Anda di halaman 1dari 11

STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI

(Kajian Pendalaman Materi Percepatan Pemberantasan Korupsi Pada Diklat Prajabatan Gol. III) Oleh: Abdul Main, S.Ag., SS.,M.Hum. (Widyaiswara Madya BDK Surabaya)

ABSTRAK Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan fenomenal di Indonesia. Modus korupsi sangat bervariasi, seperti mark-up, penipuan, penyuapan, pemerasan, gratifikasi dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk menghilangkan korupsi itu perlu langkah serius. Pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat semua pihak: pemerintah, penegak hukum dan masyarakat sipil. Tanpa itu, upaya pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat. Karena korupsi telah menjadi endemy yang berakar pada budaya Indonesia. Oleh karena itu, harus ada upaya serius semua pihak agar korupsi bisa dikurangi secara bertahap dan pada akhirnya diberantas tuntas. Pertama peran pemerintah: hendaknya pemerintah dapat menutup peluang terjadinya korupsi, meningkatkan gaji PNS, mereformasi hukum dan meningkatkan fungsi kontrol, serta memimpin gerakan nti-korupsi. Kedua peran penegakan hukum, meliputi komitmen yang kuat untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menolak dan menuntut kasus-kasus korupsi secara jujur. Ketiga peran masyarakat sipil: menghidupkan fungsi kontrol publik, kebebasan pers dan pendidikan antikorupsi di masyarakat. Dan untuk semua pihak, harus menjunjung tinggi etika dan moral antikorupsi. Kata-Kata Kunci: korupsi, pemberantasan korupsi. sebab-akibat korupsi, fenomena korupsi,

PENDAHULUAN Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan sosioekonomi dan kejahatan jabatan yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaikan virus ganas yang mematikan. Virus ini sangat mudah menyerang birokrasi pemerintah terutama di negara-negara berkembang. Menurut survey PERC (Politcal and Economic Risk Consultancy), sebuah Biro Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi yang bermarkas di Hongkong, menunjukkan bahwa dari 13 negara-negara Asia yang disurvey, Indonesai menduduki peringkat ke-3 sebagai negara yang terkorup di Asia setelah Filipina dan Thailand. Adapun negara di kawasan Asia yang dinilai paling berhasil memberantas korupsi adalah Singapura, disusul Hongkong, Jepang, Makau, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, India, Vietnam dan Tiongkok. Indonesia dari dahulu hingga kini bejuang memberantas korupsi, baik secara prefentif, edukatif, maupun represif. Bahkan tidak sedikit perangkat hukum yang telah dibuat untuk menjerat para koruptor. Tetapi mengapa Indonesia masih selalu menjadi juara bertahan dalam soal korupsi? Penulis berpendapat bahwa korupsi jangan lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi harus digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara yang luar biasa. Tulisan ini mencoba memberikan

