Anda di halaman 1dari 9

ASPEK BIOSELULER DAN BIOMOLEKULER MEKANISME FISIOLOGIS PERSALINAN

Santi Wahyuni dan Asep Sufyan Sumber: The New England Journal of Medicine, 18 Januari 2007 Mekanisme proses kelahiran pada manusia sampai saat ini sangat sulit diketahui. Namun akhir-akhir ini teka-teki tersebut sudah mulai terungkap lebih jelas. Hal ini menjadi terbuka karena adanya pemahaman bahwa kelahiran pada manusia adalah termasuk dalam salah satu peristiwa hidup manusia. Salah satu kesulitan memastikan proses tersebut karena untuk meneliti proses kelahiran pada manusia, peneliti harus menggunakan perempuan yang sedang hamil, sekalipun harus menghadapi pertentangan etika yang berkaitan dengan proses melahirkan. Kelahiran sebelum waktunya atau prematur (preterm birth) terjadi pada sekitar 5 15% kehamilan, tergantung populasinya. Angka ini tampak tinggi di negara-negara maju dan ternyata lebih banyak terjadi pada etnik Afrika-Amerika. Teknologi reproduksi buatan ( assisted reproduction) juga dapat meningkatkan frekuensi kejadian kehamilan multipel ( multiple gestation) juga merupakan hanya sedikit penjelasan dari pembahasan ini. Kelahiran yang terjadi sebelum minggu ke-37 kehamilan sangat berkaitan dengan 70% kasus kematian neonatal, dan ada juga kaitan yang sangat erat antara tingkat kematian perinatal dan periode kehamilan. Kematian bayi juga ada hubungannya dengan singkatnya masa kehamilan. Dalam suatu penelitian di Swedia, 50% anak-anak yang menderita cerebral palsy ternyata lahir prematur. Sekalipun tidak ada penurunan jumlah kasus persalinan prematur selama 30 tahun terakhir ini, namun perkembangan perawatan intensif neonatal dianggap telah berhasil mencegah kematian neonatal secara signifikan akibat persalinan prematur tersebut. Walaupun demikian, biaya perawatan menjadi sangat tinggi, demikian halnya dengan biaya panjang pengobatan dan layanan pendidikan bagi anak-anak yang lahir secara prematur. Keunikan Proses Kelahiran pada Manusia Pada mammalia, setiap spesies memiliki kesamaan dalam aspek fisiologinya. Namun demikian, fisiologi sistem reproduksi merupakan pengecualiannya. Perkembangan plasenta adalah hal yang umum terjadi pada proses reproduksi sebagian besar mammalia, namun variasi proses kelahiran plasenta pada mammalia sangat beragam. Misalnya pada proses kelahiran domba diawali oleh proses yang melibatkan hipotalamus janin, kelenjar hipofisis dan kelenjar adrenal. Sedangkan proses kelahiran pada kambing akan sangat tergantung pada disolusi corpus luteum induknya. Haig menyatakan bahwa keberagaman dalam mekanisme proses kelahiran ini akan berkaitan dengan konflik genetik maternal-paternal dimana gen paternal menyebabkan adanya makanan bagi janin yang berasal dari sumber maternal, sedangkan gen maternal dapat memodifikasi nutrisi bagi janin agar dapat menjaga sumber gizi untuk mencegah kekeringan yang mungkin disebabkan oleh pembuahan dari ayah yang berbeda. Analisis perbandingan genomik mengungkapkan bahwa 95% DNA manusia dan simpanze hampir serupa. Yang membedakannya adalah gen yang berhubungan dengan reproduksi. Sebagai tambahan, perubahan yang dialami pelvis perempuan diasumsikan karena postur manusia lebih tegak (yang berasal dari nenek moyang Australophitecus) dan meningkatnya ukuran cranium sebagai manusia modern juga ikut mempengaruhi proses kelahiran.

