Anda di halaman 1dari 17

Perbandingan classic laryngeal mask airway (jalan napas sungkup laring klasik) dengan Ambu laryngeal mask (sungkup

laring) untuk pertukaran pembuluh trakea: Sebuah penelitian acak terkontrol prospektif Shruti Jain, Rashid M Khan,1 Syed M Ahmed,1 dan Manpreet Singh2
1

Jurusan Anestesiologi, Sekolah Ilmu dan Penelitian Medis, Universitas Sharda,

Greater Noida, India


1

Jurusan Anestesiologi, Universitas Kedokteran J.N., Aligarh, Uttar Pradesh, India Jurusan Anestesiologi dan Perawatan Intensif, Universitas dan Rumah Sakit

Medis Pemerintah, Chandigarh, Haryana, India Alamat untuk korespondensi: Dr. Shruti Jain, H. No. 194, Sektor 21-C, Faridabad - 121 001, Haryana, India. E-mail: vineet.ortho@gmail.com Hak cipta: Indian Journal of Anaesthesia Ini adalah artikel yang dapat diakses secara terbuka yang disebarluaskan melalui ketentuan dari the Creative Commons Attribution-Noncommercial-Share Alike 3.0 Unported, yang memperbolehkan penggunaan, penyebarluasan, dan reproduksi yang tak terbatas dalam media apapun, asalkan karya asli dikutip dengan benar. Kunjungi: Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Menukar endotracheal tube (ETT atau selang endrotrakeal) dengan classic laryngeal mask airway (CLMA) sebelum kemunculan dari anestesi adalah

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

teknik yang aman untuk mencegah batuk dan perubahan hemodinamik selama ekstubasi. Kami telah membandingkan CLMA dan AMBU laryngeal mask (ALM) selama ETT/ laryngeal mask (sungkup laring, LM) dalam hal perubahan hemodinamik dan parameter lainnya. Metode: Sebanyak 100 orang pasien perempuan dewasa Anggota Ahli Anestesi Amerika Kelas I dan II yang menjalani kolesistektomi laparoskopi elektif dengan anestesi umum dipilih dan dibagi secara acak menjadi dua Grup yang masing-masing terdiri dari 50 orang pasien. Di Grup I, CLMA dan di Grup II, ALM ditempatkan sebelum ekstubasi trakea. Parameter hemodinamik dicatat selama pertukaran ETT/LM. Pemandangan glottis terlihat melalui LM dengan menggunakan fibrescope fleksibel. Batuk/gelembung selama pengangkatan LM, kemudahan penempatan dan sakit tenggorokan pasca operasi untuk kedua Grup dinilai dan dicatat. Analisis Statistik: Data dalam kedua Grup dianalisis dengan uji t berpasangan (paired t-test) sedangkan antara kedua Grup dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan (unpaired t-test). Uji Chi-square digunakan untuk menganalisis nilai pandang glottis, batuk, dan sakit tenggorokan pasca operasi. Hasil: Pada Grup I, ada peningkatan yang signifikan pada tekanan darah sistolik dan denyut jantung berbeda dengan peningkatan yang tidak signifikan pada Grup II.

Tampilan glottis secara signifikan lebih baik pada Grup II. Kejadian batuk, kemudahan penempatan dan sakit tenggorokan pasca operasi pada kedua Grup sama. Kesimpulan: ALM lebih unggul dibandingkan dengan CLMA untuk pertukaran ETT sebelum ekstubasi karena memiliki stabilitas hemodinamik yang lebih besar selama fase pertukaran dan diposisikan dengan lebih baik. Kata kunci: Ambu laryngeal mask, classic laryngeal mask airway, selang endotrakeal, ekstubasi Kunjungi: PENDAHULUAN Komplikasi pernapasan 3 kali lebih sering terjadi selama ekstubasi endotrakeal daripada selama intubasi trakea atau induksi anestesi (4,6% vs 12,6%). [1] Sebuah ekstubasi trakea yang mulus tanpa batuk, gelembung atau perubahan hemodinamik merupakan salah satu tujuan anestesi selama setiap prosedur anestesi umum terutama dalam bedah saraf, neuro-radiologi intervensi, otolaryngological, dan pasien oftalmologi atau dengan pasien pengidap penyakit arteri koroner. Pada pencarian literatur yang luas, telah diamati bahwa banyak penulis telah menganjurkan pertukaran selang endotrakeal (ETT) dengan laring mask airway (jalan napas sungkup laring, LMA) sebelum kemunculan dari anestesi. Ini telah mengurangi komplikasi yang berhubungan dengan ekstubasi tanpa kehilangan

