Anda di halaman 1dari 12

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN


(Artificial Insemination Using Sexing of Semen After Freezing)
TRINIL SUSILAWATI
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang

ABSTRACT Alternative method for separating of XY Spermatozoa need to look for the method which cheap, easy and can be applicable for artificial insemination. Sexing using centrifugation Gradient Percoll, Sephadex Filtration and White Egg Yolk were the alternative methods. The purpose of this research were (1) to find the best diluter for sexing; (2) to know the quality of frozen spermatozoa of sexing sperm using three methods; (3) to find the fertility of cow after insemination with sexing sperm produced from three methods. The product that can be received were (1) TCM 119 + egg yolk is the best diluter for sexing; (2) quality of sexing sperms after frozen have motility 1020% and reversible for artificial insemination with double straw; (3) 80% of cows were pregnant after insemination using frozen sexing sperms obtained from those three methods. Key words: X-Y spermatozoa, sexing sperm ABSTRAK Metode alternative untuk pemisahan spermatozoa X-Y (sexing) adalah menghasilkan metode yang murah, mudah dan dapat diaplikasikan untuk inseminasi buatan (IB). Sexing menggunakan metode sentrifugasi gradient densitas Percoll, filtrasi sephadex dan putih telur adalah alternatifnya. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mencari pengencer terbaik untuk sexing (2) untuk mengetahi kualitas spermatozoa setelah pembekuan pada spermatozoa hasil sexing dengan menggunakan 3 metode (3) untuk mengetahui fertilitas sapi setelah di IB dengan semen beku hasil sexing menggunakan 3 metode. Hasil yang didapatkan adalah (1) TCM 199 + kuning telur adalah pengencer yang terbaik untuk sexing (2) kualitas spermatozoa setelah sexing setelah pembekuan mempunyai motilitas 10-20% dan dapat digunakan untuk IB dengan doble dosis (3) 80% betina berhasil bunting setelah di IB dengan semen sexing dengan 3 metode. Kata kunci: Spermatozoa X-Y, pemisahan sperma

PENDAHULUAN Inseminasi Buatan merupakan teknologi reproduksi ternak yang paling berhasil dan diterima secara luas oleh peternak, karena biaya relatif murah dan terjangkau serta merupakan sarana yang efektif untuk menyebarluaskan bibit unggul (SOEHADJI, 1995; TAPPA, 1996). Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan IB adalah meningkatkan kinerja dan potensi ternak, mempermudah tes progeni dan meningkatkan jumlah keturunan dari pejantan yang telah terbukti mempunyai sifat baik untuk produksi yang diinginkan (HUNTER, 1995). Inseminasi buatan dapat ditingkatkan nilai tambahnya bila didukung oleh pengembangan

bioteknologi di bidang reproduksi. Hal ini dapat berguna untuk mendapatkan pedet dengan jenis kelamin yang diharapkan. Jenis kelamin ditentukan oleh adanya kromosom X dan Y pada spermatozoa pejantan (GARNER dan HAFEZ, 1993). Spermatozoa berkromosom X, jika membuahi sel telur akan menghasilkan embrio betina. Sedangkan spermatozoa berkromosom Y, akan menghasilkan embrio jantan (SUSILAWATI et al., 1999). Spermatozoa X dan Y masing-masing berbeda dalam ukuran dan bentuk spermatozoa, berat, densitas, motilitas, muatan dan kandungan biokimia pada permukaannya (HAFEZ, 1993). Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan spermatozoa X dan Y memungkinkan untuk dipisahkan.

