Anda di halaman 1dari 172

R e p u b l i kI n d o n e s i a

S e k t o r S u mb e r D a y a A i r

Ma r e t 2 0 1 0

TIM PENYUSUN
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap ICCSR Sektor Sumber Daya Air Penasehat Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Kepala Editor U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Koordinator ICCSR Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas Editor Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke Laporan Sintesis Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso Laporan Sektor Sumber Daya Air Penyusun: Oman Abdurrahman, Budhi Setiawan. Tim Pendukung Teknis Chandra Panjiwibowo, Edi Riawan, Hendra Julianto, Ursula Flossmann-Krauss Tim Administrasi Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno, Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman

i|I C C S R

UCAPAN TERIMA KASIH


Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan. Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini. Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Sektor Sumber Daya Air, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya: Komite Pengarah Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Pekerjaan Umum; Deputi Bidang Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.

ii | I C C S R

Kelompok Kerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup Sulistyowati, Haneda Sri Mulyanto, Dadang Hilman, Upik S. Aslia, Agus Gunawan, Yulia Suryanti Kementerian Pekerjaan Umum Djoko Murjanto, Mochammad Amron, Susmono, A. Hasanudin, Djoko Mursito, Handy Legowo, Setya Budi Algamar, Agus S.K, Adelia Untari.S, Leonardo B, Desfitriana, Devina Suzan, Nur. F. K, Agung. T, Rindy Farrah, Yuke Ratnawulan, Zubaidah. K, Savitri. R Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta, Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari, Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito, Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda, Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini. Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan serta terima kasih yang setinggitingginya diberikan.

iii | I C C S R

Kata Pengantar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas

Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu rata-rata global melebihi 2C, atau dengan kata lain menurunkan emisi tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun 2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon international yang solid aksi kolektif untuk menghindari konflik antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi geografisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko. Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintifik yang tidak terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan buktibukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa maupun individu. Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim. Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini. Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global bumi. Kita

iv | I C C S R

telah meratifikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan strategis dan penetapan prioritas. Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor. Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Prof. Armida S. Alisjahbana

v|I C C S R

Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas
Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari intensitas energi kita yang tinggi. Dengan lokasi geografisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai. Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentifikasi upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan programprogram yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang. Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

U. Hayati Triastuti

vi | I C C S R

DAFTAR ISI
Tim Penyusun .......................................................................................................... i Daftar Gambar ........................................................................................................ x Daftar Tabel ......................................................................................................... xiii Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................................1 1.1 Latar Belakang....................................................................................................................... 1 1.2 Tujuan .................................................................................................................................... 2 1.3 Pendekatan ............................................................................................................................ 3 1.3.1 1.3.2 Pendekatan berbasis Keilmuan........................................................................... 3 Proses Partisipasi para Pemangku Kepentingan .............................................. 5

Bab 2 Kondisi, Permasalahan, dan Tantangan sektor Sumber Daya Air .............. 7 2.1 Kondisi dan Permasalahan sektor Sumber Daya Air Sekarang ..................................... 7 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.2.1 2.2.2 2.3.1 2.3.2 2.3.3 Ketersediaan, Kebutuhan, Distribusi dan Waktu ............................................ 7 Kualitas sumber daya air...................................................................................... 9 Banjir ...................................................................................................................... 9 Kekeringan ............................................................................................................ 9 Kondisi dan Masalah Lainnya terkait Sumber Daya Air ...............................10 Respon terhadap Perubahan Iklim ..................................................................11 Kebijakan berkaitan dengan Perubahan iklim ................................................11 Efek Langsung Perubahan Iklim......................................................................12 Bahaya sektor Air akibat Perubahan Iklim .....................................................13 Isu-isu Strategis sektor Sumber Daya Air terkait Perubahan Iklim.............23

2.2 Kapasitas Kelembagaan Saat Ini ...................................................................................... 11

2.3 Tantangan sektor Sumber Daya Air terkait Perubahan Iklim ...................................... 12

Bab 3 Kerentanan sektor Air terhadap Perubahan Iklim ..................................... 26 3.1 Identifikasi Komponen Kerentanan ................................................................................ 26 3.2 Gambaran Kerentanan Perubahan Iklim sektor Air ..................................................... 28 3.2.1 3.2.2 3.2.3 3.2.4 Kerentanan karena Kekurangan Data dan Riset............................................28 Kerentanan terhadap Bahaya Penurunan Ketersediaan Air .........................29 Kerentanan terhadap Bahaya Banjir ................................................................30 Kerentanan terhadap Bahaya Kekeringan ......................................................32
vii | I C C S R

3.2.5 3.2.6

Kerentanan terhadap Bahaya Tanah Longsor ................................................34 Kerentanan terhadap Bahaya Intrusi Air Laut ...............................................35

3.3 Komponen Kerentanan Penting yang Belum Dilibatkan ............................................. 36 3.4 Kerentanan per Wilayah .................................................................................................... 36 3.4.1 3.4.2 3.4.3 3.4.4 3.4.5 3.4.6 3.4.7 3.5.1 3.5.2 Wilayah Sumatera ...............................................................................................36 Wilayah Jawa-Bali ...............................................................................................38 Wilayah Kalimantan ...........................................................................................39 Wilayah Sulawesi .................................................................................................39 Wilayah Kepulauan Nusatenggara ...................................................................40 Wilayah Kepulauan Maluku ..............................................................................40 Wilayah Papua .....................................................................................................41 Tingkat Kepercayaan Informasi .......................................................................41 Penelitian Lanjut yang Diperlukan ...................................................................42

3.5 Tingkat Kepercayaan Informasi dan Penelitian Lanjut yang Diperlukan .................. 41

Bab 4 Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Sumber Daya Air............ 43 4.1 Gambaran Risiko Perubahan Iklim sektor Air ............................................................... 43 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4 4.1.5 4.2.1 4.2.2 4.2.3 4.2.4 4.2.5 4.2.6 4.2.7 Risiko Penurunan Ketersediaan Air.................................................................43 Risiko Banjir ........................................................................................................45 Risiko Kekeringan ..............................................................................................46 Risiko Tanah Longsor........................................................................................48 Risiko Intrusi Air Laut .......................................................................................49 Wilayah Sumatera ...............................................................................................49 Wilayah Jawa-Bali ...............................................................................................51 Wilayah Kalimantan ...........................................................................................52 Wilayah Sulawesi .................................................................................................53 Wilayah Kepulauan Nusatenggara ...................................................................54 Wilayah Kepulauan Maluku ..............................................................................54 Wilayah Papua .....................................................................................................55

4.2 Risiko Perubahan Iklim per Wilayah ............................................................................... 49

Bab 5 Arah Kebijakan dan Tahapan untuk Integrasi Isu Perubahan Iklim ke dalam Sektor Sumber Daya Air ke Depan .......................................... 56 5.1 Arah Kebijakan Pembangunan Jangka Panjang 2010-2030 sektor Sumber Daya Air ............................................................................................................................... 56 5.1.1 Arah Kebijakan untuk Adaptasi .......................................................................58
viii | I C C S R

5.1.2 5.1.3 5.2.1

Ekonomi Makro dan Analisa Pembiayaan......................................................60 Acuan untuk Pemantauan dan Evaluasi ..........................................................60 Tahap I (2010-2015)...........................................................................................60 5.2.1.1 Program Prioritas untuk Adaptasi .................................................. 60 5.2.1.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi ...................................... 61 5.2.1.3 Pemantauan dan Evaluasi ................................................................ 61 Tahap II (2015-2020) .........................................................................................61 5.2.2.1 Program Prioritas untuk Adaptasi .................................................. 61 5.2.2.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi ...................................... 62 5.2.2.3 Pemantauan dan Evaluasi ................................................................ 62 Tahap III (2021-2025) .......................................................................................62 5.2.3.1 Program Prioritas untuk Adaptasi .................................................. 62 5.2.3.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi ...................................... 62 5.2.3.3 Pemantauan dan Evaluasi ................................................................ 62 Tahap IV (2026-2030)........................................................................................62 5.2.4.1 5.2.4.2 5.2.4.3 Program Prioritas untuk Adaptasi .................................................. 62 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi ...................................... 63 Pemantauan dan Evaluasi ................................................................ 63

5.2 Tahapan Pembangunan Jangka Menengah sektor Sumber Daya Air ......................... 60

5.2.2

5.2.3

5.2.4

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 64 LAMPIRAN I LOKASI DAN RUANG LINGKUP KAJIAN .......................................58 LAMPIRAN II KONDISI, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN SEKTOR SUMBER DAYA AIR ............................................................................................61 LAMPIRAN III KERENTANAN SEKTOR AIR TERHADAP PERUBAHAN IKLIM ..........................................................................................................................................93 LAMPIRAN IV POTENSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR SUMBER DAYA AIR............................................................................................................ 127

ix | I C C S R

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alur penyusunan roadmap perubahan Iklim sektor air melibatkan keragaman wilayah, analisis scientific basis tingkat makro,, dan isu lintas sektor ................................................................................................................... 2 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Bahaya PKA, periode SRA2 2000-2030 ....................................................... 14 Model perubahan curah hujan selama kondisi normal dalam 30 tahun di daerah Maluku (kiri) dan Sumatera Utara dan Utara Sumatera Tengah (kanan) ................................................................................................. 14 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Peta bahaya penurunan ketersediaan air, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 15 Bahaya Banjir, SRA2 periode 2000-2030 ...................................................... 16 Model perubahan curah hujan selama kondisi normal dalam periode 30 tahunan untuk Jawa-Bali (kiri atas), Kalimantan (kanan atas), Papua (kanan bawah), dan Sumatera (kiri bawah)................................................... 17 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Peta bahaya banjir, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .................................. 18 Bahaya Kekeringan, SRA2, 2000-2030 ......................................................... 18 Model perubahan curah hujan (kiri) dan perubahan temperatur (kanan) selama normal untuk 30 tahun di Sumatera (atas), Jawa-Bali (tengah) dan Nusa tenggara (bawah) ............................................................. 19 Gambar 2.9 Peta bahaya kekeringan, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .................... 20 Gambar 2.10 Bahaya longsor, SRA2, 2000-2030 ................................................................ 21 Gambar 2.11 Model perubahan curah hujan selama di atas kondisi normal selama 30 tahun untuk Sumatera (kiri atas), Jawa-Bali (kanan atas), Sulawesi (kanan bawah), dan Papua (kiri bawah). ....................................................... 22 Gambar 2.12 Bahaya longsor, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 ......................................................... 23 Gambar 3.1 Peta kerentanan terhadap bahaya penurunan ketersediaan air, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .................................................................................................. 29

x|I C C S R

Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5

Peta kerentanan terhadap bahaya banjir, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.............. 31 Peta kerentanan terhadap bahaya kekeringan, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .. 33 Peta kerentanan terhadap bahaya tanah longsor, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .. 34 Risiko penurunan ketersediaan air, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.............. 44 Ketersediaan air (kiri) dan kebutuhan air (kanan) per wilayah ................... 45 Risiko banjir, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 20102015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .............................................. 46 Risiko kekeringan, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030..................................... 47 Risiko tanah longsor, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030..................................... 48

Gambar L.1 Pembagian wilayah Indonesia dalam roadmap perubahan iklim .............. 58 Gambar L. 2 Persentase rumah tangga tanpa fasilitas tempat buang air besar menurut wilayah tahun 2004 .......................................................................... 69 Gambar L. 3 Perkiraan jumlah pembuangan limbah domestik langsung ke lingkungan menurut wilayah tahun 2004 ...................................................... 70 Gambar L. 4 Peta Kekeringan di Propinsi Jawa Barat ....................................................... 73 Gambar L. 5 Peta Intrusi air laut di Provinsi DKI Jakarta ................................................ 74 Gambar L. 6 Contoh Proyeksi kenaikan temperatur rata-rata periode 2030-an (kiri) dan 2080-an (kanan) untuk skenario A2 di atas wilayah Jawa-Bali .......... 83 Gambar L. 7 Bagan Bahaya Penurunan Kertersediaan Air ............................................... 85 Gambar L. 8 Peta bahaya penurunan ketersediaan air, SRA2, dari: periode 20002005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. ... 85 Gambar L. 9 Bagan Bahaya Banjir ........................................................................................ 86 Gambar L. 10 Peta bahaya banjir, SRA2............................................................................... 87 Gambar L. 11 Bagan Bahaya Penurunan Kekeringan .......................................................... 88 Gambar L. 12 Peta bahaya kekeringan, SRA2. ................................................................... 89 Gambar L. 13 Bagan Bahaya Tanah Longsor........................................................................ 90

xi | I C C S R

Gambar L. 14 Peta bahaya tanah longsor, SRA2, dari : periode 2000-2005, 20052010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. ....................... 91 Gambar L. 15 Grafik perubahan laju deforestasi per perperiode ....................................... 98 Gambar L. 16 Peta Penutupan Lahan Berhutan Tahun 2005 Berdasarkan hasil interprestasi citra Landsat 7 ETM+ .............................................................. 98 Gambar L. 17 Peta Geologi Tanah ....................................................................................... 104 Gambar L. 18 Peta Porositas Tanah ..................................................................................... 104 Gambar L. 19 Rencana dan realisasi pelakasanaan GNRHL tahun 2003-2007. ............ 108 Gambar L. 20 Persentase tingkat pencemaran air di Indonesia........................................ 111 Gambar L. 21 Peta kerentanan penurunan ketersediaan air, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 20252030. ................................................................................................................. 114 Gambar L. 22 Peta kerentanan terhadap bahaya banjir, SRA2, dari : periode 20002005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 .. 117 Gambar L. 23 Peta kerentanan terhadap bahaya kekeringan, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 20252030. ................................................................................................................. 120 Gambar L. 24 Peta kerentanan terhadap bahaya tanah longsor, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 ................................................................................................ 122 Gambar L. 25 Risiko penurunan ketersediaaan air, SRA2, dari : periode 20002005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. . 127 Gambar L. 26 Risiko banjir, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. .................................................... 132 Gambar L. 27 Risiko kekeringan, SRA2, dari: periode 2000-2005, 2005-2010-20102015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. ......................................... 135 Gambar L. 28 Risiko tanah longsor, SRA2, dari: periode 2000-2005, 2005-20102010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. ............................... 138

xii | I C C S R

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel L.1 Tabel L.2 Skema identifikasi bahaya dan risiko perubahan iklim sektor air ..................... 4 Neraca Air Indonesia pada kondisi kini (2009) .................................................. 8 Matrik tool ..............................................................................................................58 Komponen kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim ........................59

Tabel L. 3 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2005.............................................................................................................62 Tabel L. 4 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2010.............................................................................................................63 Tabel L. 5 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2015 ..............................................................................................................64 Tabel L. 6 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2020 ..............................................................................................................65 Tabel L. 7 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2025 ..............................................................................................................66 Tabel L. 8 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2030 ..............................................................................................................66 Tabel L. 9 Necara Keseimbangan Air ...................................................................................68 Tabel L. 10 Strategi dalam Mitigasi dan Adaptasi menghadapi Dampak Perubahan Iklim, Departemen Pekerjaan Umum, 2008......................................................75 Tabel L. 11 Strategi dalam Mitigasi dan Adaptasi menghadapi Dampak Perubahan Iklim, Departemen Pekerjaan Umum, 2008 (lanjutan) ....................................76 Tabel L. 12 Program Mitigasi dan Adaptasi dalam Menghadapi Perubahan Iklim ..........77 Tabel L. 13 Klasifikasi DAS Prioritas .....................................................................................94 Tabel L. 14 Klasifikasi DAS Prioritas .....................................................................................95 Tabel L. 15 Jumlah Penduduk Menurut Provinsi, 2000-2005 .............................................96 Tabel L. 16 Penurunan Lahan Berhutan Tahun 2005 Per Provinsi (Berdasarkan Interpretasi Citra Landsat 7 ETM +) .................................................................99

xiii | I C C S R

Tabel L. 17 Kebutuhan Air Minum Penduduk Tahun 2000 dan 2004 ........................... 101 Tabel L. 18 Cekungan Air Tanah .......................................................................................... 102 Tabel L. 19 Tabel Kemiringan Lahan .................................................................................. 103 Tabel L. 20 Status Mutu Air Beberapa Sungai di Indonesia ............................................. 105 Tabel L. 21 Jumlah Industri Manufaktur Penandatangan Super Menurut Provinsi ...... 109 Tabel L. 22 Bobot kerentanan total terhadap bahaya PKA. ............................................ 112 Tabel L. 23 Bobot kerentanan total terhadap bahaya banjir ............................................ 116 Tabel L. 24 Bobot kerentanan total terhadap bahaya kekeringan ................................... 119 Tabel L. 25 Bobot kerentanan terhadap bahaya tanah longsor ....................................... 121 Tabel L. 26 Kearifan lokal...................................................................................................... 124 Tabel L. 27 Lima Pendekatan dalam Kajian Perubahan Iklim dimodifikasi dari IPCC, 2007 .......................................................................................................... 125 Tabel L. 28 Berbagai Tingkatan Studi Kerentanan ............................................................ 126 Tabel L. 29 Risiko Penurunan Ketersediaan Air (PKA) per Pulau.................................. 128 Tabel L. 30 Risiko Banjir per Pulau ...................................................................................... 130 Tabel L. 31 Risiko Kekeringan per Pulau ............................................................................ 133 Tabel L. 32 Risiko Tanah Longsor per Pulau ..................................................................... 136 Tabel L. 33 Tingkat Risiko wilayah Sumatera ..................................................................... 143 Tabel L. 34 Tingkat Risiko wilayah Jawa ............................................................................. 144 Tabel L. 35 Tingkat Risiko wilayah Bali ............................................................................... 145 Tabel L. 36 Tingkat Risiko wilayah Kalimantan ................................................................ 145 Tabel L. 37 Tingkat Risiko wilayah Sulawesi....................................................................... 146 Tabel L. 38 Tingkat Risiko wilayah Nusatenggara............................................................. 147 Tabel L. 39 Risiko Tanah Longsor wilayah Maluku........................................................... 148 Tabel L. 40 Risiko Tanah Longsor wilayah Papua ............................................................. 149

xiv | I C C S R

BAB 1

Pendahuluan

2.1

LATAR BELAKANG

Arahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 tentang perubahan iklim perlu diintegrasikan kedalam program pembangunan setiap sektor di Pusat dan Daerah dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk itu diperlukan suatu Roadmap pengarus-utamaan Perubahan Iklim ke dalam Perencanaan Pembangunan Nasional (selanjutnya disingkat: Roadmap Perubahan Iklim). Kandungan dari Roadmap perubahan iklim adalah arah kebijakan dan program 5 tahunan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berkenaan dengan isu perubahan iklim yang disusun untuk waktu 20 tahun ke depan. Pembahasan roadmap ini dituangkan dalam 7 (tujuh) wilayah, yaitu: Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dengan rincian sebagaimana pada Lampiran 1.1. Seiring langkah di tingkat global, respon terhadap perubahan iklim yang akan menjadi isi utama roadmap perubahan iklim adalah dua langkah utama, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah upaya penurunan laju atau meminimalkan terjadinya perubahan iklim dengan meningkatkan kemampuan absorbsi karbon dan mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Adapun adaptasi meliputi rekayasa teknologi dan sosial untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang ditunjang oleh kesadaran yang tinggi, sikap mental, dan perilaku masyarakat. Sektor sumber daya air atau sektor air termasuk salah satu sektor penting yang harus dilibatkan dalam penyusunan roadmap perubahan iklim. Dalam hal ini, respon terhadap perubahan iklim sektor air pada umumnya merupakan langkah-langkah adaptasi. Namun, beberapa program dan kegiatan di dalamnya dapat berupa gabungan dengan langkah mitigasi; dan beberapa lainnya merupakan solusi untuk isu-isu lintas sektor (cross-cutting issues). Roadmap ini disusun atas dasar kajian keilmuan (scientific basis) dengan pendekatan tingkat makro dengan penyederhanaan analisis risk assesment dan matrix tool dengan mempertimbangkan keragaman wilayah dan isu-isu lintas sektoral (Gambar 1.1).

1|I C C S R

Partisipasi para pemangku kepentingan (data, kapasitas kelembagaan, konsultasi, diskusi, FGD) Isu perubahan iklim (efek langsung perubahan iklim) Roadmap Perubahan Iklim sektoo air Final
2|I C C S R

Kewilayahan (sektor SDA karakteri wilayah,

Temuan-temuan: Bahaya isu strategis isu lintas sektor kerentanan risiko

Arah kebijakan, strategi, dan program prioritas untuk adaptasi perubahan iklim sektor air

Analisis scientific basic tingkat makro: prinsip-prinsip risk assessment, metode yang sesuai dan matrix tool

Keterangan:

: masukan/analisis,

: umpan balik;

: keluaran/hasil

FGD : focus group discussion Gambar 1.1 Alur penyusunan roadmap perubahan Iklim sektor air melibatkan keragaman wilayah, analisis scientific basis tingkat makro,, dan isu lintas sektor

2.2 1) 2) 3)

TUJUAN Mengidentifikasi kondisi dan permasalahan sekarang serta tantangan masa depan atau bahaya sektor air akibat perubahan iklim; Menemukan kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim berdasarkan bahaya yang telah teridentifikasi; Mengenali potensi dampak atau gambaran risiko sektor sumber daya air akibat bahaya dan kerentanan perubahan iklim yang telah dikenali dan isu-isu strategis terkait, termasuk isu lintas sektoral; 4) Merumuskan arah kebijakan dan pentahapan untuk integrasi adaptasi perubahan iklim sektor sumber daya air. Tujuan ini meliputi: a) arah kebijakan jangka panjang dalam periode 20 tahun (2010-2030), b) integrasi kebijakan dan program ke dalam tahapan pembangunan lima tahunan atau jangka menengah , dan c) Cross-cutting issues;.

Tujuan penyusunan roadmap perubahan iklim sektor air adalah sebagai berikut:

5)

Mendapatkan aspek-aspek lain yang signifikan dan diperlukan berkaitan dengan kajian, seperti faktor ketak-menentuan, tingkat kepercayaan informasi hasil kajian, dan penelitian lebih lanjut yang diperlukan.

2.3 2.3.1

PENDEKATAN Pendekatan berbasis Keilmuan

Langkah umum pendekatan yang digunakan dalam penyusunan roadmap adalah: 1) Pengenalan masalah dan penetapan muatan roadmap, meliputi: pendekatan kajian yang digunakan, kondisi dan permasalahan, kapasitas dan respon kelembagaan sektor air saat ini, dan tantangan ke depan; 2) Identifikasi bahaya perubahan iklim. Bahaya yang dimaksud adalah efek lebih lanjut akibat perubahan iklim yang meliputi : penurunan ketersediaan air, banjir, kekeringan, tanah longsor, dan intrusi air laut; 3) Identifikasi kerentanan terkait sektor air. Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari karakter, besaran, dan kecepatan dari bahaya perubahan iklim dan variasi dari keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi dari sistem terhadap bahaya tersebut (Affeltranger, et al, 2006 dalam Suroso, D.S, 2008) 4) Analisa dan evaluasi potensi dampak dan isu-isu strategis. Potensi dampak atau risiko diperoleh dari analisis bahaya dan kerentanan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Isuisu strategis adalah permasalahan penting temuan-temuan kajian sebagai dasar utama perumusan kebijakan; 5) Penemuan strategi adaptasi yang memadai dan pengutamaan strategi adaptasi tersebut kedalam kebijakan pembangunan. Kajian keilmuan idealnya berdasarkan kerangka pikir penilaian risiko (risk assesment framework), yaitu: R = H x V; dan V = (E x S)/AC (Affeltranger, et al, 2006 dalam Suroso, D.S., 2008) dengan R adalah risiko, H adalah bahaya, V adalah kerentanan; E adalah keterpaparan, S adalah sensitivitas, dan AC adalah kapasitas adaptasi dalam mengatasi bahaya atau risiko yang muncul. Namun, mengingat studi yang dilakukan adalah tingkat makro serta keterbatasan data dan waktu kajian, maka dilakukan penyederhanaan aplikasi risk assesment framework dengan tetap berpatokan pada prinsip-prinsipnya. Sedangkan dalam analisis selanjutnya digunakan matriks (matrix tool) yang memetakan wilayah, bahaya, kerentanan, potensi dampak atau risiko, rekomendasi strategi adaptasi dan program adaptasi (Lampiran 1.2).

3|I C C S R

Identifikasi bahaya diperoleh atas dasar efek langsung perubahan iklim. Potensi dampak atau risiko merupakan bahaya yang diperkuat atau diperlemah oleh tingkat kerentanan. Tabel 1.1 menyajikan skema pendekatan yang digunakan dalam identifikasi bahaya dan potensi dampak perubahan iklim sektor air. Tabel 1.1 Skema identifikasi bahaya dan risiko perubahan iklim sektor air Efek Langsung Kenaikan Temperatur (T) Bahaya Sektor Air - Kenaikan evapotranspirasi - Bersama perubahan curah hujan: penurunan aliran permukaan - Kenaikan aliran permukaan - Bersama kenaikan temperatur: Penurunan alir-an permukaan - Kenaikan kelembaban tanah Potensi Dampak Sektor Air - Penurunan Ketersediaan Air - Kekeringan - Gangguan keseimbangan air - Penurunan kualitas air Data yang Digunakan - Potensi fisik bahaya1) - Kerentanan terkait: kepadatan penduduk, tataguna lahan, dll3) Analisis yang Digunakan - Analisis water balance (WB) - Analisis statistik CFD2) - Anaisis kualitatif - Analisis WB - Analisis statistik CFD2) - Anaisis kualitatif

Perubahan Pola Curah Hujan (CH)

Kenaikan Muka Laut (SLR)

Kenaikan Frekuensi dan Intensitas Iklim Ekstrim

- pengambilan air tanah tertentu interface air laut air tanah bergeser ke atas - rendaman daerah pesisir pantai - CH diatas normal: kenaikan aliran permukaan dan kelembaban tanah - CH dibawah normal bersama kenaikan T: Penurunan aliran permukaan

- Banjir - Potensi fisik bahaya1) - Penurunan Ketersediaan - Kerentanan: Air kepadatan penduduk, - Kekeringan tataguna - Gangguan lahan, dll3) keseimbangan air - Penurunan kualitas air - Tanah Longsor - Intrusi air laut - Kerentanan - Kerusakan pantai terkait infrastruktur - Kerentanan: terkait pengambila n air tanah dll3) - Banjir - Potensi fisik bahaya1) - Tanah Longsor - Kerentanan - Penurunan terkait: ketersediaan air kepadatan - Kekeringan penduduk, - Gangguan tataguna keseimbangan lahan, dll3) air

- Analisis WB - Analisis statistik CFD2) - Anaisis kualitatif - Analisis WB - Analisis statistik CFD2) - Anaisis kualitatif

4|I C C S R

Keterangan:

1)

Potensi fisik bahaya, antara lain: total runoff; direct runoff, tataguna lahan berkaitan
2)

dengan bahaya;

CFD : cummulative frequency distribution; 3) Lihat Lampiran 1.Selanjutnya, untuk

setiap bahaya tersebut, sebelum identifikasi dampak terlebih dahulu dilakukan identifikasi kerentanan (lihat Lampiran 1.3 dan Bab 3). 2.3.2 Proses Partisipasi para Pemangku Kepentingan

Para pemangku kepentingan adalah sektor-sektor terkait sumber daya air, seperti Departemen Pekerjaan Umum (DPU), Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kehutanan (Dephut), Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika (BKMG) dan lainnya. Proses partisipasi para pemangku kepentingan dalam penyusunan roadmap dilakukan melalui berbagai kegiatan, diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Bapenas, Jakarta, 11-1-2009: pengarahan oleh Bappenas; Hotel Borobudur, Jakarta, 27-1- 2009: kick off meeting; seluruh sektor Hotel Parklane, Jakarta; 4 -2- 2009: hadir pada FGD sektor Iklim; DPU, Jakarta, 7-8 Fberuari 2009, Konsultasi Pra FGD I Sektor Air dan Pengelolaan Limbah (PL) kepada narasumber dari DPU; Bappenas, Jakarta, 24-2009: FGD I sektor Air dan PL, nara-sumber dari DPU, BKMG, Dephut; dan peserta dari sektor terkait; Deptan, Jakarta, 26-2-2009: partisipasi pada FGD I sektor Pertanian; Bappenas, Jakarta, 4 -3-2009: Partisipasi pada FGD I sektor Kesehatan; Hotel Borobudur Jakarta, 19-3-2009: hadir pada FGD I sektor Industri; DPU, Jakarta, 20 -3 - 2009: bersama Dr. Irving Mintzer, melakukan unstructured indepth interview kepada pihak DPU; DPU, Jakarta, 6 4- 2009: konsultasi Pra FGD II sektor Air dan PL; Dephut, Jakarta, 16 - 4 - 09: Diskusi dengan Dit. DAS, Dephut; DPU, Jakarta, 29-4-2009 dan 1 -5-2009: Pra FGD II sektor Air dan PL DepKes, Jakarta 1-5-2009: partisipasi pada FGD III sektor Kesehatan; DPU, Jakarta, 6-5-2009 : FGD II sektor Air dan PL, klarifikasi matriks roadmap perubahan iklim sektor air dan PL; Badan Geologi, Bandung, 8-9 Mei 09: personal communication dengan expert air tanah dari PLG dan expert tanah longsor, Badan Geologi; Wisma Bakri, Jakarta, 15-5-2009, Evaluasi internal oleh Bappenas-GTZ; Bappenas, Jakarta, 25-5-2009, FGD evaluasi oleh Bappenas dan sektor; Hotel Niko, Jakarta, 17-6-2009, FGD lintas sektoral.
5|I C C S R

19. 20.

Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 14-09-2009, Konsinyering SDA Hotel Borobudur, Jakarta, 20-10-2009, Review roadmap sektor air dan limbah.