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

kontrol jalan napas. [2,3,4,5,6] (LM) Prosedur pertukaran ETT/sungkup laring (LM) ini mudah dan lebih baik dari penggunaan jalan napas orofaringeal. [7] Ada keraguan yang wajar dalam melakukan pertukaran ETT/LM dan ini mungkin karena prosedur ini bisa membahayakan jalan napas yang aman. Kedua, operasi dimana pertukaran seringkali diperlukan, pasien mungkin memiliki penyakit komplokasi yang berbahaya. Ketiga, prosedur ini mungkin asing bagi ahli bedah dan staf di ruang operasi. [2] Mayoritas studi telah menggunakan classic laryngeal mask airway (CLMA) (dengan metode pendahuluan jari telunjuk) sebagai pertukaran untuk ETT segera sebelum ekstubasi ketika anestesi inhalasi masih berlanjut [2,3,4,5,6]. Namun, tidak ada penelitian di mana Ambu laryngeal mask (ALM) digunakan dalam situasi seperti ini, yang diperkenalkan menggunakan teknik pensil. Penelitian ini mengevaluasi efek pertukaran ETT dengan CLMA vs ALM dalam hal perubahan hemodinamik, kemudahan penempatan, penempatan CLMA dan ALM yang benar pada pemeriksaan serat optik, batuk/ gelembung selama pelepasan LMA, kejadian sakit tenggorokan pasca operasi dan komplikasi lainnya. Kunjungi: METODE Setelah memperoleh persetujuan dari Komite Etik Rumah Sakit, 100 orang pasien perempuan anggota ahli anestesi Amerika (ASA) I dan II dengan rentang usia antara 20 tahun dan 50 tahun dan berat 40-60 kg, yang menjalani kolesistektomi

laparoskopi elektif, yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini diseleksi. Pasien dengan prediksi jalan nafas sulit tidak diikutsertakan dalam penelitian. Pasien-pasien ini secara acak dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 50 orang pasien berdasarkan jenis perangkat LMA yang digunakan untuk pertukaran, menggunakan tabel komputerisasi acak. Kedua kelompok tersebut adalah sebagai berikut: Grup I: CLMA digunakan untuk pertukaran ETT/LM, CLMA ditempatkan dengan metode jari telunjuk Grup II: ALM digunakan untuk pertukaran ETT/LM (ALM ditempatkan tanpa bantuan, teknik pensil). Pra-pengobatan terdiri dari injeksi midazolam 0,025 mg/kg IV, injeksi fentanil 2 mcg/kg IV, injeksi ondansetron 0,1 mg/kg IV 15 menit sebelum induksi anestesi. Anestesi diinduksi dengan injeksi propofol 2 mg/kg IV dan blokade neuromuskuler dicapai dengan vecuronium bromide 0,1 mg/kg IV. Setelah mencapai relaksasi yang memadai, trakea diintubasi dan anestesi dipertahankan dengan teknik infus propofol turun (10 mg/kg/jam selama 15 menit pertama, 8 mg/kg/jam selama 15 menit berikutnya, dan kemudian 5 mg/kg/jam IV melalui pompa jarum suntik, sampai akhir operasi). Selain itu, semua pasien diberi 66% N2O pada O2 dan dosis top-up relaksan otot per stimulator saraf periferal. Setelah selesai operasi, N2O dihentikan, tetapi propofol terus dijalankan pada tingkat 5 mg/kg/jam. Di Grup I dan II, CLMA dan ALM (keduanya ukuran 3) ditempatkan secara berturut-turut, tetapi manset tetap tidak meningkat. Jumlah usaha penyisipan dicatat.