195

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Berbagai metode pemisahan spermatozoa X dan Y telah banyak dilakukan. Metode pemisahan tersebut antara lain yaitu sedimentasi, albumin column, sentrifugasi gradien densitas, elektroforesis, H-Y antigen, flow cytometry dan filtrasi dengan Sephadex 1993). Pemisahan column (HAFEZ, spermatozoa dengan filtrasi Sephadex column mudah dihasilkan dan diaplikasikan dan dapat menghasilkan spermatozoa X 7075% (HAFEZ, 1993). SUSILAWATI et al. (1996), telah melakukan filtrasi spermatozoa menggunakan Sephadex G-200 dan sentrifugasi gradien densitas percoll. Pada lapisan bawah dapat menghasilkan spermatozoa X sebanyak 86%, sedangkan dengan sentrifugasi gradien densitas percoll pada bagian atas adalah Y dan bagian bawah spermatozoa X sebanyak 89%, metode tersebut berpeluang untuk dikembangkan. Spermatozoa hasil filtrasi Sephadex G-200 dan sentrifugasi gradien densitas percoll dapat digunakan lebih luas dan dalam jangka waktu lama apabila semen tersebut dibekukan. Selama proses pembekuan semen, dibutuhkan krioprotektan untuk mempertahankan kualitas spermatozoa. Krioprotektan tersebut adalah kuning telur yang berperan saat pendinginan dan gliserol yang berperan saat pembekuan. Selain metode tersebut di atas, maka masih perlu dicari bahan yang dapat digunakan untuk pemisahan spermatozoa X dan Y yang mudah didapat dan murah sehingga memungkinkan untuk diaplikasikan di lapangan. Juga dicari metode Inseminasi Buatan yang mendapatkan keberhasilan kebuntingan tinggi dan jenis kelamin anak yang didapatkan sesuai harapan. Tujuan Penelitian: 1) Mengetahui keberhasilan pembekuan spermatozoa hasil sexing dengan metode menggunakan putih telur. 2) Mengetahui tingkat keberhasilan kebuntingan dan ketepatan jenis kelamin anak yang dihasilkan dari sapi hasil IB dengan semen beku hasil sexing menggunakan filtrasi sephadex G-200 dan gradien putih telur. Manfaat Penelitian: 1) Mendapatkan teknologi pembekuan spermatozoa hasil sexing menggunakan gradien putih telur dengan kualitas semen yang baik. 2). Menghasilkan teknik IB yang menghasilkan keberhasilan kebuntingan yang tinggi dan jenis kelamin sesuai harapan.

METODOLOGI PENELITIAN Pemecahan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menjabarkan kegiatan secara terinci yang terdiri dari dua tahap penelitian atau dua tahun. Penelitian dilaksanakan di dalam laboratorium dan di peternakan rakyat yang meliputi: 1. Pembekuan spermatozoa hasil seleksi jenis kelamin dengan putih telur. 2. Inseminasi Buatan dengan menggunakan semen hasil sexing menggunakan filtrasi sephadex, sentrifugasi gradien densitas percoll dan gradien putih telur dengan pengaturan waktu dan disposisi semen. Secara rinci kegiatan penelitian tersebut dibagi dalam beberapa percobaan: Pembekuan hasil seleksi jenis kelamin spermatozoa menggunakan gradien putih telur Percobaan ini adalah pembekuan spermatozoa hasil seleksi jenis kelamin dengan menggunakan gradien putih telur. Medium pengencer yang digunakan adalah Tris aminomethan kuning telur dan 10% serum dalam TCM 199 + kuning telur. Masingmasing dengan 10 kali ulangan. Uji kualitas spermatozoa meliputi: Motilitas individu, Viabilitas dan total spermatozoa yang motil. a. Prosedur penelitian Percobaan ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: (a) Persiapan Persiapan alat yaitu semua alat-alat yang terbuat dari kaca/gelas semua dicuci dan disterilkan dengan cara direbus dengan air mendidih kemudian dikeringkan. Persiapan bahan yang dibuat sebelum percobaan meliputi: Pengencer Tris Aminomethane Kuning Telur, PBS Dulbeccos, NaCl 3%, Eosin-Negrosin,

196

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

dan pembuatan medium (gradien putih telur).

pemisah

(b) Pelaksanaan pemisahan spermatozoa Proses pemisahan spermatozoa X dan Y seperti pada Gambar 1.

Persiapan pemisahan meliputi penampungan semen, pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen segar.
2 ml 30% putih telur dalam pengencer Tris Aminomethane Kuning Telur dimasukan ke dalam tabung reaksi

1 ml Semen segar dengan motilitas diatas 70 persen

Dimasukan di atasnya 2 ml 10% putih telur dalam pengencer Tris Aminomethane Kuning Telur

1 ml semen dimasukan ke dalam tabung reaksi yang berisi putih telur dan dibiarkan selama waktu inkubasi yang dibutuhkan 20 menit pada suhu 5C