penjelasan tentang apa itu korupsi; sebab-sebab dan akibta-akibat korupsi; serta strategi pemberantasan korupsi. Analisis didasarkan pada pendekatan yuridis, politis, dan sosioreligius. Permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana strategi pemberantasan korupsi? Dan strategi apa saja yang tepat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia? PENGERTIAN DAN TIPOLOGI KORUPSI Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio sendiri berasal dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke bayak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu cnorruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. (Andi Hamzah, 2005:4). Dalam Kamus Hukum (2002), kata korupsi berarti buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. The Lexicon, 1979, mengartikan kata corruption berarti suatu perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata korupsi dalam Websters Third New International Dectionary (1961) diartikan sebagai perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suap) agar ia melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya. Sedangkan suap (sogokan) didefinisikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). Korupsi juga mencakup nepotisme atau sifat suka memberi jabatan kepada kerabat dan famili saja, serta penggelapan uang negara. Dalam kedua hal ini terdapat perangsang dengan pertimbangan tidak wajar. Jadi korupsi, sekalipun khusus terkait dengan penyuapan dan penyogokan, adalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar keuntungan pribadi, keluarga dan kelompok. Menurut laporan Pemerintah India, Report of the Committee on Prevention of Corruption, korupi menyangkut penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi. (Bayley, 1995), Menurut Johnson (1993), korupsi adalah penyalahgunaan peran dan sumber daya pemerintah atau oleh mereka yang berusaha untuk mempengaruhi orang-orang tadi. Tetapi, standar apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyalahgunaan itu? Boleh jadi adalah norma atau kepentingan umum. Tetapi kedua-duanya memiliki kelemahan yang serius sebagai suatu standar. Norma berdasarkan standar yang tidak tetap, kabur dan acapkali bertentangan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, sedang kepentingan umum berdasarkan standar yang tidak ada dalam sebagian besar masalah dan keadaan serta lingkungan. Tetapi Johnson menegaskan bahwa standar yang lebih mantap dan tepat untuk mengidentifikasi penyalahgunaan adalah standar hukum. Definisi korupsi yang lain dikemukakan oleh Klitgaard (1998), korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang untuk pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri). Menurut Klitgaard, konsep korupsi tersebut sekaligus merujuk pada tingkah laku politik dan seksual. Kata lain corruptus, corrupt menimbulkan serangkaian gambaran jahat; kata corrupt berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada dimensi 2

1.

2. a. b. c.

3.

moral pada kata tersebut. Namun Klitgaard menegaskan bahwa definisi tentang korupsi tidaklah statis tetapi berkembang sepanjang perjalanan waktu. Masyarakat lambat laun akan mampu membuat pembedaan yang lebih tajam antara suap dan transaksi, dan semakin mampu membuat pembedaan-pembedaan ini dalam praktek. Dan dalam setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan sekurang-kurangnya empat definisi suap yang berbeda: definisi dari kaum moralis yang lebih maju, definisi hukum sebagaimana tertulis, definisi hukum sejauh ditegakkan, dan definisi praktek yang lazim. Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu sangat berkaitan erat dengan Sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman modern ini. Adapun pengertian korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan pertama kali dipopulerkan oleh E. John Emerich Edwards Dalberg Acton, yang mengatakan: The Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi yang berlebihan pula). Dari beberapa teori tentang korupsi yang ada, menurut Syed Hussein Alatas, William-Chambliss, dan Milovan Djilas, sebagaimana diolah George Junus Aditjondro (2006:401-402), korupsi dapat dibedakan menjadi tiga lapis: Korupsi lapis pertama, yang meliputi bidang sentuh langsung antara warga (citizen) dan birokrasi atau aparatur negara, yang dapat dibedakan antara suap (Inggris, bribery; Arab, riswah), di mana prakarsa untuk mengeluarkan dana, jasa, atau benda datang dari warga, dan pemerasan (extortion), di mana prakarsa untuk mendapatkan dana, jasa, atau benda tertentu datang dari aparatur negara. Korupsi lapis kedua, yang meliputi lingkaran dalam (inner circle) di pusat pemerintahan, dapat dibedakan antara: Nepotisme, di mana ada hubungan darah antara mereka yang menjadi pelayan public dengan mereka yang menerima berbagai kemudahan dalam bidang usaha mereka. Kronisme, di mana tidak ada hubungan darah antara pelayan public dengan orangorang yang menerima berbagai kemudahan dalam bidang usaha mereka. Kelas baru, di mana mereka yang mengambil kebijakan dengan mereka yang menerima kemudahan khusus untuk usaha mereka, sudah menjadi satu kesatuan yang organinik, satu stratum (lapis) warga negara dan warga masyarakat yang bersama-sama memerintah satu negara. Korupsi lapis ketiga, adalah jaringan korupsi (corruption network) yang sudah terbentuk yang meliputi birokrat, politisi, aparat penegak hokum, aparat keamanan negara, perusahaan-perusahaan negara dan swasta tertentu, serta lembaga-lembaga hukum, pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan obyektif dan ilmiah terhadap apa yang merupakan kebijakan jaringan itu. Katakanlah semacam legitimator. Jaringan itu bisa berlingkup regional, nasional dan internasional. Tipologi korupsi berlapis tiga ini jauh lebih kompleks SEBAB-SEBAB TERJADINYA KORUPSI Menurut analisis Syed Hussain Alatas (1987:120), korupsi yang melanda segenap negara dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Perang Dunia II. Mengutip Laporan Komite Shantanam, ia mengatakan, peperangan yang meluas yang menguras pengeluaran pemerintah dalam jumlah besar untuk pengadaan dan persediaan system telah memberi peluang bagi korupsi. Bahkan di sebuah negara yang sedikit saja dipengaruhi oleh mobilitas seperti itu, misalnya Saudi Arabia, korupsi juga ada. Dalam hal Asia Tenggara, pendudukan Jepang menimbulkan korupsi yang membengkak secara mendadak. Kelangkaan barang dan makanan bersamaan dengan 3