Pelepasan Hormon Kortikotropin dan Waktu Persalinan Kehamilan manusia berlangsung sekitar 38 minggu setelah konsepsi. Hal antara sekian banyak etnis yang ada. Waktu kelahiran pada tikus kematangan paru-paru janin. Sementara itu pada manusia justru waktu dengan perkembangan plasenta khususnya adanya pelepasan gen plasenta.

ini tidak banyak berbeda di sangat berkaitan dengan kelahiran sangat berkaitan hormon kortikotropin oleh

Corticotrophin Releasing Hormon (CRH) Maternal Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara tingkat CRH dalam plasma ibu yang berasal dari plasenta dengan waktu kelahiran. Kadar CRH plasma maternal akan ikut meningkat seiring dengan berkembangnya kehamilan dan akan mencapai kadar puncak pada saat melahirkan. Pada perempuan yang melahirkan sebelum waktunya (prematur), jumlah peningkatannya sangat cepat, sementara pada perempuan yang waktu kelahirannya sesuai dengan waktu yang diharapkan, jumlah peningkatannya sangat lambat. Penemuan ini sekaligus menyimpulkan bahwa jam plasenta akan sangat menentukan waktu kelahiran pada seorang ibu hamil. Produksi CRH oleh plasenta hanya dialami oleh golongan primate. Pada monyet misalnya terjadi puncak midgestasi pada produksi CRH plasenta, namun hanya pada monyet yang jenisnya besar dimana peningkatan jumlahnya serupa dengan yang terjadi pada manusia. Baik manusia maupun jenis monyet besar sama-sama memproduksi protein yang mengikat CRH ( CRH binding-protein). Pada akhir kehamilan, terjadi penurunan kadar CRH-BP seiring dengan meningkatnya bioavailibitas CRH. Hormon glukokortikoid ternyata dapat merangsang pelepasan gen CRH dan kemudian diproduksinya CRH oleh plasenta. Sebaliknya CRH yang dihasilkan plasenta tersebut kemudian akan merangsang kelenjar hipofisis untuk memproduksi dan mensekresikan hormon kortikotropin yang pada akhirnya dapat merangsang korteks adrenal di ginjal melepaskan hormon kortisol. Pengaturan seperti ini memungkinkan terjadinya sistem feed-forward yang telah ditunjukkan oleh model matematis untuk dapat menyerupai perubahan yang terjadi dalam kehamilan manusia. Produksi CRH plasenta juga ternyata dapat dimodifikasi oleh estrogen, progesteron, dan nitroksida yang menjadi penghambat dan juga oleh serangkaian neuropeptida yang bersifat merangsang. Pada perempuan, meningkatnya kadar CRH plasenta dalam plasma maternal sebagai fungsi eksponensial merupakan ciri dari kehamilan secara spesifik. Perubahan kecil dalam fungsi eksponensial tersebut dapat menyebabkan perbedaan produksi CRH pada setiap perempuan yang sedang hamil tua. Namun demikian tidak setiap kasus persalinan prematur selalu berhubungan dengan perubahan pada produksi CRH plasenta, misalnya karena sebab lain seperti infeksi intrauterin. Rendahnya kadar CRH dalam plasma ibu tidak akan mempengaruhi terjadinya persalinan prematur. Kadar CRH dianggap kurang akurat untuk dapat memprediksikan terjadinya persalinan prematur, walaupun bila pada perempuan tersebut terjadi peningkatan kadar CRH, ia akan berisiko mengalami persalinan prematur. Dengan demikian adanya keragaman pada ibu hamil menyebabkan kenaikan CRH dapat dianggap menjadi prediktor yang akurat untuk memperkirakan terjadinya persalinan sehingga keberadaannya merupakan variabel penting. Dalam mengukur kadar CRH, kita harus menyesuaikan atau mencocokkannya dengan ras atau kelompok etnik