Tiap tabung, fraksi atas diambil 2 ml, fraksi tengah 1 ml dibuang dan diambil 2 ml fraksi bawah. Masing-masing fraksi dimasukan tabung yang berisi PBSDulbecos

Sentrifugasi 1500 rpm 5 menit

Supernatannya dibuang, uji kualitas dan identifikasi spermatozoa X dan Y

Gambar 1. Prosedur sexing dengan putih telur

197

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Semen hasil sexing

Pendinginan: masukkan semen ke dalam cool tub. Diturunkan suhu sampai 5C ( 1 jam) Gliserolisasi

Penambahan gliserol (diluter B) dengan 3 tahap masing-masing 2 tahap berselang waktu 15 menit (total 30 menit)

Pencetakan

Pengemasan ke dalam mini straw dilakukan di dalam Cool tub 5oC

Equilibrasi

Proses adaptasi spermatozoa tehadap pengencer (13 jam) pada cool tub 5oC (2 jam)

Pre Freezing

Straw yang telah dikemas, diatur di atas rak kemudian dimasukkan ke dalam uap Nitrogen cair (2-4 cm di atas Nitrogen cair) selama 9 menit

Freezing Straw dimasukkan (direndam) dalam nitrogen cair (2 X 24 jam)

Uji PTM (Post Thawing Motility) Gambar 2. Proses pembekuan semen hasil sexing

198

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

b. Variabel pengamatan Untuk mengetahui persentase spermatozoa Y dan kualitas spermatozoa hasil pemisahan, maka dilakukan pengamatan pada semen segar dan semen setelah pemisahan dengan putih telur terhadap variabel pengamatan yaitu: Persentase spermatozoa Y Spermatozoa yang mempunyai besar kepala (panjang x lebar) sama dengan atau lebih kecil dari rata-rata besar kepala pada 1000 spermatozoa. Motilitas individu spermatozoa Persentase spermatozoa yang bergerak lurus ke depan dari 200 spermatozoa (BEARDEN dan FUQUAY, 1984). Persentase hidup spermatozoa Persentase spermatozoa yang tidak menyerap warna Eosin-Negrosin (jernih) dari 200 spermatozoa. Konsentrasi spermatozoa Jumlah spermatozoa tiap mililiter semen, dihitung dengan menggunakan haemocytometer. c. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga perlakuan dengan 10 ulangan sebagai kelompok dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Uji IB pada sapi dengan menggunakan semen hasil sexing menggunakan metode gradien putih telur dan Filtrasi sephadex dan disposisi semen Tahap pertama dilakukan seleksi betina yang akan digunakan yaitu yang pernah beranak. Hal ini untuk mengetahui bahwa sapi tersebut tidak ada gangguan reproduksi, kemudian dilakukan Inseminasi Buatan sesuai

perlakuan yang ditentukan. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan dua metode percobaan: 1. Sapi Kontrol adalah sapi dengan BCS diatas 4 dan di IB menggunakan semen tanpa sexing setelah dibekukan, jumlah Induk yang di IB sebanyak 10 ekor. 2. Sapi dengan BCS diatas 4 di IB dengan semen hasil sexing menggunakan filtrasi sephadex pada posisi 4 (diharapkan anak betina) sebanyak 10 ekor. 3. Sapi dengan BCS diatas 4 di IB dengan semen hasil sexing dengan populasi spermatozoa Y menggunakan metode gradien putih telur pada posisi 4+ (diharapkan anak jantan). 4. Sapi dengan BCS diatas 4 di IB dengan semen hasil sexing dengan populasi spermatozoa X menggunakan metode gradien putih telur pada posisi 4 (diharapkan anak betina). HASIL DAN PEMBAHASAN Pembekuan hasil seleksi jenis kelamin spermatozoa menggunakan gradien putih telur Persentase Motilitas spermatozoa setelah pembekuan Spermatozoa yang sebelumnya di lakukan pemisahan, dilanjutkan penelitian pembekuan semen hasil pemisahan, untuk itu melalui tahapan sebelum dibekukan dan setelah di thawing (dicairkan kembali). Spermatozoa yang diambil adalah pada lapisan atas dan laposan bawah, sedangkan sebagai kontrol adalah semen tanpa pemisahan. Persentase motilitas spermatozoa yang didapat pada sebelum pembekuan maupun semen hasil pemisahan pada lapisan atas dan bawah menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05), hasil rataannya terdapat pada Tabel 1. Dari data tersebut menunjukkan bahwa spermatozoa hasil sexing menggunakan putih telur masih mampu mempertahankan hidupnya setelah pembekuan. Persentase motilitas spermatozoa hasil pembekuan tersebut menunjukkan bahwa spermatozoa tersebut