inflasi yang tinggi karena lemahnya pengawasan pemerintah, menjadikan korupsi sebagai jalan menutup kekurangan pendapatan. Jelas bahwa situasi perang melahirkan masalah korupsi. Faktor lain yang ikut menyebabkan terjadinya korupsi adalah pemerintahan Kolonial. Korupsi terhadap pemerintahan Kolonial dianggap sebagai patriotic karena merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah. Contoh di India, semasa penjajahan Inggris, menipu pemerintah umumnya dianggap perbuatan patriotic. Mencopoti bola lampu dan perlangkapan lain di kereta api, melindungi para pelnggar hukum dari tangkapan polisi, semua itu dianggap sebagai perbuatan yang bertujuan agar pemerintahan Kolonial tidak merampas uang rakyat India. Setelah kemerdekaan pada tahun 1947, kebiasaan bersikap tidak jujur kepada pemerintah terus berlanjut. Demikian juga di Indonesia, mencuri dan merampas harta Kompeni Belanda dianggap pahlawan karena berarti menyelamtkan harta rakyat pribumi. Namun konyolnya, kebiasaan serupa masih berlangsung di saat pemerintahan dipegang orang pribumi sendiri. Sebab-sebab korupsi lainnya ialah bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal itu selanjutnya mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan. (Wertheim, 19970). Pengaruh koruptif masa perang, bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan cepat, bertambah luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi dibarengi dengan lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik menjadikan lahan subur bagi korupsi. Terhadap birokrasi yang rapuh itulah dunia usaha dan industri memperkenalkan metode semir. Padahal birokrasi itu sendiri sudah lama mengidap penyakit semir, apalagi ditambah rangsangan dari factor luar, maka semakin marak saja praktik korupsi berlangsung. Korupsi juga bisa disebabkan oleh system birokrasi patrimonial. Menurut Max Weber (1968), kelemahan jabatan patrimonial adalah terutama tidak mengenal perbedaan birokrasi antara lingkup pribadi dan lingkup dinas. Juga pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa. Dengan demikian tingkah laku kekuasaannya sama sekali bebas, tidak dibatasi norma-norma dan tradisi suci yang kukuh. Dalam masalah-masalah politik, hak penguasa menghilangkan batas yurisdiksi para pejabat. Batas-batas di antara berbagai fungsi jabatan sangat tipis. Menurut Weber, hal itu merupakan gambaran kekanak-kanakan orang Asia. Sedang dalam birokrasi modern, di Barat, pejabat mempunyai lingkup yurisdiksi, suatu jenis kegiatan yang teratur, dan seperangkat peraturan yang menata kegiatan birokrasi. Korupsi juga sering terjadi karena sikap solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah. Pemberian hadiah di kalangan birokrasi bahkan telah melembaga, meskipun pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan. Menurut penelitian Alatas (1987:132), bahwa korupsi bagaikan benalu yang merayap ke segenap lingkungan yang cocok untuk tumbuh, dan lingkungan yang paling subur untuk tempat tumbuhnya benalu itu adalah lembaga hadiah. Memang ada yang mengatakan bahwa hadiah dan suap itu berbeda seperti halnya perkawinan dan pelacuran. Meskipun secara lahiriah beberapa perilaku tertentu dari perkawinan dan pelacuran itu sama, tetapi secara fenomenologis keduanya berbeda. Dalam tinjauan fikih, hadiah itu ada tiga jenis. a. Hadiah yang halal bagi pemberi dan penerima; yaitu hadiah seseorang kepada orang lain demi terciptanya kasih sayang dan keakraban. Hendaknya kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai. (H.R. Ibnu Asakir). b. Hadiah yang halal bagi pemberi dan haram bagi penerima; contohnya, jika seseorang merasa takut dari orang lain lalu dia memberikan hadiah kepada orang yang ditakutinya dengan harapan mampu meredam perbuatan dzalimnya. Jika seseorang memberi 4