tertentu. Perempuan keturunan Afrika-Amerika memiliki kadar CRH dalam plasma ibu yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ras atau kelompok etnis lainnya, sekalipun pada mereka konsentrasi CRH akan berkaitan dengan perkiraan waktu kelahiran. Reseptor CRH Sebagian besar CRH disekresikan dari plasenta ke darah ibu, namun juga ia akan masuk ke dalam sirkulasi janin. Secara khusus CRH akan berikatan dengan reseptor CRH Tipe 1, yaitu suatu anggota ketujuh dari trasmembran protein G sehingga menjadi satu ikatan hormon-reseptor. Pada ibu, reseptor

CRH terdapat dalam kelenjar hipofisis, miometrium, dan mungkin dalam kelenjar adrenal. Sedangkan pada janin, reseptor CRH terdapat pada kelenjar hipofisis, kelenjar adrenal, dan mungkin dalam paruparu. Meningkatnya CRH akan dapat memperbanyak tempatnya dalam tubuh ibu dan janin. Kondisi tersebut berkaitan juga dengan terjadinya proses persalinan. Meningkatnya kadar CRH plasenta akan menyebabkan peningkatan kadar hormon kortisol dan kortikotropin seiring dengan pertambahan usia kehamilan, sekalipun efeknya dapat dihambat oleh adanya ikatan protein dan desensitisasi reseptor CRH oleh adanya pelepasan CRH yang terusmenerus. Meningkatnya CRH dan kortikotropin akan ikut meningkatkan produksi kortisol dan dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) oleh kelenjar adrenal ibu; dan peningkatan kortisol ini akan menstimulai pelepasan CRH plasenta dan DHEAS akan memberikan asupan untuk sintesis estrogen plasenta. Terdapat beberapa bentuk reseptor CRH dalam miometrium. Ikatan ligand pada sebagian bentuk umum, CRHR 1, akan menyebabkan disosiasi pada subunit pada protein G, yang akan merelay sinyal dari reseptor CRH ke efektor intraseluler. Sinyal ini akan terhimpun dalam sel miometrium. Pada saatnya, reseptor CRH akan berubah ke bentuk yang kurang efisien dalam mengaktivasi jalur relaksasi di miometrium. Bahkan reseptor ini akan mengaktifkan jalur Gq yang terhubung dengan pengaktivasian protein kinase dan jalur kontraktil. CRH berpotensi menimbulkan efek kontraktil pada beberapa uterotonin, seperti oksitosin dan prostaglandin F 2 yang menyebabkan timbulnya kontraksi uterus (his), akan tetapi untuk membuktikan hal tersebut masih ada kesulitan. CRH dalam Janin CRH plasenta juga dilepaskan ke dalam janin. Walaupun dibandingkan dengan sirkulasi ibu, sirkulasi pada janin jauh lebih rendah, namun CRH tetap akan mengalami peningkatan seiring dengan membesarnya kehamilan. Dalam janin, reseptor CRH terdapat dalam kelenjar hipofisis dan di dalam sel yang membentuk zona janin pada kelenjar adrenal. Stimulasi pada kelenjar hipofisis janin oleh CRH akan meningkatkan produksi kortikotropin dan akibatnya terjadi sintesis kelenjar kortisol oleh kelenjar adrenal janin dan peningkatan kematangan paru-paru janin. Sebaliknya meningkatnya konsentrasi kortisol dalam janin dapat meningkatkan produksi CRH plasenta. Pematangan paru-paru janin adalah akibat peningkatan kortisol yang dikaitan dengan meningkatnya produksi protein A surfaktan dan fosfolipid, dimana keduanya melakukan tindakan proinflamatori dan dapat menstimulasi miometrium secara kontraktil melalui peningkatan produksi prostaglandin oleh membran janin (amnion) dan miometrium itu sendiri. Pada baboon, CRH akan secara langsung merangsang perkembangan paru-paru janin dan akan sangat berpengaruh pada pelepasan sintesis