199

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

dapat digunakan sebagai inseminasi buatan, karena syarat dari semen beku yang digunakan untuk inseminasi buatan adalah sekitar 40%.
Tabel 1. Rata-rata persentase motilitas spermatozoa lapisan atas dan bawah, serta semen tanpa pemisahan sebelum pembekuan dan setelah pencairan kembali Sebelum pembekuan Tanpa pemisahan Fraksi atas Fraksi bawah 52 5,37 50,5 5,99 50 4,71 Setelah pencairan kembali 41 3,16 38 5,87 40 6,67

Konsentrasi spermatozoa pada lapisan atas dan bawah Konsentrasi spermatozoa hasil sexing terjadi penurunan, karena saat pemisahan yang diambil hanyalah pada bagian yang proporsi spermatozoa X atau Y nya tinggi.
Tabel 3. Rata-rata konsentrasi spermatozoa lapisan atas dan bawah, serta semen tanpa pemisahan sebelum pembekuan dan setelah pencairan kembali (juta) Sebelum pembekuan dan Setelah pencairan kembali Tanpa pemisahan Fraksi atas Fraksi bawah 143,5 10,01b 60,8 34,63a 73,8 43,09a

Tingginya persentase motilitas spermatozoa hasil pemisahan menggunakan metode putih telur tersebut menunjukkan bahwa, tidak terjadi kerusakan struktur membran sehingga proses metabolisme spermatozoa tidak terganggu. Persentase hidup spermatozoa setelah pembekuan Persentase hidup spermatozoa pada proses pembekuan pada Tabel 2, yaitu saat sebelum pembekuan tanpa pemisahan sedikit lebih tinggi daripada spermatozoa hasil pemisahan, sedangkan yang lapisan atas lebih rendah daripada lapisan bawah, pola tersebut sama juga dengan setelah pencairan kembali.
Tabel 2. Rata-rata persentase hidup spermatozoa lapisan atas dan bawah, serta semen tanpa pemisahan sebelum pembekuan dan setelah pencairan kembali Sebelum pembekuan Tanpa pemisahan Fraksi atas Fraksi bawah 94,28 1,74b 85,91 6,04a 90,87 6,33ab Setelah pencairan kembali 69,15 6,83b 54,43 12,46b 63,43 4,42ab

Sebelum pembekuan dan setelah pencairan kembali (P<0,01)

Total spermatozoa motil setelah pembekuan Pada proses Fertilisasi dibutuhkan spermatozoa yang motil dalam jumlah sekitar 10.000.000 spermatozoa, maka syarat dari spermatozoa beku sebagai standard IB adalah 25 juta spermatozoa per straw, dengan motilitas 40%. Pada penelitian ini didapatkan spermatozoa yang motil sebesar 5,776.000 spermatozoa/straw pada lapisan atas. Sedangkan pada lapisan bawah adalah 7.380.000 spermatozoa/straw. Hasil dari total spermatozoa yang motil tersebut, maka direkomendasikan inseminasi buatan dengan dobel dosis. Uji keberhasilan kebuntingan Uji keberhasilan kebuntingan pada semen beku tanpa sexing Sapi yang di IB mempunyai tanda-tanda berahi yang jelas dengan posisi IB 4+, hal ini karena pada penelitian terdahulu menunjukkan keberhasilan kebuntingan yang tinggi pada posisi IB 4+. Evaluasi keberhasilan dengan cara NRR 1, 2 dan 3 juga palpasi per rektal

Persentase hidup kontrol dan hasil pemisahan setelah diuji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