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

Blok

neuromuskular (2,5 mg)

residual dan

sekarang

dibalik (0,4

menggunakan mg).

campuran blok

neostigmin

glycopyrrolate

Pembalikan

neuromuskuler yang memadai dikonfirmasi oleh rasio deretan empat sebesar> 0,9 dan pengembalian volume tidal yang memadai. ETT sekarang dilepaskan untuk menjaga perangkat LMA di tempat. Manset LM (CLMA atau ALM) kini meningkat dengan 20 ml udara dan sistem pernapasan terhubung ke LM. Sebuah respirasi spontan yang memadai dan lancar kembali dikonfirmasi secara klinis dan dengan kapnografi. Jika tidak memadai, LM dilepas dan dipasang kembali. Jumlah upaya penyisipan sekali lagi dicatat. Bronkoskopi serat optik kemudian dilakukan melalui diafragma port putar untuk merekam penempatan CLMA/ ALM yang benar. Propofol sekarang dihentikan dan pasien kembali menghirup 100% O2 sampai benar-benar bangun. Manset CLMA dan ALM sekarang kempes dan perangkat itu diekstubasi. Respons pasien terhadap pelepasan LM dicatat. Selama periode pertukaran ETT/pertukaran LM ini, denyut jantung pasien (HR) dan tekanan darah sistolik (SBP) dicatat hanya sebelum penempatan LM saja, pasca penempatan LM, pra-ekstubasi, pasca ekstubasi dan selanjutnya pada 3 dan 5 menit dan segera setelah pelepasan LM dan setelah 3 dan 5 menit. Kemudahan penempatan dinilai Kelas I jika penempatan CLMA/ALM berhasil dalam sekali coba, Kelas II, jika diperlukan lebih dari satu kali untuk memasangnya, Kelas III, jika kita gagal memasang CLMA/ALM tersebut. Usaha dianggap berhasil jika memakan waktu lebih dari 20 detik atau jika LM dilepas dari mulut pasien.

Jika glottis lengkap divisualisasikan melalui fiberscope, itu dinilai sebagai Kelas I, sebagian glottis dengan atau tanpa melihat epiglottis berarti Kelas II, dan jika hanya epiglottis yang divisualisasikan, maka diberi label sebagai Kelas III. Setiap episode batuk/gelembung selama penempatan LM, ETT dan pelepasan LM dicatat. Batuk dikategorikan sebagai Kelas I jika tidak ada batuk/gelembung, Kelas II, jika ada batuk/gelembung ringan (batuk <5) dan Kelas III jika terjadi serangan batuk/gelembung/laringospasme yang parah (batuk > 5). Sakit tenggorokan dicatat oleh seorang pengamat buta independen pasca-bedah setelah 1 jam. Tidak adanya sakit tenggorokan dikategorikan sebagai Kelas I. Sakit tenggorokan, yang tidak terlalu parah dibandingkan dengan flu biasa/ sakit tenggorokan ringan dikategorikan sebagai Kelas II, dan yang sama dengan yang dicatat dengan flu biasa/ sakit tenggorokan sedang dikategorikan sebagai Kelas III. Sakit tenggorokan, yang lebih parah dari flu biasa/ sakit tenggorokan berat dikategorikan sebagai Kelas IV. Analisis statistik Hasil utama yang diukur adalah perubahan parameter hemodinamik pada kedua kelompok. Kami melakukan studi percontohan (pilot study) pada tujuh orang pasien dari setiap grup dan menganggap perbedaan parameter hemodinamik dan besarnya efek yang diperoleh adalah benar, menghitung bahwa 41 pasien pada setiap grup akan diperlukan untuk studi ini dengan kekuatan sebesar 0,8 dan signifikansi sebesar 0,05. Sebanyak 50 orang pasien diambil dari setiap grup untuk mengimbangi dropouts (kehilangan data).