6|I C C S R

BAB 2

Kondisi, Permasalahan, dan Tantangan sektor Sumber Daya Air

Kondisi dan permasalahan sumber daya air meliputi aspek konservasi, daya guna air dan pengendalian daya rusak air. Konservasi air adalah upaya untuk menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air. Daya guna air meliputi ketersediaan, distribusi, dan kualitas air. Sedangkan daya rusak air meliputi banjir, kekeringan, tanah longsor, dan intrusi air laut. Selain itu, kapasitas saat ini yang meliputi respon dan kebijakan sekarang berkaitan dengan air dan perubahan iklim perlu dikenali. Adapun tantangan sektor air adalah adalah bahaya terhadap sektor air akibat perubahan iklim dan isu-isu penting sektor air sebagai implikasinya.

2.1 2.1.1

KONDISI DAN PERMASALAHAN SEKTOR SUMBER DAYA AIR SEKARANG Ketersediaan, Kebutuhan, Distribusi dan Waktu

Kondisi air di Indonesia secara umum sangat bergantung kepada air hujan, dan kondisi eksternal di permukaan bumi seperti kondisi geologi, kelembaban, evapotranspirasi, dan evaporasi. Selain air hujan, potensi air dapat berupa air permukaan seperti sungai, danau, situ, dan rawa; dan air tanah. Kuantitas air permukaan termasuk fluktuasinya, terutama air sungai, sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi daerah aliran sungai tersebut. Pada kondisi vegetasi yang masih baik, fluktuasi aliran sungai antara musim kemarau dan musim hujan tidak terlalu besar sehingga ancaman banjir dan kekeringan pada daerah tersebut rendah. Ketersediaan air permukaan dan air tanah di Indonesia tersebar di berbagai pulau dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Demikian pula pemanfaatannya sangat tergantung pada kebutuhan penduduk dan aktivitas pembangunan seperti pertanian dan industri. Hasil perhitungan dalam kajian ini memperoleh ketersediaan air saat ini adalah sebagai berikut: air permukaan sebesar 2.746.564 x106 m3/th dan air tanah sebesar 4.700 x106 m3/th, sehingga total sebesar 2.751.264 x 106 m3/th atau 691.341 x106 m3/th total air yang diperhitungkan dan ratarata ketersediaan air adalah 3.138,6 m3/th/kapita. Kriteria dan rincian ketersedian air disajikan pada Lampiran 2.1.1. Kebutuhan air di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan aktivitasnya, terutama di perkotaan. Dalam kajian ini, dilibatkan hanya tiga jenis kebutuhan air,
7|I C C S R

yaitu: domestik, pertanian, dan industri. Hasil perhitungan memperoleh jumlah kebutuhan air total 175.179,29 x106 m3/th terdiri atas kebutuhan domestik (6.431 x106 m3/th), pertanian (141.005 x106 m3/th), dan industri (27.741 x106 m3/th) dengan kriteria dan analisa pada Lampiran 2.1.1. Lebih dari 50% kebutuhan air dipenuhi dari air tanah; dan sumber air di perkotaan pada umumnya air tanah, air permukaan yang diolah, dan mataair; sedangkan di pedesaan umumnya adalah mataair, air tanah, dan air permukaan. Berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan air pada kondisi kini dapat diketahui neraca keseimbangan saat ini (2009) seperti pada Tabel 2.1 dan Lampiran 2.1.2. Dari Tabel 2.1 tampak bahwa keseimbangan air di Jawa-Bali sudah defisit; dan di Nusatenggara, Sulawesi, Maluku dan Sumatera sudah kritis atau mendekati kritis. Adapun di wilayah Kalimantan dan Papua keseimbangan air relatif masih aman. Tabel 2.2 Neraca Air Indonesia pada kondisi kini (2009) No Wilayah Ketersediaan (S) 6 x 10 m3/th 111,077.65 31,636.50 140,005.55 34,787.55 7,759.70 15,457.10 350,589.65 691,313.70 Kebutuhan (B) X 106 m3/th 37,805.55 100,917.77 11,982.78 21,493.34 2,054.04 540.23 385.58 175,179.29 Neraca (S B) x 106 m3/th 73,272.10 -69,281.27 128,022.77 13,294.21 5,705.66 14,916.87 350,204.07 516,134.41 Keterangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Maluku Papua Indonesia

Hampir kritis Defisit Surplus Hampir Kritis Kritis Hampir kritis Surplus

Distribusi sumber daya air juga merupakan masalah yang dihadapi Indonesia yang meliputi distribusi kuantitas, kualitas, dan kebutuhan. Tabel 2.1 dan Lampiran 2.1.2 menunjukan bahwa distribusi sumber daya air tidak merata. Di wilayah Papua dan Kalimantan, ketersediaan air paling tinggi dan kebutuhan air paling rendah dengan pertumbuhan penduduk, pertanian dan industri juga rendah. Sementara, Jawa-Bali memiliki ketersediaan SDA sedang, namun tingkat kebutuhannya sangat tinggi dan pertumbuhan penduduk dan industri juga tinggi. Distribusi SDA di Indonesia perlu dipertimbangkan dalam pembangunan. Faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan dalam penilaian keberadaan air adalah waktu atau musim. Ketersediaan dan kebutuhan air sangat dipengaruhi oleh waktu. Unsur waktu atau
8|I C C S R

musim berkaitan erat dengan iklim. Dampak perubahan iklim telah terjadi antara lain berupa gagal panen karena kekeringan atau banjir, atau pergeseran intensitas hujan maksimum. 2.1.2 Kualitas sumber daya air

Ketersediaan air yang berguna untuk suatu peruntukan, selain bergantung kuantitasnya, juga bergantung pada kualitasnya. Oleh karena itu, penilaian sumber daya air harus juga melibatkan faktor kualitas air. Secara umum, kualitas air di Indonesia belum menjadi perhatian penting, terutama dari sisi penyediaan data dan kajian. Di sisi lain, masalah kualitas air sudah muncul dan menyebabkan kerugian pada sektor kesehatan dan kegiatan ekonomi, khususnya di perkotaan di wilayah yang jumlah dan kepadatan penduduknya tinggi seperti di Pulau Jawa. Informasi kualitas air di Indonesia masih sangat sedikit dan umumnya baru tersedia di kawasan kota-kota besar di wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya di Pulau Jawa. Informasi kualitas air di Indonesia bersumber dari DPU, DESDM, Depkes, dan KLH (Lampiran 2.1.3). Gambaran umum permasalahan kualitas air adalah: 1) Wilayah Jawa-Bali sudah mengalami tingkat pencemaran yang relatif tinggi, terutama di perkotaan di Pulau Jawa; 2) Di luar Jawa-Bali kualitas air relatif masih baik. Beberapa kasus kualitas air disajikan dalam Lampiran 2.1.4. 2.1.3 Banjir

Hampir semua wilayah di Indonesia rawan terhadap bahaya banjir. Jawa-Bali dan Sumatera merupakan wilayah yang memiliki kawasan rawan banjir paling luas sebagaimana dalam Atlas Nasional Indonesia (Bakosurtanal, 2008 ). Banjir Situ Gintung, Banten, Maret 2009 dan banjir Samarinda, November 2008 merupakan kasus banjir terbaru dengan penyebab yang berbeda. Adakalanya banjir disertai dengan atau akibat tanah longsor, dikenal sebagai banjir bandang, sebagaimana terjadi di Sinjai, Sulawesi Selatan, Juli 2006 yang menyebabkan banyak korban. Faktor utama yang mempengaruhi banjir berupa curah hujan ekstrim, yaitu nilai 400 mm/bulan menurut BKMG, dan kapasitas atau daya tampungan air permukaan, seperti sungai, situ, bendung, dan lain-lain; serta kondisi lahan dan tanah di daerah hulu. Faktor-faktor penyebab banjir lebih jauh dan contoh kasus banjir di Indonesia disajikan pada Lampiran 2.1.5. 2.1.4 Kekeringan

Kekeringan di Indonesia akhir-akhir ini telah menjadi fenomena yang biasa dialami pada musim kemarau. Indikator kekeringan antara lain: penduduk yang kekurangan air, turunnya muka air secara mencolok pada tampungan air seperti bendungan, waduk, embung; dan sawah yang
9|I C C S R

terkena puso. Dampak kekeringan tersebut menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Contoh kasus kekeringan di Indonesia disajikan pada Lampiran 2.1.6. Batasan kekeringan merujuk pada semua definisi kekeringan, baik meteorologis, hidrologis, pertanian, maupun kekeringan lainnya (Lampiran 2.1.6). Kawasan Indonesia bagian timur merupakan wilayah yang rawan terhadap kekeringan meteorologis. Namun, bencana kekeringan terutama berada pada wilayah yang memiliki jumlah dan kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Jawa-Bali. 2.1.5 Kondisi dan Masalah Lainnya terkait Sumber Daya Air

Tanah longsor, amblesan tanah, dan intrusi air laut merupakan masalah sumber daya air lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perubahan iklim (Lampiran 2.1.7). Berikut gambaran ringkas masalah tersebut: 1) Tanah longsor dilibatkan dalam kajian ini sebagai masalah SDA, mengingat air merupakan faktor pemicu yang penting dalam peristiwa tanah longsor. Indonesia sering mengalami tanah longsor dengan korban jiwa maupun harta benda yang tidak sedikit. Antara 2003-2005 terjadi 103 kasus, tersebar di tujuh provinsi dengan kerugian cukup besar. Sedikitnya terdapat 918 lokasi rawan tanah longsor antara lain di Jawa Tengah (327 lokasi), Jawa Barat (276 lokasi), dan Sumatera Barat (100 lokasi); 2) Penurunan muka air tanah dalam banyak terjadi di kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung akibat pengambilan airtanah yang berlebihan baik untuk keperluan domestik maupun industri. Penurunan ini terjadi akibat pemompaan telah melebihi kapasitas pengisian alamiahnya. Untuk kasus Jakarta misalnya, dalam kurun waktu 10 tahun sejak 1975-1985 telah terjadi penurunan muka air tanah mencapai 15 meter (Sumawijaya, 1994). 3) Penurunan Tanah (land subsidence) timbul akibat pengambilan air tanah yang berlebihan (over pumping) yang menyebabkan penyusutan lapisan tanah dan beban bangunanbangunan besar. Penurunan tanah telah terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang , dan Bandung (Pulau Jawa); 4) Intrusi Air laut. Fenomena intrusi air laut berkaitan dengan pemanfaatan air tanah di daerah pantai. Intrusi air laut menyebabkan air tanah menjadi tidak layak lagi untuk air minum. Kawasan yang telah mengalami intrusi air laut antara lain Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah (Lampiran 2.1.8); 5) Perubahan tata guna dan penutup lahan dapat mempengaruhi penurunan ketersediaan air baik secara kualitas maupun kuantitas.
10 | I C C S R

6) Sosial-budaya terkait sumber daya air atau kearifan lokal di Indonesia masih dijumpai di semua wilayah dan berfungsi cukup efektif dalam pengelolaan sumber daya air; 7) Pengelolaan sumber daya air adalah aspek penting lainnya dalam pengelolaan SDA. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, otoritas pengelolaan SDA di Indonesia secara nasional berada pada DPU untuk air permukaan, dan DESDM untuk air tanah dengan sejumlah kewenangan telah dilimpahkan ke daerah. Pengelolaan SDA akan mendapat tantangan dengan adanya perubahan iklim. 8) Tata Ruang yang terkait SDA adalah kapasitas penyimpanan meliputi luasan daerah resapan air, kondisi DAS, tutupan lahan hutan; kerentanan lingkungan meliputi kondisi jaringan irigasi, kondisi waduk dan reservoir, kondisi danau dan sungai, mata airl; dan kerentanan ekonomi meliputi transportasi sungai, PLTA, prosentase pertumbuhan industri. 2.2 2.2.1 KAPASITAS KELEMBAGAAN SAAT INI Respon terhadap Perubahan Iklim

Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani Konvensi PBB mengenai perubahan iklim pada Tahun 1994 yang meliputi tiga hal, yaitu: 1) stabilisasi efek GRK ke tingkat paling aman, 2) memperkenalkan tanggungjawab umum masing-masing (common but differentiated responsibilities), dan 3) menjalin kerjasama dengan negara berkembang lainnya untuk akses ke pendanaan, asuransi dan transfer teknologi. Arah yang pertama merupakan landasan untuk upaya mitigasi. Arah yang kedua adalah landasan untuk upaya adaptasi. Adapun arah yang ketiga memfasilitasi kedua upaya tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa upaya adaptasi adalah usaha adaptasi secara alami dan sistem sosial dalam mengurangi dampak negatif akibat perubahan iklim. Upaya ini meliputi: a) pengurangan dampak sosial ekonomi dan lingkungan dari perubahan iklim; b) peningkatan kemampuan komunitas dan ekosistem, dan c) peningkatan kesejahteraan komunitas lokal. 2.2.2 Kebijakan berkaitan dengan Perubahan iklim

Kebijakan DPU dalam mengurangi dampak perubahan iklim adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan rasa aman (dari potensi bencana), nyaman (kondisi lingkungan yang baik), produktif
11 | I C C S R

(kehidupan sosial ekonomi yang dinamis) dan berkelanjutan (untuk pemenuhan kebutuhan sekarang dan masa mendatang) dalam tata ruang nasional dan daerah; (2) Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur sumber daya air dalam rangka ketahanan pangan nasional dan mengurangi resiko banjir, tanah longsor dan kekeringan; (3) Meningkatkan pelayanan kualitas inftrastruktur perkotaan dan pedesaan dalam mengurangi potensi banjir, krisis air dan sanitasi; dan (4) Meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur jalan untuk memenuhi kebutuhan mobilitas dan aksesibilitas kebutuhan sosial ekonomi. Kebijakan diatas selanjutnya dipadukan ke dalam strategi dan program DPU dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim seperti (selengkapnya Lampiran 2.2): 1) manajemen air dan peningkatan kapasitas daerah aliran sungai; 2) membangun, mengelola dan merehabilitasi infrastruktur keairan baik di daerah aliran sungai maupun pantai; dan 3) mengembangkan manajemen resiko bencana. 2.3 TANTANGAN SEKTOR SUMBER DAYA AIR TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

Tantangan sektor sumber daya air di masa depan muncul dari potensi bahaya-bahaya sektor sumber daya air yang mungkin muncul akibat perubahan iklim. Bahaya-bahaya tersebut merupakan akibat lebih lanjut dari efek langsung perubahan iklim berupa kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrim (EE = extreme climate event), dan kenaikan muka air laut (SLR = sea level rise). Efek langsung perubahan iklim diperoleh dari hasil kajian sektor iklim. 2.3.1 Efek Langsung Perubahan Iklim

Temperatur bulanan hanya mengalami kenaikan sekitar 0,5o C di musim hujan, tetapi dapat mencapai 1.5o C pada musim kemarau jika dibandingkan dengan kondisi baseline tahun 20102030. Hasil analisis sensitivitas di Pulau Lombok menunjukkan bukti bahwa temperatur secara umum mengalami kenaikan sebesar 1o C dalam 50 tahun ke depan dan 3o C dalam 100 tahun ke depan. Terbukti pula dari hasil analisis data temperatur di stasiun Jakarta yang menunjukkan kenaikan temperatur yang signifikan antara tahun 1870an dan 1980an. Kenaikan temperatur pada musim kemarau di Jakarta pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi lokal dalam bentuk urban heat island (Tri Wahyu Hadi, 2009). Curah hujan pada periode proyeksi menunjukkan kenaikan standar deviasi yang dapat diinterpretasikam sebagai peningkatan ketidakpastian iklim sebagai hasil dari variabilitas iklim di wilayah tertentu. Contohnya, wilayah Sumatera masih memiliki potensi untuk mengalami
12 | I C C S R

kenaikan curah hujan sampai tahun 2020 dan potensi ancaman perubahan nilai rata-rata dan variabilitasnya diproyeksikan terjadi pada 2015-2020. Di beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara dan Pulau Jawa, curah hujan cenderung menurun pada Januari, dengan peningkatan variabilitas walaupun tidak begitu besar (Tri Wahyu Hadi, 2009). Aspek EE dan SLR berdasarkan hasil kajian yang sama juga mengalami peningkatan. Dalam kajian ini, efek EE telah tercakup dalam hasil proyeksi temperatur dan curah hujan. Adapun efek SLR dikaji lebih lanjut oleh sektor pesisir dan pantai, kecuali aspek intrusi air laut. Informasi lebih lanjut tentang efek langsung perubahan iklim pada Lampiran 2.3.1. 2.3.2 Bahaya sektor Air akibat Perubahan Iklim

Bahaya sektor air dianalisis atas dasar potensi iklim bahaya dan potensi fisik bahaya.dengan metode water balance, analisis statistik CFD atas hasil analisis water balance, yaitu total runoff (TRO) dan direct runoff (DRO); dan analisis lainnya yang sesuai untuk potensi fisik bahaya Potensi iklim bahaya adalah proyeksi iklim atau efek langsung bahaya, dalam hal ini adalah data proyeksi temperatur dan curah hujan. Adapun potensi fisik bahaya adalah tataguna lahan, kemiringan lahan, porositas tanah atau batuan yang disesuaikan dengan jenis bahaya yang akan dianalisis (Lampiran 2.3.2). Berdasarkan periode yang digunakan dalam analisis, dilakukan dalam dua periode yaitu periode 30 (2000-2030) dan 5 tahun. Pertama, peridoe 30 tahunan, hasilnya memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi karena periode tersebut sama dengan yang digunakan di scientific basis (analisis temperatur dan curah hujan). Kedua, periode 5 tahunan, hasilnya memiliki tingkat kepercayaan yang rendah karena asumsi penyederhanaan dari scientific basis. Tingkat kepercayaan atas hasil analisis bahaya umumnya tingkat sedang berdasarkan tingkat akurasi datanya masing-masing.. Berdasarkan hasil analisis, bahaya sektor air akibat perubahan iklim adalah: 1) Penurunan Ketersediaan Air (PKA). Perhitungan PKA didasarkan pada dua indikator yaitu potensi fisik (guna lahan dan geologi) dan kondisi iklim. TRO dihitung dari analisis keseimbangan air, yaitu curah hujan dan temperatur. PKA adalah total penurunan proyeksi waktu runoff total di baseline. Berdasarkan analisis TRO dan CH tahunan selama kondisi normal (TRO N ), bahaya PKA kemungkinan terjadi ketika nilai TRO N selama proyeksi (TRO N, P ) lebih kecil dibandingkan baseline TRO N (TRO N,B ), atau TRO N,P - TRO N,B < 0, adalah 169 sampai 0 mm/year.
13 | I C C S R

Berdasarkan perhitungan PKA di analisis 30 tahunan (periode 2000-2030), menunjukkan daerah dengan risiko tinggi adalah Jawa, Bengkulu, dan Bangka-Belitung. Di mana seluruh Sumatera, Kalimantan barat, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan adalah risiko menengah untuk terjadinya PKA. Faktor utamanya adalah kondisi guna lahan yaitu daerah kultivasi dan kondisi geologis yang sulit bagi air untuk menginfiltrasi.

Gambar 2.2 Bahaya PKA, periode SRA2 2000-2030 Berdasarkan pada proyeksi iklim 30 tahunan, terjadi penurunan rata-rata curah hujan tahuann dan peningkatan temperatur tahunan secara umum. Penurunan tertinggi temperatur ada pada Februari di Maluku Utara dan penurunan lagi di November (Gambar 2.2., kiri), selain itu, peningkatan temperatur ada di daerah Sumatera Utara dan Utara Sumatera Tengah (mencapai 20C) pada Maret (Gambar .2.2, kanan). Gambar 2.3 Model perubahan curah hujan selama kondisi normal dalam 30 tahun di daerah Maluku (kiri) dan Sumatera Utara dan Utara Sumatera Tengah (kanan) Kondisi iklim (Gambar 2.2) menunjukkan perbedaan dengan hasil perhitungan PKA. Maka, ditujukkan di sini bahwa faktor utama yang dipengaruhi oleh PKA adalah kondisi fisik dari daerah tersebut (guna lahan dan lithologi).

14 | I C C S R

Berdasarkan analisis periode 5 tahunan, bahaya PKA terjadi di semua periode namun tidak permanen di suatu daerah dengan intensitas bahaya meningkat dari periode 2010-2015 hingga periode 2015-2020, menurun di periode 2020-2025, dan kembali pada periode 2025-2030; distribusi daerah bahaya di tiap periode. Gambar 2.1 mengilustrasikan distribusi bahaya dan menunjukkan bahwa Jawa-Bali dan Sumatera adalah daerah yang paling rentan. Sementara itu, daerah dengan bahaya terendah adalah Papua dan Maluku.

Gambar 2.4 Peta bahaya penurunan ketersediaan air, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030

2) Banjir. Dalam kondisi curah hujan (CH) diatas normal dan kenaikan temperatur serta kondisi fisik berupa kemiringan lahan <3o dan akumulasi air indeks 10.000 berdasarkan analisis DEM, terdapat ancaman bahaya banjir. Berdasarkan hasil analisis CFD terhadap data total DRO dari CH bulanan diatas normal rata-rata (DRO max ) dan kemiringan lahan < 3o, bahaya banjir adalah DRO max periode proyeksi (DRO max, P ) yang lebih besar dari 89 mm/bulan. Dari hasil analisis 30 tahunan, banjir terjadi di sungai-sungai besar dan sekitarnya dan di dataran rendah terutama di Jawa, pantai Timur Sumatera, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Papua Selatan. Daerah yang relatif aman terhadap bahaya banjir adalah Sulawesi, maluku dan Nusa Tenggara (Gambar 2.4)

15 | I C C S R

Berdasarkan kondisi curah hujan hingga 2030an, daerah Jawa Timur mengalami peningkatan bulan hujan (Desember, Januari dan Februari), juga harus diperhatikan untukSeptember dan Oktober (Gambar 2.5, kiri atas).

Gambar 2.5 Bahaya Banjir, SRA2 periode 2000-2030 Di Kalimantan Barat mengalami peningkatan curah hujan di februari dan desember dan Kalimantan Timur megalami peningkatan hujan di September (Gambar 2.5, kiri atas). Sebaliknya, Papua mengalami peningkatan hujan di januari, September, Oktober, Desember dan terutama di Januari di Papua Barat mencapai 50mm (Gambar 2.5, kanan bawah). Selain itu, Sumatera memiliki potensi banjir di Sumatera tengah baik di Utara maupun Selatan. Secara umum, Sumatera tidak secara signifikan terpengaruh banjir oleh curah hujan dibandingkan daerah lain, namun batas air besar dan degradasi lingkungan akan berpotensi terjadi oleh peningkatan banjir di daerah tersebut (Gambar 2.5, kiri bawah).

16 | I C C S R

Gambar 2.6 Model perubahan curah hujan selama kondisi normal dalam periode 30 tahunan untuk Jawa-Bali (kiri atas), Kalimantan (kanan atas), Papua (kanan bawah), dan Sumatera (kiri bawah)

Berdasarkan analisis periode 5 tahun, bahaya banjir akan terjadi di semua periode di daerah yang relatif sama namun dengan total daerah yang berbeda dan intensitas yang bervariasi dari periode ke periode. Banjir terjadi di sungai-sungai besar dan daerah sekitarnya dan di dataran rendah terutama di Jawa, pantai Timur Sumatera, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Papua Selatan. Daerah yang relatif aman dari bahaya banjir adalah Sulawesi, maluku, dan Nusatenggara (Gambar 2.6)

17 | I C C S R

Gambar 2.7 Peta bahaya banjir, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 3) Kekeringan. Dalam kondisi curah hujan (CH) rata-rata dibawah normal dan kenaikan temperatur serta kondisi fisik berupa porositas batuan dan tataguna lahan tertentu dalam hubungannya dengan potensi iklim kering, terdapat ancaman bahaya kekeringan. Berdasarkan hasil analisis CFD terhadap data TRO pada kondisi CH dibawah normal tahunan rata-rata (TRO min ), bahaya kekeringan adalah TRO min periode proyeksi (TRO min,, P ) yang lebih kecil dari 996 mm/tahun atau lebih kecil dalah TRO min pada CFD 50% kondisi baseline (TRO min,
CFD 50, B

). Berdasarkan periode 30 tahuann, risiko tertinggi kekeringan adalah di Sumatera

Utara, Jawa Selatan, Jawa Tengah dan Timur, dan Nusa Tenggara (Gambar 2.7)

Gambar 2.8 Bahaya Kekeringan, SRA2, 2000-2030

18 | I C C S R

Berdasarkan proyeksi 30 tahunan (skenario SRA2), Sumatera Utara adalah yang tertinggi penurunan hujannya (mencapai 50 mm) dengan peningkatan temperatur tertinggi (mencapai 20C) seperti ditunjukkan Gambar 2.8 (atas). Selain itu, di Jawa, kemungkinan kekeringan adalah pada Agustus akibat peningkatan temperatur dan penurunan hujan dan simpanan air minimum akibat musim kemarau monsoon (Juni, Juli, Agustus). Di Nusa Tenggara, penurunan tertinggi hujan pada Juli setelah peningkatan temperatur meski tidak signifikan, namun secara fisik (guna lahan dan lithologi) adalah daerah kering yang lebih dipengaruhi oleh peningkatan temperatur dan penurunan curah hujan (Gambar 2.8, bawah).

Gambar 2.9 Model perubahan curah hujan (kiri) dan perubahan temperatur (kanan) selama normal untuk 30 tahun di Sumatera (atas), Jawa-Bali (tengah) dan Nusa tenggara (bawah)

Berdasarkan analisis 5 tahunan, terdapat peningkatan ancaman bahaya kekeringan selama periode ketika hujan rata-rata di bawah normal dan temperatur meningkat. Bahaya kekeringan terjadi di
19 | I C C S R

semua periode namun tidak di satu daerah permanen. Intensitas bahaya cenderung meningkat dari 2010-2015 sampai 2025-2030; dengan distribusi aderah yang terkena di tiap periode ditunjukkan Gambar 2.9 dan Lampiran 2.3.2.3. Jawa-Bali, Sumatera, dan Nusa Tenggara adalah daerah dengan ancaman bahaya relatif tinggi. Sebaliknya, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku adalah daerah dengan ancaman bahaya yang rendah.

Gambar 2.10 Peta bahaya kekeringan, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: periode 20102015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030

4) Tanah Longsor. Bahaya tanah longor berkaitan dengan curah hujan (CH) rata-rata diatas normal, kemiringan lahan, porositas batuan atau tanah, dan tutupan lahan. Berdasarkan analisis CFD terhadap data TRO dari CH diatas normal tahunan rata-rata (TRO max ), bahaya tanah longsor adalah TRO max pada periode proyeksi (TRO max,, P ) yang lebih besar dari 89 mm/bulan atau lebih besar dari TRO max pada CFD 50% baseline (TRO max,
CFD 50, B

).

Berdasarkan analisis 30 tahuann, daerah dengan bahaya tinggi adalah NAD, Sumatera Barat, Bengkulu, Papua tengah, Sulawesi tengah dan selatan, dan Jawa selatan bagian tengah. Daerah lain memiliki bahaya longsor yang relatif rendah (Gambar 2.10).

20 | I C C S R

Gambar 2.11 Bahaya longsor, SRA2, 2000-2030 Berdasarkan proyeksi iklim 30 tahunan, Sumatera Utara memiliki penignkatan risiko longsor terutama pada September (Gambar 2.11, kiri atas). Sebaliknya, di Jawa-Bali, peningkatan risiko longsor pada Desember, Januari, Februari, yang dapat dievaluasi bahwa Februari akibat akumulasi hujan (Gambar 2.11, kanan atas). Di Sulawesi, terutama Sulawesi Utara, peningkatn hujan pada September, sedangkan di Sulawesi Tengah pada Desember yang tidak signifikan peningkatannya dan kembali lagi pada bulan lainnya (Gambar 2.11, kanan bawah). Sebaliknya, Papua memiliki curah hujan yang tinggi terutama pada Januari (Gambar 2.11, kiri bawah).

21 | I C C S R

Gambar 2.12 Model perubahan curah hujan selama di atas kondisi normal selama 30 tahun untuk Sumatera (kiri atas), Jawa-Bali (kanan atas), Sulawesi (kanan bawah), dan Papua (kiri bawah). Berdasarkan analisis 5 tahuann, bahaya longsor ada di semua periode analisis namun tidak di daerah yang sama dnegan intensitas bahaya tertinggi terjadi pada 2015-2020 dan intensitas relatif tetap pada 2010-2015, 2020-2025, dan 2025-2030; dengan distribusi daerah bahaya di tiap periode ditunjukkan Gambar 2.192 dan Lampiran 2.3.2.4. Daerah dengan bahaya tinggi adalah NAD, Sumatera Barat, Bengkulu, Papua tengah, Sulawesi tengah dan selatan, dan Jawa tengah hingga selatan. Daerah lainnya memiliki bahaya longsor yang realtif rendah.