200

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

pada bulan kedua. Dari 10 ekor sapi betina, hanya satu yang menunjukkan tanda-tanda berahi pada hari ke 63 (NRR ke 3, sehingga dilakukan pengulangan IB. Setelah dua bulan dilakukan palpasi perrectal untuk memastikan kebuntingannya hasilnya ada satu yang negatif seperti yang tertera pada Tabel 4. Uji keberhasilan kebuntingan spermatozoa X hasil filtrasi sephadex Hasil Inseminasi Buatan dengan semen hasil sexing setelah pembekuan hasilnya adalah 90% bunting seperti dalam tabel 10. Hal ini karena semen beku tersebut mempunyai

motilitas yang sudah sesuai dengan syarat minimal untuk Inseminasi Buatan, sedangkan konsentrasinya yang kurang tersebut maka untuk IB menggunakan dobel dosis yang diletakkan pada kornua uteri sebelah kanan dan sebelah kiri, hal ini dilakukan agar total spermatozoa yang motil bisa mencukupi untuk kebutuhan didalam memfertilisasi oosit saat di dalam oviduk. Disposisi semen pada posisi 4 disebabkan direncanakan adalah anak yang dihasilkan adalah betina. Dari hasil yang lalu menjukkan keberhasilan didapatkan anak betina yang banyak pada posisi 4 tanpa menggunakan semen sexing.

Tabel 4. Keberhasilan kebuntingan pada semen beku tanpa sexing No sapi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Keadaan birahi 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ Posisi IB I 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ + + + + + + + + + + NRR II + + + + + + + + + + III + + + + + + + + + 12-07-02 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (-) 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (+) 4-08-2002 (+) 4-09.2002 (+) IB ulang PKB

+ = Bunting; - = Tidak bunting Tabel 5. Keberhasilan kebuntingan pada spermatozoa X beku hasil filtrasi Sephadex G-200 No sapi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Keadaan Birahi 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ Posisi IB I 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 + + + + + + + + + + NRR II + + + + + + + + + + III + + + + + + + + + + 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (-) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (-) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) IB Ulang PKB

+ = Bunting; - = Tidak bunting

201

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Uji keberhasilan kebuntingan spermatozoa Y hasil sexing dengan gradien putih telur Keberhasilan kebuntingan pada penelitian ini adalah 80%, akan tetapi ada 4 ekor yang harus dikawin ulang, karena pada NRR 2 dan 3 terjadi munculnya tanda-tanda berahi. Kegagalan kebuntingan memang banyak sebab misalnya teknik IB, deteksi berahi dan kualitas semennya sendiri. Ditinjau dari keadaan berahinya maka tanda-tanda berahinya adalah bagus dengan kode 3+, sedangkan teknik IB nya juga benar, hal ini sebagai bukti pada semen sexing kebuntingan tinggi, sedangkan inseminator yang digunakan adalah seorang, sehingga penyebabnya adalah kualitas semennya. Rendahnya kualitas semen bukannya karena rendanya kualitas semen yang disebabkan oleh proses sexing atau pendinginan dan pembekuannya, akan tetapi karena proses pengemasannya yang kurang bagus, hal ini banyak dijumpai straw yang terbuka sehingga setelah dicek ulang motilitasnya hanya sekitar 20%, rendahnya kualitas ini yang menyebabkan kebuntingannya turun. Uji keberhasilan kebuntingan spermatozoa X hasil sexing dengan gradien putih telur IB dengan menggunakan semen sexing dengan menggunakan putih telur pada lapisan atas yang mempunyai populasi spermatozoa X, telah berhasil memberikan kebuntingan

sebanyak 80%. Tampaknya antara spermatozoa X dan Y tidak terdapat perbedaan, yang menyebabkan masalah adalah pengemasan di dalam strawnya, sehingga banyak straw yang rusak, dengan demikian menyebabkan penurunan Motilitas. Dalam penelitian ini menggunakan teknik Deep Inseminasion yaitu melakukan IB pada posisi di dalam uterus dan melihat hasilnya pada semen sexing beku maupun yang bukan sexing menghasilkan kebuntingan yang tinggi, walaupun hasil evaluasi motilitas spermatozoa hanya sekitar 3040%. Sehingga dapat dikatakan bahwa IB dengan sexing tidak menjadi kendala keberhasilan kebuntingannya, sehingga memungkinkan untuk diaplikasikan di masyarakat. Keberhasilan kebuntingan IB semen sexing dengan putih telur Deteksi kebuntingan dapat dilakukan dengan beberapa cara namun yang sering digunakan adalah dengan Non Return Rate (NRR) yakni suatu indikator ternak tidak menunjukkan berahi lagi setelah di IB dalam waktu 2060 hari atau 6090 hari. NRR yang digunakan dalam penelitian ini adalah NRR 21, 42, 63 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat TOELIHERE (1985) bahwa NRR 21, 41, 63 hari merupakan suatu perbandingan jumlah sapi PO yang di IB dengan jumlah sapi PO yang minta di IB lagi dalam periode tersebut. Hasil NRR 21, 42, 63 hari dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 6. Keberhasilan kebuntingan pada spermatozoa Y beku hasil sexing dengan gradien putih telur No sapi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Keadaan birahi 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+