surfaktan fosfolipid. Namun hingga saat ini belum diketahui apakah hal ini juga terjadi pada manusia. Perangsangan CRH pada sel adrenal janin yang kekurangan dehidrogenase hidroksisteroid 3 akan menyebabkan terbentuknya DHEA plasenta, estrogen, dan hormon penting lainnya dalam kehamilan. Daerah janin pada kelenjar adrenal akan berubah secara cepat setelah plasenta keluar (persalinan). Hal ini mengindikasikan bahwa faktor plasenta seperti CRH ikut memelihara daerah janin tersebut. Dengan demikian CRH juga mungkin dapat menstimulasi steroidogenesis adrenal dengan memberikan asupan agar plasenta dapat memproduksi estrogen yang mempengaruhi proses persalinan dengan cara menimbulkan kontraksi. Singkatnya tampak bahwa sistem umpan balik yang positif antara ibu dan janin akan dapat memicu peningkatan produksi CRH seiring dengan semakin bertambahnya usia kehamilan. Sebaliknya, meningkatnya produksi CRH plasenta juga akan menyebabkan perubahan pada kadar kortisol janin, semakin matangnya paru-paru janin, meningkatnya sintesis prostaglandin, fosfolipid, dan ekspresi reseptor miometrium yang terkombinasi melalui suatu jalur aktivasi independen dengan proses persalinan. Jalur-jalur inilah yang pada akhirnya akan merangsang proses kelahiran dan menyebabkan mekanisme persalinan.

Aktivasi Miometrium Salah satu peristiwa penting dalam persalinan adalah lepasnya sekelompok protein yang bernama protein kontraksi. Protein ini bekerja dalam uterus yang merupakan tempat paling relaks pada sebagian besar masa kehamilan, untuk menimbulkan irama kontraksi yang kuat yang dapat memaksa janin keluar melalui serviks. Ada 3 tipe protein kontraksi dalam uterus, yaitu: 1. Protein yang dapat meningkatkan interaksi antara protein aktin dan myosin, yang dapat menyebabkan kontraksi otot; 2. Protein yang dapat meningkatkan kemampuan sel miometrium individual; dan 3. Protein yang dapat meningkatkan konektivitas intraseluler yang dapat memungkinkan adanya perkembangan kontraksi secara sinkron.

Protein yang Dapat Meningkatkan Kontraktilitas Interaksi yang terjadi antara aktin dan myosin akan dapat menentukan kontraksilitas miosit (sel-sel otot miometrium). Agar interaksi ini dapat terjadi, aktin harus diubah dari bentuk globular menjadi bentuk filamentosa. Aktin juga harus terhubung dengan sitoskeleton di titik fokus yang ada dalam membran sel yang dapat memungkinkan terjadinya perkembangan tekanan. Titik fokus ini menghubungkan sel ke matriks sel di sekitarnya. Partner aktin yakni myosin baru akan teraktivasi saat ia terfosforilasi oleh rantai terang kinase myosin. Kalmodulin dan peningkatan kalsium intraseluler akan mengaktifkan enzim ini. Fosforilasi rantai terang myosin dapat juga ditingkatkan dengan memblok aksi fosfatase. Setelah miosit terdepolarisasi, sebuah gelombang kalsium ekstraseluler yang datang melalui saluran kalsium ( Ca-channel) dan lepasnya kalsium dari tempat penyimpanan intraseluler akan menghasilkan peningkatan kalsium intraseluler, yaitu melalui adanya peningkatan interaksi antara myosin dan aktin. Kondisi ini akan mengakibatkan timbulnya kontraksi. Nifedipin merupakan salah satu obat yang dapat menghambat persalinan, dimana ia bekerja dengan cara memblok saluran kalsium. Saluran ini akan terbuka ketika ligand yang telah teraktivasi misalnya prostaglandin mengurangi perbedaan elektrokimia yang terdapat