22 | I C C S R

Gambar 2.13 Bahaya longsor, SRA2, dari kiri atas searah jarum jam: 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 5) Intrusi Air Laut. Bahaya intrusi air laut, meskipun lebih dominan disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan di kawasan pantai, namun perlu mempertimbangkan kenaikan muka laut (SLR). Berdasarkan data air tanah dan SLR 1986-1994 di pantai Jakarta (Jawa-Bali), bahaya intrusi air laut secara indikatif berlangsung pada SLR 4-6 mm/tahun, muka air tanah (MAT) bervariasi dari 0-5 m bawah muka laut (bml) dan landaian hidrolis (interface) antara 0,15%-53o% untuk akifer tidak tertekan; dan MAT 0-50 m bml dengan laju penurunan 0,5-2,3 m/tahun dan landaian hidrolis 0,1%-1,33% untuk akifer tertekan (kedalaman hingga 250 m); pengambilan air tanah 33,8 x 106 m3/tahun dengan laju 9,03% (Lampiran 2.3.2.5). 2.3.3 Isu-isu Strategis sektor Sumber Daya Air terkait Perubahan Iklim

Isu-isu Utama sektor Sumber Daya Air

Berdasarkan prinsip dasar, kondisi dan permasalahan saat ini serta tantangan SDA ke depan, dikemukakan 8 (delapan) isu strategis SDA terkait perubahan iklim meliputi tiga isu utama sektor dan lima isu utama lintas sektor yang selain memberikan ancaman sebenarnya juga mengandung peluang keuntungan. Lima isu utama sektoral adalah: 1) Keseimbangan air antara ketersediaan dan kebutuhan air (neraca air), baik temporal maupun spasial dan distribusinya. Perubahan iklim memberikan ancaman terjadinya penurunan ketersediaan air, sehingga kerentanan dan risiko terkait perlu dikenali guna identifikasi langkah adaptasi yang diperlukan. Kebutuhan air penduduk harus menjadi prioritas utama, di

23 | I C C S R

setiap wilayah pada setiap musim. Sebagai contoh, air tanah dangkal dan mataair terutama di perkotaan, harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan air penduduk; 2) Infrastruktur keairan yang memadai dan penyediaan sumber-sumber air alternatif pada daerah khusus. Dampak perubahan iklim dapat diminimalkan melalui penyediaan dan pemeliharaan fungsi infrastruktur air yang memadai. Namun sebaliknya, infrastruktur air yang kurang atau kondisinya rusak dapat meningkatkan risiko sektor SDA. Aspek waktu atau musim sangat penting berkaitan dengan operasional infrastruktur air seperti bendungan, baik bendungan untuk irigasi maupun PLTH. Selain itu, kawasan khusus seperti pulau-pulau kecil, daerah gambut, dan kawasan karst memerlukan terobosan penyediaan SDA sesuai karakteristik potensinya masing-masing; 3) Database, teknologi, dan riset, terkait merupakan sistem informasi yang diperlukan sebagai basis dan kemudahan pengelolaan SDA termasuk adaptasi perubahan iklim. Dalam hal ini, teknologi menengah perlu diprioritaskan. Isu-isu Lintas Sektoral

Pada dasarnya, sesuai fungsi air, sektor air berhubungan hampir dengan semua sektor pembangunan lainnya. Tidak ada satu pun kegiatan pembangunan yang lepas dari keperluan terhadap air. Isu utama sektor SDA sebagaimana telah disebutkan diatas dalam pemecahannya tetap memerlukan peran sektor yang lain, sehingga banyak penyelesaian isu lintas sektor dalam beberapa kasus merupakan langkah gabungan yang sinergis antara adaptasi dan sekaligus mitigasi. Namun demikian, berdasarkan skala prioritas maka sektor-sektor berikut ini merupakan sektor yang menjadi prioritas yang terkait dengan sektor air: 1) Air-pertanian-kehutanan. Banjir, kekeringan, dan tanah longsor merupakan bahaya perubahan iklim yang apabila menimpa masyarakat dan daerah yang rentan akan menimbulkan bencana. Kerentanan dan risiko dari ketiga bahaya tersebut perlu dikenali spasial dan temporan untuk memperoleh langkah adaptasi yang tepat. Pencadangan hutan konservasi yang memadai akan meningkatkan ketahanan ketersediaan SDA dan sekaligus merupakan langkah mitigasi perubahan iklim. Hutan konservasi juga sangat penting perannya dalam pencegahan banjir dan ancaman bahaya kekeringan. 2) Air dan kesehatan 3) Air dan energi. Khususnya dalam hubungan mutualis antara air dan energi, terdapat peluang untuk memperoleh keuntungan melalui pengembangan kebijakan dan strategi yang menjamin ketersediaan air dan energi sekaligus merupakan upaya mitigasi perubahan iklim.
24 | I C C S R

4) Manajemen SDA terpadu, khususnya manajemen hulu pada sumber atau daerah tangkapan air (DAS atau SWS), dan manajemen hilir yaitu penggunaan air, meliputi penghematan air. Keterpaduan antar berbagai stakeholder pada kedua bagian tersebut sangat diperlukan dalam berbagai tahap pelaksanaan. 5) Konservasi air berbasis inovasi, peran serta masyarakat dan revitalisasi kearifan lokal merupakan potensi besar khas Indonesia untuk pengelolaan SDA. Pembuatan sumur resapan atau kolam resapan dan panen air dari air hujan sebagai salah satu alternatif penyediaan air, misalnya, sangat sesuai diaplikasikan melalui peran serta masyarakat. Sejumlah kearifan lokal telah terbukti mampu mempertahankan keberadaan sumber daya air, namun sistem pengetahuan tentang hal itu belum benar-benar dikembangkan.

25 | I C C S R

BAB 3

Kerentanan sektor Air terhadap Perubahan Iklim

3.1

IDENTIFIKASI KOMPONEN KERENTANAN

Kerentanan keseluruhan dianalisis berdasarkan penapisan (overlay) terhadap komponenkomponennya dengan metode GIS. Terdapat tujuh komponen utama kerentanan dan lima komponen kerentanan tambahan yang dilibatkan (Lampiran 3.1). Dibawah ini uraian masingmasing komponen kerentanan tersebut 1) Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Kekritisan Lahan. Kerusakan DAS atau Wilayah Sungai (WS) mencerminkan tingkat kekritisan lahan dan merupakan komponen kerentanan utama untuk bahaya banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Kerusakan DAS meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode 1994/1995 hingga 1998/1999 jumlah DAS super prioritas (sangat rusak) ada sebanyak 49 buah DAS dan meningkat di periode 1999/2000-2006 menjadi 60 buah DAS (diolah dari data SLHI, 2006), sebagaimana pada Lampiran 3.1.1. 2) Kepadatan Penduduk (KP). Indonesia secara umum memiliki KP yang tinggi dengan distribusi yang tidak merata. Wilayah Jawa-Bali memiliki KP dan jumlah penduduk paling tinggi dan Sumatera ditempat kedua. Jumlah penduduk Indonesia pada 2005 adalah 218.868.791 jiwa dengan KP rata-rata 112 jiwa/km2, dan pertumbuhan rata-rata hingga 2030 sebesar 1,4 jiwa/tahun (diolah dari data BPS, 2006). Kepadatan penduduk adalah sebagai kerentanan utama untuk semua bahaya perubahan iklim dengan tingkat kerentanan paling tinggi dibanding komponen kerentanan lainnya (Lampiran 3.1.2) 3) Tataguna lahan (Lampiran 3.1.3) merupakan komponen kerentanan utama untuk semua jenis bahaya, juga digunakan sebagai potensi fisik bahaya terkait ketersediaan air dan banjir. Berdasarkan kriteria hutan sebagai tutupan lahan yang sangat adaptif terhadap perubahan iklim, Jawa-Bali dan Sumatera menunjukan kerentanan yang tinggi karena lahan hutan di kedua wilayah tersebut relatif sedikit dibanding luasan keseluruhan wilayahnya; Sulawesi, dan bagian timur Kepulauan Nusatenggara menunjukan kerentanan sedang; sedangkan Kepulauan Maluku, dan Papua relatif kurang rentan terhadap semua bahaya perubahan iklim. 4) Kebutuhan Air (Lampiran 3.1.4) merupakan komponen kerentanan utama untuk bahaya penurunan ketersediaan air dan kekeringan. Kebutuhan air tertinggi pada kondisi kini (20052009) terdapat pada sektor pertanian (64.558.685.000 m3/tahun (74,7% dari total kebutuhan air seluruh Indonesia). Berikutnya adalah kebutuhan sektor industri sebesar 15.426.560.000 m3/tahun (17,7%). Jawa-Bali memiliki kebutuhan air paling tinggi, yaitu total sebesar
26 | I C C S R

50.175.395.000 m3/tahun (58,1%), disusul Sumatera sebesar 18.378.141.000 m3/tahun (21,3%). Indonesia secara umum akan mengalami peningkatan kebutuhan air pada kondisi proyeksi 2010-2030 dibanding kondisi kini; 5) Potensi Air Tanah Tertekan dan Cekungan Air Tanah (CAT). Kondisi air tanah tertekan di Indonesia cukup baik jumlahnya dan tersebar cukup merata (Lampiran 3.1.5). Jumlah seluruh potensi air tanah tertekan adalah 18.841,37 x 106 m3/tahun yang tersebar di 465 CAT. Kandungan air tanah di Indonesia adalah: tinggi di Jawa-Bali, Sumatera, dan Papua; sedang di Sulawesi, Maluku dan Nusatenggara; dan kecil di Kalimantan. Air tanah merupakan sumber penting di Indonesia, sehingga dilibatkan sebagai komponen kerentanan utama untuk bahaya penurunan ketersediaan air dan kekeringan; 6) Kemiringan Lahan adalah komponen kerentanan utama untuk bahaya tanah longsor dan potensi fisik bahaya banjir. Kemiringan lahan juga dilibatkan sebagai potensi fisik bahaya untuk bahaya banjir dan tanah longsor. Secara umum, kemiringan lahan Indonesia dapat dibagi menjadi: tinggi sampai sangat tinggi (5o - 36 o) dan rendah sampai sedang (0 o - 5o) dengan masing-masing sebarannya sebagaimana pada gambar dalam Lampiran 3.1.6. 7) Sifat Tanah (Lampiran 3.1.7) merupakan komponen kerentanan tambahan untuk bahaya tanah longsor dan potensi fisik bahaya banjir dan kekeringan. Sifat tanah dianggap tetap. Sifat tanah yang menjadi perhatian dalam kaitannya dengan bahaya banjir dan kekeringan adalah batuan sedimen lempung tertentu. Identifikasi jenis dan sebaran batuan tersebut secara tepat diperiksa kembali berdasarkan keterangan peta geologi, peta kerentanan longsor, dan laporan-laporan bencana longsor. 8) Kualitas Air (Lampiran 3.1.8) merupakan komponen kerentanan tambahan (kualitatif) dan dilibatkan dalam penilaian kerentanan terhadap bahaya penurunan ketersediaan air. Pada umumnya kualitas air di Indonesia masih relatif baik, sehingga masih memenuhi kebutuhan air untuk berbagai jenis kebutuhan, terutama di pedesaan, kecuali di perkotaan. Di beberapa kota besar di Jawa-Bali telah menurun. Kualitas air di beberapa kota besar di Sumatera, Kalimantan, dan sedikit di Sulawesi dan Kepulaun Nusatenggara, khususnya NTB, ada yang telah menunjukkan penurunan; 9) Infrastruktur Keairan (Lampiran 3.1.9) meliputi berbagai sarana dan prasarana untuk penyediaan atau pengambilan air, seperti saluran irigasi, bendung, embung, penurapan mata air; atau pun sarana air untuk tujuan lain seperti PLTH. Infrastruktur air merupakan komponen kerentanan utama untuk sebagain besar bahaya terkait air, yaitu komponen adaptasi. Namun, sumur bor di kawasan pantai yang sudah mengalami intrusi air laut dapat menjadi paparan (exposure) atau sensitivitas untuk bahaya intrusi air laut. Informasi
27 | I C C S R

infrastruktur irigasi diperoleh dari informasi luas lahan yang sudah memperoleh fasilitas irigasi. Jawa-Bali dan Sumatera adalah dua wilayah yang memiliki infrastruktur irigasi cukup merata; 10) Komponen Kerentanan Individu Lainnya (Lampiran 3.1.10) Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL), Program Kali Bersih (Prokasih), penurunan lahan (land subsidence) di perkotaan, dan Peta Kerentanan Tanah Longsor merupakan beberapa diantara komponen kerentanan lainnya untuk bahaya terkait air. Komponen-komponen tersebut merupakan komponen kerentanan tambahan dan umumnya berupa komponen untuk adaptasi, kecuali komponen terkait kerentanan intrusi air tanah. 3.2 GAMBARAN KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM SEKTOR AIR

Berdasarkan analisis GIS terhadap keseluruhan komponen utama kerentanan dan dengan mengacu kepada bahaya-bahaya perubahan iklim pada sektor air (Bab II) diperoleh gambaran spasial kerentanan wilayah Indonesia periode kini hingga proyeksi (2005-2010 hingga 2025-2030). Informasi spasial kerentanan tersebut selanjutnya dilengkapi dengan informasi komponen kerentanan tambahan yang bersifat kualitatif sehingga memberikan gambaran kerentanan yang lebih lengkap. 3.2.1 Kerentanan karena Kekurangan Data dan Riset

Faktor-faktor utama yang berkontribusi pada kerentanan adalah: kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kekritisan lahan yang diinterpretasikan dari tingkat kekritisan DAS, dan kebutuhan air. Faktor lainnya yang dapat meningkatkan kerentanan adalah kualitas air. Informasi kualitas air dalam kajian ini masih bersifat kualitatif (Lampiran 3.2.1.1). Di setiap wilayah terdapat faktor adaptasi yang dapat dikembangkan untuk menurunkan tingkat kerentanan, diantaranya: 1) potensi air tanah tertekan, 2) infrastruktur air, 3) tubuh air meliputi sungai, danau, dan situ alami, 4) morfologi yang sesuai untuk pengembangan infrastruktur air seperti embung, check dam, situ, dan tampungan air buatan lainnya, 5) jenis tanah atau batuan yang berpotensi menyerap air dengan baik; dan 6) budaya dan kearifan lokal yang masih berfungsi dalam konservasi air. Faktor 1) dan 2) telah dilibatkan dalam kajian GIS karena masing-masing datanya kuantitatif. Adapun data untuk faktor 3) hingga 6) tidak tersedia dalam bentuk kuantitatif sehingga hanya dilibatkan secara kualitatif (faktor-faktor kualitatif) atau komponen kerentanan tambahan (Lampiran 3.2.1.2).

28 | I C C S R

Keterbatasan hingga ketiadaan data dan masih sangat kurangnya penelitian atau kajian kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim di Indonesia merupakan kendala dalam menilai kerentanan. Kondisi ini dari sisi data dan informasi dalam berhadapan dengan bahaya perubahan iklim adalah sesuatu yang rentan yang akan memberikan beberapa potensi dampak. 3.2.2 Kerentanan terhadap Bahaya Penurunan Ketersediaan Air

Bahaya penurunan ketersediaan air (PKA) muncul di seluruh periode pada kondisi curah hujan normal. Penilaian kerentanan melibatkan komponen kerentanan utama untuk analisis GIS berupa kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, infrastruktur air, dan potensi air tanah.. Tingkat kerentanan (Gambar 3.1 dan Lampiran 3.2.2) umumnya naik dari periode 2010 ke 2030 disebabkan terutama oleh peningkatan penduduk, kebutuhan air, dan perubahan tutupan lahan.

Gambar 3.14 Peta kerentanan terhadap bahaya penurunan ketersediaan air, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030

Tingkat kerentanan di terhadap bahaya penurunan ketersediaan air secara umum dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan, yaitu: 1) Kerentanan sangat tinggi terhadap bahaya PKA di lebih dari separuh wilayah Jawa-Bali, kota-kota besar di Sumut, Sumbar, Lampung (Sumatera), dan Sulsel (Sulawesi). Kerentanan sangat tinggi disebabkan: kepadatan penduduk lebih besar 3000 jiw/km2; kebutuhan air total lebih besar dari 359.173.784 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan pemukiman, dan pertanian yang akan menimbulkan dampak yang lebih besar jika terkena bahaya. Sementara itu, faktor yang menurunkan kerentanan adalah potensi air tanah tertekan yang tinggi (>
29 | I C C S R

7.084.987,20 m3/thn), dan infrastruktur air yang tersedia atau tidak tersedia dan faktor-faktor kualitatif (Lampiran 3.2.1.2) 2) Kerentanan tinggi terhadap bahaya PKA menempati hampir separuh wilayah Jawa-Bali, sebagian kecil wilayah Sumatera di bagian utara, barat, dan selatan, Sulawesi bagian selatan, dan NTB. Penyebab kerentanan tinggi adalah kepadatan penduduk antara 400 3000 jiwa/km2; kebutuhan air total antara 269.380.338 359.173.784 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan berupa ladang dan perkebunan yang berdampak tinggi jika terkena bahaya tersebut. Faktor yang menurunkan kerentanan adalah potensi air tanah tertekan yang tinggi (5.313.740,40 7.084.987,20 (Lampiran 3.2.1.2). 3) Kerentanan sedang terhadap bahaya PKA umumnya terdapat di wilayah yang cukup luas di Sumatera bagian utara, barat, dan selatan; sebagian Nusatenggara dan Sulawesi. Kerentanan sedang disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 50 400 jiwa/km2; kebutuhan air total antara 179.586.892 269.380.338 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan berupa padang rumput, semak belukar, dan tanah kosong yang masih cukup tekena dampak oleh bahaya tersebut; potensi air tanah tertekan yang tinggi (3.542.493,60 5.313.740,40 m3/thn), dan ketersediaan infrastruktur irigasi, dan faktor-faktor kualitatif (Lampiran 3.2.1.2). 4) Kerentanan rendah terhadap bahaya PKA umumnya terdapat di sebagian besar kawasan timur Sumatera, tengah-timur Kalimantan, sebagian besar Sulawesi dan Maluku, dan bagian tengah-timur Papua. Kerentanan rendah disebabkan oleh kepadatan penduduk 7 50 jiwa/km2; kebutuhan air total 89.793.446 179.586.892 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan berupa hutan musiman, hutan campuran, dan semak belukar yang kurang berdampak jika terkena bahaya; potensi air tanah tertekan yang kurang (1.771.246,80 3.542.493,60 m3/thn), dan tidak tersedianya infrastruktur air; 5) Kerentanan tidak rentan atau sangat rendah terhadap bahaya PKA umumnya terdapat di kawasan tengah-barat Kalimantan, bagian tengah-barat Papua, dan Pulau Halmahera. Kerentanan rendah disebabkan oleh kepadatan penduduk (< 7 jiwa/km2; kebutuhan air total (< 89.793.446 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan yang hampir tidak berdampak akibat terjadinya bencana seperti hutan rimba; potensi air tanah tertekan yang kurang (< 1.771.246,80 m3/thn), dan tidak tersedianya infrastruktur air. 3.2.3 Kerentanan terhadap Bahaya Banjir m3/thn), infrastruktur irigasi dan faktor-faktor kualitatif

Bahaya banjir muncul pada seluruh periode pada kondisi curah hujan diatas normal. Penilaian kerentanan banjir melibatkan komponen kerentanan utama untuk analisis GIS berupa kepadatan
30 | I C C S R

penduduk, tataguna lahan, kekritisan lahan atau kerusakan DAS. (Lampiran 3.2.3). Kerentanan (Gambar 3.2 dan Lampiran 3.2.3) umumnya naik dari periode 2010 ke 2030 disebabkan terutama oleh peningkatan penduduk, dan perubahan tutupan lahan.

Gambar 3.15 Peta kerentanan terhadap bahaya banjir, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 Tingkat kerentanan terhadap bahaya banjir secara umum dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan sebagai berikut: 1) Kerentanan sangat tinggi terhadap bahaya banjir terdapat pada kawasan terbatas di Pulau Jawa, terutama di sebelah utara, meliputi beberapa kawasan kota-kota besar yang dilalui sungai-sungai besar. Tingkat kerentanan sangat tinggi karena kepadatan penduduk lebih besar dari 3000 jiw/km2); tataguna lahan atau tutupan lahan pemukiman, dan pertanian yang akan menimbulkan dampak yang lebih besar jika terkena bencana; dan tingkat kekritisan lahan yang dicerminkan oleh kerusakan DAS di kawasan sekitarnya diatas 0.8 indeks kekritisan DAS. Kerentanan dapat berkurang karena tersedianya infrastruktur irigasi dan faktor-faktor kualitatif (Lampiran 3.2.1.2). 2) Kerentanan tinggi terhadap bahaya banjir terdapat pada kawasan cukup luas di Pulau Jawa, terutama di pantai utara dari barat ke timur; di bagian tengah untuk sebagian besar wilayah Jawa bagian timur, tengah, dan barat. Tingkat kerentanan tinggi disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 400 3000 jiwa/km2; tataguna lahan atau tutupan lahan sekitar berupa ladang dan perkebunan yang berdampak tinggi jika terkena bencana tersebut; dan kerusakan DAS di kawasan sekitarnya yang memiliki nilai indeks kekritisan DAS 0.6 0.8. Kerentanan

31 | I C C S R

dapat diturunkan dengan tersedianya infrastruktur air, dan faktor-faktor kualitatif (Lampiran 3.2.1.2); 3) Kerentanan sedang terhadap bahaya banjir terdapat terutama di sebagian besar kawasan pantai barat dan utara Sumatera, bagian tengah-selatan Pulau Jawa, sedikit di bagian selatantimur barat Kalimantan; dan di wilayah Sulawesi bagian selatan, tenggara, utara dan sedikit di bagian tengah, serta di sebagian besar wilayah Nusatenggara. Tingkat kerentanan sedang disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 50 - 400 jiwa/km2; berupa padang rumput, semak belukar, dan tanah kosong yang masih cukup terkena dampak oleh bencana tersebut; dan tingkat kerusakan DAS di kawasan sekitarnya yang memiliki nilai indeks kekritisan DAS 0.4 0.6. Faktor-faktor yang menurunkan tingkat kerentanan adalah cukup tersedianya infrastruktur air, dan faktor-faktor kualitatif (Lampiran 3.2.1.2); 4) Kerentanan rendah terhadap bahaya banjir berada di sebagian besar wilayah tengah-timur Sumatera, Sulawesi, terutama di bagian tengah; dan sebagian kecil Maluku, Nusatenggara, dan Papua. Tingkat kerentanan sedang disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 7 - 50 jiwa/km2; tataguna lahan atau tutupan lahan (TL) berupa hutan musiman, hutan campuran, dan semak belukar yang kurang berdampak jika terkena bencana; tingkat kerusakan DAS di kawasan sekitarnya yang memiliki indeks kekritisan DAS 0.2 0.4, dan ketidaktersediaan infrastruktur air. 5) Kerentanan sangat rendah atau tidak ada kerentanan terhadap bahaya banjir berada umumnya di kawasan terbesar di bagian tengah Kalimantan dan Papua, sebagian kecil di bagian tengah Sulawesi, dan sebagian Maluku. Kerentanan sangat rendah berkaitan dengan kepadatan penduduk antara 0 7 jiwa/km2; tataguna lahan atau tutupan lahan berupa hutan rimba yang berdampak sangat kecil jika terkena bencana; kerusakan DAS di kawasan sekitarnya antara 0 - 2., dan tidak tersedianya infrastruktur air. 3.2.4 Kerentanan terhadap Bahaya Kekeringan

Bahaya kekeringan juga muncul pada seluruh periode pada kondisi curah hujan dibawah normal. Penilaian kerentanan terhadap bahaya kekeringan melibatkan komponen kerentanan utama kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, kekritisan lahan; infrastruktur air, dan potensi air tanah (Lampiran 3.2.4). Pada prinsipnya, kerentanan terhadap bahaya kekeringan menyerupai kerentanan terhadap bahaya penurunan ketersediaan air. Wilayah-wilayah yang kebutuhan airnya tinggi akan semakin rentan pada masa kekeringan. Komponen GNRHL yang telah dilaksanakan sebelumnya akan sangat berfungsi dalam menurunkan tingkat kerentanan terhadap bahaya kekeringan (Lampiran 3.2.4). Kerentanan (Gambar 3.3 dan Lampiran 3.2.4)
32 | I C C S R

umumnya naik dari periode 2010 ke 2030 disebabkan oleh peningkatan penduduk, kebutuhan air dan perubahan tutupan lahan. Tingkat kerentanan terhadap bahaya kekeringan secara umum dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan, yaitu:

Gambar 3.16 Peta kerentanan terhadap bahaya kekeringan, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 1) Kerentanan sangat tinggi terhadap bahaya kekeringan terdapat pada kawasan terbatas di Pulau Jawa, terutama di sebelah utara, meliputi beberapa pada kawasan kota-kota besar yang dilalui sungai-sungai besar. Tingkat kerentanan sangat tinggi disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor penyebab kerentanan terhadap bahaya PKA. Demikian pula faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kerentanannya. 2) Kerentanan tinggi terhadap bahaya kekeringan terdapat pada kawasan cukup luas di Pulau Jawa, terutama di pantai utara dari barat ke timur; di bagian tengah untuk sebagian besar wilayah Jawa bagian timur dan tengah, dan sebagian di bagian barat meliputi beberapa kawasan di kota-kota besar dan sekitarnya. Tingkat kerentanan tinggi karena kepadatan penduduk, tataguna lahan, dan kerusakan DAS dengan kondisi yang sama sebagaimana pada kerentanan tinggi terhadap bahaya penurunan ketersediaan air. Demikian pula faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kerentanannya. 3) Kerentanan sedang terhadap bahaya kekeringan berada terutama di sebagian besar kawasan pantai barat dan utara Sumatera, bagian tengah-selatan Pulau Jawa, sedikit di bagaian selatantimur barat Kalimantan; dan di wilayah Sulawesi pada bagian selatan, tenggara, utara dan sedikit di bagian tengah; serta di sebagian besar wilayah Nusatenggara. Tingkat kerentanan sedang disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor yang menyebabkan
33 | I C C S R

kerentanan sedang pada bahaya penurunan ketersediaan air. Demikian pula faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kerentanannya. 4) Kerentanan rendah terhadap bahaya kekeringan berada di sebagian besar wilayah tengahtimur Sumatera, sebagian besar wilayah Sulawesi, terutama di bagian tengah; dan sebagian kecil di wilayah Maluku, Nusatenggara, dan Papua. Tingkat kerentanan rendah disebabkan oleh kepadatan penduduk, tata guna lahan, dan kekritisan lahan yang dicerminkan oleh kerusakan DAS di kawasan sekitarnya masing-masing dengan kisaran angka sebagaimana pada kerentanan tingkat rendah terhadap bahaya penurunan ketersediaan air. 5) Kerentanan sangat rendah atau tidak ada kerentanan terhadap bahaya kekeringan berada umumnya di kawasan terbesar bagian tengah Kalimantan dan Papua, sebagian kecil di bagian tengah Sulawesi, dan sebagian Maluku. Tingkat kerentanan sangat rendah disebabkan oleh faktor yang sama sebagaimana pada kerentanan tingkat sangat rendah terhadap bahaya PKA. 3.2.5 Kerentanan terhadap Bahaya Tanah Longsor

Kerentanan terhadap bahaya tanah longsor (selanjutnya disingkat bahaya longsor) terdapat di seluruh periode pada kondisi curah hujan diatas normal. Penilaian kerentanannya melibatkan komponen kerentanan utama kepadatan penduduk, tataguna lahan, dan kekritisan lahan. Gambar 3.4 dan rinciannya pada Lampiran 3.2.5 adalah peta kerentanan bahaya tanah longsor. Penjelasan ringkas kerentanan bahaya tanah longsor adalah sebagai berikut:

Gambar 3.17 Peta kerentanan terhadap bahaya tanah longsor, dari kiri atas searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030

34 | I C C S R

1) Kerentanan sangat tinggi terhadap bahaya longsor terdapat pada kawasan yang sangatsangat terbatas di Pulau Jawa, dan tidak tampak dalam peta skala peta 1:1.000.000. Tingkat kerentanan sangat tinggi karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kerusakan DAS sebagaimana untuk tingkat kerentanan sangat tinggi yang dibahas sebelumnya. 2) Kerentanan tinggi terhadap bahaya longsor tersebar pada kawasan terbatas di Pulau Jawa, terutama di bagian Tengah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan tampak berupa titik-titik pada peta skala 1:1.000.000. Tingkat kerentanan sangat tinggi karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kekritisan lahan atau kerusakan DAS sebagaimana pada tingkat kerentanan tinggi yang telah dibahas sebelumnya. 3) Kerentanan sedang terhadap bahaya longsor tersebar pada hampir seluruh kawasan di Pulau Jawa, sebagian NAD dan Sumut (Sumatera); sebagian besar Sulses (Sulawesi), bagian kecil Kalsel (Kalimantan); sebagian besar NTB, dan sebagian NTT (Nusatenggara). Tingkat kerentanan sangat tinggi karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kerusakan DAS sebagaimana pada bahasan kerentanan bahaya sebelumnya. 4) Kerentanan rendah terhadap bahaya longsor umumnya terdapat di Sumatera, Sulawesi kecuali bagian tengah-timur, bagian barat dan timur Kalimantan, sebagian Maluku dan Papua. Tingkat kerentanan rendah karena kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, dan kerusakan DAS seperti pada bahasan tentang tingkat kerentanan rendah. 5) Kerentanan sangat rendah atau tidak ada kerentanan terhadap bahaya longsor terdapat di bagian tengah Kalimantan, Sulawesi bagian tengah-timur, sebagian Maluku dan Papua. Tingkat kerentanan sangat rendah karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kerusakan DAS sebagaimana pada bahasan tingkat kerentanan sangat rendah sebelumnya. 3.2.6 Kerentanan terhadap Bahaya Intrusi Air Laut

Kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut dianalisis secara kualitatif disebabkan keterbatasan data. Komponen kerentanan yang dilibatkan dalam penilaian selain kepadatan penduduk adalah tataguna lahan, tingkat pengambilan air tanah; serta potensi sumber air alternatif selain air tanah. Berdasarkan analisis kualitatif, tingkat kerentanan terhadap bahaya intrusi air aut adalah (Lampiran 3.2.6): 1) kerentanan tinggi di pantai-pantai yang berada di wilayah Jawa-Bali, khususnya pantai Jakarta Utara dan Semarang bagian utara; kecuali di Denpasar bagian barat, selatan, dan timur tingkat kerentanannya sedang;
35 | I C C S R

2) kerentanan sedang hingga rendah di wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, dan Sumatera yaitu di pantai Makassar (Sulawesi), Balikpapan (Kalimantan), Mataram (Nusatenggara); Palembang dan Padang (Sumatera) 3) kerentanan rendah hingga sangat rendah di pantai-pantai kawasan perkotaan di wilayah Maluku dan Papua. 3.3 KOMPONEN KERENTANAN PENTING YANG BELUM DILIBATKAN