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

Semua data dalam tabel telah disajikan sebagai rata-rata standar deviasi. Data di dalam kedua kelompok telah dianalisis menggunakan paired t-test sedangkan data antar kelompok dianalisis menggunakan unpaired t-test. Nilai P <0,05 dianggap signifikan dalam penelitian ini. Uji Chi-square telah digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara dua proporsi. Uji ini digunakan untuk menganalisis tingkat kemudahan penempatan LM, verifikasi tampilan glottis dengan fiberscope, batuk saat pelepasan LM dan sakit tenggorokan pasca operasi. Nilai z> 1,96 dianggap signifikan. Program SPSS 14 digunakan untuk analisis statistik. Kunjungi: HASIL SBP dan HR kedua kelompok pada waktu sebelum penempatan LM hampir sama (P> 0,05). Setelah LM ditempatkan, SBP dan HR naik pada kedua kelompok [Tabel [Tabel11 dan and2],2], tetapi mencapai tingkat statistik yang signifikan hanya pada Grup I setelah dibandingkan dengan nilai sebelum penempatan LM (P <0,05). Setelah itu, pada pasien dari kedua kelompok, SBP dan HR perlahan mulai menurun, namun peningkatan yang tidak signifikan (P> 0,05) setelah selang trakea dilepas [Tabel [Tabel11 dan dan22]. Sebelum pelepasan ETT, LM bisa ditempatkan pada upaya pertama (Kelas I) pada 72% pasien Grup I dibandingkan dengan 84% pasien Group II. Tidak ada pasien di mana LM tidak bisa ditempatkan (Kelas III). Tidak ada perbedaan yang

signifikan terkait proporsi selama penempatan LM (z <1,96). Tak satu pun pasien membutuhkan lebih dari 2 kali upaya [Tabel 3]. Setelah pelepasan ETT respirasi spontan yang memadai dan lancar bisa dilakukan oleh semua pasien. Setelah ekstubasi, memasang kembali LM atau beralih ke jalan napas alternatif tidak diperlukan lagi. Jumlah pasien yang menunjukkan tampilan glottis lengkap (Kelas I) melalui bronkoskopi serat optik tercatat jauh lebih banyak (z> 1,96) pada Grup II (96%) dibandingkan dengan pada Grup I (76%) [Tabel 4]. Tidak ada pasien dari kedua kelompok studi yang mengidap batuk atau gelembung selama penempatan LM serta selama pelepasan ETT. Terjadinya pelepasan LM yang lancar, yaitu, tanpa batuk dan gelembung (Kelas 1) adalah sebesar 84% pada pasien Grup II dibandingkan dengan 72% di Grup I, yang secara statistik tidak signifikan (z <1,96) [Tabel 5]. Darah tidak terlihat pada cangkir LM, pada semua kasus pada kedua grup. Kejadian sakit tenggorokan ringan pasca operasi (kelas I) sama pada kedua grup (84%) [Tabel 6] dan tidak ada pasien yang mengidap sakit tenggorokan sedang atau parah pasca operasi (Kelas III). Kunjungi: PEMBAHASAN Ekstubasi dikaitkan dengan perubahan hemodinamik yang signifikan, yang bisa merugikan pasien dengan kompromi kardiovaskular. Demikian pula, batuk