hadiah kepada orang yang berkompeten sebagai imbalan mencegah kedzaliman darinya atau untuk memberikan haknya yang pasti ditunaikan oleh penerima hadiah, maka hadiah itu haram bagi penerima dan halal bagi pemberi. (Ibnu Taimiyah, d alam Majmu Fatawa). c. Hadiah yang haram bagi keduanya; yaitu hadiah yang diberikan seseorang dengan harapan hajatnya akan dikabulkan. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan: Barang siapa yang memberikan hadiah kepada Waliyul Amr (Pejabat Pemerintah) untuk melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan, maka hadiah tersebut haram bagi pemberi dan penerima. (Majmu Fatawa). Korupsi juga terjadi karena lemahnya disiplin pemerintah dalam mengendalikan kekuasaan negara, yang menurut Gunnar Myrdal (1968), disebut sebagai negara yang lembek. Negara yang lembek ialah negara yang tidak memiliki disiplin sosial, di mana pemerintah menuntut sangat sedikit kepada warga negaranya, dan sedikit kewajiban yang tidak dilakukan secara memadai pula. Weber mengaitkan negara yang lembek dengan otak yang lembek. Otak yang lembek adalah otak yang kesadaran etisnya lemah, yang tidak berkemampuan memberlakukan sanksi etis, dan yang tidak mampu membedakan urusan pemerintahan dengan urusan pribadi. Mereka yang mengelola negara dengan lembek pastilah orang yang berotak lembek, seperti halnya orang-orang yang korup pastilah berpikir korup. Korupsi juga terjadi karena adanya anggapan bahwa korupsi itu baik dan bermanfaat. Ini kedengarannya berlebihan tetapi fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang berpandangan demikian. Sebut saja misalnya, Jose Velos Abueva, seorang ahli administrasi Filipina yang menulis artikel berjudul: The Corruption of Nepotism, Spoils and Graft to Political Development (1966), mengatakan bahwa: nepotisme, maupun pemberian jabatan dan keuntungan usaha berdasar pada koneksi politik, memberi sumbangan bagi segi-segi perkembangan politik tertentu, yakni kesatuan dan kemantapan politik, keikutsertaan rakyat dalam masalah pemerintahan, pengembangan sistem kepartaian yang sehat, hasil yang lebih baik dalam pemeliharaan politik dan prestasi administrasi birokrasi. (Lihat: Heidenheimer, 19970). Ada juga pihak yang menganggap adaya akibat-akibat positif dari korupsi. Bayley (1995:102110), mengemukakan sisi-sisi positif dari korupsi, antara lain mengatakan: (a) korupsi, baik berupa komisi maupun berupa pembayaran oleh seorang penyuap, mungkin berakibat semakin banyak jatah sumber-sumber masuk ke bidang penanaman modal dan tidak ke bidang konsumsi. Ini merupakan mekanisme penjatahan yang sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi. (b) kesempatan korupsi juga berguna untuk meningkatkan mutu para pegawai negeri. Korupsi sering dilakukan dengan motif memenuhi kebutuhan dasar. Maka orang-orang yang korup di sini bukanlah orang yang tanpa kemampuan. Di negara-negara sedang berkembang, korupsi diperlukan untuk menyesuaikan taraf-taraf kehidupan. (c) Korupsi membuka jalan untuk memperlunak kekerasan suatu rencana pembangunan ekonomi dan sosial suatu golongan elit. (d) di kalangan elit-elit politik, korupsi mungkin berlaku sebagai pelarut soal-soal ideologi atau kepentingan-kepentingan yang tak dapat disepakati. Nah, pandangan-pandangan seperti itulah yang menyebabkan korupsi akan tetap eksis. Korupsi terjadi karena kerakusan, kekejaman dan nafsu mengeruk keuntungan para penguasa yang mengenggam kekuasaan. Jadi dalam hal ini korupsi lebih disebabkan faktor kepribadian pemimpin. Tetapi faktor sosial, seperti pranata budaya, kemiskinan, penderitaan yang luar biasa, perubahan politik besar-besaran, peperangan, sistem hukum yang tidak sempurna; pengaruh yang berasal dari luar diri individu, semuanya bisa menjadi sebab-sebab terjadinya korupsi.