Posisi IB
I 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ + + + + + + + + + +

NRR
II + + + + + + + + + III + + + + + + +

IB Ulang
18-06-2002 28-06-2002 30-05-2002 30-06-2002 -

PKB
04-08-02 (+) 04-08-02 (+) 04-08-02 () 04-08-02 (+) 04-08-02 (+) 04-08-02 (+)

16-08-02 (+)
04-08-02 (+) 04-08-02 () 04-08-02 (+)

+ = Bunting; = Tidak bunting

202

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Tabel 7. Keberhasilan kebuntingan pada spermatozoa X beku hasil sexing dengan Gradien putih telur No. Sapi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Keadaan Birahi 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+ 3A+

Posisi IB
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

NRR
I + + + + + + + + II + + III + +

IB Ulang 02-05-02 02-05-02 27-05-02 08-05-02 08-05-02 04-07-02 11-07-02

PKB
04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (-) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (+) 04-08-2002 (-)

+ = Bunting; - = Tidak bunting

Tabel 8. Evaluasi keberhasilan kebuntingan menggunakan metode NRR 21, 42, 63 hari Semen Spermatozoa Y Spermatozoa X Beku/kontrol Jumlah (ekor) 21 10 10 10 100 40 100 NRR (%) 42 90 30 100 63 70 20 90

Pengukuran keberhasilan kebuntingan dengan NRR 21, 42, 63 hari berpedoman pada asumsi sapi PO yang tidak kembali berahi lagi atau Non Return Rate dianggap telah bunting setelah di IB. Dari hasil Tabel 8 memperlihatkan bahwa sapi PO yang di IB berjumlah 30 ekor. IB menggunakan spermatozoa Y 10 ekor didapatkan NRR 21 hari 100% ternak bunting, NRR 42 hari didapatkan 90% ternak bunting dan NRR 63 hari didapatkan 70% ternak bunting. Sedangkan IB yang menggunakan spermatozoa X berjumlah 10 ekor didapatkan NRR 21 hari 40% ternak bunting, NRR 42 hari didapatkan 30% ternak bunting dan NRR 63 hari didapatkan 20% ternak bunting. IB yang menggunakan spermatozoa Y pada NRR 42 hari terdapat 1 ekor sapi PO yang menunjukkan berahi lagi. Hal ini disebabkan sapi terpeleset dan jatuh saat naik ke tempat pakan, dimana faktor ini menjadi penyebab kegagalan kebuntingan. Faktor nutrisi dapat juga sebagai faktor timbulnya berahi lagi. NRR

63 hari terdapat 3 ekor sapi yang menunjukkan tanda-tanda berahi lagi. Hal ini dimungkinkan terjadinya abortus dan faktor pakan dimana selama pengamatan terhadap pakan yang diberikan kurang dalam hal kandungan nutrisi. BEARDEN dan FUQUAY (1989) mengungkapkan bahwa sapi yang bunting dapat mengalami kematian embrio, abortus, mumificatio foetus dan faktor nutrisi dimana kekurangan protein dalam ransum ternak betina dapat mengakibatkan timbulnya berahi yang lemah, kawin berulang, kematian embrio dini dan absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus. Kemungkinan lain disebabkan terjadinya berahi lagi meskipun ternak sedang bunting. Pengamatan NRR setelah IB menggunakan spermatozoa X hasilnya lebih rendah daripada IB dengan spermatozoa Y. NRR 21 hari didapatkan 40% ternak yang bunting, NRR 42 hari didapatkan 30% ternak bunting dan NRR 63 hari didapatkan 20% ternak bunting. Faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan tersebut kemungkinan dikarenakan abortus dan mutu