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

merupakan respon protektif normal selama kemunculan dari anestesi, tetapi bisa berbahaya dalam kasus operasi mata atau bedah saraf. Ekstubasi trakea dalam taraf anestesi yang lebih dalam adalah metode umum untuk menghindari respon stres ini. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan agen inhalasi atau opioid, tetapi mereka dapat menyebabkan hilangnya jalan napas dan sedasi berkepanjangan. [8,9] Agen farmakologis seperti Lidocaine, beta blockers (pemblokade beta), calcium channel blockers (pemblokade saluran kalsium), dan dexmeditomedine efektif mengendalikan respon hemodinamik selama ekstubasi, [10,11,12] tetapi mereka tidak mencegah batuk pada selang. Selain itu, dosisnya yang memadai masih belum benar-benar ditetapkan. Salah satu teknik yang aman untuk ekstubasi yang lancar adalah mengganti ETT dengan LMA sebelum kemunculan dari anestesi. Ini efektif mengurangi batuk, gelembung, sakit tenggorokan, dan respon hemodinamik yang berhubungan dengan ekstubasi. [2,3,4,5,6] Stix dkk. pada tahun 2001, [2] telah menggunakan CLMA sebagai 'perangkat ekstubasi yang aman' sebelum ekstubasi ETT dan selanjutnya pemeliharaan jalan napas sampai pasien sepenuhnya terjaga. Ketika pasien sadar, CLMA dilepas dan pasien dialihkan ke kamar pasca-operasi. CLMA adalah sebuah perangkat saluran napas supraglottis, yang menyediakan 'segel oval sekitar inlet laring' dan mempertahankan jalan napas. Alat ini terbuat dari silikon. Alat ini dapat digunakan kembali, tetapi dibuang setelah 40 siklus autoklaf. Alat ini memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik karena menghindari merangsang struktur infraglottic selama penyisipan serta selama

ekstubasi. [13] Alat ini diperkenalkan dengan menggunakan metode jari telunjuk atau teknik penyisipan jempol. ALM adalah perangkat jalang napas sekali pakai yang terbuat dari polyvinyl chloride, yang dituangkan dalam satu potong, yang menampilkan kurva built-in (terpasang tetap) khusus yang mereplikasi anatomi alami manusia. Alat ini memiliki ujung yang diperkuat, yang membantu penyisipan sungkup dengan manset lembut. Selain itu, tulang rusuk internal dibuat ke dalam kurva ini, yang memberikan fleksibilitas pada selang jalan napas yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan variasi anatomi individu dan berbagai posisi kepala. Hal ini diperkenalkan dengan teknik pensil dan tidak diperlukan jari ketika

memperkenalkan alat ini jalan napas ini. Semua fitur ini membuat penyisipannya lebih mudah daripada CLMA. [14] Selain itu, tidak seperti CLMA alat ini tidak memiliki batang aperture epiglottic. Kami telah memilih ALM untuk dibandingkan dengan CLMA karena kedua alat ini adalah perangkat LM yang paling umum digunakan. Sebagian besar penelitian telah menggunakan CLMA untuk pertukaran ETT/LM. Dengan meningkatnya kepedulian terhadap penularan penyakit prion, penggunaan perangkat tunggal seperti ALM sedang dianjurkan. [14,15] Selanjutnya, kami ingin menyelidiki apakah penempatan ALM tanpa bantuan lebih

mengungtungkan dibanding penempatan CLMA yang dibantu jari dalam hal respon hemodinamik pasca pertukaran ETT/LM, kemudahan penempatan, tampilan serat optik, batuk/gelembung, dan sakit tenggorokan pasca operasi.

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

Segera setelah penempatan LM, ada peningkatan signifikan SBP dan HR namun hanya pada Grup I (CLMA). Hal ini dapat dikaitkan dengan teknik standar bantuan jari selama penyisipan CLMA, yang mengakibatkan kepadatan