1.

2.

3.

4.

5.

6. 7. 8.

Abdullah Hehamahua, (2006) seorang Penasehat KPK mengatakan sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia ada 8: Sistem penyelenggaraan negara yang keliru, seharusnya prioritas pembangunan itu bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan difokuskan di bidang ekonomi. Padahal semua negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki uang, SDM dan teknologi. Konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi yang kedua, yaitu: Kompensasi PNS yang rendah. Disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi maka secara fisik dan kultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90% PNS melakukan KKN. Pejabat yang serakah. Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan kapitalistik mendorong para pejabat untuk menjadi kaya secara mendadak. Law enforcment tidak berjalan. Karena pejabat penegak hukumnya sendiri korup, bagaimana mungkin mereka akan menegakkan hukum yang itu berarti menghukum dirinya sendiri? Sehingga lahirlah plesetan: KUHP= Kasih Uang Habis Perkara, Ketuhanan yang Maha Esa, Keuangan yang Maka Kuasa. Hukum yang ringan terhadap koruptor. Aparat penegak hukum bisa dibeli mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Maka hukuman yang dijatuhkan pada koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulan efek jera bagi koruptor. Pengawasan yang tidak efektif. Tidak ada keteladanan pemimpin. Budaya masyarakat yang kondusif KKN. AKIBAT-AKIBAT BURUK KORUPSI Menurut David Bayley (1995), akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh sikap korup adalah sebagai berikut: Korupsi mengurangi efisiensi biaya penyelenggaraan negara karena banyaknya pos-pos anggaran yang digerogoti oleh para koruptor untuk keuntungan pribadi. Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi. Seberapa jauh pelipatgandaan biaya tambahan tergantung pada kemampuan pasaran. Orang-orang yang sekaligus menjadi wajib pajak dan dipaksa untuk memberi sogokan, menjadi berlipat ganda membayar untuk suatu jasa negara. Jika korupsi terjadi dalam bentuk komisi, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. Ini merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan. Contohnya, seorang pejabat pemerintah menyetujui suatu proyek atau kontrak dengan harga tertentu, tetapi menerima komisi 10% sebagai balas jasa penyetujuan kontrak tersebut, maka dana yang terpakai untuk kepentingan umum tinggal 90% karena yang 10% telah masuk ke keuntungan pribadi. Korupsi berpengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintah. Karena korupsi menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan akhlak merosot karena sebagian orang tidak lagi mengindahkannya. Korupsi menurunkan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah. Para ahli politik dan pegawai negeri adalah kelompok elit dalam suatu masyarakat. Kalau golongan elit saja bersikap korup, maka rakyat kecil pun tidak memliki alasan

1. 2.