pada membran miosit. Saluran yang diatur oleh ligand ini yang melepaskan kalsium dari penyimpanan intraseluler, akan diaktifkan oleh prostaglandin melalui reseptor prostaglandin E dan F dan oleh oksitosin, yang kemudian mengaktifkan protein Gq yang terhubung dengan fosfolipase. Fosfolipase C yang teraktivasi sebaliknya akan mengaktivasi protein kinase C dan melepaskan insoitol trifosfat. Protein kinase C mungkin akan mengaktivasi rantai kinase protein dan inositol trifosfat akan melepaskan kalsium dari tempat penyimpanan intraseluler. Meregangnya miometrium adalah akibat dari pertumbuhan janin yang semakin besar dan akan menyebabkan kontraksi pada miosit melalui adanya aksi mitogen yang diaktivasi oleh protein kinase. Sistem yang meningkatkan relaksasi melalui jalur G2 akan bertolak belakang dengan jalur ini dengan cara meningkatkan cAMP intraseluler dan mengaktifkan protein kinase A. Enzi mini kemudian akan menonaktifkan rantai kinase myosin terang. Pada saat persalinan, adanya pergantian seimbang antara sistem yang saling berlawanan ini akan menyebabkan terjadinya kontraksi myosin. Protein yang Dapat Meningkatkan Eksitabilitas Miosit Miosit berfungsi untuk memelihara gradient elektrokimia yang ada pada membran plasma dengan negatif interior hingga eksterior melalui aksi natrium-kalium. Komponen yang terlibat dalam proses ini adalah saluran kalium dimana kalsium dan aliran listrik serta kalium akan meningkatkan perbedaan pada membran sel dan membuatnya terdepolarisasi. Pada saat persalinan, terjadinya perubahan pada distribusi dan fungsi saluran ini akan menurunkan intensitas rangsangan yang diperlukan agar dapat mendepolarisasi miosit dan untuk memproduksi arus kalsium yang dapat menghasilkan kontraksi. Reseptor simpatomimetik 2 dan 3 yang dapat meningkatkan terbukanya saluran kalium akan dapat mengurangi eksitabilitas sel, dan juga akan mengalami penurunan jumlah pada saat kelahiran dan persalinan. Protein yang Dapat Meningkatkan Konektivitas Interseluler Aspek penting pada aktifitas miometrium pada saat persalinan adalah perkembangan sinkronisasi. Aktivitas yang sinkron pada sel miometrial akan mengakibatkan adanya kontraksi yang kuat sehingga ibu dapat mengeluarkan janin. Yang sama pentingnya adalah periode relaksasi yang dapat memungkinkan darah untuk mengalir ke dalam janin (selama kontraksi, aliran darah ke janin mengalami penurunan, dan selama relaksasi mengalami peningkatan). Uterus akan kekurangan hal yang dapat mengatur kontraksi, walaupun sel ada yang serupa dengan itu. Namun demikian, sering dengan berlangsungnya proses kelahiran, terdapat peningkatan sinkronisasi pada aktivitas elektrik

uterus. Pada tingkat seluler, sinkronisasi ini dicapai oleh adanya aktivitas listrik karena adanya hubungan antara myofibril yang memindahkan aktifitas elektrik ke serabut otot. Myosit yang teraktivasi akan menghasilkan prostaglandin, yang akan berkerja dengan mekanisme parakrin untuk mendepolarisasi myosit yang ada di sekitarnya. Proses ini akan menyebabkan adanya aktifitas gelombang dan akan ada banyak myosit yang terlibat dalam kontraksi. Setelah terjadinya kontraksi, myosit akan relaks dan menjadi terefraksi untuk melakukan stimulasi lebih jauh lagi. Kontraksi uterus ini akan terdiri dari serangkaian tekanan tinggi dan rendah yang lambat hingga saatnya tiba. Pada tingkat molekuler, myosit