203

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

pakan yang diberikan pada sapi PO bunting kekurangan energi, vitamin, mineral dan protein sehingga dapat mengakibatkan anestrus, kondisi lingkungan dimana sanitasi kandang kurang baik. Kemungkinan lain yang terjadi disebabkan ternak berahi lagi meskipun sedang bunting. HARDJOPRAJOTO (1995) menyatakan bahwa kawin berulang dapat terjadi pada ternak betina yang masih dara atau induk yang sudah beberapa kali dikawinkan dan 3-5% ternak yang bunting menunjukkan kemunculan berahi lagi, hal ini disebabkan ada kelainan dalam sistem hormonal. Diagnosa kebuntingan setelah pengamatan NRR yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode palpasi rektal. Palpasi rektal dilakukan pada umur kebuntingan 90 hari (3 bulan), hal ini merupakan cara yang paling cepat dan mudah dilakukan dalam deteksi kebuntingan. Palpasi rektal pada 3540 hari kebuntingan lebih membutuhkan kemahiran pada fase berikutnya namun demikian bila ketepatan hasil yang diperoleh pada fase ini, maka akan memberikan nilai ekonomis yang lebih tinggi. Hasil pemeriksaan kebuntingan umur 3 bulan didapatkan 8 ekor (80%) sapi bunting dari 10 ekor yang di IB dengan semen beku sexing (spermatozoa Y), untuk sapi yang di IB dengan semen beku sexing (spermatozoa X) didapatkan 8 ekor (80%) sapi yang bunting dari 10 ekor sapi. Untuk mengetahui keberhasilan kebuntingan ini adanya suatu kontrol yaitu digunakan 10 ekor sapi yang di IB menggunakan semen beku tanpa sexing didapatkan hasil 9 ekor (90%) ternak bunting. Hasil analisa data dengan uji Chi-Square (2) menunjukkan bahwa keberhasilan kebuntingan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode gradien putih telur dan IB menggunakan semen beku kontrol tidak berbeda nyata (P0,01). Hal ini dapat ditunjukkan bahwa keberhasilan kebuntingan hasil IB semen beku hasil sexing sudah dapat

mendekati hasil IB semen beku tanpa sexing (Tabel 9). Perhitungan C/R untuk spermatozoa Y 50% dan S/C 1,75% lebih rendah dari hasil spermatozoa X dimana C/R 20% dan S/C 2,1%. Untuk semen beku kontrol C/R 80% dan S/C 1,2%, hal ini kemungkinan adanya pengaruh pakan yang diberikan kurang sehingga kondisi tubuh ternak menurun dan semen yang digunakan kualitasnya mengalami penurunan. TOELIHERE (1993) menyatakan bahwa besarnya nilai jumlah perkawinan per kebuntingan dipengaruhi oleh kurang terampilnya petugas inseminator di lapang dan rendahnya kualitas semen. Pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rektal terdapat sapi yang tidak bunting, hal ini dikarenakan pengamatan di saat NRR kurang tepat adanya berahi pendek 23 jam dan kemungkinan sapi mengalami berahi tenang (silent heat). Hal ini sesuai dengan pendapat HARDJOPRAJOTO (1995) bahwa rendahnya keberhasilan IB di daerah tropis disebabkan rendahnya ketepatan deteksi berahi, hal ini didukung juga oleh kenyataan bahwa sapi zebu kurang memberikan tampilan berahi yang nyata (silent heat) dan sering mengalami berahi pendek 23 jam. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penulisan ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Sexing dengan menggunakan gradien putih telur berhasil memisahkan proporsi spermatozoa sebesar 75 persen dengan motilitas 55% dan setelah pembekuan sebesar 38% pada lapisan atas dan 40% pada lapisan bawah. 2).Semen beku hasil sexing dengan menggunakan filtrasi dan gradien putih telur menghasilkan kebuntingan 80%. Perlu pengamatan lebih lanjut terhadap ketepatan jenis kelamin anak yang dihasilkan dan perlu adanya uji Inseminasi Buatan pada jumlah yang besar atau skala yang luas.