3.

4.

5. 6.

untuk tidak melakukan apa saja yang membawa keuntungan bagi dirinya, sebab para elit yang dijadikan panutan toh juga demikian. 7. Keberanian yang laur biasa sukar didaptkan dari pemimpin-pemimpin yang korup. Sebab bagaimana mungkin mereka akan memperjuangkan kebenaran dan keadilan, sedangkan hal itu akan membatasi ruang geraknya sendiri untuk melakukan korupsi. 8. Korupsi menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang yang memberikan sogokan dan kurang keberpihakannya kepada kebenaran dan kepetingan masyarakat. 9. Korupsi bisa menimbulkan fitnah, dakwaan-dakwaan serta sakit hati yang mendalam. Sebab orang-orang yang tidak mau berbuat korupsi boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri sang koruptor yang sesungguhnya. 10. Korupsi mengakibatkan keputusan akan dipertimbangkan berdasarkan uang pelicin dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Roda organisasi perlu diminyaki dengan uang, tanpa pelumas itu roda birokrasi tidak akan berputar. Menurut catatan Abdullah Hehamahua (2004), seorang penasehat KPK, bahwa pelaku korupsi di Indonesia adalah 90% Pegawai Negeri. Fakta ini sama dengan apa yang terjadi di Hongkong sekitar 30 tahun yang lalu, (untuk menyebut satu pembanding), di mana pelaku korupsi di negeri itu juga 90% aparat negara mulai dari atas sampai yang paling bawah. Mulai pejabat kementerian sampai petugas di kampung-kampung melakukannya, sedang sisanya 10% dilakukan oleh swasta. (Dahlan Iskan, 2006). Tetapi Hongkong telah melakukan pemberantasan korupsi secara sistematis, sehingga hasilnya bukan saja sistem kenegaraan dan kemasyarakatan yang bersih, tetapi juga kemajuan ekonomi yang luar biasa. Sehingga Hongkong telah menjadi salah satu negara yang dinilai paling berhasil memberantas korupsi. (Lihat: Transpancy Internasional, 2006). Tetapi Indonesia, sampai saat ini masih memprihatinkan. Menurut laporan Dato Param Cumaraswamy, pelapor khusus PBB, yang menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia (mengambil kasus di pengadilan), adalah salah satu yang terburuk di dunia yang mungkin hanya bisa disamai Meksiko. Korupsi di Indonesia memperoleh skor 8,03 dari skala 1 sampai 10, dimana yang mendapat skor 1 adalah yang terbaik dan yang mendapat skor 10 adalah yang terburuk. Skor ini tepat berada di atas Filipina yang memperoleh angka 9,40 dan sama dengan Thailand yang juga mendapat skor 8,03. Data tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. (KPK, 2007). Pantas saja kalau Mundzar Fahman (2004) mengatakan bahwa Indonesia selalu menjadi juara bertahan dalam melakukan korupsi. STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI Menurut Andi Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi bisa disusun dalam tigas tindakan terprogram, yaitu Prevention, Public Education dan Punishment. Prevention ialah pencerahan untuk pencegahan; Publik Education, yaitu pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi dan Punishment, adalah pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi. 1. Strategi Preventif: Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi, Uneted Nations Convention Against Corruption (UNCAC), menyepakati langkah-langkah untuk mencegah terjadinya korupsi. Masingmasing negara setuju untuk: ...mengembangkan dan menjalankan kebijaksanaan antikorupsi terkoordinasi dengan mempromosikan partisipasi masyarakat dan menunjukkan 7