Penilaian kerentanan yang telah dilakukan belum menyertakan semua komponen kerentanan penting yang seharusnya dilibatkan karena keterbatasan data. Beberapa komponen kerentanan penting yang belum dilibatkan adalah: 1) Jenis, infrastruktur air lainnya atau cara penduduk memperoleh air, baik air bersih maupun air baku; 2) Kebutuhan air lainnya, seperti air untuk transportasi air dan lainnya; 3) Program reboisasi lainnya selain GNRHL untuk setiap DAS; 4) Jenis tanah termasuk sifat kelengasan tanah; 5) Tutupan lahan pada kawasan rawan bencana longsor; dan lainnya (Lampiran 3.3.). Selain itu, data dari komponen kualitas air, GNRHL, dan Prokasih yang dilibatkan masih berupa data kualitatif. Selain aspek fisik, persoalan kerentanan dan risiko perubahan iklim juga saling mempengaruhi dengan kondisi aspek non fisik atau sosial budaya masyarakat dari wilayah yang ditinjau. Selain pertumbuhan penduduk, informasi perilaku penduduk terhadap air atau budaya penggunaan air, kearifan lokal, ekonomi, dan aspek sosial budaya lainnya juga sangat penting untuk diketahui. 3.4 KERENTANAN PER WILAYAH

Kerentanan terkait air terdapat di seluruh wilayah Indonesia berhadapan dengan bahaya penurunan ketersediaan air, banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Tingkat kerentanan wilayah secara umum adalah: 1) sangat tinggi hingga tinggi untuk wilayah Jawa-Bali dan sebagian kecil Sumatera dan Sulawesi; 2) sedang hingga rendah untuk sebagian besar wilayah Sumatera, Nusatenggara, dan Sulawesi; dan 3) rendah hingga sangat rendah di sebagian besar Kalimantan, Maluku dan Papua. Kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut dapat terjadi pada kawasan terbatas di Jawa-Bali (Jakarta, Semarang), dan Sumatera (Sumsel). 3.4.1 Wilayah Sumatera

Di wilayah Sumatera terdapat kerentanan terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim sektor air dengan tingkat kerentanan secara umum adalah sedang dan di beberapa kawasan tinggi-sangat tinggi. Profil kerentanan untuk setiap bahaya adalah sebagai berikut: 1) kerentanan terhadap
36 | I C C S R

bahaya PKA umumnya rendah hingga tinggi dengan luasan kawasan rentan tinggi relatif kecil; 2) kerentanan terhadap bahaya banjir umumnya rendah hingga sedang dengan proposi luasan kawasan seimbang; 3) kerentanan terhadap bahaya kekeringan umumnya rendah hingga tinggi dengan luasan kawasan rentan tinggi lebih sempit; 4) kerentanan terhadap bahaya longsor umumnya rendah dan sedikit sedang; 5) kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut sedang hingga rendah. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan, profil tingkat kerentanan di wilayah Sumatera dapat dibagi sebagai berikut: 1) Kota besar seperti Medan (Sumut), Palembang (Sumsel), Pekanbaru (Riau), Padang (Sumbar), dan Bandar Lampung (Lampung) masing-masing dan sekitarnya memiliki tingkat kerentanan tinggi hingga sangat tinggi terhadap semua jenis bahaya, kecuali intrusi air laut di Palembang. 2) Bagian utara, terutama kawasan Sumatera Utara dan NAD; kawasan tengah-barat terutama Sumatera Barat dan sekitar Bengkulu; kawasan selatan, terutama Lampung memiliki tingkat kerentanan sedang hingga tinggi terhadap semua jenis bahaya, kecuali bahaya intrusi air laut; 3) Bagian terbesar wilayah, terutama di bagian tengah-timur dari utara ke selatan memiliki tingkat kerentanan sangat rendah hingga rendah dan sebagian diantaranya tingkat sedang terhadap semua jenis bahaya. Kerentanan umumnya sedang dan beberapa kawasan tinggi hingga sangat tinggi di wilayah Sumatera disebabkan kepadatan penduduk rata-rata 96 jiwa/km2 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1,5 %, kebutuhan air total 18.376.141 x 103 m3/tahun (21,20%) tertinggi setelah wilayah Jawa-Bali; dan tutupan lahan yang didominasi jenis yang kurang berfungsi dengan baik bagi konservasi air; serta kualitas air tanah di beberapa kota besar yang sudah mulai menurun; dan DAS sebanyak 16 buah rusak parah, 37 buah sangat rusak, dan 52 rusak. Adapun faktor yang dapat menurunkan kerentanan adalah potensi air tanah tertekan sejumlah 6.671,57 x 106 m3/tahun pada 86 CAT tersebar cukup merata di seluruh wilayah; infrastruktur irigasi yang telah mencakup 1.809.000 hektar sawah (27% dari sawah nasional) dan faktor-faktor lain yang belum dapat dikuantifikasi termasuk faktor kearifan lokal sebagaimana pada halaman 22 dan Lampiran 3.4.1.

37 | I C C S R

3.4.2

Wilayah Jawa-Bali

Di wilayah Jawa-Bali, terutama di Pulau Jawa terdapat kerentanan terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim sektor air dengan tingkat kerentanan secara umum adalah tinggi hingga sangat tinggi. Profil kerentanan untuk setiap bahaya adalah sebagai berikut: 1) kerentanan terhadap bahaya PKA umumnya tinggi hingga sangat tinggi; 2) kerentanan terhadap bahaya banjir umumnya sedang hingga tinggi; 3) kerentanan terhadap bahaya kekeringan umumnya tinggi hingga sangat tinggi; 4) kerentanan terhadap bahaya longsor umumnya rendah dan tinggi hingga sangat tinggi pada beberapa daerah terbatas; 5) kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut tinggi hingga sedang. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan, profil tingkat kerentanan di wilayah Jawa-Bali dapat dibagi sebagai berikut: 6) Kota-kota besar seperti Jakarta (DKI Jakarta), Bandung (Jabar), Semarang (Jateng), Yogyakarta (DIY), dan Surabaya (Jatim) dan kota-kota satelit di sekitarnya, rentan sangat tinggi terhadap bahaya penurunan ketersediaan air, banjir dan juga kekeringan; serta rentan tinggi terhadap bahaya intrusi air laut khusus untuk Jakarta dan Semarang; 7) Bagian terbesar lainnya di luar kota-kota besar dan kota-kota satelit di sekitarnya memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi hingga tinggi untuk bahaya penurunan ketersediaan air, banjir, dan kekeringan; dan tingkat kerentanan sedang hingga tinggi untuk bahaya longsor; Tingkat kerentanan yang umumnya tinggi hingga sangat tinggi di wilayah Jawa-Bali, terutama di Pulau Jawa disebabkan kepadatan penduduk rata-rata 990 jiwa/km2 atau paling tinggi di Indonesia; kebutuhan air total 50.175.395 x 103 m3/tahun (57,43% total kebutuhan air Indonesia), tutupan lahan sekitar 70%-80% jenis yang kurang mampu meresapkan air dengan baik, dan kualitas air yang sudah menurun, terutama di perkotaan; serta tingkat kekritisan lahan yang dicerminkan oleh kerusakan DAS, yaitu : 17 DAS rusak parah, 95 DAS sangat rusak, dan 31 DAS rusak atau 50% dari seluruh DAS di Indonesia yang rusak hingga rusak parah terdapat di Pulau Jawa. Adapun faktor yang dapat menurunkan kerentanan adalah potensi air tanah tertekan sejumlah 1.973 x 106 m3/tahun, tersebar cukup merata di 99 CAT; infrastruktur air yang cukup tersedia, yaitu selain bendungan-bendungan juga prasarana irigasi yang telah meliputi 3.283.000 ha sawah atau 49% dari seluruh sawah di Indonesia; dan faktor-faktor kualitatif sebagaimana disebutkan pada halaman 22 termasuk kerarifan lokal yang dalam kajian ini belum dapat dikuantifikasi.

38 | I C C S R

3.4.3

Wilayah Kalimantan

Wilayah Kalimantan umumnya memiliki kerentanan yang rendah hingga sangat rendah terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim, kecuali di daerah ibu kota provinsi dan kawasan terbatas di selatan-timur. Profil kerentanan secara umum terhadap semua jenis bahaya adalah: 1) pada kedua kawasan tersebut tingkat kerentanan secara umum adalah sedang hingga tinggi, kecuali terhadap bahaya longsor yang umumnya sedang; 2) pada separuh bagian barat, selatan, hingga timur tingkat kerentanan rendah; dan 3) hampir separuh bagian wilayah di bagian tengah memiliki tingkat kerentanan sangat rendah atau tidak rentan. Tingkat kerentanan yang umumnya rendah-sangat rendah disebabkan kepadatan penduduk ratarata 21 jiwa/km2, rendah; kebutuhan air total 5.636.082 x103 m3/tahun (6,96% dari total kebutuhan nasional), tutupan lahan sekitar 60%-70% masih berupa hutan, potensi air tanah tertekan yang relatif kecil (1.095,50x106 m3/tahun); kondisi DAS: 4 buah rusak parah, 12 buah sangat rusak, dan 24 buah rusak; dan infrastruktur air yang mencakup 402.000 ha (6% sawah nasional),. Adapun faktor yang menurunkan kerentanan adalah kualitas air yang relatif masih baik, dan faktor kualitatif termasuk kearifan lokal. 3.4.4 Wilayah Sulawesi

Di wilayah Sulawesi terdapat kerentanan terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim sektor air dengan tingkatan umumnya sedang hingga rendah, kecuali di Sulawesi Selatan (Sulsel), sedang hingga tinggi. Profil kerentanan untuk setiap bahaya adalah sebagai berikut: 1) kerentanan terhadap bahaya PKA umumnya rendah hingga sedang; 2) kerentanan terhadap bahaya banjir umumnya rendah; 3) kerentanan terhadap bahaya kekeringan umumnya rendah hingga sedang, 4) kerentanan terhadap bahaya longsor umumnya rendah hingga sedang; 5) kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut sedang hingga rendah di Makassar. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan, kerentanan dapat dibagi sebagai berikut: (1) Ibu kota provinsi dan sekitarnya, khususnya di Sulsel, Sulut; dan kawasan Sulsel memiliki tingkat kerentanan sedang hingga tinggi terhadap semua jenis bahaya, kecuali intrusi air laut yang hanya di Makassar; dan (2) Seluruhnya, kecuali Sulsel, sebagian Sulut dalam kaitannya dengan bahaya longsor, dan bagian tengah-timur; memiliki tingkat kerentanan sedang hingga rendah terhadap semua jenis bahaya, kecuali bahaya intrusi air laut Kerentanan di wilayah Sulawesi yang umumnya tingkat sedang hingga rendah disebabkan oleh faktor-faktor: kepadatan penduduk 74 jiwa/km2, kebutuhan air total sebesar 8.211.338 x 103 m3/tahun (9.47% total kebutuhan air nasional); tutupan lahan yang 60% hingga 70% didominasi
39 | I C C S R

oleh hutan yang masih baik; potensi air tanah tertekan 550,30 x 106 m3/tahun pada 96 CAT. Faktor yang memperbesar kerentanan diantaranya adalah kondisi infrastruktur irigasi yang hanya mencakup lahan sawah seluas 804.000 ha (12% dari luas sawah nasional); dan kerusakan DAS yaitu: 12 DAS rusak parah, 43 DAS sangat rusak; dan 37 DAS dalam kondisi rusak. Adapun faktor yang menurunkan kerentanan adalah kualitas air yang relatif masih baik, dan faktor-faktor kualitatif termasuk keraifan lokal yang masih berfungsi dalam konservasi air. 3.4.5 Wilayah Kepulauan Nusatenggara

Kerentanan Nusatenggara terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim sektor air umumnya sedang hingga rendah, kecuali di NTB, sedang hingga tinggi. Profil kerentanan untuk setiap bahaya adalah: 1) kerentanan terhadap bahaya PKA umumnya rendah-tinggi; 2) kerentanan terhadap bahaya banjir umumnya sedang-rendah; 3) kerentanan terhadap bahaya kekeringan umumnya rendah-tinggi, 4) kerentanan terhadap bahaya longsor umumnya rendah-sedang; 5) kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut sedang-rendah di pantai Senggigi, Mataram, NTB. Profil kerentanan berdasarkan kawasan dapat dibagi sebagai berikut: 1) kawasan Nusatenggara Barat (Lombok dan Sumbawa), kerentanan sedang hingga tinggi; dan 2) kawasan Nusatenggara Timur kerentanan sedang hingga rendah. Kerentanan yang umumnya sedang hingga rendah disebabkan oleh faktor-faktor: kepadatan penduduk 125 jiwa/km2, kebutuhan air total sebesar 3.454.136 x 103 m3/tahun (3.99% total kebutuhan air nasional); tutupan lahan yang dominan masih berupa hutan, potensi air tanah tertekan 302 x 106 m3/tahun pada 46 CAT. Faktor lainnya adalah infrastruktur irigasi yang hanya mencakup sawah seluas 335.000 ha (5% dari luas sawah nasional); dan kerusakan DAS yaitu: 5 DAS rusak parah, 26 DAS sangat rusak, dan 5 DAS rusak. Adapun faktor yang menurunkan kerentanan adalah kualitas air yang relatif masih baik, dan faktor-faktor kualitatif termasuk keraifan lokal. 3.4.6 Wilayah Kepulauan Maluku

Kerentanan wilayah Maluku terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim sektor air umumnya rendah hingga sangat rendah atau tidak rentan, kecuali di beberapa daerah terbatas di Kota Ambon dan sekitarnya; Pulau Buru dan Pulau Seram. Tingkat kerentanan rendah-tidak rentan karena kepadatan penduduk 28 jiwa/km2, kebutuhan air sangat rendah (299.944 x 103 m3/tahun atau 0.35% dari kebutuhan nasional), tataguna lahan yang 65%- 75 % berupa hutan; kualitas air yang masih baik, potensi air tanah tertekan yang besar (1.231 x 106 m3/tahun pada 68 CAT).
40 | I C C S R

Faktor yang dapat menaikkan kerentanan adalah infrastruktur irigasi yang hanya mencakup 0,5% dari luas sawah nasional; dan kondisi DAS yaitu: 2 DAS rusak parah, 9 DAS sangat rusak, dan 16 DAS rusak. 3.4.7 Wilayah Papua

Kerentanan wilayah Papua terhadap semua jenis bahaya perubahan iklim sektor air umumnya rendah hingga sangat rendah atau tidak rentan terhadap semua jenis bahaya, kecuali di beberapa daerah terbatas di Jayapura dan Manokwari tingkat rendah-sedang. Tingkat kerentanan rendah-tidak rentan karena kepadatan penduduk 6 jiwa/km2, kebutuhan air sangat rendah (523.175 x 103 m3/tahun atau 0.6% dari kebutuhan nasional), tataguna lahan yang dominan hutan; kualitas air, kecuali air permukaan di sekitar Timika; potensi air tanah tertekan yang besar (7.018 x 106 m3/tahun pada 45 CAT). Faktor yang dapat menaikkan kerentanan adalah infrastruktur irigasi yang hanya mencakup 0,5% dari luas sawah nasional; dan kerusakan DAS yaitu: 4 DAS rusak parah, 1 DAS sangat rusak, dan 14 DAS rusak. 3.5 3.5.1 TINGKAT KEPERCAYAAN INFORMASI DAN PENELITIAN LANJUT YANG DIPERLUKAN Tingkat Kepercayaan Informasi

Sesuai dengan tingkat kajian yang dilakukan yaitu tingkat makro (macro level) atau tingkat nasional Indonesia, tingkat keterpercayaan hasil kajian informasi secara umum adalah sedang pada skala nasional, tetapi rendah apabila digunakan untuk tujuan aksi adaptasi pada tataran regional atau lokal. Namun, derajat kepercayaan hasil kajian untuk penggunaan di tingkat nasional secara umum termasuk sedang (Lampiran 3.5.1). Secara ringkas, derajat sedang untuk keterpercayaan hasil kajian untuk informasi spasial atau peta kerentanan diperoleh dari penilaian informasi sebagai berikut: (1) tingkat keterpercayaan informasi sedang untuk semua jenis bahaya, kecuali bahaya intrusi air laut; (2) tingkat keterpercayaan informasi tinggi untuk informasi komponen kerentanan kepadatan penduduk; (3) tingkat keterpercayaan informasi sedang untuk informasi tataguna lahan, tingkat kekritisan DAS, dan kebutuhan air penduduk dan pertanian; dan (4) tingkat keterpercayaan informasi rendah untuk informasi kebutuhan air industri, informasi kualitas air, dan infrastruktur air.

41 | I C C S R

3.5.2

Penelitian Lanjut yang Diperlukan

Penelitian lanjut yang diperlukan meliputi riset tentang bahaya dan kerentanan perubahan iklim sektor air lebih lanjut. Beberapa penelitian lanjut yang diperlukan disampaikan pada Lampiran 3.5.2 dan sebagian yang penting antara lain adalah: 1) Penelitian tentang batas kepercayaan bahaya sektor air berdasarkan analisis CFD terhadap data total runoff dan direct runoff hasil analisis water balance dimana dalam kajian ini digunakan nilai CFD 50%; dan analisis bahaya banjir berdasarkan data curah hujan rata-rata harian; 2) Kaji ulang kerentanan berdasarkan komponen kerentanan penting lainnya seperti cara penduduk memperoleh air atau infrastruktur air yang lebih lengkap; dan kebutuhan air yang lebih mendekati kondisi sebenarnya; 3) Perubahan tataguna lahan dan hubungannya dengan kebutuhan air.

42 | I C C S R

BAB 4

Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Sumber Daya Air

Potensi dampak atau risiko perubahan iklim terhadap sumber daya air (SDA) adalah hasil penapisan (overlay) dari bahaya dan kerentanan sektor air karena perubahan iklim. Dalam bab ini diidentifikasi lima jenis risiko perubahan iklim sesuai lima jenis bahaya dan lima jenis kerentanan yang teridentifikasi. Sub bab pertama membahas gambaran spasial risiko perubahan iklim untuk masing-masing bahaya dan kerentanan terkait. Sub bab berikutnya membahas gambaran spasial risiko per wilayah dan beberapa contoh risiko lebih lanjut.

4.1

GAMBARAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM SEKTOR AIR

Berdasarkan analisis bahaya iklim dan kerentanan sektor air, Indonesia akan mengalami risiko perubahan iklim sektor air berupa penurunan ketersediaan air, banjir, kekeringan, tanah longsor, dan intrusi air laut (Lampiran 4.1). Analisis GIS memetakan lebih lanjut tingkat dan sebaran risiko tersebut secara spasial. Risiko perubahan iklim sektor air terjadi pada semua skenario dari periode 2010 hingga 2030 dengan periode 2015-2020 mengalami sedikit penurunan risiko untuk kemudian naik kembali pada periode 2025-2030 dengan tingkat risiko sangat tinggi hingga rendah atau tidak ada risiko. Untuk kepentingan analisis, hanya kondisi pada skenario SRA2 yang dianalisis lebih lanjut. Adapun tingkat kepecayaan informasi risiko ini adalah rendah hingga sedang sesuai dengan tingkat studi yang berskala nasional atau makro dimana tingkat informasi bahaya dan kerentanan juga tingkat sedang, dan rendah hingga sedang. 4.1.1 Risiko Penurunan Ketersediaan Air

Hasil analisis GIS memberikan gambaran komparatif risiko penurunan ketersediaan air (PKA) dari periode 2010-2015 hingga 2025-2030 sebagaimana pada Gambar 4.1 dan Lampiran 4.1.1. Risiko PKA diperoleh dari penapisan (overlay) ancaman bahaya PKA berupa penurunan total runoff (TRO) dari hujan rata-rata tahunan pada kondisi proyeksi sebesar 0 sampai 169 mm/tahun dari kondisi baseline pada kawasan dengan tingkat kerentanan terkait (Lampiran 4.1.1). Wilayah Jawa43 | I C C S R

Bali, sebagian besar Sumatera, sebagian Nusatenggara dan Sulawesi memiliki risiko yang signifikan.

Gambar 4.18 Risiko penurunan ketersediaan air, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030

Berdasarkan peta risiko, terdapat lima tingkat risiko dengan sebarannya, yaitu: 1) risiko PKA sangat tinggi terdapat di wilayah Jawa-Bali, khususnya di beberapa tempat terbatas di bagian utara dan selatan Jabar, bagian tengah dan selatan Jateng dan Jatim; di ibu kota Sumut, Sumbar, Bengkulu dan Lampung (Sumatera); Bali; NTB (Nusatenggara) dan Sulsel (Sulawesi); 2) risiko PKA tinggi umumnya di sekitar 75% wilayah Jawa-Bali; sebagian kecil di bagian utara, barat dan selatan wilayah Sumatera; sebagian Pulau Lombok (Nusatenggara), dan Sulsel (Sulawesi); 3) risiko PKA sedang umumnya di sekitar 20% wilayah Pulau Jawa khususnya di bagian tengah Jabar, sekitar 70% wilayah Sumatera, kecuali di bagian tengah-timur; 4) risiko PKA rendah umumnya di sekitar 80% wilayah Kalimantan, dan sebagian kecil Maluku dan Papua; 5) risiko PKA sangat rendah atau tidak ada risiko PKA umumnya di 80%-90% wilayah Maluku dan Papua. Dampak atau risiko lebih lanjut dari bahaya PKA adalah neraca air yang defisit, kritis, hingga hampir kritis di wilayah-wilayah dengan tingkat risiko sangat tinggi hingga tinggi (Gambar 4.2).
44 | I C C S R

Di daerah-daerah perkotaan, defisit air akan memunculkan tekanan yang lebih besar pada sumber-sumber air dan akibat lebih lanjut lainnya sebagaimana pada Lampiran 4.1.1.

Gambar 4.19 Ketersediaan air (kiri) dan kebutuhan air (kanan) per wilayah 4.1.2 Risiko Banjir Berdasarkan hasil analisis GIS juga diperoleh gambaran komparatif risiko banjir dari periode 2010-2015 hingga 2025-2030 (Gambar 4.3). Risiko banjir diperoleh dari penapisan ancaman bahaya banjir berupa direct runoff pada kondisi curah hujan diatas normal periode proyeksi lebih besar dari 89 mm/bulan yang melanda kemiringan lahan < 3o berhadapan dengan berbagai tingkatan kerentanan terkait (Lampiran 4.1.2). Wilayah-wilayah yang secara signifikan berisiko banjir adalah daerah-daerah rendah terutama di sekitar hilir sungai-sungai besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Terdapat lima tingkat risiko banjir , yaitu sebarannya sebagai berikut: 1) risiko banjir sangat tinggi terdapat secara sangat terbatas di sepanjang sungai besar, terutama di hilirnya, di Pulau Jawa, Sumatera bagian timur; Kalimantan barat, selatan dan timur; timur Sulawesi, dan selatan Papua. 2) risiko banjir tinggi akan dijumpai pada kawasan-kawasan sebagaimana pada risiko banjir sangat tinggi, namun dengan luas daerah yang lebih besar. 3) risiko banjir sedang akan dijumpai pada kawasan-kawasan sebagaimana pada risiko banjir tinggi, namun dengan luas daerah yang lebih besar lagi; 4) risiko rendah PKA akan dijumpai pada kawasan-kawasan sebagaimana pada risiko banjir sedang namun dengan luas daerah yang lebih luas; 5) risiko banjir sangat rendah atau tidak ada risiko banjir pada kawasan yang sangat luas di setiap wilayah.

45 | I C C S R

Gambar 4.20 Risiko banjir, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 20152020, 2020-2025, dan 2025-2030

Banjir dapat menyebabkan kehilangan jiwa, harta benda serta mata pencaharian, meningkatkan biaya perbaikan atau pembangunan kembali infrastruktur yang rusak karena banjir, berkurangnya pasokan air bersih; gagal panen, penyakit seperti demam berdarah dan akibat lebih lanjut lainnya (Lampiran 4.1.2). 4.1.3 Risiko Kekeringan

Hasil analisis GIS memberikan gambaran komparatif risiko kekeringan periode 2010-2015 hingga 2025-2030 sebagaimana pada Gambar 4.4. Risiko kekeringan diperoleh dari penapisan ancaman bahaya kekeringan berupa total runoff dari curah hujan dibawah normal tahunan rata-rata pada periode proyeksi yang lebih kecil dari 996 mm/tahun dibanding baseline dengan berbagai tingkatan kerentanan terkait (Lampiran 4.1.3). Risiko kekeringan signifikan untuk wilayah JawaBali, sebagian besar Sumatera bagian utara, sebagian Nusatenggara dan Sulawesi.

46 | I C C S R

Gambar 4.21 Risiko kekeringan, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 Tingkat risiko kekeringan secara spasial adalah: 1) risiko kekeringan sangat tinggi terdapat umumnya di kawasan terbatas di bagian tengah Jawa; Sumatera bagian utara; dan sedikit di Nusatenggara. 2) risiko kekeringan tinggi akan dijumpai di kawasan yang lebih luas di bagian tengah Jawa, Sumatera; dan Nusatenggara; 3) risiko kekeringan sedang umumnya di sekitar 80% wilayah Pulau Jawa, 30% di wilayah Sumatera, terutama di bagian utara dan sedikit di bagian selatan; dan sekitar 75% wilayah Nusatenggara; 4) risiko kekeringan rendah umumnya di sekitar 60% wilayah Sumatera, terutama di bagian tengah-selatan, sebagian kecil Sulawesi di sebalah selatan dan di ujung utara; dan sebagian kecil Kalimanyan, Maluku dan Papua; 5) risiko kekeringan sangat rendah atau tidak ada risiko kekeringan umumnya di 80%-90% wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Risiko lebih lanjut dari kekeringan adalah risiko lebih parah dari penurunan ketersediaan air, baik intensitas maupun luasannya (Lampiran 4.1.3). Pada kawasan pertanian antara lain harus diwaspadai gagal tanam dan gagal panen akibat kekeringan atau pergeseran musim kering.

47 | I C C S R

4.1.4

Risiko Tanah Longsor

Hasil analisis GIS memberikan gambaran komparatif risiko tanah longsor (longsor) periode 2010-2015 hingga 2025-2030 sebagaimana pada Gambar 4.5. Risiko longsor diperoleh dari penapisan ancaman bahaya longsor berupa penurunan total runoff curah hujan maksimum proyeksi dibanding baseline sebesar 278 mm/bln. terhadap berbagai tingkatan kerentanan terkait (Lampiran 4.1.4). Risiko longsor secara signifikan terdapat di sebagian wilayah Indonesia, khususnya Jawa-Bali, Sumatera, Sulawesi, Nusatenggara, dan Papua.

Gambar 4.22 Risiko tanah longsor, SRA2, dari atas kiri searah jarum jam: periode 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 Tingkat risiko kekeringan secara spasial adalah: 1) risiko longsor sangat tinggi terdapat umumnya di Jawa-Bali bagian tengah-selatan, Sumatera bagian tengah-barat, sebagian besar Nusatenggara; dan Sulawesi, dan Papua bagian tengah; 2) risiko longsor tinggi akan dijumpai di sekitar jalur kawasan risiko sangat tinggi tersebut diatas dengan luas daerah yang lebih sempit; 3) risiko longsor sedang selain di sekitar risiko sangat tinggi-sangat tinggi tersebut diatas juga di Sulawesi sebelah tengah-timur, kawasan terbatas di Kalimantan bagian tengah, di sebagian Maluku dan Papua; 4) risiko longsor rendah di beberapa daerah di Sumatera, Jawa, bagian besar di tengah Kalimantan, Sulawesi bagian tengah-timur, sebagian Nusatenggara, Maluku, dan Papua;

48 | I C C S R

5) risiko longsor sangat rendah atau tidak ada risiko longsor umumnya di separoh wilayah Jawa-Bali ke arah utara, separoh Sumatera ke arah timur, bagian terbesar Kalimantan, beberapa kawasan di Sulawesi, Nusantenggara, dan bagian terbesar Maluku dan Papua. Akibat lebih lanjut dari risiko longsor beragam mulai dari kehilangan jiwa dan harta benda serta gangguan atau rusaknya fasilitas umum dan infrastruktur seperti jalan, irigasi pertanian, dan lainnya akibat tertimpa longsor (Lampiran 4.1.4) 4.1.5 Risiko Intrusi Air Laut

Potensi dampak intrusi air laut, selaras dengan bahaya dan kerentanan intrusi air laut, terbatas pada beberapa pantai terutama di wilayah Jawa-Bali (Jakarta, Semarang, Denpasar) dan Sumatera (Palembang dan Padang). Risiko intrusi air laut disebabkan oleh semakin dangkalnya interface muka air tanah-lapisan air laut pada kawasan pantai serta kerentanan yang berkaitan yang meliputi kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, dan tingkat pengambilan air tanah. Intrusi air laut menyebabkan ketersediaan air berkurang karena kualitas air menurun, dan kerusakan tanah atau pondasi bangunan (Lampiran 4.1.5) . 4.2 RISIKO PERUBAHAN IKLIM PER WILAYAH

Risiko sektor air terdapat di seluruh wilayah Indonesia berhadapan dengan bahaya penurunan ketersediaan air, banjir, kekeringan, dan tanah longsor dan masing-masing kerentanan yang berkaitan. Tingkat risiko beragam yang sangat bergantung kepada tingkat bahaya dan kerentanannya. Tingkat risiko wilayah secara umum adalah: 1) sangat tinggi hingga tinggi untuk wilayah Jawa-Bali, sebagian kecil Sumatera, dan Nusatenggara; 2) sedang hingga rendah untuk sebagian wilayah Sumatera, Nusatenggara, Sulawesi dan Kalimantan; dan 3) rendah hingga sangat rendah untuk wilayah Maluku dan Papua. 4.2.1 Wilayah Sumatera

Secara fisiografi, Sumatera dibagi oleh Pegunungan Bukit Barisan menjadi tiga bagian yang dengan tatanan biogeofisiknya masing-masing memberikan potensi dampak menonjol tertentu. Sebelah barat dicirikan oleh wilayah yang sempit dan sungai-sungai yang relatif pendek, potensi air permukaan kecil, sehingga umumnya risiko banjir lebih kecil, tetapi risiko penurunan ketersediaan air, kekeringan dan longsor cukup besar. Bagian tengah berupa punggungan memiliki potensi risiko tanah longsor lebih besar seperti di Lahat (Sumsel), Sitinjau Laut

49 | I C C S R

(Sumbar) dan Bengkulu. Sebelah tengah-timur dicirikan oleh panjang dan luasan sungai yang besar sehingga di bagian tersebut risiko banjir lebih besar. Hasil analisis GIS menunjukkan gambaran kondisi yang mendekati. Secara umum tingkat risiko wilayah Sumatera bervariasi dari tinggi hingga rendah disebabkan oleh tingkat ancaman masingmasing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya adalah: risiko sangat tinggi hingga sedang untuk PKA, banjir, dan kekeringan; risiko sangat tinggi untuk tanah longsor, dan risiko sedang hingga rendah untuk intrusi air laut. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko di wilayah Sumatera dapat dibagi sebagai berikut (Lampiran 4.2.1): (1) Kota Medan (Sumut), Palembang (Sumsel), Pekanbaru (Riau), Padang (Sumbar), dan Bandar Lampung (Lampung) berisiko sangat tinggi hingga tinggi terhada PKA dan kekeringan; (2) Bagian utara hingga tengah-utara (Sumatera Utara, NAD, dan Sumbar) dan sedikit di ujung Selatan (Lampung) berisiko sedang-tinggi terhadap PKA dan kekeringan, sedangkan bahaya banjir terbatas pada banjir bandang; (3) sepertiga bagian yaitu tengah-barat arah utara-selatan berisiko sangat tinggi-tinggi terhadap longsor; (4) dua pertiga bagian tengah ke arah timur memiliki risiko tinggi terhadap banjir, terutama pada kawasan rendah di sepanjang sungai-sungai besar di sebelah timur, serta berisiko rendah-sangat rendah terhadap PKA, kekeringan dan longsor. Adapun risiko intrusi air laut, hasil analisis kualitatif, terdapat secara terbatas pada kawasan pantai di Palembang (Sumsel) dan Padang (Sumbar). Pada kawasan yang berisiko sangat tinggi hingga tinggi perlu diwaspadai akibat lebih lanjut dari setiap risiko. Hal tersebut diantaranya adalah: (1) tekanan pada sumber-sumber air yang dapat memicu konflik sosial, gagal tanam atau gagal panen, kebakaran hutan, menurunnya kinerja PLTH (Asahan) dan tampungan air baik alami (danau Toba dan danau lainnya) maupun buatan akibat PKA dan kekeringan; (2) kerusakan pemukiman dan lahan budidaya, khususnya pertanian termasuk perkebunan, dan berjangkitnya penyakit tertentu karena kekurangan air, seperti diare dan demam berdarah karena banjir; dan (3) selain kerusakan pemukiman, infrastruktur, dan fasilitas umum; juga hambatan pasokan hasil pertanian (sayur mayur, komoditi perkebunan) dari bagian tengah-barat ke timur dan arah sebaliknya untuk kebutuhan produksi karena tanah longsor.