akan terhubung oleh saluran yang diciptakan oleh multimer pada connexin 43; saluran ini akan memungkinkan lancarnya fungsi myosit. MEKANISME TERJADINYA AKTIVASI MIOMETRIUM Kontribusi Fetus Terhadap Persalinan Selama kehamilan, pertumbuhan uterus berada dalam pengaruh hormon estrogen yang memberi kesempatan fetus untuk tumbuh, tetapi pertumbuhan uterus terus berlangsung hingga periode akhir kehamilan dan semakin memperkuat tekanan pada dinding-dinding uterus hingga menimbulkan tandatanda awal persalinan. Biasanya, persalinan prematur lebih banyak terjadi pada kehamilan kembar dua daripada kehamilan tunggal, dan pada kehamilan multipel lebih banyak terjadi pada kehamilan kembar tiga daripada pada kembar dua, atau juga lebih banyak terjadi pada kondisi dimana fetus mengalami makrosomia dan polihidramnion. Sudah barang tentu, kecenderungan ini bekaitan erat dengan terjadinya peregangan (stretching) yang berlebihan yang bisa terjadi pada kehamilan multipel atau bayi dengan ukuran besar abnormal atau produksi cairan amnion yang berlebihan (polihidramnion). Pada sebagian besar organ-organ yang dilapisi otot polos, peregangan akan merangsang terjadinya kontraksi. Perubahan pada proses perkembangan yang terjadi dalam uterus selama masa kehamilan yang kemudian meregang dicetuskan oleh penghentian pertumbuhan uterus pada persalinan yang dikendalikan oleh hormon progesteron. Telah diketahui bahwa penurunan progesterone secara tiba-tiba (progesterone withdrawal) dapat meningkatkan penempelan myosit terhadap matriks intraseluler, melalui protein integrin, dan proses ini mencetuskan aktivasi protein kinase yang berhubungan dengan mitogen dan meningkatkan kontraktilitas. Dengan terjadinya hal seperti ini dapat meningkatkan konsentrasi CRH ( Corticotrophin Releasing Hormon) plasenta yang mendorong sintesis hormon kortikotropin yang dihasilkan kelenjar hipofisis fetus dan meningkatkan pembentukan hormon-hormon steroid (steroidogenesis) dalam kelenjar adrenal fetus. DHEA yang terbentuk dalam jumlah besar pada fetus mengalami metabolisme yang cepat di dalam plasenta yang mengubahnya menjadi estrogen. Pada waktu yang bersamaan, produksi hormon kortisol juga semakin banyak pada permukaan-permukaan tertentu pada kelenjar adrenal fetus. Peningkatan kortisol dapat merangsang proses pematangan beberapa jaringan pada fetus, khususnya paru-paru. Pematangan paru-paru fetus dapat meningkatkan produksi protein surfaktan dan fosfolipid yang sangat menentukan fungsi paru-paru. Protein surfaktan ini juga kemudian masuk ke dalam cairan amnion, di mana di dalamnya terdapat zat-zat yang dapat mengaktifkan makrofag. Pada tikus telah dibuktikan bahwa protein surfaktan A dapat mengaktifkan makrofag-makrofag dalam cairan amnion, dan sel-sel ini memainkan peranan penting untuk menimbulkan tanda-tanda awal persalinan. Pada manusia, protein surfaktan yang terdapat dalam cairan amnion dapat merangsang terjadinya inflamasi/peradangan pada membran amnion (selaput ketuban), serviks uteri, dan miomterium yang melapisi uterus saat berlangsungnya proses persalinan. Karena itu ini sekaligus menjadi suatu bukti bahwa proses inflamasi merupakan satu elemen yang mendorong dimulainya proses persalinan. Selama minggu-minggu terkahir kehamilan, kadar CRH juga meningkat dalam cairan amnion, yang sudah tentu kontak secara langsung dengan membran amnion.

