Anda di halaman 1dari 3

Nama : Gayuh Laksana Putra NIM : H1G008021

PEMBENTUKAN KELAMIN JANTAN IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus) DENGAN NON STEROID AKRIFLAVIN SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGATASI KELANGKAAN INDUK JANTAN

Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan jenis ikan lokal di beberapa sungai di Indonesia, terutama di sungai-sungai di pulau Sumatera, Jawa, dan

Kalimantan. Ikan baung tergolong ikan air tawar yang hidup secara liar di alam dan berpotensi untuk dibudidayakan. Pemijahan ikan baung secara buatan telah berhasil dilakukan, namun masih mengalami masalah, yakni induk ikan baung jantan harus terlebih dahulu dibedah untuk diambil testisnya. Hal ini dapat menyebabkan kelangkaan induk jantan ikan baung. Salah satu cara untuk mengatasi kelangkaan induk jantan ikan baung dengan perubahan kelamin melalui hormon untuk memproduksi populasi monoseks (jantanisasi). Beberapa penelitian telah berhasil mengembangkan benih dengan

menggunakan bahan senyawa steroid sintetik dan telah menghasilkan populasi yang monoseks (Yamazaki, 1983). Hormon steroid sangat berpotensi untuk mengarahkan

kelamin pada saat diferensiasi kelamin. Perlakuan dengan menggunakan hormon steroid sangat bergantung kepada jenis perlakuan, dosis, waktu, dan spesies (Donaldson dan Hunter, 1982). Akriflavin telah banyak digunakan sebagai agen utama anti mikroba pada ikan. Dengan diberikan langsung ke dalam air akuarium, senyawa ini dapat memaskulinisasi mosquitofishbetina dewasa. Hal ini memperlihatkan keampuhan akriflavin dalam

memanipulasi perkembangan alat reproduksi sebagaimana halnya androgen atau anti estrogen (Hines dan Watts, 1995). Sucipto (2008) telah mencobanya pada ikan nila dan efektivitas terbukti mampu menghasilkan nisbah kelamin jantan. Pengarahan kelamin merupakan salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan yang monoseks, baik jantan maupun betina. Dalam merangsang perubahan kelamin pada ikan, perlakuan dengan hormon steroid yang diberikan secara eksogenus harus dimulai pada waktu yang tepat. Waktu yang tepat untuk perlakuan tersebut bergantung pada saat terjadinya diferensiasi kelamin ikan (Yamazaki, 1983). Periode yang baik untuk memberikan perlakuan adalah pada stadia benih atau pada saat

ikan mulai makan. Benih yang

dipergunakan dalam penerapan

teknologi pembalikan

seksual (sex reversal) adalah benih yang berumur antara 5-10 hari setelah menetas atau panjang total benih berkisar antara 9-13 mm, di mana ikan dengan umur serta ukuran seperti tersebut di atas secara morfologis masih belum mengalami diferensiasi kelamin (Torrans dan Lowell, 1988). Berkaitan dengan hal tersebut, Hines dan Watts (1995) menyatakan, ketika benih berukuran 9 mm merupakan saat yang baik untuk memulai manipulasi diferensiasi seks dengan waktu pemberian perlakuan enam minggu.

Walaupun demikian keberhasilan perubahan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti macam dan dosis hormon yang digunakan, metode pemberian hormon, lama perlakuan, dan jenis ikan (Hines dan Watts, 1995). Pada penelitian aklimatisasi selama tiga ini menggunakan benih yang berumur 10 hari hari untuk penyesuian pakan dan dilakukan pakan

buatan. Pemberian

berakriflavin setelah benih berumur 13 hari, benih sudah mulai mengalami diferensiasi sehingga pemberian pakan berakriflavin tidak bekerja secara maksimal. Akan tetapi dengan dosis yang berbeda tetap menunjukkan hasil yang berbeda. Akriflavin yang diberikan kepada ikan baung melalui makanan dapat membuat nisbah kelaminnya condong ke jantan akan tetapi tidak mencapai 100% populasi jantan. Akriflavin juga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti hormon 17-MT dalam proses manipulasi perkembangan kelamin ke arah jantan (maskulinisasi). Dari data yang diperoleh tampak bahwa ketiga perlakuan dengan dosis akriflavin yang berbeda terhadap ikan uji memberikan hasil yang cukup baik dalam pengubahan jenis kelamin. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pemberian perlakuan dengan hormon 17-MT (dosis 50 mg/kg pakan), hasil pengubahan jenis kelamin oleh akriflavin masih kalah baik. Persentase rerata ikan yang berkelamin jantan dengan menggunakan akriflavin tertinggi hanya 78,75%, yaitu yang diperoleh dari pemberian dosis 35 mg/kg pakan, sedangkan hasil terendah terdapat pada pemberian dosis 15 mg/kg pakan sebesar 70%. Setelah di uji dengan statistik, persentase nisbah kelamin jantan pada dosis 35 mg/kg pakan tidak berbeda dengan hasil pemberian dosis 25 mg/kg pakan yaitu sebesar 76,25%. Hormon 17-MT dengan dosis 50 mg/kg pakan menghasilkan persentase rerata ikan berkelamin jantan sebesar 99,19% (Sucipto, 2008). Perlakuan kontrol (dosis 0

mg/kg pakan) menghasilkan persentase rerata berkelamin jantan sebesar 56,25%. Dari hasil tersebut, terlihat bahwa perubahan kelamin yang diperoleh cukup tinggi meskipun pengaruh dari akriflavin belum mencapai 100% populasi jantan.

Tingginya persentase jantan pada perlakuan pemberian akriflavin pada dosis 35 mg/kg pakan dan 25 mg/kg pakan dibanding dengan perlakuan yang lain menunjukkan bahwa dosis tersebut merupakan dosis yang cukup baik dalam proses maskulinisasi. Semakin tinggi dosis yang diberikan kepada ikan uji, semakin tinggi pula jumlah individu jantan yang dihasilkan. Dari ketiga perlakuan akriflavin belum terlihat titik balik. Penaikan dosis mungkin masih akan menaikkan persentase jantan, mungkin pula sudah mulai menurun. Karena pemberian dosis yang berlebih akan mengakibatkan pengaruh yang tidak dikehendaki (Hines dan Watts, 1995). Pemberian dosis hormon 17-MT dan akriflavin pada dosis yang sangat tinggi (100 mg/kg pakan) memberikan hasil yang justru tidak menentukan jenis kelamin, bahkan abnormalitas yang makin besar (Sucipto, 2008). Tingkat kelangsungan hidup ikan baung pada semua perlakuan selama pemberian perlakuan cukup tinggi yaitu di atas 85%. Rerata tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada perlakuan akriflavin dengan dosis 25 mg/kg pakan yaitu sebesar 88%. Setelah di uji dengan statistik, hasil rerata tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata yang dapat diartikan bahwa pemberian akriflavin tidak memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat kelangsungan hidupbenih ikan baung. Terlihat bahwa pemberian akriflavin tidak menurunkan kelangsungan hidup ikan. Pengamatan

menunjukkan pula bahwa kualitas air pada setiap perlakuan masih dalam kisaran yang layak dan cukup baik untuk kehidupan benih ikan baung sehingga tidak menimbulkan gangguan.

Anda mungkin juga menyukai