50 | I C C S R

4.2.2

Wilayah Jawa-Bali

Intensitas risiko perubahan iklim di wilayah Jawa-Bali juga dipengaruhi secara kuat oleh bentuk fisiografis wilayahnya. Di bagian sebelah utara Pulau Jawa risiko yang menonjol adalah banjir dan kekeringan, terutama pada dataran rendah mendekati pantai dan lahan pertaniannya, serta intrusi air laut pada kawasan pantai seperti Jakarta dan Semarang. Di kedua kota tersebut dan kota-kota lainnya di wilayah pesisir juga dapat terjadi banjir yang bersifat lokal yang dipicu terutama oleh curah hujan tinggi, penurunan tanah yang sudah terjadi, dan atau daerah rendah di sekitar sungai-sungai besar; atau diakibatkan oleh kondisi infrastruktur air seperti situ-situ yang sudah tua. Di bagian tengah dan selatan, risiko penurunan ketersediaan air, kekeringan, serta longsor lebih besar, terutama di Pulau Jawa. Risiko banjir di bagian tengah terbatas pada kotakota besar. Hasil analisis GIS menunjukkan gambaran bahwa Jawa-Bali umumnya memiliki tingkat risiko dari sangat tinggi hingga tinggi untuk semua jenis bahaya karena tingkat ancaman masingmasing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risikonya (Lampiran 4.2.2) adalah: risiko umumnya tinggi-sangat tinggi dan sedang pada beberapa kawasan untuk PKA; risiko umumnya tinggi untuk banjir; risiko sedang-tinggi untuk kekeringan; risiko umumnya sangat tinggi untuk tanah longsor, dan risiko sedang hingga rendah untuk intrusi air laut. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko di wilayah Jawa dapat dibagi sebagai berikut: (1) Kota Jakarta (DKI Jaya), Bogor, Bandung dan sekitarnya (Jabar), Yogyakarta (DIY), Semarang, Solo (Jateng), dan Surabaya dan sekitarnya (Jatim) berisiko sangat tinggi hingga tinggi terhadap penurunan ketersediaan air (PKA); beberapa diantara kota tersebut dan kota-kota tingkat sedang pada kawasan yang dilalui sungai-sungai besar (Citarum, Ciliwung, Bengawan Solo, Kali Brantas dan lainnya) berisiko tinggi-sedang terhadap banjir; (2) Bagian tengah hingga selatan di Jabar, Jateng dan Jatim berisiko tinggi-sangat tinggi terhadap longsor; (3) bagian tengah, terutama di Jatim dan Jateng berisiko sedang hingga tinggi terhadap kekeringan; (4) berdasarkan analisis kualitatif, diketahui bahwa kawasan pantai utara Jakarta dan Semarang berisiko tinggi-sangat tinggi terhadap intrusi air luat. Salah satu ciri wilayah Jawa-Bali, khususnya di Pulau Jawa, adalah sudah semikian tingginya sumber daya buatan dan aktivitas pembangunan. Pada kawasan tersebut yang berada pada zona kawasan berisiko sangat tinggi hingga tinggi perlu diwaspadai akibat lebih lanjut dari setiap risiko perubahan iklim. Beberapa diantara risiko yang perlu diwaspadai sejak saat ini adalah:
51 | I C C S R

(1) akibat PKA dan kekeringan: tekanan pada sumber-sumber air yang mudah diperoleh seperti mataair dan air tanah dangkal di perkotaan oleh penduduk dan industri dapat memicu konflik sosial; gagal tanam atau gagal panen pada kawasan pesawahan yang luas di pantai utara, bagian tengah dan timur mengancam produktivitas padi; menurunnya kinerja PLTH yang dapat berakibat pada berkurangnya pasokan energi listrik; irigasi dan usaha penduduk yang memanfaatkan bendungan (Saguling, Ciarata, Jatiluhur, Kedungombo, Wadaslintang, dan lainnya); serta tampungan air lainya baik alami maupun buatan seperti danau dan situ; dan menurunnya kualitas air. Aspek lainnya adalah mengingkatnya kerusakan pada infrastruktur air, seperti fasilitas PLTH, bendungan, situ, dan jaringan irigasi; (2) akibat banjir: kerusakan dan terganggunya pemukiman dan lahan budidaya, khususnya sawah, infrastruktur jalan, fasilitas umum, dan pemukiman; berjangkitnya penyakit tertentu karena kekurangan air, seperti diare dan demam berdarah; kerusakan DAS dan tubuh sungai akibat erosi, terutama di bagian hulu; gagal tanam atau gagal panen yang luas; kehilangan jiwa dan harta benda, dan terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari penduduk; (3) akibat tanah longsor: trauma akibat kehilangan jiwa, terhambatnya fungsi infrastruktur seperti jalan, semakin terisolirnya suatu kawasan, kenaikan biaya untuk relokasi atau perbaikan pemukiman dan infrstruktur yang rusak; (4) akibat intrusi air laut : gangguan pada kesehatan, biaya pengadaan air bersih yang semakin mahal dan biaya yang tinggi untuk pemulihan kembali; serta kerusakan pada pondasi bangunan di pantai utara Jakarta dan Semarang. 4.2.3 Wilayah Kalimantan

Wilayah Kalimantan dicirikan oleh kawasan pesisirnya yang umumnya merupakan lahan rendah serta hampir seluruh kota besar menghadap ke laut dan berada pada sungai-sungai besar. Ciri lain dari wilayah ini adalah panjang serta luasan sungai yang besar dan bentuk daratan secara keseluruhan didominasi oleh dataran relatif rendah, kecuali di bagian tengah berupa punggungan pegunungan; memberikan peluang ketersediaan air cukup, namun ancaman banjir besar. Berdasarkan hasil analisis GIS wilayah Kalimantan umumnya berisiko sangat rendah hingga sedang untuk semua jenis bahaya disebabkan oleh tingkat rendahnya ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya adalah (Lampiran 4.2.3): risiko umumnya sedang untuk PKA dan banjir; risiko umumnya sangat rendah untuk kekeringan
52 | I C C S R

dan tanah longsor, dan risiko sedang-rendah terhadap intrusi air laut di kota-kota besar pada kawasan pantai. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko adalah: (1) kota-kota besar pada kawasan pantai berisiko sedang hingga tinggi terhadap PKA, dan banjir pada kawasan rendahnya; (2) daerah atau kawasan perbukitan berisiko sedang terhadap longsor; (3) sebagian besar wilayah berisiko sangat rendah atau tidak ada risiko terhadap kekeringan, kecuali sedikit di bagian barat laut berisiko rendah.terhadap kekeringan. Risiko akibat perubahan iklim yang lebih menonjol adalah risiko banjir. Risiko banjir akan diperparah oleh tingkat degradasi sungai-sungai seperti terjadi di Samarinda pada 2008. Risiko banjir di kawasan kota pantai dan daerah rendah di sepanjang alur sungai besar lebih lanjut dapat berupa kerusakan pemukiman, infrastruktur, terhambatnya aktivitas sehari-hari peduduk, kerusakan lahan pertanian, wabah penyakit seperti diare dan demam berdarah Kekeringan yang tinggi pada beberapa kawasan dapat memicu kebakaran lahan atau hutan akibat kebakaran batubara atau gambut. 4.2.4 Wilayah Sulawesi

Wilayah Sulawesi ditandai oleh morfologi perbukitan bergelombang dengan tebing-tebing yang curam dan pedataran yang sempit yang menyebar di seluruh wilayah, serta kota-kota besar yang umumnya berada pada kawasan pantai. Hal ini berpengaruh pada penyebaran risiko yang mungkin terjadi. berpotensi terjadi. Berdasarkan hasil analisis GIS, wilayah Sulawesi umumnya memiliki tingkat risiko rendah hingga sedang untuk semua jenis bahaya, kecuali untuk longsor sedang hingga tinggi disebabkan oleh tingkat ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya (Lampiran 4.2.4) adalah: risiko umumnya sedang-rendah untuk PKA dan banjir; dan risiko umumnya sangat rendah-rendah untuk kekeringan; dan risiko sedang-tinggi untuk tanah longsor. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko di wilayah Sulawesi adalah: (1) kota-kota besar di Sulsel dan Sulut serta sekitarnya berisiko tinggisedang terhadap PKA dan kekeringan; (2) bagian tengah dari selatan ke utara berisiko sedang hingga tinggi terhadap longsor; (3) bagian selatan-timur pada aliran sungai dan pada beberapa kawasan terbatas di bagian tengah dan utara besar berisiko rendah-tinggi terhadap banjir. Lebih lanjut risiko yang perlu diwaspadai adalah banjir yang umumnya berpadu dengan longsor berupa risiko banjir bandang, tersebar di Sulawesi bagian barat, selatan, dan sedikit di bagian
53 | I C C S R

Pada umumnya semua risiko perubahan iklim, kecuali intrusi air laut,

utara, serta di kawasan sungai Jeneberang (Sulsel). Untuk risiko PKA dan kekeringan yang perlu diwaspadai adalah daerah tenggara (Sutra) dan di selatan (Sulsel) dan kawasan tengah barat (Sulteng dan Sulbar). 4.2.5 Wilayah Kepulauan Nusatenggara

Wilayah Kepulauan Nusatenggara dicirikan oleh pulau-pulau besar dan kecil dengan karakteristik alamnya masing-masing. Risiko yang lebih menonjol di wilayah Nusatenggara adalah kekeringan dan penurunan ketersediaan air, serta tanah longsor pada puncak musim basah. Namun, khususnnya untuk bagian barat (NTB) yang dicirikan oleh iklim yang masih basah, ptensi dampak banjir masih mungkin dijumpai pada musim puncak basah atau iklim diatas normal. Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa wilayah Nusatenggara memiliki tingkat risiko rendah hingga sedang untuk semua jenis bahaya, kecuali untuk longsor sedang hingga tinggi disebabkan oleh tingkat ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya adalah (Lampiran 4.2.5): risiko umumnya sedang-rendah untuk PKA dan kekeringan; risiko sangat rendah-rendah untuk banjir; dan risiko sedang-tinggi untuk longsor. Profil wilayahnya adalah: (1) kota-kota besar di NTB dan NTT berisiko tinggi-sedang terhadap PKA dan kekeringan; dan sedang terhadap banjir; (2) seluruh wilayah selain kota-kota besar berisiko sedang-rendah terhadap PKA dan kekeringan, sangat rendah terhadap banjir, dan sedang-tinggi terhadap longsor. Risiko intrusi air laut sedang-rendah pada kawasan terbatas di pantai barat Mataram (NTB). Diantara akibat lebih lanjut dari risiko perubahan iklim yang paling penting adalah gagal tanam dan gagal panen lahan pertanian, khususnya sawah dan holtikultura akibat pergeseran musim atau berkurangnya pasokan air. Selain itu, tekanan pada sumber air akibat kekeringan mengakibatkan menurunnya kinerja embung-embung sebagai sarana konservasi dan penyedia air yang khas wilayah tersebut yang akan berdampak pada penurunan produksi pertanian andalan. Di bagian timur (NTT), kekeringan yang panjang akan berdampak sangat besar. 4.2.6 Wilayah Kepulauan Maluku

Wilayah Kepulauan Maluku dicirikan oleh sedang dan kecil dengan karakteristik alam yang umumnya berupa dataran sempit, kemiringan relatif sedang hingga tinggi. Oleh karena kondisi tutupan lahan yang masih baik dalam kaitannya dengan konservasi air, serta jumlah penduduk dan pertanian yang relatif sedikit, di wilayah ini tingkat risiko pada sektor air adalah rendah hingga sangat rendah
54 | I C C S R

Hasil analisis GIS juga menunjukkan hal yang sama, yaitu: wilayah Maluku umumnya memiliki tingkat risiko yang rendah hingga sangat rendah untuk semua bahaya (Lampiran 4.2.6). Beberapa kawasan yang perlu mendapat anitsipasi agar tidak terjadi kenaikan risiko adalah: 1) Kota Ambon dan sekitarnya, 2) Pulau Seram dan Pulau Buru, dan 3) sebagaian Pulau Halmahera, Ternate dan Morotai. Suatu kondisi khusus perlu diwaspadi yaitu banjir bandang dari lahar gunung api Gamalama di Pulau Ternate pada kondisi curah hujan diatas normal. 4.2.7 Wilayah Papua

Wilayah Papua secara fisiografi dipisahkan oleh Pegunungan Jaya Wijaya yang juga memberikan dampak terhadap potensi sumberdaya air. Wilayah pesisir utara Papua merupakan wilayah sempit dicirikan dengan panjang sungai yang relatif pendek yang berarti menerima dan mengalirkan air secara cepat sehingga potensi air permukaan tidak cukup besar, risiko banjir lebih kecil; tetapi risiko kekeringan cukup besar. Hal ini berbeda dengan pesisir selatan Papua yang dicirikan dengan panjang dan luasan sungai yang besar, memberikan dampak potensi ketersediaan air cukup, sehingga resiko banjir lebih besar dibanding risiko kekeringan. Sedangkan bagian punggungan atau tengah Papua, memiliki risiko longsor yang cukup besar. Namun, kondisi risiko umumnya serupa dengan wilayah Maluku. Hasil analisis GIS juga mendukung hal yang serupa, yaitu: wilayah Papua umumnya memiliki tingkat risiko yang rendah hingga sangat rendah untuk semua bahaya (Lampiran 4.2.7). Beberapa kawasan yang perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi kenaikan risiko adalah: 1) Kota Jayapura dan sekitarnya berikaitan dengan kekeringan dan longsor; 2) bagian tengah berkaitan dengan risiko longsor, 3) bagian pesisir selatan berkaitan dengan banjir, penurunan ketersediaan air, dan kekeringan; dan 4) penambangan emas di daerah hulunya. khusus di kawasan dataran rendah Timika dan sekitarnya berkaitan dengan risiko banjir dan potensi pencemaran air karena aktivitas

55 | I C C S R

BAB 5

Arah Kebijakan dan Tahapan untuk Integrasi Isu Perubahan Iklim ke dalam Sektor Sumber Daya Air ke Depan

5.1

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG 2010-2030 SEKTOR SUMBER DAYA AIR

Prinsip utama dari kebijakan pengelolaan SDA yang diatur oleh Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pengelolaan SDA terdiri atas aspek konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air. Beberapa pasal penting terkait pengelolaan air dalam UU tersebut belum ditindaklanjuti oleh PU dibawahnya yang lebih operasional dan belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan. Arah Kebijakan Pembangunan Jangka Panjang (KPJP) 2010-2030 sektor Sumber Daya Air (SDA) didasarkan kepada temuan sebagai berikut: 1. Pengelolaan SDA dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan, antara hulu dan hilir, antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah, antara pengelolaan demand dan pengelolaan supply, serta antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. 2. Konservasi akan lebih diutamakan sehingga akan terjadi keseimbangan antara upaya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan upaya untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. 3. Pola hubungan hulu-hilir akan terus dikembangkan agar tercapai pola pengelolaan yang lebih berkeadilan serta rasionalisasi permintaan dan penggunaan air melalui demand management. 4. Pengembangan dan penerapan sistem conjunctive use antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menciptakan sinergi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. 5. Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi difokuskan pada upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang sudah dibangun tapi belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi berfungsi yang mengalami kerusakan, dan peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan, yang dilakukan hanya pada area yang ketersediaan airnya terjamin dan petani penggarapnya sudah siap, dengan prioritas area irigasi di luar Pulau Jawa. 6. Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air baku diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan/defisit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis.
56 | I C C S R

7. Pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air baku akan dikendalikan dan sejalan dengan itu akan dilakukan upaya peningkatan penyediaan air baku dan air permukaan. 8. Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir mengutamakan pendekatan non-konstruksi melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah. 9. Pengamanan pantai-pantai dari abrasi terutama dilakukan pada daerah perbatasan, pulaupulau kecil serta pusat kegiatan ekonomi. 10. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pasca bencana. Penanggulangan banjir diutamakan pada wilayah berpenduduk padat dan wilayah strategis. 11. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air juga dilakukan dengan penataan kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan. Arah KPJP 2010-2030 sektor SDA dan perubahan iklim juga berlandaskan kepada tantangan masa depan dan isu strategis sektor air berkaitan dengan perubahan iklim. Di masa depan terdapat ancaman bahaya perubahan iklim terhadap sektor air, yaitu: penurunan ketersediaan air, kekeringan, banjir, tanah longsor, dan intrusi air laut. Bahaya-bahaya tersebut dihadapkan pada kondisi dan permasalahan sektor air saat ini melahirkan tujuh isu strategis sektor air, yaitu: 1) keseimbangan air antara ketersediaan dan kebutuhan air (neraca air) yang harus senantiasa terjaga baik temporal maupun sapsial dengan prioritas pada penyediaan kebutuhan air sehari-hari penduduk; 2) pengurangan kerentanan dan risiko bahaya banjir, kekeringan, dan tanah longsor; 3) penemuan solusi yang sinergis untuk isu lintas sektoral, terutama isu air dengan pertanian, energi, industri, kesehatan, dan kehutanan; 4) infrastruktur keairan yang memadai dan penyediaan sumber-sumber air alternatif pada daerah khusus; 5) konservasi air berbasis peran serta masyarakat dan revitalisasi kearifan lokal; 6) manajemen SDA terpadu; dan 7) database, teknologi, dan riset SDA terkait perubahan iklim. Arah KPJP 2010-2030 untuk integrasi isu perubahan iklim kedalam sektor air harus bermuatan langkah strategi untuk penyelesaian isu strategis sektor air terkait tantangan masa depan yaitu bahaya sektor air akibat perubahan iklim. Arah kebijakan tersebut secara nyata merupakan strategi dan program adaptasi perubahan iklim sektor air yang mempertimbangkan isu strategis, kerentanan, dan risiko sektor air akibat perubahan iklim.
57 | I C C S R

Kerentanan dan risiko perubahan iklim berkaitan dengan bahaya sektor air yang telah teridentifikasi menunjukkan keragaman. Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera secara umum merupakan wilayah yang memiliki kerentanan dan risiko sangat tinggi hingga tinggi terhadap semua ancaman bahaya. 5.1.1 Arah Kebijakan untuk Adaptasi

Kebijakan pembangunan jangka panjang sektor sumber daya air dalam menghadapi perubahan iklim didasarkan pada perubahan pola iklim secara umum di seluruh wilayah Indonesia yaitu adanya kenaikan suhu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2020-2025 serta mengalami kenaikan kembali dari tahun 2025-2030. Pembangunan sektor sumber daya air ini ditujukan pada pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air baku rumah tangga, perkotaan dan industri, dengan: (1) mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan defisit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis; (2) pengendalian pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air baku dan sejalan dengan itu akan dilakukan upaya peningkatan penyediaan air baku dari air permukaan; (3) meningkatkan pembangunan tampungan-tampungan air sebagai sumber air baku, dan optimalisasi sumber air baku yang ada dengan melakukan operasi dan pemeliharaan; (4) mendorong peran serta pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur air baku terutama dalam sistem penyaluran air (conveyance system). Berdasarkan kajian kerentanan secara umum, dapat disusun berdasarkan periode, yaitu periode 2015-2020 memiliki kerentanan dan risiko paling tinggi, periode 2025-2030 menurun kembali tapi secara umum dari 2010-2030 ada bahaya, kerentanan dan risiko yangg naik kecuali fluktuasi di 2015-2030. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kinerja pengelolaan sumber daya air, dengan: (1) mendorong percepatan penyelesaian peraturan perundang-undangan turunan UU No 7 Tahun 2004 sebagai pedoman teknis pelaksanaan pengelolaan sumber daya air; (2) meningkatkan kemampuan komunikasi, kerjasama, koordinasi antarlembaga dan antarwadah koordinasi pengelolaan sumber daya air yang telah terbentuk; (3) peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumber daya air dan peningkatan pemberdayaan serta partisipasi masyarakat terutama di tingkat kabupaten/kota; (4) menumbuhkan prakarsa dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap upaya pengelolaan sumber daya air melalui proses

58 | I C C S R

pendampingan, penyuluhan dan pembinaan; (5) menyelenggarakan upaya pengelolaan sumber daya air dengan sistem kemitraan antara Pemerintah dengan Masyarakat. Tahapan kebijakan pembangunan dalam sektor sumberdaya air secara nasional yaitu inventarisasi data, sistem informasi dan riset; Perencanaan teknis dan/atau capacity building; Implementasi dan rencana aksi; Penguatan peraturan atau regulasi serta Monitoring dan Evaluasi. Selain kebijakan secara nasional, diperlukan juga kebijakan setiap wilayah dengan didasarkan pada intensitas bahaya, kerentanan, dan risiko. Hasil dari arah kebijakan ini dapat berupa aturan perundang-undangan maupun sarana dan prasarana teknis lainnya. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka diperlukan kebijakan adaptasi secara terintegrasi. Arah kebijakan adaptasi SDA ditujukan untuk mengurangi potensi dampak dari bahaya akibat perubahan iklim dan kerentanan terkait sektor air. Diantara arah kebijakan adaptasi prioritas dalam hal ini adalah: 1. melaksanakan kajian bahaya, kerentanan, dampak perubahan iklim pada sektor SDA yang lebih rinci; 2. meningkatkan kapasitas data dan informasi SDA, meliputi ketersediaan, kebutuhan, sumber, dan cara penduduk memperoleh air; melalui pemutakhiran, peningkatan, penyediaan dan akses masyarakat terhadap data dan informasi SDA; 3. meningkatkan kapasitas sumber air guna meningkatkan keadaan penyediaan air; 4. meningkatkan atau menerapkan konsep conjunctive use pada daerah yang potensi air permukaannya kurang; 5. meningkatkan penyediaan serta akses masyarakat terhadap data dan informasi tentang bencana terkait air dan perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor, 6. pengaturan (regulasi) lebih lanjut dari UU SDA di tingkat nasional dan daerah yang mempertimbangkan isu perubahan iklim; 7. menetapkan atau mengamankan daerah atau tangakap air atau perlindungan kawasan lindung sumber air serta 8. sosialisasi dan kampanye adaptasi perubahan iklim sektor air. Arahan kebijakan tersebut dibagi ke dalam tiga program utama yaitu: 1) inventarisasi data, sistem informasi, riset dan capacity building; 2) regulasi dan kebijakan; dan 3) implementasi atau program aksi adaptasi perubahan iklim sektor air.
59 | I C C S R

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka program unggulan (champion programs) dalam rangka adaptasi perubahan iklim sektor air (selengkapnya pada Lampiran 5.1), yaitu: 5.2.1.1. Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim sektor air Tingkat Regional dan Kawasan Strategis. 5.2.1.2. Peningkatan Kapasitas Tampungan dan Infrastruktur Air untuk Pemantapan Neraca Sumber Daya Air dan Pencegahan Bencana Air. 5.2.1.3. Peningkatan Ketersediaan Air pada Kawasan sangat Rentan melalui Teknologi Tepat Guna dan Pengembangan Sumber-sumber Air Setempat. 5.2.1.4. Peningkatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengurangan Intensitas Bahaya dan Bencana Perubahan Iklim. 5.2.1.5. Revitalisasi Kearifan Lokal, Peningkatan Kapasitas dan Peranserta Masyarakat dalam Adaptasi Perubahan Iklim sektor Air. 5.1.2 Ekonomi Makro dan Analisa Pembiayaan

Analisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan Cost Benefit Analysis (on progress with Team LPEM-FE UI. 5.1.3 Acuan untuk Pemantauan dan Evaluasi

Analisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan Cost Benefit Analysis (on progress with Team LPEM-FE UI. 5.2 5.2.1 TAHAPAN PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH SEKTOR SUMBER DAYA AIR Tahap I (2010-2015)

5.2.1.1 Program Prioritas untuk Adaptasi Dengan berlandaskan pada hasil kajian kerentanan maka program prioritas untuk adaptasi pada tahap I difokuskan pada wilayah tertentu dengan mengacu pada wilayah, yaitu Jawa: BBWS Bengawan Solo dan Pemali Juwana; Sumatera: BWS Sumatera I dan Mesuji Sekampung; Kalimantan: BWS Kalimantan II; Sulawesi: BWS Pompengan dan Jeneberang; Nusatenggara: BWS Nusatenggara I; Maluku: BWS Maluku dan Papua: BWS. Program prioritas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim sektor air Tingkat Regional dan Kawasan Strategis. 2. Peningkatan Kapasitas Tampungan dan Infrastruktur Air untuk Pemantapan Neraca Sumber Daya Air dan Pencegahan Bencana Air.
60 | I C C S R

3. Peningkatan Ketersediaan Air pada Kawasan sangat Rentan melalui Teknologi Tepat Guna dan Pengembangan Sumber-sumber Air Setempat. 4. Peningkatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengurangan Intensitas Bahaya dan Bencana Perubahan Iklim. 5. Revitalisasi Kearifan Lokal, Peningkatan Kapasitas dan Peranserta Masyarakat dalam Adaptasi Perubahan Iklim sektor Air. Secara rinci dapat dilihat pada halaman Lampiran 5. 5.2.1.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi 5.2.1.3 Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi keberhasilan dapat dilihat pada adanya baik kabijakan maupun infrastruktur keairan di tingkat propinsi (selengkapnya disajikan pada matriks di halaman lampiran). 5.2.2 Tahap II (2015-2020)

5.2.2.1 Program Prioritas untuk Adaptasi Dengan berlandaskan pada hasil kajian kerentanan maka program prioritas untuk adaptasi pada tahap II difokuskan pada wilayah tertentu dengan mengacu pada wilayah, yaitu Jawa: BBWS Brantas dan Ciliwung-Cisedane; Sumatera: BWS Sumatera II dan V; Kalimantan: BWS Kalimantan III; Sulawesi: BWS Sulawesi II; Nusatenggara: BWS Nusatenggara II; Maluku: BWS Maluku dan Papua: BWS Papua. Program prioritas tersebut ini adalah sebagai berikut: 1. Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim sektor air Tingkat Regional dan Kawasan Strategis. 2. Peningkatan Kapasitas Tampungan dan Infrastruktur Air untuk Pemantapan Neraca Sumber Daya Air dan Pencegahan Bencana Air. 3. Peningkatan Ketersediaan Air pada Kawasan sangat Rentan melalui Teknologi Tepat Guna dan Pengembangan Sumber-sumber Air Setempat. 4. Peningkatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengurangan Intensitas Bahaya dan Bencana Perubahan Iklim. 5. Revitalisasi Kearifan Lokal, Peningkatan Kapasitas dan Peranserta Masyarakat dalam Adaptasi Perubahan Iklim sektor Air. Secara rinci dapat dilihat pada halaman Lampiran.