Aktivasi Selaput Pelindung (Membran Amnion) Fetus Membran amnion merupakan selaput tipis yang kontak secara langsung dengan cairan amnion yang ada di dalamnya. Produksi protein surfaktan, fosfolipid, dan sitokin-sitokin inflamatori dalam ciaran amnion dapat meningkatkan aktifitas enzim siklooksigenase-2 dan produksi prostaglandin E2 dalam cairan amnion. Pada waktu yang bersamaan, kadar kortisol dan CRH, keduanya dapat merangsang produksi enzim siklooksigenase-2 dalam cairan amnion. Aksi dari kedua hormon ini dapat meningkatkan kadar hormon prostaglandin E 2 dan mediator-mediator inflamasi lainnya dalam cairan amnion. Korion yang mengelilingi amnion juga memproduksi enzim prostaglandin dehidrogenase (PGDH), suatu zat yang sangat memiliki potensi untuk menghambat prostaglandin ( prostaglandin inactivator). Pada kasus kehamilan serotinus, aktivitas PGDH korionik menurun dan mempengaruhi desidua yang mengelilinginya, serviks uteri, dan miometrium melalui aksi-aksi proinflamatori prostaglandin E 2. Prostaglandin ini kemudian mendorong pelepasan enzim-enzim metalloprotease yang dapat melemahkan membran plasenta dan dapat mempermudah terjadi robekan (ruptur) pada membran plasenta. CRH juga merangsang sekresi matriks membran metalloprotease-9.

Pelunakan Serviks (Cervix Softening) Salah satu tahapan penting dalam proses persalinan adalah pelunakan serviks. Persalinan berkaitan dengan perpindahan infiltrat inflamatori ke dalam serviks dan pelepasan enzim-enzim metalloprotease yang dapat menguraikan jaringan kolagen sehingga menimbulkan perubahan pada struktur serviks. Selama proses ini, junction antara membran fetus dan desidua terputus dan suatu protein adhesive pada fetus yaitu fibronektin kemudian memasuki ke vagina dan bercampur dengan cairan vagina. Kehadiran protein fibronektin fetus dalam cairan serviks secara klinis bermanfaat untuk memprediksi tanda-tanda kelahiran (imminent delivery ). Progesterone Withdrawal Progesteron memainkan peranan penting dalam perkembangan endometrium melalui persiapan implantasi dan mempertahankan relaksasi miometrium. Pada sebagian besar mammalia, penurunan kadar progesteron dalam sirkulasi mencetuskan persalinan; pada manusia, antagonist progesteron RU486 dapat menginisiasi terjadinya persalinan kapan saja. Suatu ciri khas dalam kehamilan manusia adalah kadar progesteron darah tidak menurun sampai dengan awal mula terjadinya persalinan. Suatu penelitian untuk mengetahui mekanisme ini kini dapat menghitung penurunan progesteron fungsional yang dapat diidentifikasi melalui beberapa bentuk dari reseptor progesteron. Varian-varian tersebut berasal dari transkripsi gen tunggal reseptor progesteron pada sisi awal alternatif. Reseptor progesteron B, yang paling sering ditranskrip, disinyalir menghasilkan berbagai aksi progesteron, yang merupakan transkrip lebih pendek, termasuk reseptor progesteron A dan C. Varian reseptor-reseptor tersebut kekurangan daerah yang mengaktivasi N-terminal dan dalam beberapa hal mereka berfungsi sebagai penekan (repressor) dominan bagi fungsi reseptor progesteron B. Saat dimulainya persalinan, proporsi reseptor progesteron A, B, dan C berubah dalam suatu alur yang dapat mendorong terjadinya mekanisme penurunan progesteron secara tiba-tiba (progesterone withdrawal). Dalam hal ini, fungsi reseptor progesteron membutuhkan koaktivator spesifik, termasuk koaktivator reseptor progesteron yaitu protein yang mengikat elemen c-AMP-response dan koaktivator 2 dan 3 reseptor steroid yang menurun pada awal persalinan. Progesteron kemudian mengalami metabolisme dan diubah menjadi produk-produk