prinsip-prinsip supremasi hukum, manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik, integritas, transparan, dan akuntable, ... saling bekerjasama untuk mengembangkan langkah-langkah yang efektif untuk pemberantasan korupsi. Sebagai upaya pencegahan korupsi, Konvensi menegaskan tujuannya yaitu, (a) mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna mencegahdan memerangki korupsi secara lebih efisien dan efektif; (b) untuk mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi termasuk dalam pemulihan aset; (c) Untuk mempromosikan integritas, akuntabilitas dan manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik. Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah preventif terhadap korupsi dapat dilakukan dengan cara: (a) Penguatan fungsi dan peran lembaga legislatif; (b) Penguatan peran dan fungsi lembaga peradilan; (c) Membangun Kode Etik di sektor publik; sektor Parpol, Organisasi Politik, dan Asosiasi Bisnis; (d) Mengkaji sebabsebab terjadinya korupsi secara berkelanjutan; (e) Penyempurnaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri; (f) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemetintah; (g) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen; (h) Penyempurnaan manajamen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN); (i) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; (j) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional. 2. Public Education Public education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu digalakkan untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan anti-korupsi ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama, budaya, sosioal, ekonomi, etika, dsb. Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua: (a). Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur pemerintah. Misalnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memasukkan materi Percepatan Pemberantasan Korupsi bagi Peserta Diklat Prajabatan Ex. Honorer. (Lihat: Peraturan Kepala LAN/5/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala LAN/2/2007 tetang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Prajabatan CPNS yang diangkat dari Tenaga Honorer). Usaha semacam itu sangat baik, tetapi amat disayangkan, mengapa hanya peserta Pajabatan ex. Honorer yang mendapatkan materi pemberantasan korupsi? Bukankah pelaku korupsi, sebagaimana telah dijelaskan di muka, adalah 90% PNS? Penulis berpendapat, hendaknya materi Percepatan Pemberantasan Korupsi diberikan bukan hanya kepada CPNS Ex. Honorer, tetapi juga CPNS reguler, dan lebih-lebih kepada PNS yang sudah menduduki jabatan. Maka LAN harus lebih inovatif dalam mendesain pembelajaran dan memasukkan mata diklat Percepatan Pemberantasan Korupsi pada diklat-diklat aparatur. (b) Public education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-lembaga keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu dilakukan untuk meningkatkan moral anti korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi konsep-konsep seperti kantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biayabiaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi. 3. Strategi Punishment: Strategi punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki dasar hukum pemberantasan korupsi paling banyak, mulai dari peraturan perundang-undangan yang 8

1. 2.

3. 4. 5. 6.

7. 8.

9.