Tabel 9. Evaluasi kebuntingan dengan angka conception rate (C/R) dan service per conception (S/C) Semen Spermatozoa Y Spermatozoa X Beku/kontrol Bunting (ekor) 8 8 9 Tidak bunting (ekor) 2 2 1 C/R (%) 50 20 80 S/C (%) 1,75 2,10 1,20

204

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

DAFTAR PUSTAKA BEARDEN, J.H. and J.W. FUQUAY. 1984. Applied animal reproduction. 2nd edition reston publishing company inc. A prentice Halls Company Virginia: 341-345 GARNER, D.L. and E.S.E. HAFEZ. 1993. Spermatozoa and seminal plasma in reproduction in farm animals. 6th edition. HAFEZ, E.S.E., LEA and FEBIGER (Eds.). Philadelphia: 165-187. HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Edition. Lea Febiger. Philadelphia: 440443. HARDJOPRANJOTO, S. 1995. Ilmu Kemanjiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya HUNTER, R.H.F. 1995. Physiology and Technology of Reproduction in Female Domestic Animal. Alih Bahasa oleh PUTRA, D.K.H. dan R.B. MATRAM. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. SUHADJI. 1995. Pengembangan bioteknologi peternakan. Keterkaitan penelitian pengkajian dan aplikasi. Prosiding Lokakarya Nasional I.

Bioteknologi Peternakan Kerjasama antara Kantor Menristek dengan Departemen Pertanian: 45. SUSILAWATI, T., S.B. SUMITRO, S. RAHAYU, G. CIPTADI and N. ISNAENI. 1996. Separation of X-Y chromosome bearing sperm in indonesia native bull with sephadex G-200. The 13th Tnt. Cong. On Animal Reproduction Darling Harbour Convention Centre. Sidney: 24: 3. SUSILAWATI, T., S.B. SUMITRO, S. HARJOPRANJOTO, Y. MANTARA dan NURYADI. 1999. Pola kapasitasi spermatozoa X dan Y sapi hasil pemisahan menggunakan filtrasi sephadex dan sentrifugasi gradien densitas percoll. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati. 11: 29-40. TAPPA, B. 1996. Peranan dan pengembangan embrio transfer pada ternak sapi di Indonesia. Seminar Nasional Bioteknologi dan Teknologi Inovatif Bidang Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang. TOELIHERE, M.R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.

DISKUSI Pertanyaan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Apakah sudah ada data anak yang dilahirkan dan bagaimana jenis kelamin yang diperoleh apakah sudah sesuai dengan dugaan? Penggunaan TCM 99 kenapa lebih baik dibandingkan tris dan bagaimana sebetulnya komposisi kimia dari TCM 99 tsb.? Deposisi semen pada IB yang dilakukan pada posisi 4 atau 4+, apakah tidak berbahaya mengingat tidak semua inseminator bisa palpasi dengan baik? Lebih mudah menduga jenis kelamin jantan atau betina, dan berapa persen akurasi dari dugaannya? Tingkat birahi 3+ pada saat IB, bagaimana menentukannya? Apakah dilakukan sinkronisasi birahi dalam IB, mengingat ada pengaruh dari sinkronisasi terhadap jenis kelamin anak yang dihasilkan?

Jawaban: 1. Data anak telah ada seperti yang telah disampaikan di makalah presentasi dan jenis kelamin yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diduga yaitu 80% untuk sephadex, 70% untuk albumin yang Y dan percol 90/200. 2. Penggunaan TCM lebih baik karena komposisinya banyak mengandung asam amino dan mineral (biasa untuk embrio) disamping itu TCM lebih baik dalam hal tekanan osmosenya. Komposisi lengkap TCM bisa dilihat di literatur.

205

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

3. Deposisi semen pada posisi ini harus mengetahui CL dimana apabila terjadi ragu inseminasi dilakukan setengah bagian di kiri dan setengah di kanan. Inseminasi cara ini memang tidak dianjurkan untuk inseminator yang tidak ahli dalam PKB. 4. Peneliti tidak dapat menjamin akurasinya, tetapi dari data yang diperoleh bisa diprediksikan tingkat keberhasilan dari pendugaan. 5. Bukan 3+ waktu birahi melainkan kualitas birahi saat diinseminasi adalah 3+ yang artinya tidak ada keraguan. 6. Tidak dilakukan sinkronisasi dan IB dilakukan seperti biasa yaitu bila diketahui birahi pagi hari IB dilakukan sore harinya.

206

Anda mungkin juga menyukai