61 | I C C S R

5.2.2.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi 5.2.2.3 Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi keberhasilan dapat dilihat pada adanya baik kebijakan maupun infrastruktur keairan di tingkat kabupaten di sejumlah propinsi (selengkapnya disajikan pada matriks di halaman lampiran). 5.2.3 Tahap III (2021-2025)

5.2.3.1 Program Prioritas untuk Adaptasi Dengan berlandaskan pada hasil kajian kerentanan maka program prioritas untuk adaptasi pada tahap III difokuskan pada wilayah tertentu dengan mengacu pada wilayah, yaitu Jawa: BBWS Serayu-Opak, Cimanuk-Cisanggarung dan BBWS Bali; Sumatera: BWS Sumatera IV dan VI; Kalimantan: BWS Kalimantan I; dan Sulawesi: BWS Sulawesi . Program prioritas tersebut ini adalah sebagai berikut: 1. Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim sektor air Tingkat Regional dan Kawasan Strategis. 2. Peningkatan Kapasitas Tampungan dan Infrastruktur Air untuk Pemantapan Neraca Sumber Daya Air dan Pencegahan Bencana Air. 3. Peningkatan Ketersediaan Air pada Kawasan sangat Rentan melalui Teknologi Tepat Guna dan Pengembangan Sumber-sumber Air Setempat. 4. Peningkatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengurangan Intensitas Bahaya dan Bencana Perubahan Iklim. 5. Revitalisasi Kearifan Lokal, Peningkatan Kapasitas dan Peranserta Masyarakat dalam Adaptasi Perubahan Iklim sektor Air. Secara rinci dapat dilihat pada halaman Lampiran. 5.2.3.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi 5.2.3.3 Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi keberhasilan dapat dilihat pada adanya baik kabijakan maupun infrastruktur keairan di tingkat kabupaten di sejumlah propinsi (selengkapnya disajikan pada matriks di halaman lampiran). 5.2.4 Tahap IV (2026-2030)

5.2.4.1 Program Prioritas untuk Adaptasi Dengan berlandaskan pada hasil kajian kerentanan maka program prioritas untuk adaptasi pada tahap IV difokuskan pada wilayah tertentu dengan mengacu pada wilayah, yaitu Jawa: BBWS
62 | I C C S R

Citarum-Citanduy dan Cidanau-Ciujung-Cidurian; Sumatera: BBWS Sumatera VIII dan BWS Sumatera III; Kalimantan: BWS Kalimantan I; dan Sulawesi: BWS Sulawesi. Program prioritas tersebut ini adalah sebagai berikut: 1. Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim sektor air Tingkat Regional dan Kawasan Strategis. 2. Peningkatan Kapasitas Tampungan dan Infrastruktur Air untuk Pemantapan Neraca Sumber Daya Air dan Pencegahan Bencana Air. 3. Peningkatan Ketersediaan Air pada Kawasan sangat Rentan melalui Teknologi Tepat Guna dan Pengembangan Sumber-sumber Air Setempat. 4. Peningkatan Konservasi Sumber Daya Air dan Pengurangan Intensitas Bahaya dan Bencana Perubahan Iklim. 5. Revitalisasi Kearifan Lokal, Peningkatan Kapasitas dan Peranserta Masyarakat dalam Adaptasi Perubahan Iklim sektor Air. Secara rinci dapat dilihat pada halaman Lampiran. 5.2.4.2 Anggaran Biaya Indikatif untuk Adaptasi 5.2.4.3 Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi keberhasilan dapat dilihat pada adanya baik kabijakan maupun infrastruktur keairan di tingkat kabupaten di sejumlah propinsi (selengkapnya disajikan pada matriks di halaman lampiran).

63 | I C C S R

DAFTAR PUSTAKA
-----. 2009. Profil Balai Besar Wilayah Sungai dan Balai Wilayah Sungai di Indonesia. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum. -----. 2009. National Action Plan for Climate Change Mitigation and Adaptation in Public Work Infrastructure. Ministry of Public Work, Republic Indonesia. -----. 2009. Rancangan awal Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum 2010-2014. Sekretariat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum. Australian Greenhouse Office, Department of the Environment and Heritage (March 2005) Climate Change Risk and Vulnerability, Promoting an efficient adaptation responsein Australia, Final Report, reported by the Allen Consulting Group Bogataj, L.K, (2007), IPCC Fourth Assessment Report - Climate Change is Real and Here!, tersedia pada http://www.ipcc.ch/graphics/presentations.htm. Diakses pada 24 Desember 2008 CCSP (2008). Abrupt Climate Change. Final Report: Synthesis and Assessment Product (SAP) 3.4 by U.S. Climate Change Science Program and the Sub-committee on Global Change Research [Clark, PULAUU., A.J. Weaver (coordinating lead authors), E. Brook, E.R. Cook, T.L. Delworth, K. Steffen (chapter lead authors)]. U.S. Geological Survey, Reston, VA, 459 p Corbitt, R. A. (2004), The Standard Handbook of Environmental Engineering, The McGraw-Hill Companies, New York. Danaryanto, H. et al. (2005), Airtanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta Departemen Kehutanan. 2008. Peta Daerah Aliran Sungai Kritis di Indonesia. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Jakarta IPCC (- ), SRES Final Data, Juli 2002, tersedia pada http://sres.ciesin.org/final_data.html IPCC (2008), IPCC Special Report on Emissions Scenarios, Appendix VII, Data Tables, tersedia pada http://www.grida.no/publications/other/ipcc_sr/?src=/climate/ipcc/emission/ Diakses pada 24 Desember 2008 IPCC, Working Group II (2008), IPCC Fourth Assessment Report, Working Group II Report "Impacts, Adaptation and Vulnerability", Chapter 3, Freshwater Resources and their Management, tersedia pada http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4-wg2.htm . Diakses pada 28 Desember 2008 KLH, 1997, Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. KLH, 2006. Status Lingkungan Hidup Indonesia Mock FJ. 1973. Land Capabilty Appraisal Indonesia, Water Availability Appraisal. Bogor. UNDPFAO NCDC (2008), The Standardized Precipitation Index dalam Climate of 2008 November U.S. Standardized Precipitation Index, tersedia pada http://lwf.ncdc.noaa.gov/oa/ncdc.html Diakses pada 30 Desember 2008

64 | I C C S R

NOAA (2008), SPI Information dalam National Weather Service Forecast Office, Honolulu, HI,tersedia pada http://www.prh.noaa.gov/hnl/hydro/pages/spi_info.htm Diakses pada 30 Desember 2008 Ritter, Michael E., (2006), The Physical Environment: an Introduction to Physical Geography, tersedia pada http://www.uwsp.edu/geo/faculty/ritter/geog101/textbook/title_page.html .Diakses pada 26 Desember 2008 The IPCC Distribution Data Centre, IPCC (2008), Environmental Data and Scenarios, 2008, tersedia pada http://www.ipcc-data.org/ddc_envdata.html. Diakses pada 24 Desember 2008 Thornthwaite CW, Mather JR. 1957. Instruction and Tables for Computing Potential Evapotranpiration and Water Balance. Climatology. 10(3). UNFCCC (- ), Current Evidence on Climate Change, tersedia pada http://unfccc.int/essential_background/feeling_the_heat/items/2904.php. Diakses pada 24 Desember 2008 Wikipedia, (2008), Water Balance, tersedia pada http://en.wikipedia.org/wiki/Water_balance .Diakses pada 25 Desember 2008 Wurjanto, A., Sudirman, D. (2008), Modul Perhitungan Debit Andalan Sungai, Penerbit ITB, Bandung.

65 | I C C S R

LAMPIRAN I LOKASI DAN RUANG LINGKUP KAJIAN Lampiran 1.1. Lokasi Kajian

I II

III

IV VI V

VII

Gambar L.1 Pembagian wilayah Indonesia dalam roadmap perubahan iklim Lokasi kajian meliputi seluruh wilayah Indonesia yang dibagi menjadi 7 wilayah yaitu: 1. Sumatera 2. Jawa-Bali 3. Kalimantan 4. Sulawesi 5. Nusa Tenggara 6. Maluku 7. Papua Lampiran 1.2. Analisis Matriks Tool Tabel L.1 Matrik tool
Bahaya Scientific Basis Kerentanan Risiko Rekomendasi Strategi Adaptasi 2010 -2014 Prioritas Program 2015-2020 2020-2025 2025 - 2030

Analisis matrix tool digunakan untuk penyenderhanaan aplikasi risk assesment framework, dimana matriks berisi pemetaan wilayah, bahaya, kerentanan, potensi dampak atau resiko, rekomendasi strategi adaptasi, dan program adaptasi.
58 | I C C S R

Lampiran 1.3. Identifikasi Kerentanan Per Batasan komponen kerentanan yang digunakan dalam kajian ini, kerentanan (V) terhadap perubahan iklim adalah fungsi dari karakter, besaran, dan kecepatan dari perubahan iklim dan variasi dari keterpaparan (exposure,E), sensitivitas (sensitivity,S) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity, AC) dari sistem terhadap karakter, besaran, dan kecepatan perubahan iklim tersebut. Dengan kata lain, V = (E x S)/ AC. Rumusan tersebut menyatakan bahwa semakin besar atau semakin banyak komponen E dan komponen S, maka akan semakin besar kerentanan (V) yang dihadapi. Sebaliknya, semakin besar atau semakin banyak komponen AC, maka akan semakin kecil kerentanan (V) yang dihadapi. Pengenalan komponen V selanjutnya dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) mempertimbangkan berbagai komponen yang mungkin merupakan E, S, atau AC dalam hubungannya terhadap bahaya yang ditinjau; 2) melihat ketersediaan data atau informasi spasial dari masing-masing komponen E, S, dan AC tersebut; 3) menghindarkan perulangan (redundan) dalam pelibatan unsur komponen tersebut dalam semua komponen risiko; 4) mempertimbangkan agar tidak terlalu banyak komponen kerentanan; karena terlalu banyak juga menjadikan sulit untuk interpretasi. Berdasarkan komponen kerentanan diatas, terdapat berbagai unsur komponen kerentanan untuk emat jenis bahaya yang telah diidentifikasi, maka diajukan komponen kerentanan dan bahaya terkait dengannya akibat perubahan iklim yang digunakan dalam kajian ini sebagaimana pada Tabel 2.2. Skema pada Tabel 2.2 juga merupakan kerangka pendekatan penyelesain kajian ini. Tabel L. 2 Komponen kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim
POT. H Perubahan pola CH, kenaikan T, SLR, rendaman BAHAYA (H) E PENURUNAN KETERSEDIAAN AIR S AC E KERENTANAN SEKTOR AIR (V) Komp. Jenis 1. Kepadatan penduduk 2. Tataguna lahan 1. Kebutuhan air 2. Kualitas air 1. Infrastruktur keairan 2. Potensi air tanah Zona BANJIR 1. Kepadatan penduduk 2. Tataguna lahan

59 | I C C S R

POT. H

BAHAYA (H) S

KERENTANAN SEKTOR AIR (V) Komp. Jenis 1. Penurunan lahan perkotaan (subsidence) 2. Kekritisan Lahan/kerusakan DAS AC 1. Inftastruktur keairan 2. GNRHL (Dephut) 3. Prokasih (SLHI)

KEKERINGAN

E S AC

1. Kepadatan penduduk 2. Tataguna lahan 1. Kebutuhan air 2. Kualitas air 1. Infrastruktur keairan 2. Potensi air tanah 1. Kepadatan penduduk 2. Tataguna lahan 1. Infrastruktur penting

LONGSOR

E AC

Keterangan: H : bahaya (hazrads), Pot : potensi, T : temperatur, SLR : kenaikan muka laut (sea level rise), E: eksposur, S : sensitivitas, AC : kapasitas adaptasi. (spasial) : jenis informasi dengan tingkat ketelitian atau satuan ruang yang lebih rinci

60 | I C C S R

LAMPIRAN II KONDISI, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN SEKTOR SUMBER DAYA AIR

Lampiran 2.1. Kondisi dan Permasalahan Sumber Daya Air Sekarang Lampiran 2.1.1. Kriteria Rincian Ketersediaan Air Jumlah populasi penduduk Indonesia yang semakin meningkat, mengakibatkan kebutuhan air juga akan semakin meningkat. Menurut analisa kebutuhan air tahun 2010 (tabel 2.2) berdasarkan tiga jenis kebutuhan air yaitu domestik, pertanian dan industri, wilayah Jawa-Bali merupakan wilayah yang paling tinggi untuk kebutuhan air dengan kebutuhan air total 100.917.767 x 103 m3/tahun (57.43% total kebutuhan air Indonesia), diikuti dengan wilayah Sumatera dengan kebutuhan air total 37.805.548 x 103 m3/tahun (21,51% total kebutuhan air Indonesia), Sulawesi dengan kebutuhan air total 16.965.378 x 103 m3/tahun (9.65%), Kalimantan 11.669.499 x 103 m3/tahun (6.64%), Nusatenggara dengan kebutuhan air total 6.895.283 x 103 m3/tahun (3.92%), Papua 925.810 x 103 m3/tahun (0.53%) dan dengan kebutuhan air terendah wilayah Maluku dengan kebutuhan air total 540.230 x 103 m3/tahun (0.31%). Tabel 2.1 2.5 merupakan rekapitulasi jumlah kebutuhan air total masing-masing provinsi di Indonesia berdasarkan 3 kategori kebutuhan air (domestik, pertanian, industri) untuk tahun 2005, 2010, 2015, 2020, 2025, dan 2030. Lampiran 2.1.2. Neraca Keseimbangan Air Neraca Keseimbangan Air tahun 2009 (tabel 2.7) dapat dilihat bahwa untuk wilayah yang keseimbangan airnya masih terjaga (surplus) hanya ada dua wilayah yaitu wilayah Kalimantan dan Papua, sedangkan keseimbangan air di wilayah Jawa-Bali sudah tidak tercukupi (defisit), dan empat wilayah lainnya yaitu Nusatenggara, Sulawesi, Maluku, dan Sumatera sudah kritis atau mendekati kritis. Masalah keseimbangan air disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi sumber daya air yang meliputi distribusi kuantitas kualitas dan kebutuhan. Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan. Ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak (kuantitas) air yang kualitasnya layak dimanfaatkan. Untuk wilayah Kalimantan dan Papua, ketersediaan air paling tinggi dengan kebutuhan air rendah dengan pertumbuhan penduduk (Kalimantan kepadatan penduduk rata-rata 21 jiwa/km2 dan Papua kepadatan penduduk rata-rata 6 jiwa/km2) pertanian (Kalimantan 402.000 ha (6% dari cakupan luas sawah nasional) dan Papua hanya 0.5% dari luas sawah nasional) dan industri. Untuk wilayah Jawa-Bali memiliki ketersediaan air yang sedang, namun tingkat kebutuhan air

61 | I C C S R

(57,43% total kebutuhan air Indonesia), pertumbuhan penduduk (kepadatan penduduk 990 jiwa/km2), dan industri yang tinggi. Tabel L. 3 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2005
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Provinsi Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua INDONESIA Jml Keb Penduduk (m3/tahun) 2005 117.722.398,80 363.566.601,20 133.330.879,20 170.938.756,40 76.970.265,60 198.044.298,80 45.238.771,60 207.792.368,40 30.468.915,20 1.344.073.255,20 258.723.125,20 1.137.790.848,00 933.756.665,60 97.634.609,20 1.059.792.976,00 263.641.427,20 98.800.302,40 3.850.139.953,60 122.184.801,20 124.400.584,80 246.585.386,00 118.328.474,00 55.915.080,00 95.834.195,60 83.184.901,60 353.262.651,20 62.160.376,00 95.316.684,00 219.283.356,80 57.320.330,00 26.927.539,20 461.008.286,00 36.544.938,80 25.816.946,40 62.361.885,20 73.537.280,00 135.899.165,20 6.390.968.697,20 Jumlah Keb Pert (m3/tahun) 2005 1.740.455.706,60 3.625.760.782,80 2.244.033.593,10 556.764.764,40 671.059.970,10 3.085.970.553,90 535.263.686,10 2.607.288.652,80 27.159.256,80 15.093.756.966,60 9.053.085,60 11.204.325.065,70 9.768.279.362,40 803.461.347,00 10.751.670.785,70 2.127.475.116,00 936.994.359,60 35.601.259.122,00 1.699.716.821,40 578.265.842,70 2.277.982.664,10 1.382.858.825,40 635.979.263,40 2.049.392.252,70 632.584.356,30 4.700.814.697,80 557.896.400,10 1.241.404.362,90 4.158.761.197,50 463.970.637,00 222.932.232,90 6.644.964.830,40 65.634.870,60 64.503.234,90 130.138.105,50 109.768.662,90 239.906.768,40 64.558.685.049,30 Jumlah Keb Industri (m3/thn) 2005 296.051.043,75 376.308.384,38 276.984.356,25 143.939.118,75 83.936.540,63 251.412.000,00 57.885.121,88 422.585.821,88 29.208.440,63 1.938.310.828,13 181.191.018,75 2.207.036.146,88 3.995.601.618,75 365.773.800,00 3.193.512.065,63 379.302.525,00 401.578.931,25 10.723.996.106,25 594.909.393,75 334.658.690,63 929.568.084,38 191.356.725,00 88.099.593,75 231.962.062,50 70.532.371,88 581.950.753,13 147.038.653,13 179.538.253,13 518.029.443,75 188.994.946,88 71.763.562,50 1.105.364.859,38 71.088.084,38 36.356.053,13 107.444.137,50 39.925.068,75 147.369.206,25 15.426.559.837,50

Total Keb Air 2005 (m3/tahun) 2.154.229.149,15 4.365.635.768,38 2.654.348.828,55 871.642.639,55 831.966.776,33 3.535.426.852,70 638.387.579,58 3.237.666.843,08 86.836.612,63 18.376.141.049,93 448.967.229,55 14.549.152.060,58 14.697.637.646,75 1.266.869.756,20 15.004.975.827,33 2.770.419.068,20 1.437.373.593,25 50.175.395.181,85 2.416.811.016,35 1.037.325.118,13 3.454.136.134,48 1.692.544.024,40 779.993.937,15 2.377.188.510,80 786.301.629,78 5.636.028.102,13 767.095.429,23 1.516.259.300,03 4.896.073.998,05 710.285.913,88 321.623.334,60 8.211.337.975,78 173.267.893,78 126.676.234,43 299.944.128,20 223.231.011,65 523.175.139,85 86.376.213.584,00

62 | I C C S R

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Tabel L. 4 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2010
Provinsi Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua INDONESIA Jml Keb Penduduk (m3/tahun) 2010 118.442.856,24 365.882.324,72 134.125.463,76 172.247.395,28 77.480.395,44 199.324.362,56 45.551.416,00 209.166.462,00 Jml Keb Pertanian (m3/thn) 2010 3.801.412.494,02 7.919.197.419,28 4.901.301.024,48 1.216.056.532,55 1.465.694.154,07 6.740.215.781,01 1.169.094.999,79 5.694.703.762,18 59.319.830,86 32.966.995.998,22 19.773.276,95 24.471.901.887,72 21.335.365.831,21 1.754.878.329,49 23.483.238.040,12 4.646.720.083,72 2.046.534.164,53 77.758.411.613,74 3.712.432.747,74 Jml Keb Industri (m3/thn) 2010 532.390.913,02 676.718.317,88 498.103.139,40 258.846.845,73 150.943.739,07 452.116.170,67 104.095.268,49 759.939.396,55

Total Keb Air 2010 (m3/tahun) 4.452.246.263,28 8.961.798.061,88 5.533.529.627,64 1.647.150.773,56 1.694.118.288,58 7.391.656.314,24 1.318.741.684,27 6.663.809.620,73 142.497.545,27 37.805.548.179,44 605.907.137,95 29.586.078.830,37 29.460.129.733,64 2.510.889.343,70 30.292.303.217,27 5.594.332.040,08 2.868.127.149,22 100.917.767.452,22 4.905.271.408,53 1.990.011.960,70 6.895.283.369,23 3.483.650.794,02 1.603.845.446,50 4.989.762.739,35 1.592.240.609,14 11.669.499.589,00 1.545.508.296,30 3.130.054.949,82 10.235.772.806,99 1.410.986.023,76 643.056.350,09 16.965.378.426,96 307.979.375,04 232.250.776,45 540.230.151,49 385.579.873,67 925.810.025,16 175.179.287.042,02

30.651.946,64 1.352.872.622,64 260.296.631,44 1.145.246.536,56 939.442.185,92 98.237.122,00 1.066.147.392,40 265.509.251,92 99.430.444,24 3.874.309.564,48 123.008.433,92

52.525.767,77 3.485.679.558,57 325.837.229,56 3.968.930.406,09 7.185.321.716,51 657.773.892,21 5.742.917.784,75 682.102.704,44 722.162.540,45 19.285.046.274,00 1.069.830.226,87 601.819.347,08 1.671.649.573,95 344.118.298,80 158.430.190,14 417.139.195,58 126.838.917,32 1.046.526.601,84 264.420.762,70 322.865.048,17 931.576.410,05 339.871.094,69 129.052.977,07 1.987.786.292,67 127.838.259,46 65.379.375,37 193.217.634,83 71.797.564,15 265.015.198,97 27.741.703.500,01

17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

125.174.548,32 1.263.018.065,31 248.182.982,24 4.975.450.813,05 119.164.440,80 3.020.368.054,42 56.342.550,48 1.389.072.705,88 96.447.973,76 4.476.175.570,01 83.743.964,80 1.381.657.727,02 355.698.929,84 10.267.274.057,33 62.559.341,44 1.218.528.192,17 95.779.299,60 2.711.410.602,04 220.847.297,12 9.083.349.099,83 57.734.485,28 1.013.380.443,79 27.086.428,08 486.916.944,94 464.006.851,52 14.513.585.282,77 36.784.857,68 143.356.257,90 25.986.802,80 140.884.598,28 62.771.660,48 284.240.856,19 74.031.326,48 239.750.983,04 136.802.986,96 523.991.839,23 6.431.873.937,68 141.005.709.604,33

63 | I C C S R

Tabel L. 5 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2015
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Provinsi Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua INDONESIA Jml Keb Penduduk (m3/tahun) 2015 119.051.136,04 367.915.170,32 134.810.700,16 173.561.059,48 77.942.456,24 200.469.017,16 45.836.904,40 210.389.562,40 Jml Keb Pertanian (m3/thn) 2015 5.257.352.474,63 10.952.247.938,05 6.778.498.021,59 1.681.805.863,15 2.027.054.627,74 9.321.716.643,90 1.616.858.075,75 7.875.773.798,15

Total Keb Air Jml Keb Industri 2015 3 3 (m /thn) 2015 (m /tahun) 938.254.697,76 6.314.658.308,44 1.192.608.899,38 12.512.772.007,76 877.827.925,10 7.791.136.646,85 456.176.585,80 oo2.311.543.508,42 266.014.443,18 2.371.011.527,15 796.783.173,22 10.318.968.834,29 183.451.430,68 1.846.146.410,83 1.339.272.875,25 9.425.436.235,80 205.422.601,42 53.097.096.080,95 863.218.200,82 41.991.218.647,26 43.114.040.334,60 3.684.978.460,08 43.669.821.489,62 7.895.792.367,97 4.203.037.519,62 145.422.107.019,98 7.143.444.302,52 2.933.224.975,37 10.076.669.277,89 4.903.537.488,80 2.257.040.414,78 7.022.689.495,02 2.218.633.580,58 16.401.900.979,19 2.214.134.049,99 4.415.079.071,33 14.426.236.265,63 2.058.595.706,32 928.064.750,09 24.042.109.843,36 460.557.049,63 336.204.657,62 796.761.707,25 532.594.159,72 1.329.355.866,97 250.369.239.068,34

30.814.941,04 82.039.310,40 92.568.349,98 1.360.790.947,24 45.593.346.753,36 6.142.958.380,35 261.635.232,44 27.346.436,80 574.236.531,58 1.151.973.311,36 33.844.633.843,53 6.994.611.492,37 944.243.060,12 29.506.805.306,27 12.662.991.968,22 98.759.845,80 2.426.996.265,92 1.159.222.348,36 1.071.526.090,80 32.477.312.003,57 10.120.983.395,25 267.281.691,92 6.426.412.647,80 1.202.098.028,26 99.984.163,84 2.830.356.208,71 1.272.697.147,07 3.895.403.396,28 107.539.862.712,60 33.986.840.911,11 123.744.390,72 5.134.293.509,04 1.885.406.402,76

17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

125.860.003,72 1.746.753.650,54 1.060.611.321,11 249.604.394,44 6.881.047.159,58 2.946.017.723,87 119.915.245,80 4.177.168.221,07 606.454.021,93 56.745.101,68 1.921.087.185,14 279.208.127,96 96.998.072,56 6.190.549.630,40 735.141.792,06 84.267.798,20 1.910.832.271,34 223.533.511,04 357.926.218,24 14.199.637.307,95 1.844.337.453,00 62.910.150,24 1.685.224.167,75 465.999.732,01 96.200.392,80 3.749.880.146,08 568.998.532,45 222.210.922,52 12.562.269.404,60 1.641.755.938,51 58.121.823,28 1.401.504.885,96 598.968.997,08 27.223.303,08 673.406.006,18 227.435.440,83 466.666.591,92 20.072.284.610,56 3.503.158.640,87 37.000.689,48 198.261.666,79 225.294.693,36 26.140.497,00 194.843.362,19 115.220.798,43 63.141.186,48 393.105.028,99 340.515.491,79 74.486.773,48 331.575.546,19 126.531.840,05 137.627.959,96 724.680.575,18 467.047.331,83 6.468.019.508,08 195.010.859.119,23 48.890.360.441,03

64 | I C C S R

Tabel L. 6 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2020
No 1 2 3 4 5 6 7 8 Provinsi Jml Keb Penduduk (m3/tahun) 2020 119.663.825,04 370.039.411,92 135.509.368,56 175.122.208,28 78.440.170,24 201.690.978,76 46.147.271,20 211.686.188,40 Jml Keb Pertanian (m3/thn) 2020 7.270.917.083,06 15.146.956.003,98 9.374.660.972,50 2.325.937.064,28 2.803.416.014,47 12.891.931.655,07 2.236.114.291,47 10.892.193.081,51 Jm Keb Industri (m3/thn) 2020 1.653.525.363,33 2.101.784.375,14 1.547.032.743,08 803.939.012,05 468.808.341,55 1.404.204.198,64 323.304.103,13 2.360.256.413,23

Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka 9 Belitung 10 11 12 13 14 15 16 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali

Total Keb Air 2020 3 (m /tahun) 9.044.106.271,43 17.618.779.791,04 11.057.203.084,14 3.304.998.284,61 3.350.664.526,26 14.497.826.832,47 2.605.565.665,80 13.464.135.683,14

30.987.659,04 113.460.344,60 1.369.287.081,44 63.055.586.510,94 262.987.572,04 37.820.114,87 1.159.202.077,96 46.807.119.661,48 949.081.339,52 40.807.903.940,81 99.299.272,00 3.356.535.194,39 1.076.954.808,80 44.916.113.918,16 269.284.461,52 8.887.726.993,60 100.563.448,04 3.914.381.888,67 3.917.372.979,88 148.727.601.711,97 124.528.074,92 126.583.813,32 251.111.888,24 120.717.311,40 7.100.726.566,16 2.415.759.837,09 9.516.486.403,25 5.777.022.545,84

163.137.061,72 307.585.065,36 10.825.991.611,86 75.250.865.204,24 1.012.000.975,63 1.312.808.662,53 12.326.895.390,79 60.293.217.130,24 22.316.518.579,61 64.073.503.859,94 2.042.945.864,61 5.498.780.331,00 17.836.630.912,43 63.829.699.639,39 2.118.507.462,49 11.275.518.917,60 2.242.927.232,38 6.257.872.569,09 59.896.426.417,93 212.541.401.109,79 3.322.730.293,36 1.869.159.540,86 5.191.889.834,22 1.068.779.201,80 10.547.984.934,44 4.411.503.191,27 14.959.488.125,71 6.966.519.059,04

Nusa Tenggara 17 Barat Nusa Tenggara 18 Timur 19 Kalimantan Barat Kalimantan 20 Tengah 21 Kalimantan Selatan 22 Kalimantan Timur 23 24 25 26 27 Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo

28 Maluku 29 Maluku Utara 30 Papua INDONESIA

57.195.628,48 2.656.863.069,36 492.060.122,20 3.206.118.820,04 97.585.561,96 8.561.528.502,87 1.295.571.023,21 9.954.685.088,04 84.851.155,80 2.642.680.526,29 393.942.424,10 3.121.474.106,18 360.349.657,64 19.638.094.644,36 3.250.352.771,30 23.248.797.073,30 63.277.661,44 2.330.664.578,64 821.250.752,07 3.215.192.992,15 96.657.548,00 5.186.083.251,05 1.002.769.831,41 6.285.510.630,46 223.629.327,12 17.373.615.266,74 2.893.334.924,08 20.490.579.517,93 58.552.464,88 1.938.280.886,90 1.055.588.030,50 3.052.421.382,28 27.363.813,48 931.320.328,58 400.818.957,61 1.359.503.099,68 469.480.814,92 27.759.964.311,91 6.173.762.495,67 34.403.207.622,50 37.232.785,68 274.195.832,78 397.046.229,11 708.474.847,57 26.306.280,00 269.468.318,42 203.058.415,84 498.833.014,27 63.539.065,68 543.664.151,20 600.104.644,95 1.207.307.861,84 74.984.750,28 458.568.892,75 222.992.335,97 756.545.979,00 138.523.815,96 1.002.233.043,96 823.096.980,92 1.963.853.840,84 6.506.126.238,08 269.699.966.626,39 86.161.520.111,91 362.367.612.976,38
65 | I C C S R

Tabel L. 7 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2025
No 1 2 3 4 5 6 7 8 Provinsi Jml Keb Penduduk (m3/tahun) 2025 120.276.484,84 372.238.069,72 136.216.884,56 176.957.618,08 78.971.143,04 202.986.845,56 46.481.844,80 213.048.368,40 Jml Keb Pertanian (m3/thn) 2025 10.055.676.404,39 20.948.236.150,62 12.965.153.647,53 3.216.770.345,23 3.877.123.607,15 17.829.538.072,01 3.092.545.474,17 15.063.900.153,25 Jm Keb Industri (m3/thn) 2025 2.914.076.672,02 3.704.062.213,41 2.726.400.288,41 1.416.815.231,68 826.200.481,74 2.474.687.590,99 569.772.297,29 4.159.578.260,07

Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka 9 Belitung 10 11 12 13 14 15 16 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali

Total Keb Air 2025 3 (m /tahun) 13.090.029.561,25 25.024.536.433,74 15.827.770.820,49 4.810.543.194,99 4.782.295.231,93 20.507.212.508,56 3.708.799.616,26 19.436.526.781,72

31.168.699,04 156.915.626,60 287.503.243,95 475.587.569,58 1.378.345.958,04 87.205.859.480,94 19.079.096.279,55 107.663.301.718,54 264.339.517,44 52.305.208,87 1.783.491.502,79 2.100.136.229,09 1.166.902.234,76 64.734.234.122,12 21.724.201.571,64 87.625.337.928,52 953.921.648,32 56.437.320.365,83 39.329.330.916,76 96.720.572.930,91 99.850.641,00 4.642.087.286,81 3.600.368.653,72 8.342.306.581,52 1.082.385.205,80 62.118.973.678,84 31.434.238.144,83 94.635.597.029,47 271.524.612,52 12.291.724.083,38 3.733.534.007,32 16.296.782.703,22 101.165.274,64 5.413.589.117,58 3.952.804.154,00 9.467.558.546,22 3.940.089.134,48 205.690.233.863,43 105.557.968.951,05 315.188.291.948,96 125.356.128,52 9.820.302.964,49 5.855.786.098,02 15.801.445.191,03

Nusa Tenggara 17 Barat Nusa Tenggara 18 Timur 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo

28 Maluku 29 Maluku Utara 30 Papua INDONESIA

127.342.254,12 3.340.995.216,28 3.294.097.771,41 6.762.435.241,81 252.698.382,64 13.161.298.180,77 9.149.883.869,42 22.563.880.432,84 121.565.440,00 7.989.620.654,20 1.883.554.137,47 9.994.740.231,67 57.694.130,88 3.674.440.922,80 867.178.063,99 4.599.313.117,67 98.207.229,96 11.840.591.656,92 2.283.238.817,75 14.222.037.704,63 85.493.614,20 3.654.826.469,47 694.261.154,77 4.434.581.238,44 362.960.415,04 27.159.479.703,39 5.728.232.173,98 33.250.672.292,41 63.659.524,44 3.223.308.496,33 1.447.324.432,74 4.734.292.453,51 97.149.889,20 7.172.351.765,68 1.767.223.072,55 9.036.724.727,43 225.092.772,72 24.027.705.322,57 5.099.044.740,16 29.351.842.835,45 59.026.453,88 2.680.641.954,35 1.860.306.786,43 4.599.975.194,67 27.506.805,88 1.288.015.768,31 706.379.956,42 2.021.902.530,61 472.435.446,12 38.392.023.307,25 10.880.278.988,30 49.744.737.741,67 37.480.810,48 379.212.764,27 699.731.119,72 1.116.424.694,47 26.483.699,20 372.674.613,17 357.858.310,37 757.016.622,73 63.964.509,68 751.887.377,44 1.057.589.430,08 1.873.441.317,20 75.522.395,28 634.200.657,49 392.988.688,71 1.102.711.741,48 139.486.904,96 1.386.088.034,93 1.450.578.118,79 2.976.153.058,68 6.546.016.241,28 372.994.982.570,72 151.846.038.381,09 531.387.037.193,09

Tabel L. 8 Kebutuhan Air berdasarkan 3 kategori (domestik, pertanian, industri) tahun 2030
66 | I C C S R

No 1 2 3 4 5 6 7 8

Provinsi

Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka 9 Belitung 10 11 12 13 14 15 16 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali

Jml Keb Penduduk (m3/tahun) 2030 120.889.144,64 374.511.143,72 136.933.248,16 179.067.288,88 79.535.374,64 204.356.617,56 46.840.625,20 214.476.102,40

Jml Keb Pertanian (m3/thn) 2030 13.906.997.809,85 28.971.405.060,32 17.930.804.068,23 4.448.792.537,35 5.362.060.924,08 24.658.246.441,79 4.276.989.573,51 20.833.369.931,01

Jm Keb Industri (m3/thn) 2030 5.135.598.787,15 6.527.823.235,85 4.804.848.873,35 2.496.912.540,19 1.456.047.547,65 4.361.245.094,49 1.004.133.469,45 7.330.598.152,25

Total Keb Air 2030 (m3/tahun) 19.163.485.741,64 35.873.739.439,89 22.872.586.189,74 7.124.772.366,42 6.897.643.846,37 29.223.848.153,84 5.327.963.668,16 28.378.444.185,67 755.051.282,01 155.617.534.873,74 3.481.150.575,67 128.987.968.429,28 148.323.282.384,76 12.865.499.197,02 142.396.209.625,73 23.853.215.910,64 14.554.973.488,72 474.462.299.611,83 24.027.600.884,64

17 Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara 18 Timur 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo

31.358.061,04 217.014.270,11 506.678.950,86 1.387.967.606,24 120.605.680.616,26 33.623.886.651,24 265.691.068,64 72.338.090,04 3.143.121.417,00 1.175.073.781,76 89.527.428.683,58 38.285.465.963,94 958.763.986,52 78.052.799.151,26 69.311.719.246,98 100.413.952,80 6.420.005.490,89 6.345.079.753,33 1.087.817.281,80 85.910.524.181,67 55.397.868.162,26 274.002.144,92 16.999.451.158,99 6.579.762.606,74 101.789.643,64 7.486.992.318,96 6.966.191.526,12 3.963.551.860,08 284.469.539.075,39 186.029.208.676,36 126.228.551,52 13.581.476.404,68 10.319.895.928,44

28 Maluku 29 Maluku Utara 30 Papua INDONESIA

128.135.326,12 4.620.595.501,19 5.805.325.811,09 10.554.056.638,40 254.363.877,64 18.202.071.905,87 16.125.221.739,53 34.581.657.523,04 122.459.631,60 11.049.643.253,34 3.319.465.969,02 14.491.568.853,97 58.240.608,88 5.081.750.825,19 1.528.264.048,93 6.668.255.482,99 98.863.076,56 16.375.535.132,41 4.023.846.941,22 20.498.245.150,19 86.195.173,40 5.054.624.041,42 1.223.525.372,07 6.364.344.586,89 365.758.490,44 37.561.553.252,36 10.095.102.331,24 48.022.414.074,04 64.055.739,24 4.457.834.798,61 2.550.680.176,93 7.072.570.714,78 97.677.416,40 9.919.360.596,49 3.114.450.884,27 13.131.488.897,16 226.601.259,32 33.230.310.111,32 8.986.259.090,09 42.443.170.460,73 59.543.790,28 3.707.327.114,46 3.278.496.193,27 7.045.367.098,01 27.652.280,28 1.781.325.467,19 1.244.882.841,38 3.053.860.588,85 475.530.485,52 53.096.158.088,07 19.174.769.185,93 72.746.457.759,52 37.744.763,88 524.451.152,78 1.233.165.319,31 1.795.361.235,96 26.672.754,60 515.408.891,52 630.668.617,04 1.172.750.263,16 64.417.518,48 1.039.860.044,30 1.863.833.936,34 2.968.111.499,12 76.099.708,48 877.099.341,71 692.580.347,13 1.645.779.397,33 140.517.226,96 1.916.959.386,01 2.556.414.283,48 4.613.890.896,45 6.587.689.546,88 515.851.962.323,96 267.604.602.867,78 790.044.254.738,62

67 | I C C S R

No

Wilayah

Tabel L. 9 Necara Keseimbangan Air Ketersediaan Kebutuhan Neraca (S) x 106 m3/th (B) X 106 m3/th 37,805.55 100,917.77 11,982.78 21,493.34 2,054.04 540.23 385.58 175,179.29 (S B) x 106 m3/th 73,272.10 -69,281.27 128,022.77 13,294.21 5,705.66 14,916.87 350,204.07 516,134.41

Keterangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Maluku Papua Indonesia

111,077.65 31,636.50 140,005.55 34,787.55 7,759.70 15,457.10 350,589.65 691,313.70

Hampir kritis Defisit Surplus Hampir Kritis Kritis Hampir kritis Surplus

Lampiran 2.1.3. Informasi Kualitas Air di Indonesia Kondisi air diindikasikan dengan kuantitas dan kualitasnya. Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan. Ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak (kuantitas) air yang kualitasnya layak dimanfaatkan. Kondisi ketersediaan air yang berdaya guna berkaitan dengan daya dukung dan daya tampung. Kualitas air juga dipengaruhi oleh kondisi ekologisnya yang berperan dalam daya pulih alamiahnya. Kualitas air dan ekologisnya menentukan produktifitas alamiah air. Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dimana klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi empat kelas yaitu: 1. Kelas I, air yang dapat digunakan untuk air bahan baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2. Kelas II, air yang dapat digunakan untuk prasarana atau sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 3. Kelas III, air yang dapat digunakan ntuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 4. Kelas IV, air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
68 | I C C S R

Lampiran 2.1.4. Beberapa Kasus Kualitas Sumber Daya Air Kasus kualitas air dapat berupa: 1. Kasus Pencemaran Air Pencemaran air permukaan dan air tanah pada umumnya bersumber dari kegiatan industri, pertanian, dan rumah tangga. Di Indonesia pada tahun 2004 tercatat ada sekitar 9.600 industri besar dan menengah yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Jumlah tersebut menurun sekitar 3% dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2001. Sedangkan untuk industri kecil ada sekitar 134 ribu industri yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah pada tahun 2004. Jumlah itu meningkat sekitar 14% dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2001. Selain dari industri, penggunaan pupuk dan pestisida di sektor pertanian dan perkebunan juga berpotensi mencemari air terutama air permukaan. Pada tahun 2004 penggunaan pupuk an-organik dan pestisida masing-masing mencapai 1,5 juta kg dan 109 ribu kg. Sumber pencemaran lainnya adalah limbah dari rumah tangga. Di Indonesia pada tahun 2004 terdapat sekitar 22% rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang cair besar dan 59% di antaranya berada di Pulau Jawa (Gambar 2.1).Setiap orang diketahui menghasilkan limbah rata-rata sebesar 7,3 m per hari sehingga pada tahun 2004 sekitar 350 juta m per hari limbah dari manusia di buang langsung ke lingkungan (tanah dan air) (Gambar 2.2).

Sumber : Diolah dari Statistik Indonesia 2004, BPS Gambar L. 2 Persentase rumah tangga tanpa fasilitas tempat buang air besar menurut wilayah tahun 2004
69 | I C C S R

Sumber : Diolah dari Statistik Indonesia 2004, BPS Gambar L. 3 Perkiraan jumlah pembuangan limbah domestik langsung ke lingkungan menurut wilayah tahun 2004

2. Penurunan kualitas daerah resapan air (yang diakibatkan oleh pengalih fungsi daerah resapan air menjadi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran serta industri), dan kawasan DAS (berupa penurunan debit air kawasan DAS yang disebabkan oleh pembukaan lahan hutan) di wilayah Jawa, Nusa-tenggara, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan menurunnya debit bendungan di daerah Pekalongan, Jateng, dan lain-lain. Lampiran 2.1.5. Beberapa Kasus Banjir di Indonesia Bencana banjir bisa di sebabkan oleh dua hal, bisa akibat dari ulah manusia maupun akibat dari fenomena alam yang ekstrim berupa hujan yang berkepanjangan. Penyebab paling utama dari bencana banjir adalah curah hujan yang berlebihan. Hujan mungkin terjadi secara musiman yang meliputi daerah-daerah yang luas, atau dari badai setempat yang menghasilkan curah hujan yang berintensitas tinggi. Sebagian banjir disebabkan oleh proses-proses laut dan atmosfir seperti El Nino Osilasi Selatan (baca: ENSO) atau arus udara yang berkecepatan tinggi. Disisi lain aktifitas manusia juga bisa menjadi sebagai potensi terjadinya bencana banjir seperti penebangan hutan dan pemukiman yang semakin padat. Untuk penebangan hutan secara klasik, walaupun tidak tepat betul, yang dituduh sebagai biang keladi banjir adalah petani, yang menebang hutan dibagian hulu DAS. Pemukiman dan pemadatan tanah tidak memberikan kesempatan air hujan meresap ke tanah. Sebagaian besar menjadi aliran air permukaan. Apalagi didukung oleh sungai yang semakin dangkal dan menyempit bantaran sungai yang penuh sesak
70 | I C C S R

dengan penghuni, serta penyumbatan air didaerah hulu. Maka datanglah banjir. Padahal, sekali kawasan banjir, berikutnya akan lebih mudah banjir lagi. Karena pori permukaan tanah tertutup lumpur sehingga air sama sekali tidak dapat meresap. Misalnya sebuah contoh kasus bencana banjir akibat aktifitas manusia yaitu perubahan peruntukan kawasan bandung,dari kawasan konservasi menjadi pemukiman, dari contoh kasus tersebut maka coba kita jelaskan lagi bagaimanakah manusia punya andil terhadap terjadinya banjir. Aktifitas manusia penyebab terjadinya banjir antara lain :

Penggundulan hutan dan hilangnya perakaran meningkatkan larian tanah permukaan. Erosiyang terjadi kemudian bisa menyebabkan sedimentasi di kanal-kanal sungai yang menurunkan kapasitas kanal-kanal tersebut.

Tempat hunian yang berada di dataran banjir memberi andil terhadap bencana-bencana banjir yang membahayakan manusia dan aset-aset mereka. Akan tetapi, manfaat-manfaat ekonomi dari bertempat tinggal di dataran banjir melebihi dari bahayanya untuk beberapa masyarakat. Tekanan pertumbuhan penduduk dan terbatasnya lahan juga meningkatkan tempat hunian pada daerah dataran banjir.

Pembangunan di daerah dataran banjir dapat juga mengubah saluran-saluran air yang jika tidak direncanakan dengan baik dapat memberikan andil terhadap terjadinya banjir. Urbanisasi memberi andil terhadap banjir perkotaan melalui empat cara besar. Jalan-jalan dan bangunan-bangunan menutupi daratan yang menghambat penyusupan air sehingga larian air atas membentuk sungai-sungai buatan. Jaringan saluran air di daerah perkotaan bisa membawa air dan mengisi saluran-saluran alam lebih cepat dibanding dengan drainase alamiah, atau, mungkin drainase alamiah seperti itu tidak mencukupi dan airpun meluap. Atau, kanal-kanal buatan atau alami menjadi mengecil karena adanya puingpuing, atau terhambat oleh prasarana sungai, yang menghalangi drainase dan menggenangi daerah-daerah tangkapan air.

Kegagalan mengelola atau mengatur sistim-sistim drainase, bendungan-bendungan dan perlindungan pinggir-pinggir dermaga di daerah yang rentan juga memberi andil terhadap terjadinya banjir.

71 | I C C S R

Beberapa contoh-contoh banjir yang terjadi di Indonesia yaitu: bencana banjir bandang Situ Gintung, Banten-Jakarta (Jawa), banjir bandang di Bohorok (Sumut) dan banjir di Samarinda (Kaltim), dan lain-lain. Lampiran 2.1.6. Beberapa Kasus Kekeringan di Indonesia Kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus.Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan. Pengertian lain adalah kekurangan dari sejumlah air yang diperlukan, dimana keperluan air ini ditentukan oleh kegiatan ekonomi masyarakat maupun tingkat sosial ekonominya. Dengan demikian kekeringan adalah interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam. Karena kekeringan terjadi hampir di semua daerah dunia dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, definisi yang berlaku harus secara regional bersifat khusus dan memfokuskan pada dampak-dampaknya. Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau perbedaan-perbedaan antara permintaan dan persediaan akan air. Kekeringan paling sering dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang biasanya besar. Manusia cenderung mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa mengganggap tahun pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih jauh lagi, tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang mungkin merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam jagung. Untuk mendefinisikan satu kekeringan di satu daerah, perlu untuk memahami baik karakteristik meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi kekeringan (Reed, 1995). Sebenarnya kekeringan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu : kekeringan meteorologis, kekeringan hidrologis, kekeringan pertanian. Pada dasarnya kekeringan adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah daerah yang memang memiliki curah hujan yang kecil atau bulan keringnya dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan, seperti halnya di NTT (kekeringan
72 | I C C S R

meterologis), dan kekeringan yang terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi seperti Jawa-Bali (gambar 2.3 merupakan peta luas kekeringan pertanian daerah jawa barat).

Gambar L. 4 Peta Kekeringan di Propinsi Jawa Barat

Lampiran 2.1.7. Beberapa Kasus Terkait dengan SDA Tanah longsor, ambelasan tanah, dan intrusi air laut merupakan masalah sumber daya air lainnnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Berikut gambaran ringkas dari tiga masalah tersebut: 1) Tanah longsor dilibatkan dalam kajian ini sebagai masalah SDA, mengingat air merupakan faktor pemicu yang penting dalam peristiwa tanah longsor. Indonesia sering mengalami tanah longsor dengan korban jiwa maupun harta benda yang tidak sedikit. Antara 2003-2005 terjadi 103 kasus, tersebar di tujuh provinsi dengan kerugian cukup besar. Sedikitnya terdapat 918 lokasi rawan tanah longsor antara lain di Jawa Tengah (327 lokasi), Jawa Barat (276 lokasi), dan Sumatera Barat (100 lokasi); 2) Penurunan Tanah (land subsidence) timbul akibat pengambilan air tanah yang berlebihan (over pumping) yang menyebabkan penyusutan lapisan tanah dan beban bangunanbangunan besar. Penurunan tanah telah terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang , dan Bandung (Pulau Jawa); 3) Intrusi Air laut. Fenomena intrusi air laut berkaitan dengan pemanfaatan air tanah di daerah pantai. Intrusi air laut menyebabkan air tanah menjadi tidak layak lagi untuk air

73 | I C C S R

minum. Kawasan yang telah mengalami intrusi air laut antara lain Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah (Lampiran 2.1.8). Lampiran 2.1.8. Kawasan yang mengalami Intrusi Air Laut Contoh kawasan yang mengalami intrusi air laut adalah provinsi DKI Jakarta (Gambar 2.4 adalah Peta Propinsi Jakarta menurut kerentanan intrusi air laut).

Gambar L. 5 Peta Intrusi air laut di Provinsi DKI Jakarta Untuk melihat kerentanan daerah yang mengalami intrusi air laut di Propinsi Jakarta, dapat dilihat dari kadar CL masing-masing zona, untuk warna biru biru kadar CL 0 mgl, warna kuning kadar CL 200-600 mgl, warna biru tua kadar CL <200 mgl dan warna merah kadar CL >600 mgl.

74 | I C C S R

Lampiran 2.2. Kapasitas Kelembagaan Lampiran 2.2.1. Strategi dan program DPU dalam Mitigasi dan Adaptasi menghadapi Perubahan Iklim (tabel 2.8-2.9). Tabel L. 10 Strategi dalam Mitigasi dan Adaptasi menghadapi Dampak Perubahan Iklim, Departemen Pekerjaan Umum, 2008
No Departemen Pekerjaan Umum Sektor Sumberdaya Air Strategi Adaptasi dan Mitigasi Melakukan manajemen air di daerah rawa atau lahan gambut untuk mengurangi resiko bahaya kebakaran (mengontrol efek gas rumah kaca). Konservasi daerah lahan gambut melalui stabilisasi muka airtanah. Mendukung penghijauan di daerah aliran sungai (DAS) kritis dan daerah hulu sungai. Meningkatkan kapasitas pengisian di DAS untuk mendukung konservasi air. Membangun, mengelola dan atau merehabilitasi bendungan dan reservior untuk antisipasi fluktuasi aliran musiman (termasuk menggunakan teknologi satelit, peramalan cuaca dll). Membangun, mengelola dan/atau merehabilitasi jaringan irigasi (termasuk Subak) untuk mempertahankan ketahanan pangan nasional. Mengembangkan teknologi irigasi baru yang mendukung intensifikasi pertanian (seperti metoda kombinasi spray-and-drip-irrigation sebagai salah satu teknik penghematan air) Mengembangkan manajemen resiko bencana untuk banjir dan kekeringan (seperti sistem peringatan dini, kontrol aliran dan tinggi muka sungai, dan sebagainya) Membangun atau merawat bangunan pantai untuk mencegah pantai dari abrasi dan erosi (seperti membangun pemecah gelombang, revetments, groins, struktur bangunan ringan seperti beach nourishment, dune restorations, dan sebagainya) dan intrusi air laut. Membangun dan/atau merawat infrastruktur kontrol banjir (seperti dykes, channels, canals dan sebagainya) di kota yang rentan terhadap bencana Mengorganisir kampanye penghematan air Sektor Pemukiman Strategi Mitigasi: (air bersih, sanitasi, limbah Mengembangkan rumah, bangunan dan bentang lahan padat, perumahan dan yang ramah lingkungan. Manajemen limbah padat dan fasilitasnya) inovasi teknologi berbasis lingkungan. Strategi Adaptasi: Penghematan dan konservasi air dengan pengurangan konsumsi air, recycle air limbah domestik, reuse air (pendingin) industri, pemurnian air hujan, pembuatan
75 | I C C S R

No

Departemen Pekerjaan Umum

Strategi Adaptasi dan Mitigasi sumur resapan dan danau kecil. Mengembangkan sistem drainase yang terintegrasi dengan sistem kontrol banjir dan sistem penyimpanan/pengumpulan air Restore habitat atau resettlement dari dampak

Sumber: Rencana Aksi Nasional Departemen Pekerjaan Umum, 2009

Tabel L. 11 Strategi dalam Mitigasi dan Adaptasi menghadapi Dampak Perubahan Iklim, Departemen Pekerjaan Umum, 2008 (lanjutan)
No Departemen Pekerjaan Umum Sektor jalan dan jembatan Strategi Adaptasi dan Mitigasi Strategi Mitigasi: Mengurangi konstruksi jalan yang melintasi dan/atau mengurangi daerah yang berfungsi sebagai konservasi (khususnya hutan konservasi) Mengembangkan jaringan jalan untuk mengurangi kemacetan di daerah perkotaan (untuk mengurangi emisi kendaraan ke atmosfir) Menyiapkan jalur pedestrian dan jalur sepeda sebagai upaya untuk mengurangi emisi dari kendaraan Melakukan penghijauan di jalan raya (termasuk di jalan tol) Strategi Adaptasi: Membangun dan/atau merawat bangunan penghalang (barrier) kontruksi jalan dari erosi/abrasi Membangun jaringan drainase yang baik di jalan sebagai bagian dari fungsi untuk mencegah banjir atau terendam air. Merancang konstruksi jalan dan jembatan yang aman dari ancaman banjir, kenaikan muka air laut dan bencana perubahan iklim lainnya dengan mengacu pada rencana tata ruang Strategi Mitigasi: (mendukung kebijakan) Mempromosikan implementasi 30% daerah di perkotaan sebagai daerah terbuka hijau dalam upaya untuk mengontrol iklim mikro, seperti menyiapkan daerah water-park dan daerah green catchment Mempromosikan implementasi 30% daerah aliran sungai untuk hutan konservasi dan daerah konservasi dalam upaya untuk mengontrol ekosistem (termasuk untuk merawat keanekaragaman hayati) Mengembangkan struktur dan pola perkotaan yang efisien (untuk mencegah kerusakan urban/suburban)
76 | I C C S R

Sektor Perencanaan Wilayah

No

Departemen Pekerjaan Umum

Strategi Adaptasi dan Mitigasi Mengupayakan penggunaan transportasi umum dalam mobilisasi penduduk dan pelayanan yang dibutuhkan melalui rencana tata ruang yang terintegrasi Strategi Adaptasi: (mendukung kebijakan) Mengontrol urbanisasi (termasuk industrialisasi) dan migrasi dari daerah desa ke kota Mengembangkan zona regulasi sebagai alat untuk mengontrol daerah resiko-tinggi, resiko-sedang dan resiko-rendah (banjir, tanah longsor/erosi, abrasi, intrusi, kenaikan muka air laut dan sebagainya) Mengontrol perluasan kota besar terhadap krisis energi, air dan sanitasi lingkungan Mengontrol pengembangan kota yang lokasi berada di daerah resiko bencana (tsunami, kenaikan muka airlaut, banjir tahunan, topan dan sebagainya) Develop instruments to provide incentive or disincentive to ensure that spatial plans are observed. Organize campaigns on spatial plans to ensure that they are observed by the public. Apply local wisdom to develop the living environment and space in isolate/less developed areas, such as small islands.

Sumber: Rencana Aksi Nasional Departemen Pekerjaan Umum, 2009 Tabel L. 12 Program Mitigasi dan Adaptasi dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Sektor Perencanaan Wilayah Antisipasi Mitigasi Jangka Panjang Menyesuaikan rencana wilayah berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem (Menggunakan pendekatan ecological footprint dalam formulasi kebijakan Perencanaan Wilayah Mengimplementasikan Rencana Manajemen Bencana Alam Mengidentifikasi daerah yang rawan terhadap kenaikan muka air laut Merolakasi perumahan yang terkena dampak perubahan kenaikan muka air laut Menyediakan minimal 30% Jangka pendek Memperketat aturan/regulasi Memetakan daerah rawan bencana akibat perubahan iklim

Adaptasi

Meyiapkan kampanye publik


77 | I C C S R

Sektor

Antisipasi

Jangka Panjang setiap daerah perkotaan dan bantaran sungai untuk jalur hijau Penyebarluasan informasi mengenai rencana tata ruang wilayah

Sumberdaya air Mitigasi Menerapkan konservasi sumberdaya air Meningkatkan sistem manajemen hidrologi Mempromosikan kearifan lokal dalam hal sumberdaya air Meningkatkan kepedulian publik Melakukan berbagai macam pelatihan terkait dengan manajemen bencana Peta daerah rawan bencana (banjir atau kekeringan), perawatan dan pengoperasian infrastruktur kontrol banjir Meningkatkan efisiensi air irigasi Membangun dan meningkatkan jaringan irigasi Menggunakan kombinasi penggunaan air permukaan dan airtanah Mengintegrasikan operasional bendungan yang berada di sepanjang sungai Menyempurnakan sistem jaringan air bersih Penanaman kembali hutan mangrove Menyediakan pemenuhan kebutuhan air bersih dengan menggunakan teknologi desalinasi dan recycle air

Jangka pendek tentang pentingnya menaati aturan rencana tata ruang Meyakinkan bahwa rencana tata ruang bebas dari resiko bencana tanah longsor, banjir dan kekeringan Pengaturan ruang umum di daerah pantai Meningkatkan sistem manajemen hidrologi dengan meningkatkan kapasitas monitoring akibat adanya perubahan iklim Mempromosikan Aksi Nasional Konservasi Air Penggunaan kontrol sumberdaya air Relokasi daerah yang beresiko terhadap bencana

Adaptasi

Review keseimbangan air di daerah aliran sungai (DAS) kritis dengan pertimbangan kebutuhan dan ketersediaan di masa mendatang sebagai akibat adanya perubahan iklim Perbaikan infrastruktur kontrol banjir Mengembangkan sistem irigasi yang efektif Membangun jaringan irigasi pemipaan untuk menggantikan sistem saluran terbuka Memperbaiki daerah-daerah yang telah mengalami intrusi air laut

78 | I C C S R

Sektor

Antisipasi

Perumahan Mitigasi

Jangka Panjang Membangun infrastruktur penampungan air hujan Membersihkan sedimen dari bendungan Mengoperasikan dan merawat fasilitas pengontrol banjir Meninggikan bendungan Rehabilitasi bendungan, danau kecil dan danau Memperbaiki saluran irigasi Menggunakan teknologi modifikasi cuaca Membangunan infrastruktur perlindungan pesisir pantai Mengembangkan perumahan, bangunan dan taman ramah lingkungan Mengembangkan manajemen lingkungan dan manajemen dampak bencana alam Penguatan kebijakan berbasis lingkungan dalam bangunan, rencana tata guna lahan, konservasi air, manajemen limbah, kontrol polusi udara dan manajemen bentang lahan (landscape) Mengembangkan material ramah lingkungan untuk konstruksi bangunan Membuat aturan regional dan standar teknis Penguatan pendekatan kebijakan lingkungan dalam manajemen limbah padat dan standarisasinya (secara bertahap) Mengembangkan teknologi landfill gas (LFG), pengumpulan dan penggunaannya atau dengan teknologi recovery energy Memperkuat kerjasama

Jangka pendek

Mengenalkan struktur dan teknologi yang mendukung penghematan energi, menggunakan material alternatif selain kayu, dalam konteks yang memungkinkan untuk daerah tropis Memperkuat zona regulasi untuk mengontrol ketidaktepatan tata guna lahan di daerah perkotaan Memperkuat penegakan hukum dalam inspeksi bangunan dan izin mendirikan bangunan Mendukung pemerintah daerah dalam membangun lahan terbuka hijau dan konservasi sumberdaya air, termasuk memperkuat komunitas dalam mengembangkan penyerapan sumber air Penanaman pohon, penghijauan kota, ruang terbuka, jalan dan pusat pengembangan sumber daya manusia Pilot Projects Pengembangan dan penyuluhan pendekatan CDM untuk manajemen limbah, khususnya tempat pembuangan limbah padat akhir untuk mengurangi
79 | I C C S R

Sektor

Antisipasi

Jangka Panjang dengan pihak swasta Penguatan institusi pemerintah setempat dalam pengelolaan sampah padat

Adaptasi Menyusun regulasi, standar teknis dan penguatan kebijakan untuk penyelamatan dan konservasi air Mengembangkan alternatif teknologi pengolahan air bersih Merawat keseimbangan air di daerah perkotaan dan pedesaan untuk keperluan industri, domestik dan pertanian Regulasi manajemen penyediaan air untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas Mengembangkan teknologi recycle dan reuse untuk pengolahan limbah air domestik dan industri Penguatan kerjasama publik dan swasta Penguatan institusi pemerintah lokal untuk manajemen air dan limbahnya Membuat aturan dan standar sistem drainase

