bahkan kelaparan, tidak punya sandang pangan, namun orang kaya tersebut masih tetap berlomba-lomba untuk mendirikan bangunan tanpa perduli pada orang-orang miskin di sekitarnya tersebut. Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan. Kalimat, Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah Taala. Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4, Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail alaihimus salaam Kata iman mencakup pengertian kata islam dan ihsan dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Hadits Rasulullah menyebutkan, Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman. Disini menunjukkan bahwa seseorang yang beriman maka ia akan takut dan menjauhi akan larangan Allah yang di turunkan melalui Rasulullah untuk berzina dan mencuri (Islam) dan tidak akan bisa berbuat zina atau mencuri sebab dia sangat yakin bahwa Allah selalu melihat segala perbuatannya (Ihsan). Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu Umar berkata, kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah pasti muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin ia berkata, pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran. Ihsan merupakan sifat tertinggi seorang muslim karena dalam keadaan apapun dimanapun dia berada dia merasa selalu dilihat oleh Allah sehingga dia selalu takut untuk berbuat hal yang dilarang oleh Allah dan menjalankan apapun yang diperintahnya. Seluruh bagian jasad dan batinnya berdzikir.

Enam Pertanyaan Imam al Ghazali Monday, November 09th, 2009 | Author: Administrator Suatu hari, Imam al Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu beliau bertanya beberapa hal. Pertama, Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ? Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam alGhazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah MATI. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran :185). Lalu Imam al Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua, Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini? Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama. Lalu Imam al Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. Apa yang paling besar di dunia ini?. Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam AL Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah NAFSU (QS. Al- aaraf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan keempat adalah, Apa yang paling berat di dunia ini?. Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (QS. Al Ahzab:72). Tumbuhtumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya. Pertanyaan yang kelima adalah, Apa yang paling ringan di dunia ini?. Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah

MENINGGALKAN SHALAT. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat. Lantas pertanyaan keenam adalah, Apakah yang paling tajam di dunia ini?. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah LIDAH MANUSIA. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Tawassul Tawassul atau sering juga disebut wasilah adalah sebuah perbuatan atau amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti menjadikan Nabi, ulama atu auliya untuk dijadikan wasilah (perantara). Tawassul cuman sebagai salah satu jalan untuk berdoa, bermunajjad kepada Allah. Tujuan sebenarnya adalah tetap kepada Allah, sedangkan Nabi atau ulama itu hanya merupakan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Perlu diketahui bahwa orang yang tawassul itu tidak berwasilah kecuali kepada orang yang dicintainya karena ilmunya, karomahnya mempunyai fadhilyah (kelebihan) serta keyakinan bahwa ia adalah orang yang dicintai dan dikasihi oleh Allah SWT. Demikian pula tawassul itu bukan perkara yang utama, bukan tujuan pokok pun juga terkabulnya doa bukan disandarkan pada tawassul. Namun yang asal dan utama tetap berdoa dan memohon kepada Allah secara mutlak. Perumpamaan tawassul adalah seperti halnya agar lampu di rumah kita menyala kita perlu menyambung listrik, kita tancapkan terlebih dahulu ke steker listrik di dalam rumah kita. Dari listrik di rumah kita disambungkan ke gardu-gardu listrik di lingkungan kita. Dari gardu-gardu listrik di lingkungan kita di sambungkan ke gardu-gardu induk. dari gardu induk kita, disambungkan ke gardu induk di wilayah yang lain, kemudian disambungkan lagi ke gardu induk di wilayah yang lainnya, begitu seterusnya sampai akhirnya nanti sampai pada gardu utama yang menyambungkan langsung pada pemroduksi suplai listrik. Kalau kita contohkan kira-kira seperti diatas, Nabi dan Ulama itulah yang sebagai perantara (gardu) yang menyambungkan doa-doa kita kepada Allah.