lahir sebelum era eformasi sampai dengan produk hukum era reformasi; tetapi pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri ini. Saya menyebutkan beberapa saja dari sekian banyak dasar hukum anti-korupsi yang pernah ada di Indonesia. Antara lain TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Berwibawa dan Bebas KKN, UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN; UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; dan lain-lain. Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan anti-korupsi yang ada, salah satu yang paling populer barangkali UU Nomor 30/2002 tentang KPK. KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Tugas-tugas KPK adalah sebagai berikut: (a) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelengaraan pemerintahan negara. Selain itu terdapat beberapa peraturan pelaksana yang mengatur tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, kedudukan Protokol, dan perlindungan Keamanan Pimpinan komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretaris Jerdral Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang ada tersebut, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan efektif jika tidak ada komitmen yang kuat, tulus dan ikhlas dari pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Korupsi telah menjadi endemy yang sudah mengurat-mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. (Mohon maaf kepada para Budayawan yang kurang sependapat dengan penisbatan istilah budaya di sini). Oleh karena itu usaha pemberantasan korupsi memerlukan komitmen yang kuat, ikhlas dan tulus dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Tanpa komitmen itu, usaha pemberantasan korupsi akan jalan di tempat. Kegagalan gerakan anti korupsi di berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan, komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Hal itulah yang kemudian menimbulkan sikap skeptis masyarakat. Masyarakat di lapis bawah akan meniru apa yang dilakukan oleh para birokrat di level yang lebih tinggi. 2. Rekomendasi Sekurang-kurangnya, terdapat lima macam kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, penegak hukum dan masyarakat untuk memberantas korupsi secara efektif: a. Mengubah kebijakan publik atau kebijakan administratif penyelenggaraan negara yang mendorong orang untuk berbuat korup. Seperti dengan menyederhanakan prosedur administrasi pelayanan publik; memotong rantai pungli; menata kembali sistem administrasi akuntabilitas keuangan yang selama ini hanya dilihat dari adanya hitam di atas putih. Padahal yang ada hitam di atas putih-nya belum tentu semua benar. b. Menata kembali struktur penggajian dan insentif yang berlaku pada lembagalembaga pemerintah dengan menaikkan gaji pegawai. c. Mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan penegakan hukum (law enforcement) dan memperkuat rule of law. Harus ada kerjasama yang sinergis antara lembaga penegak hukum, seperti Polri, Lembaga Peradilan, dan KPK. d. Memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan, dengan cara: pertama, memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga dan mekanisme kontrol bisa berfungsi baik. Ini memerlukan reformasi struktur politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan publik untuk dapat melakukan kontrol. Fungsi ini dapat dijalankan melalui kebebasan pers dan transparansi pemerintah dan birokrasi dalam proses pengambilan keputusan. e. Meningkatkan moralitas antikorupsi melalui public education baik secara formal melalui diklat-diklat antikorupsi kepada aparaur pemerintah, maupun secara nonformal oleh tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat serta melalui publikasi dan promosi antikorupsi.[]

DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, George Junus, Korupsi kepresidenan; Reproduksi oligarki berkaki tiga,

10

istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: Elkis, 2006. Alatas, S.H., Korupsi: sifat, sebab dan fungsi; Penerjemah, Nirwono, Jakarta: LP3ES, 1987. Bayley, David H., Akibat-akibat korupsi pada bangsa-bangsa sedang berkembang, dalam Bunga rampai korupsi; Penyunting, Muchtar Lubis dan James C. Scott., Jakarta: LP3ES, 1995. Baderani, H., Percepatan pemberantasan korupsi: Bahan ajar diklat Prajabatan Golongan III Ex. Honorer. Banjarbaru: Badan Pendidikan dan pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007. Fahman, Mundzar, Kiai dan korupsi: Adil rakyat, Kiai dan Pejabat dalam korupsi. Surabaya: Jawa Pos Press, 2004. Gunawan, Ilham., Postur korupsi di Indonesia: Tinjauan yuridis, sosiologis, budaya dan politis. Bandung: Angkasa, 1993. Hamzah, Jur. Andi., Pemberantasan korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Hehaahua, Abdullah., Pemberantasan Korupsi Harus Simultan, Kata Pengentar, dalam Rafi, Abu Fida Abdur., Terapi penyakit korupsi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Jakarta: Republika, 2004. Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. -------, Undang-Undang RI Nomor 201 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. -------, Undang-Undang RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Johnston, Michael., Konsekuensi politik dari korupsi: suatu penilaian kembali, dalam Korupsi politik; Penyunting, Mochtar Lubis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. Klitgaard, Robert., Membasmi korupsi; Penerjemah, Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Lembaga Administrasi Negara, Percepatan pemberantasan korupsi: Modul diklat Prajabatan Gol. III Eks Honorer. Jakarta: LAN, 2007. Maheka, Arya. Mengenali dan memberantas korupsi. Jakarta: KPK, (t.t.). McWalters, SC. Memerangi korupsi: sebuah peta jalan unutk Indonesia; Penerjemah, Joko Pitono, Nurul Retno Hapsari, Yenny Arghanty. Surabaya: JPBooks, 2006.[]

11

Anda mungkin juga menyukai