hipofaring dan peregangan struktur orofaringeal. Hal ini diketahui dapat menghasilkan respon vasopressor. [16] Bentuk melengkung ALM yang dibuat memungkinkan penyisipannya tanpa menggunakan bantuan jari manapun. Faktorfaktor ini mungkin bertanggung jawab atas kenaikan SBP dan HR yang melemah selama penempatan ALM dibandingkan dengan CLMA. Pada pasien Grup I dan Grup II, SBP dan HR mulai menurun perlahan, namun peningkatan yang tidak signifikan (P> 0,05) karena selang trakea telah dilepas. Setelah itu, penurunan kedua parameter terus menuju nilai kontrol. Sepengetahuan kami, sejauh ini belum ada penelitian tentang perubahan hemodinamik selama manuver pertukaran ETT/LMA. Kami telah menunjukkan bahwa antara CLMA dan ALM, meskipun keduanya memberikan kontrol hemodinamik yang baik selama pertukaran ETT/LMA, namun ALM masih merupakan alat yang memiliki kontrol hemodinamik yang jauh lebih baik selama penyisipan LMA. Perubahan minimal pada SBP dan HR akibat pelepasan CLMA atau ALM dalam penelitian ini sama dengan temuan sebelumnya bahwa pelepasan LMA berkaitkan dengan respon kardiovaskular yang jauh menurun. [13] Kami menilai kemudahan penempatan LM berdasarkan jumlah upaya penyisipan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kemudahan penempatan antara kedua

perangkat. Sudhir dkk., [15] dan Ng dkk., [14] juga melaporkan perbedaan yang tidak signifikan dalam usaha pertama

penyisipan antara kedua perangkat. Lpez dkk., [17] meneliti 200 orang pasien dan membandingkan empat LMA berbeda dalam hal kemudahan penyisipan dan penempatan. Mere ka menyimpulkan bahwa ALM dan LMA Unique lebih mudah untuk dimasukkan oleh penduduk berpengalaman dan kurang memberikan dampak traumatis bagi pasien. Namun Shariffuddin dan Wang, [18] menemukan bahwa usaha penyisipan pertama secara signifikan lebih baik dengan ALM dibandingkan dibandingkan dengan CLMA. Desain ALM tidak seperti desain CLMA tidak memilikibatang epiglottic, yang memungkinkan akses yang lebih mudah untuk pemeriksaan serat optik yang fleksibel. Pandangan glottis yang secara signifikan unggul (Kelas I) dengan ALM (96%) sebagaimana dibandingkan dengan CLMA (76%) dapat dikaitkan dengan bentuk melengkung built-innya yang memungkinkan

mangkuknya untuk mengambil posisi periglottic yang lebih baik setelah ekstubasi trakea. Tak satu pun dari pasien pada kedua kelompok ini menunjukkan epiglottis melalui fiberscope. Shariffuddin dan Wang, [18] melaporkan tampilan serat optik yang sebanding pada kedua perangkat ini. Meskipun ALM memiliki tampilan glottis yang sangat unggul dibandingkan dengan CLMA, namun semua pasien memiliki respirasi spontan yang memadai pada LM dan tidak satupun memerlukan penyisipan ulang LM. Telah terlihat bahwa bahkan ketika epiglottis memblokade visualisasi serat optik glottis (seperti

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

yang terlihat dari selang jalan napas), jalan nafas klinis yang memuaskan biasanya dibuat. [13,19] Tidak ada pasien pada kedua kelompok studi yang mengidap batuk atau gelembung selama penempatan LMA. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan propofol untuk pemeliharaan anestesi dalam penelitian kami, yang memiliki kemampuan untuk menekan refleks batuk selama manipulasi saluran napas bagian atas. Sebaliknya, Takita dkk., [3] merekam terjadinya batuk/ gelembung sebesar 33,3% selama penempatan CLMA, menggunakan konsentrasi variabel sevofluran untuk pemeliharaan anestesi. Terjadinya pelepasan CLMA dan ALM yang lancar masing-masing adalah sebesar 72% dan 84%. Teramati bahwa 28% pasien dari Grup I dan 16% pasien dari Grup II mengidap batuk dan gelembung ringan selama pelepasan CLMA. Tidak ada pasien pada kedua grup dengan gangguan jalan nafas atau spasme laring. Koga dkk., [5] melaporkan bahwa dari 20 pasien, satu pasien mengalami kesulitan ventilasi melalui LM setelah ekstubasi dan tiga pasien batuk selama kemunculan dari anestesi. Dob dkk., [7] melaporkan satu kasus batuk dari 26 pasien pada Grup LMA selama kemunculan. Costa e Silva dan Brimacombe, [6] melaporkan bahwa tidak ada dari 10 pasien yang batuk selama kemunculan atau pelepasan LMA. Temuan penelitian ini sesuai dengan pengamatan di atas bahwa pasien mungkin sesekali batuk saat pelepasan LM. Namun, penelitian ini mencatat bahwa pelepasan CLMA lebih rentan terhadap batuk dibandingkan dengan ALM. Ini mungkin bisa menjadi tambahan untuk desain ALM yang lebih