dengan pengaruh biologis yang berbeda-beda. Sebagai contoh misalnya pada saat persalinan, hormon steroid yang sangat potensial menimbulkan relaksasi yaitu 5-dehidroprogesteron kadarnya menurun, sebagaimana halnya dengan penurunan ekspresi dan aktivitas 5-steroid reduktase. Faktor transkripsi nucleus juga merupakan zat yang berperan penting dalam penghambatan aksi progesteron pada level reseptor. Inflamasi dan Awal Mula Terjadinya Persalinan Pada rhesus monyet dan baboon, proses persalinan memakan waktu beberapa hari. Kontraksi uterus yang sinkron/teratur hampir terjadi pada setiap malam dan hilang saat siang tiba, sampai terjadinya kelahiran. Manusia juga memiliki potensi yang sama dalam hal timbul dan berhentinya kontraksi uterus, yang berdampak pada timbulnya suatu derajat reversibilitas (berulang-ulangnya) dari proses tersebut, terutama pada tahap-tahap awal persalinan. Jaringan dari miometrium manusia yang diambil saat operasi caesar sebelum terjadinya awal persalinan dan disimpan dalam organ tertentu menunjukkan kontraksi yang sinkron dan teratur. Secara faktual, mekanisme kontraktil ini memang terjadi dan dapat timbul sebelum aktivasi fisiologis saat persalinan. Suatu penelitian yang membandingkan sampel jaringan miometrium yang diambil dari wanita-wanita yang dioperasi sesar dengan sampel jaringan miometrium yang diambil dari wanita-wanita sebelum dimulainya persalinan telah membuktikan bahwa pada kedua sampel tersebut, ada beberapa gen yang mengkode terjadinya inflamasi/peradangan melalui mediator kimiawi interleukin-8 dan enzim superoksid dismutase yang meningkat secara teratur.

Memahami kemajuan persalinan pada manusia telah terbukti sulit karena kurangnya model-model eksperimental, namun seiring dengan perbaikan dalam model-model tersebut telah memberikan tambahan pengetahuan untuk memahami lebih lanjut. Berdasarkan penelitian terakhir, peningkatan faktor-faktor inflamatori seperti siklooksigenase-2 dan interleukin-8 merupakan proses awal dalam menilai kemajuan persalinan. Peningkatan zat-zat tersebut mengubah reseptor-reseptor progesteron yang juga pada akhirnya mendorong perubahan pada reseptor-reseptor estrogen dan sebagai konsekuensinya adalah diekspresikannya protein koneksin-43 dan reseptor oksitosin. Suatu pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme persalinan normal sudah seharusnya diupayakan sebagai dasar untuk pengidentifikasian hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya persalinan prematur (preterm birth). Pengaruh stress yang dapat menyebabkan peningkatan hormon kortisol maternal atau kompartemen-kompartemen fetal lainnya jelas dapat meningkatkan kadar CRH plasenta. Terjadinya infeksi dapat mengaktivasi proses inflamasi dan dapat merangsang sintesis prostaglandin dalam membran amnion fetus. Abrupsio plasenta juga dapat mempengaruhi miometrium secara langsung melalui pelepasan trombin, yang merupakan perangsang potensial terjadinya kontraksi miometrium. Dan dalam kasus kehamilan multipel dan polihidramnion, peningkatan regangan uterus dapat merangsang kontraktilitas miometrium. Jalan untuk lahirnya suatu pemahaman tentang komprehensif tentang kelahiran manusia masih panjang dan penuh tantangan. Tujuannya adalah untuk memprediksi kehamilan seperti apa yang membawa risiko tinggi terjadinya persalinan prematur dan untuk memberikan intervensi dengan ukuranukuran yang memadai. Manfaatnya pasti akan sangat besar jika kita dapat berupaya menurunkan atau mengurangi insidensi cerebral palsy dan gangguangangguan kognitif yang berkaitan erat dengan kelahiran prematur.

Anda mungkin juga menyukai