Zuhud Ada empat tipe manusia berkaitan dengan harta dan gaya hidupnya : Pertama, orang berharta dan memperlihatkan hartanya. Orang seperti ini biasanya mewah gaya hidupnya, untung perilakunya ini masih sesuai dengan penghasilannya, sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, ia akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan. Kedua, orang yang tidak berharta banyak, tapi ingin kelihatan berharta. Gaya hidup mewahnya sebenarnya diluar kemampuannya, hal ini karena ia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya lebih besar pasak daripada tiang. Nampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya. Ketiga, orang tak berharta tapi berhasil hidup bersahaja. Orang seperti ini tidak terlalu pening dalam menjalani hidup karena tak tersiksa oleh keinginan, tak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukan berharap dikasihani, tak menunjukan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri. Keempat, orang yang berharta tapi hidup bersahaja. Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang dia inginkan namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya, hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan yang tidak habis-habisnya untuk menjadi bahan pembicaraan. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan punya pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga dibanding seluruh harta yang dimilikinya, subhanallaah. Perlu kita pahami bahwa zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, semacam harta benda dan kekayaan lainnya, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangan makhluk. Bagi orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun harta yang dimiliki, sama sekali tidak akan membuat hatinya merasa tenteram, karena ketenteraman yang hakiki adalah ketika kita yakin dengan janji dan jaminan Allah.

Andaikata kita merasa lebih tenteram dengan sejumlah tabungan di bank, saham di sejumlah perusahaan ternama, real estate investasi di sejumlah kompleks perumahan mewah, atau sejumlah perusahaan multi nasional yang dimiliki, maka ini berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seberapa banyak saham pun yang dimiliki, sebanyak apapun asset yang dikuasai, seharusnya kita tidak lebih merasa tenteram dengan jaminan mereka atau siapapun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali ijin Allah. Dia-lah Maha Pemilik apapun yang ada di dunia ini. Begitulah. Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak mejadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita, dan bahkan, lebih tahu dari kita sendiri. Ada dan tiadanya dunia di sisi kita hendaknya jangan sampai menggoyahkan batin. Karenanya, mulailah melihat dunia ini dengan sangat biasa-biasa saja. Adanya tidak membuat bangga, tiadanya tidak membuat sengsara. Seperti halnya seorang tukang parkir. Ya tukang parkir. Ada hal yang menarik untuk diperhatikan sebagai perumpamaan dari tukang parkir. Mengapa mereka tidak menjadi sombong padahal begitu banyak dan beraneka ragam jenis mobil yang ada di pelataran parkirnya? Bahkan, walaupun bergantiganti setiap saat dengan yang lebih bagus ataupun dengan yang lebih sederhana sekalipun, tidak mempengaruhi kepribadiannya. Dia senantiasa bersikap biasa-biasa saja. Luar biasa tukang parkir ini. Jarang ada tukang parkir yang petantang petenteng memamerkan mobil-mobil yang ada di lahan parkirnya. Lain waktu, ketika mobil-mobil itu satu persatu meninggalkan lahan parkirnya, bahkan sampai kosong ludes sama sekali, tidak menjadikan ia stress. Kenapa sampai demikian? Tiada lain, karena tukang parkir ini tidak merasa memiliki, melainkan merasa dititipi. Ini rumusnya. Seharusnya begitulah sikap kita akan dunia ini. Punya harta melimpah, deposito jutaan rupiah, mobil keluaran terbaru paling mewah, tidak menjadi sombong sikap kita karenanya. Begitu juga sebaliknya, ketika harta diambil, jabatan dicopot, mobil dicuri, tidak menjadi stress dan putus asa. Semuanya biasa-biasa saja. Bukankah semuanya hanya titipan saja? Suka-suka yang menitipkan, mau diambil sampai habis tandas sekalipun, silahkan saja, persoalannya kita hanya dititipi. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, Melakukan zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah. Dan hendaknya engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu. (HR. Ahmad).

Anda mungkin juga menyukai