anatomis dan bahan manset ALM yang lebih lembut dari dibandingkan dengan CLMA. [14] Kejadian sakit tenggorokan pasca operasi sama untuk kedua grup. Tidak ada kasus sakit tenggorokan pasca operasi yang sedang/parah. ETT diketahui menyebabkan lebih banyak sakit tenggorokan pasca operasi dibandingkan LM. Dalam seri kami, baik ETT dan LM digunakan pada semua pasien namun jumlah kejadian sakit tenggorokan pasca operasi lebih sedikit dari apa yang telah dilaporkan untuk ETT sendiri. [20] Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa ekstubasi ETT dilakukan terhadap LM dan dengan demikian menghindari ketegangn pada selang, yang paling sering menyebabkan sakit tenggorokan pasca operasi. Ng dkk., [14] melaporkan kejadian sakit tenggorokan yang lebih sedikit dengan ALM dibandingkan dengan CLMA. Sakit tenggorokan pasca operasi juga tergantung pada jumlah usaha yang diambil untuk menempatkan LM, durasi penyisipan dan tekanan manset. Dalam penelitian kami, tidak ada perbedaan yang signifikan pada jumlah upaya penempatan LM antara kedua grup, tapi kita tidak mengukur durasi penyisipan dan tekanan manset dalam penelitian kami. Agen farmakologis meskipun efektif dalam mengendalikan perubahan

hemodinamik namun mahal dan tidak dapat menekan refleks batuk selama ekstubasi. Di sisi lain, CLMA yang dapat digunakan kembali setelah autoklaf merupakan solusi ekonomis untuk masalah ini. Namun, ada risiko infeksi penyakit prion pada perangkat yang dapat digunakan kembali, yang telah mempromosikan penggunaan ALM. [14,15]

DANGEROUS GOODS TRAINING PROGRAM STUDENT HANDBOOK

Ada batasan tertentu dalam penelitian kami. Efeknya terlihat pada pasien ASA I/ II, tetapi kegunaannya akan memberikan bantuan besar pada pasien berisiko tinggi terhadap penyakit jantung, yang tidak bisa kita teliti karena tidak adanya pengaturan jantung yang canggih di lembaga kami. Pengaruh pertukaran ETT/LM dapat lebih lanjut diteliti pada pasien jantung atau bedah saraf ASA III / IV, di mana kontrol hemodinamik yang baik diperlukan. Kami tidak mengukur durasi penyisipan dan tekanan manset dalam penelitian kami, yang mungkin mempengaruhi sakit tenggorokan pasca operasi. Kunjungi: KESIMPULAN Penempatan ALM sebelum ekstubasi trakea berhubungan dengan berkurangnya perubahan hemodinamik dan tampilan glottis yang lebih baik melalui fibrescope. Dengan demikian, ALM harus dianggap lebih unggul dari CLMA dalam hal pertukaran ETT/LM. Kunjungi: Catatan kaki Sumber Dukungan: Nihil Konflik Kepentingan: Tidak ada yang dinyatakan Kunjungi:

Gambar dan Tabel

Tabel 1 Perubahan SBP selama periode peri-ekstubasi Tabel 2 Perubahan HR selama periode peri-ekstubasi Tabel 3 Kemudahan penempatan LM Tabel 4 Kejadian perbedaan nilai tampilan glottis oleh fiberscope Tabel 5 Tingkat batuk selama pengangkatan LM Tabel 6 Kejadian sakit tenggorokan pasca operasi

Anda mungkin juga menyukai