Jangka pendek produksi gas CO 2 dan gas lainnya (LFG pengumpul) Meningkatan manajemen pengelolaan limbah padat akhir dari open dumping atau control landfill ke sanitary landfill. Meningkatkan komunitas kepedulian untuk tidak membuang sampah sembarangan Penguatan komunitas dalam mengimplementasikan prinsip manajemen 3 R berkelanjutan Kampanye dan promosi hidup bersih Pilot projects (3 R, CDM, dan Biogas). Mendorong setiap daerah terbangun (pemukiman) dengan menyediakan sumur resapan dan/atau penyimpan air Mendorong pemerintah daerah agar memperluas daerah terbuka hijau sebagai daerah tangkapan air Memperluas sistem pengaliran di daerah perkotaan, metropolitan dan kota besar Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan air dan limbahnya Mendirikan komunitas yang peduli penghematan air atau mengurangi penggunaan air Berkoordinasi dengan sektor lain dalam pengelolaan daerah hulu, penghijauan dan meningkatkan konservasi Mengembangkan pengumpul air limbah di setiap daerah pemukiman Melanjutkan sarana yang mencukupi untuk penyediaan sistem air bersih Pilot projects. Meningkatkan hubungan
80 | I C C S R

Sektor

Antisipasi

Jangka Panjang ramah lingkungan Penguatan kebijakan ramah lingkungan untuk sistem drainase dan kontrol banjir Antisipasi akibat curah hujan yang tinggi dengan meningkatkan kapasitas tampungan drainase Penguatan institusi pemerintah daerah dalam mengembangkan sistem drainase ramah lingkungan Penguatan kebijakan dan aturan dalam adaptasi di daerah perkotaan Penguatan pemerintah daerah dalam manajemen dampak dan adaptasi

Sektor Jalan dan Jembatan

Relokasi jalan yang terendam akibat kenaikan muka air laut Membangun menara observasi di daerah yang tinggi Mempertahankan kapasitas infiltrasi tanah dengan mengembangkan sistem transportasi jalan raya Membuat standar manajemen jalan yang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dan menerapkan prinsip CDM

Jangka pendek saluran drainase untuk mengurangi tersumbatnya air di daerah perkotaan Merawat sistem aliran drainase dan memasang penangkap sampah untuk mengurangi masuknya sampah ke dalam sistem drainase Rehabilitasi sistem drainase di daerah perkotaan Membangun struktur drainase untuk mencegah dampak negatif dari kenaikan muka air, sehingga terbebas dari aliran air laut Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan drainase dan sistem kontrol banjir Meningkatkan komunitas kepedulian dalam mengelola aliran di sistem drainase Pilot projects. Menyusun kembali perumahan di tepian sungai dan daerah rawan longsor Meningkatkan kemampuan komunitas dalam menghadapi dampak dan kemampuan beradaptasi Pilot project Rehabilitasi konsumsi energi dan polusi di jalan Melaksanakan program penghijauan di sepanjang jalan (rumija) dan juga ruang di jalan inspeksi (ruwasja) Menyiapkan jalan dengan sistem drainase-nya, rencana landscape, penampungan air dan buffer zone khususnya di pintu masuk dan pintu keluar Menyiapkan jaringan jalan yang merupakan bagian tidak terpisah dari rencana tata ruang serta standar geometri jalan untuk
81 | I C C S R

Sektor

Antisipasi

Jangka Panjang (Clean Development Mechanism) Mengurangi kemacetan di perkotaan dengan memperluas jaringan jalan, jalan baru dan fly over Identifikasi jalan dan jembatan yang rentan terhadap banjir dan longsor Merancang jaringan jalan yang memenuhi standar geometri untuk penghematan energi dan ramah lingkungan Menyiapkan studi lingkungan untuk setiap proyek konstruksi jalan dan mengimplementasikannya sebagai rekomendasi Mengurangi daerah rawan banjir dengan perbaikan sistem drainase Merawat jalan dari abrasi

Jangka pendek mempromosian penghematan energi dan ramah lingkungan Melaksanakan program penghijauan di sepanjang jalan (rumija) dan juga ruang di jalan inspeksi (ruwasja) Identifikasi jalan dan jembatan yang rawan terhadap abrasi air laut Melindungi daerah rawan tanah longsor dan banjir dengan membuat dinding penahan dan sistem drainase yang baik

Sumber: Rencana Aksi Nasional Departemen Pekerjaan Umum, 2009 Lampiran 2.3. Tantangan Sektor Sumber Daya Air terkait Perubahan Iklim Lampiran 2.3.1. Efek Langsung Akibat Perubahan Iklim Tantangan sektor sumber daya air di masa depan muncul dari potensi bahaya-bahaya sektor sumber daya air yang mungkin muncul akibat perubahan iklim. Bahaya-bahaya tersebut merupakan akibat lebih lanjut dari efek langsung perubahan iklim berupa kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrim (EE = extreme climate event), dan kenaikan muka air laut (SLR = sea level rise). Efek langsung perubahan iklim diperoleh dari hasil kajian sektor iklim. Contoh proyeksi kenaikan temperatur wilayah Jawa-Bali dapat dilihat dari perbedaan skenario yang memberikan perbedaan kenaikan temperatur wilayah jawa-bali secara signifikan pada proyeksi periode 2080-an, sedangkan kenaikan temperatur pada periode 2030-an secara rata-rata tidak menunjukkan nilai yang berarti. Skenario A2, dengan konsentrasi CO 2 tertinggi di tahun 2100 seperti diharapkan memang memberikan kenaikan yang lebih besar yakni berkisar 3 C. Di lain pihak, skenario B1 hanya memberikan kenaikan berkisar 2 C dan skenario A1B memberikan
82 | I C C S R

nilai di antara itu. Hal ini menunjukkan bahwa secara pemodelan, kenaikan temperatur permukaan memang mengikuti mekanisme yang relatif sederhana dimana pertambahan panas ditentukan oleh kesetimbangan radiasi infra merah yang sangat didikte oleh konsentrasi CO 2 sebagai gas rumah kaca. Grafik kenaikan temperatur dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar L. 6 Contoh Proyeksi kenaikan temperatur rata-rata periode 2030-an (kiri) dan 2080-an (kanan) untuk skenario A2 di atas wilayah Jawa-Bali Lampiran 2.3.2. Potensi Fisik Bahaya Akibat Perubahan Iklim Potensi bahaya perubahan iklim untuk sektor air adalah perubahan pola curah hujan (CH) dan peningkatan temperatur (T). Data potensi bahaya tersebut diperoleh dari hasil kajian sektor iklim. Data perubahan pola CH dan kenaikan T yang merupakan potensi bahaya perubahan iklim sektor air dalam hal ini sudah memuat data akibat langsung perubahan iklim berupa peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian iklim ekstrim. Adapun efek langsung perubahan iklim berupa kenaikan muka laut (sea level rise, SLR) dikaji lebih lanjut oleh sektor pesisir dan pantai. Potensi bahaya berupa CH dan peningkatan T selanjutnya dianalisis secara kuantitatif untuk memperoleh jenis bahaya yang ditimbulkannya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis water balance (WB) dan analisis statistik cumulative distribution frequency (CDF) terhadap data hasil analisis WB tersebut. Dalam hal ini digunakan: 1) analisis CDF terhadap data TRO (total runoff) hasil analisis WB atas data CH dan T pada keadaan iklim normal untuk identifikasi bahaya PKA; 2) analisis CDF terhadap data DRO (direct runoff) hasil analisis WB atas data CH dan T pada
83 | I C C S R

keadaan iklim diatas normal untuk analisis bahaya banjir; dan 3) analisis CDF terhadap data TRO (total runoff) hasil analisis WB atas data CH dan T pada keadaan iklim dibawah normal untuk analisis bahaya kekeringan. Lampiran 2.3.2.1. Bahaya Penurunan Ketersediaan Air Berdasarkan analisis terhadap kondisi curah hujan (CH) tahunan rata-rata normal kenaikan temperatut (T), porositas serta tataguna lahan tertentu, serta faktor potensi fisik bahaya PKA yaitu jenis tanah dan indeks kekeringan. Bahaya penurunan ketersediaan air dianalisa dengan metode water balance yaitu dengan melihat penurunan total runoff (TRO) kondisi proyeksi (2010 dan 2030) terhadap kondisi baseline (diasumsikan periode 1960-1990). Selanjutnya, bahaya tersebut diberi bobot untuk penentuan derajat bahaya pada masing-masing periode dan skenario. Berdasarkan rumusan bahaya ketersediaan air, maka dapat dihitung besaran bahayanya, yaitu selisih nilai TRO N pada kondisi proyeksi (TRO N,P ) terhadap nilai TRO N dari kondisi baseline (TRO N,P TRO N,B, ) atau penurunan TRO N,P dimana nilai minus menyatakan bahaya dan angka menyatakan besaran bahayanya. Dengan demikian bahaya Penurunan Ketersediaan Air (PKA) dapat diidentifikasi, dikuantifikasi, dan diberi bobot. Dengan metode ini, maka penurunan TRO N,P dapat dihitung per tahun, sejak tahun 2010 hingga tahun 2030. Berdasarkan bahaya PKA adalah nilai TRO N pada periode proyeksi (TRO N,P ) yang lebih kecil dari TRO N baseline (TRO N,B ) atau TRO N,P - TRO N,B < 0, yaitu 169 sampai 0 mm/tahun. Sebaran daerah bahaya PKA setiap periode dapat dilihat pada gambar 2.7. Bahaya PKA terjadi di seluruh periode pada wilayah yang tidak tetap dengan intensitas bahaya naik dari periode 20102015 ke 2015-2020, turun di periode 2020-2025 dan naik kembali pada periode 2025-2030; sebaran daerah bahaya pada setiap periode seperti pada Gambar 2.7. Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera merupakan daerah paling terancam bahaya. Adapun wilayah yang ancaman bahayanya paling rendah adalah Papua dan Maluku.

84 | I C C S R

Gambar L. 7 Bagan Bahaya Penurunan Kertersediaan Air

Gambar L. 8 Peta bahaya penurunan ketersediaan air, SRA2, dari: periode 2000-2005, 20052010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.
85 | I C C S R

Lampiran 2.3.2.2. Bahaya Banjir Bahaya banjir disebabkan oleh proyeksi ikim berupa pola curah hujan diatas normal (CH) misalnya diatas 400 mm/bulan dan kondisi temperatur (T), selanjutnya penyebab banjir bukan saja faktor hidroklimatologi namun juga kondisi lahan, porositas tanah atau batuan serta potensi fisik bahaya yaitu pengaliran air dan kemiringan lereng. Identifikasi bahaya banjir dilakukan berdasarkan pendekatan analisis CDF terhadap data direct runoff (DRO) hasil analisis WB. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa untuk banjir, komponen limpasan langsung (DRO) itulah yang dapat menyebabkan banjir pengumpulan volume air dalam waktu singkat melebihi batas kemampuan penampungan. Dalam perhitungan WB, DRO adalah limpasan langsung diatas permukaan tanah.

Gambar L. 9 Bagan Bahaya Banjir Selanjutnya, analisis banjir tidak diperbandingkan dengan kondisi baseline DRO max, ,

CFD 50

melainkan antar kondisi proyeksi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena model proyeksi iklim yang digunakan belum mewakili kondisi ekstrim. Dengan demikian, bahaya banjir adalah kondisi ekstrim basah CH pada periode proyeksi tertentu terhadap kondisi total direct runoff (DRO AN, P ) pada periode tersebut. Selain itu, analisis banjir disini selanjutnya hanya melibatkan kemiringan lahan tertentu, yaitu 3%. Ini berarti, nilai DRO AN,
P

yang diatas nilai DRO AN,P batas kondisi normal kondisi banjir
86 | I C C S R

kemudian diseleksi dengan kemiringan lahan sebesar < 3%. Wilayah dengan DRO AN, kemiringan lahan < 3% adalah zona banjir.

pada

Berdasarkan analisis tersebut diatas, maka dapat dirumuskan dalam kajian ini bahwa bahaya banjir adalah kondisi curah hujan pada periode proyeksi kondisi iklim diatas normal yang menghasilkan direct runoff (DRO AN, P) 89 mm/bulan yang melanda kemiringan lahan < 3o dalam hal ini, periode proyeksi meliputi periode 2000-2030. Berikut adalah peta bahaya banjir peroide 2000-2030 dengan pola intensitas dari periode satu ke periode yang lain serupa dengan bahaya PKA.

Gambar L. 10 Peta bahaya banjir, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20152020, 2020-2025, dan 2025-2030

87 | I C C S R

Lampiran 2.3.2.3. Bahaya Kekeringan Kondisi curah hujan rata-rata dibawah normal dan kenaikan temperatur serta kondisi fisik berupa tataguna lahan dan porositas batuan dalam hubungannya dengan potensi iklim kekeringan terhadap ancaman bahaya kekeringan. Analisis kekeringan mirip dengan analisis ketersediaan air, yaitu melibatkan data TRO hasil analisis water balance. Hal ini, sejauh data yang tersedia, dianggap tepat, sebab TRO mencerminkan ketersediaan air dimana kekeringan juga sebenarnya berkaitan dengan kondisi ketersediaan air. Namun, untuk kekeringan, kondisi bahaya diperbandingkan hanya diantara kondisi proyeksi itu sendiri.

Gambar L. 11 Bagan Bahaya Penurunan Kekeringan Identifikasi kekeringan dilakukan dengan membandingkan bahaya diantara kondisi proyeksi. Hal ini mengingat model proyeksi iklim yang digunakan belum mewakili kondisi ekstrim. Oleh karena itu diasumsikan bahwa kekeringan adalah kondisi ekstrim kering pada perioda proyeksi terhadap kondisi total runoff (TRO) pada perioda tersebut. Langkah-langkah penentuan kondisi kekeringan adalah serupa dengan langkah-langkah penentuan kondisi ketersediaan air dengan catatan sebagai berikut: 1) Parameter hasil analisis water balance yang dilibatkan adalah total runoff dari proyeksi kondisi iklim rata-rata tahunan dibawah normal (TRO min, P );

88 | I C C S R

2) Berdasarkan analisis dapat dirumuskan dalam kajian ini bahwa bahaya kekeringan adalah kondisi curah hujan iklim dibawah normal periode proyeksi yang menghasilkan total runoff (TRO BN, P < 996 mm/tahun. Berdasarkan analisa TRO dapat dirumuskan bahwa kekeringan TRO min periode proyeksi (TRO min, P ) yang lebih kecil dari 996 mm/tahun atau lebih kecil dalah TRO min pada CDF 50% kondisi baseline (TRO min, CDF 50, B ). Bahaya kekeringan terjadi di seluruh periode pada wilayah yang tidak tetap dengan intensitas bahaya naik cenderung naik dari dari periode 2010-2015 hingga 2025-2030; dengan sebaran daerah bahaya pada setiap periode seperti pada Gambar 2.11 Wilayah Jawa-Bali, Sumatera dan Nusatenggara relatif rendah. merupakan daerah yang memiliki ancaman bahaya relatif tinggi. Adapun Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku adalah wilayah-wilayah dengan ancaman bahayanya

Gambar L. 12 Peta bahaya kekeringan, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.
89 | I C C S R

Lampiran 2.3.2.4. Tanah Longsor Kondisi curah hujan rata-rata dibawah normal dan kenaikan temperatur serta kondisi fisik berupa tataguna lahan dan porositas batuan dalam hubungannya dengan potensi iklim longsor terhadap ancaman bahaya tanah longsor. Analisis longsor mirip dengan analisis ketersediaan air dan kekeringan, yaitu melibatkan data TRO hasil analisis water balance, yaitu hanya memperbandingkan bahaya diantara kondisi proyeksi. Langkah-langkah penentuan kondisi kekeringan sebagai berikut: 1) Parameter hasil analisis water balance yang dilibatkan adalah total runoff dari proyeksi kondisi iklim rata-rata tahunan dibawah normal (TRO min, P ); 2) Berdasarkan analisis dapat dirumuskan dalam kajian ini bahwa bahaya kekeringan adalah kondisi curah hujan iklim dibawah normal periode proyeksi yang menghasilkan total runoff (TRO BN, P 89 mm/tahun. Berdasarkan analisa TRO dapat dirumuskan bahwa kekeringan TRO max periode proyeksi (TRO max,, P ) yang lebih besar dari 89 mm/tahun atau lebih besar dari TRO max pada CDF 50% kondisi baseline (TRO max, CDF 50, B ).

Gambar L. 13 Bagan Bahaya Tanah Longsor Bahaya tanah longsor terjadi di seluruh periode pada wilayah yang tidak tetap dengan intensitas bahaya paling tinggi pada periode 2015-2020 dan intensitas relatif sama pada 201090 | I C C S R

2015, 2020-2025, dan 2025-2030; dengan pola sebaran daerah bahaya pada setiap periode. Daerah-daerah dengan ancaman bahaya tinggi adalah NAD, Sumbar, Bengkulu (Sumatera), bagian tengah Papua, bagian tengah dan selatan Sulawesi, dan bagian tengah-selatan Jawa. Wilayah lainnya memiliki ancaman bahaya tanah longsor yang relatif lebih rendah.

Gambar L. 14 Peta bahaya tanah longsor, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-20102015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.

Lampiran 2.3.2.5. Bahaya Intrusi Air Laut Intrusi air laut dimungkinkan dengan telah teridentifikasinya kenaikan muka air laut pada kedua periode proyeksi dalam ketiga skenario yang dilibatkan. Dampak intrusi air laut adalah bergesernya batas pertemuan air laut dan air tanah di bawah tanah ke arah permukaan tanah. Dengan kata lain, kolom air tanah yang berisi air segar (fresh water) menjadi lebih pendek karena
91 | I C C S R

terdesak oleh air tanah yang berisi air asin, sehingga persediaan air segar (air tanah) di daerah pantai menjadi berkurang. Intensitas terjadinya bahaya intrusi air laut sangat bergantung kepada kenaikan muka laut dan seberapa besar pengambilan air tanah di daerah pantai. Berdasarkan data air tanah dan SLR 19861994 di pantai Jakarta (Jawa-Bali), bahaya intrusi air laut secara indikatif berlangsung pada SLR 46 mm/tahun, muka air tanah (MAT) bervariasi dari 0-5 m bawah muka laut (bml) dan landaian hidrolis (interface) antara 0,15%-53o% untuk akifer tidak tertekan; dan MAT 0-50 m bml dengan laju penurunan 0,5-2,3 m/tahun dan landaian hidrolis 0,1%-1,33% untuk akifer tertekan (kedalaman hingga 250 m); pengambilan air tanah 33,8 x 106 m3/tahun dengan laju 9,03%.

92

LAMPIRAN III KERENTANAN SEKTOR AIR TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Lampiran 3.1. Komponen Kerentanan Ada 7 komponen kerentanan utama dan 5 komponen tambahan berupa Daerah Aliran Sungai dan Kekitisan Lahan, Kepadatan Penduduk (KP), Tataguna Lahan, Kebutuhan Air, Potensi Air Tertekan dan Cekungan Air Tanah (CAT), Kemiringan Lahan, Sifat Tanah, Kualitas Air, Infrastruktur Keairan, Komponen kerentanan lainnya berupa Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL), Program Kali Bersih (Prokasi), penurunan lahan (land subsidance). Lampiran 3.1.1. DAS dan Kekritisan Lahan DAS (Daerah Aliran Sungai) Berkurangnya lahan hutan berdampak pada debit air Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semakin berkurang. Jumlah DAS super prioritas yang perlu direhabilitasi semakin bertambah. Pada tahun 1994 hingga 1999 terdapat 49 DAS super prioritas. Jumlah DAS super prioritas bertambah antara tahun 1999 dan 2004 menjadi 60 DAS. Selengkapnya klasifikasi DAS Prioritas disajikan pada Tabel 3.1. Lahan Kritis Pengurangan lahan berhutan telah menyebabkan lahan kritis bertambah luas. Luas lahan kritis di Indonesia Pada tahun 2004 74.012.463,68 ha (tidak termasuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jambi, Bangka-Belitung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah), yang bisa dibagi menjadi: a. Sangat krtitis b. Kritis c. Agak Kritis : 13.497.449 ha : 20.077.185 ha : 40.437.829 ha

Data tersebut menunjukkan adanya penambahan lahan kritis lebih dari 10 juta ha sejak tahun 2000 (untuk lahan sangat kritis dan kritis). Secara lengkap data lahan kritis tahun 2000 dan 2004 per provinsi disajikan pada Tabel 3.2.

93

Tabel L. 13 Klasifikasi DAS Prioritas


No Provinsi Super Prioritas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Riau Kepulauan Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Maluku Papua Irian Jaya Barat Total 2 1 1 1 7 15 3 8 2 4 5 49 1994/1995-1998/1999 Prioritas 14 13 6 5 1 7 4 9 38 20 1 19 3 4 3 3 6 5 5 10 41 14 25 4 1 261 Prioritas Rendah 33 28 22 22 4 24 4 13 1 5 5 9 8 8 27 9 12 31 28 293 Jumlah 49 42 28 27 6 31 9 22 45 36 4 27 8 9 12 11 16 32 14 26 46 14 25 35 29 603 Super Prioritas 2 4 3 2 1 1 1 2 6 4 1 5 1 1 1 1 3 3 2 4 1 1 4 2 4 60 1999/2000-2004 Prioritas 3 19 2 3 5 1 4 29 21 3 37 4 2 1 5 7 15 7 14 5 4 22 9 1 223 Prioritas Rendah 10 3 23 3 5 2 6 18 5 2 3 5 10 6 10 14 8 5 6 4 1 16 14 179 Jumlah 15 26 28 8 6 8 8 6 53 30 4 44 8 8 12 12 20 32 17 23 12 9 27 27 19 462

Sumber Keterangan

: Departemen Kehutanan 2006 : - = Tidak ada DAS Prioritas

94

No

Tabel L. 14 Klasifikasi DAS Prioritas Provinsi Luas lahan sangat kritis dan kritis (ha) Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Riau Kepulauan Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Maluku Papua Irian Jaya Barat Total : Departemen Kehutanan 2006 2000 2004 351.015 **) 469.143 7.655.290 334.868 2.416.925 *) 131.155 **) 716.147 **) 578.543 705.302 3.461.840 3.968.200,89 *) **) 299.157 527.349 *) **) 368.794 **) 360.827 156.921 34.667 172.537 1.302.379 351.824 3.065.728 1.856.351 1.758.833 3.230.425,60 573.383 555.983 1.778.782 1.065.381 235.092 257.001 *) **) 413.221 **) 241.811 1.285.762 1.032.802 482.213,54 *) 33.425 56.114,33 278.698 175.491,49 1.357.757 3.218.393 *) 694.911 1.164.374 3.368.903 4.272.796 *) 23.241.881 33.574.634,85

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Sumber Keterangan

: -Tidak ada indikasi, *) Masih digabung dengan provinsi induk, * *) Data dalam

proses di Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan 95

Lampiran 3.1.2. Kepadatan Penduduk (KP) Kepadatan penduduk merupakan faktor utama dalam kerentanan perubahan iklim. Penyebaran penduduk yang tidak merata dapat menimbulkan permaslahan. Meski wilayah luas dan terdiri atas ratusan pulau besar dan ribuan pulau kecil serta adminstatif terdiri atas 33 provinsi dan 434 kabupaten/kota, namun sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di Pulau Jawa. Berdasarkan data BPS, laju pertumbuhan penduduk meningkat pada periode 1945 hingga 1980 hingga sekarang (Tabel 3.3). Selama periode 1961 hingga 2005, Pulau Jawa yang luasnya kurang dari 7% luas daratan indonesia dihuni oleh sekitar 60% penduduk, sehingga pulau jawa merupakan pulau yang terpadat dengan kepadatan penduduk 1001 orang per kilometer persegi. Kondisi ini mengakibatkan beban pulau Jawa relatif berat daripada pulau-pulau lainnya di Indonesia. Masalah lain adalah kian meningkatnya persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (urban). Penyebab peningkatan ini, karena pertumbuhan alami, perpindahan penduduk dari daerah perkotaan (urbanisasi), dan perubahan status desa dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan (reklasifikasi). Pada tahun 1961 jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan adalah 14,9%. Jumlah ini meningkat menjadi 48,3 pada tahun 2005. Tabel L. 15 Jumlah Penduduk Menurut Provinsi, 2000-2005 Provinsi Indonesia 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. Kepulauan Bangka Belitung 10. DKI Jakarta Tahun 20052 (ribu) 219.205 4.038 12.453 4.402 6.108 2.657 6.765 1.617 7.291 972 8.700

96

Provinsi 11. Jawa Barat 12. Jawa Tengah 13. DI Yogyakarta 14. Jawa Timur 15. Banten 16. Bali 17. Nusa Tenggara Barat 18. Nusa Tenggara Timur 19. Kalimantan Barat 20. Kalimantan Tengah 21. Kalimantan Selatan 22. Kalimantan Timur 23. Sulawesi Utara 24. Sulawesi Tengah 25. Sulawesi Selatan 26. Sulawesi Tenggara 27. Gorontalo 28. Maluku 29. Maluku Utara 30. Papua Sumber Catatan : : Statistik Indonesia 2005/2006

Tahun 20052 (ribu) 39.067 31.887 3.280 35.55 9.309 3.379 4.356 4.127 4.394 2.138 3.240 2.811 2.142 2.404 8.494 2.089 872 1.266 890 2.518

1. Tidak termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tepat 2. Angka perbaikan berdasarkan proyeksi penduduk indonesia 2000-2005 3. Angka perbaikan berdasarkan Sensus Penduduk 2000

Lampiran 3.1.3. Tataguna Lahan Kerusakan lahan dan hutan di Indonesia padda periode tahun 2000 hingga 2006 masih tinggi, meskipun laju deformasi pertahunya menunjukkan penurunan. Pada periode 1982-1990 laju deforestasi tercatat 0,9 juta hektar per tahun. Pada periode 1990-1997 naik menjadi 1,8 juta hektar per tahun dan 1997-2000 menjadi 2,83 juta hektar per tahun. Pada kurung waktu 2000 hingga 2006 laju deforestasi turun menjadi 1,19 juta hektar pertahun (Dephut, 2007). Grafik perubahan laju deforestasi per perperiode tersebut disajikan dalam pada Gambar 3.1

97

Gambar L. 15 Grafik perubahan laju deforestasi per perperiode

Sumber: KLH, 2006 Gambar L. 16 Peta Penutupan Lahan Berhutan Tahun 2005 Berdasarkan hasil interprestasi citra Landsat 7 ETM+

Kerusakan lahan dan hutan tersebut diindikasikan dengan perubahan lahan berhutan. Berdasarkan hasil interprestasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002-2003, Depatemen Kehutanan (2006) melaporkan luas lahan hutan 93,9 juta ha (Dephut, 2006). KLH (2006) melaporkan,

98

berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005, luas lahan berhutan 70,8 juta ha (KLH,2006). Sebagaimana disajikan dalam Gambar 3.2, pada tahun 2005, luas lahan berhutan di Pulau Papua 28 juta ha (71,5% dari luas pulau), di Sumatera 17,3 juta ha (54,3%), di Kalimantan 10,5 juta ha (43,2%), di Bali, di Nusatenggara dan Maluku 6,6 juta ha (43,5%) , di Sulawesi 6 juta ha (43,1%) dan di Jawa 2,4 juta ha (18,4%). Lahan berhutan per provinsi disajikan pada tabel 3.4. Tabel L. 16 Penurunan Lahan Berhutan Tahun 2005 Per Provinsi (Berdasarkan Interpretasi Citra Landsat 7 ETM +) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Provinsi Nanggroe Aceh D. Sumatera Utara Riau Kepulauan Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Bali Lahan berhutan (x1000 Ha) 4.903,97 3.908,50 94,72 202,68 *) 1.995,46 2.960,76 969,59 700,96 376,60 298,74 266,66 1,06 1.008,13 459,93 23,72 629,39 2.004,42 *) 4.269,49 734,28 3.532,37 *) 559,87 *) 657,06 1.142,06 *) 2.193,78 1.456,90 *) **) 171, 36

99

No 28 29 30 31 32 33 Sumber Keterangan : :

Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Maluku Papua Irian Jaya Barat Jumlah KLH, 2006

Lahan berhutan (x1000 Ha) 864,6 1.450,33 1.777,11 2.292,54 *) 21.441,38 6.576,27 70.777,68

*) Belum termasuk Kab. Natuna (Kep. Riau), Kab Sambas dan

Bengkayang (Kalbar), Kab Nunukan (Kaltim), Kab. Maluku Tenggara Barat (Maluku), Kab Selayur (Sulsel), Kab. Banggai Kepulauan (Sulteng), Kab. Sangir Talaud (Sulut), **) Masih digabung dengan provinsi induknya (sebelum pemekaran). Penurunan lahan berhutan, seperti diuraikan diatas mengindentifikasi terjadinya kerusakan lahan dan hutan. Di kawasan hutan linding yang tidak lagi berhutan, akan terjadi penurunan fungsi kawasan hutan. Lampiran 3.1.4. Kebutuhan Air Sebagian besar atau sekitar 74% kebutuhan air minum untuk rumah tangga di Indonesia pada tahun 2004 dipenuhi dari air tanah. Sisanya 18% dipenuhi dari ledeng (perusahaan air minum), 3% dari ari sungai, 3 % dari air hujan dan 2,5% dari air dalam kemasan dan 0,5% dari sumber lainnya. Berdasarkan wilayah kepulauan, Pulau Jawa mempunyai persentase terbesar rumah tangga yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minum yaitu sekitar 78%. Persentase terbesar rumah tangga yang mengandalkan air sungai dan air hujan sebagai sumber air minum berada di Kalimantan. Kebutuhan air minum minimal manusia adalah 2 liter per hari atau 750 liter per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 218 juta penduduk pada tahun 2004, maka pada tahun tersebut kebutuhan penduduk Indonesia untuk air minum saja minimal 436 ribu m3. Berdasarkan distribusi penduduk menurut pulau-pulau besar, kebutuhan air minum terbesar adalah Pulau Jawa yaitu sebesar 60% dari total kebutuhan air minum tahun 2004.

100

Dibandingkan dengan kebutuhan air minum penduduk pada tahun 2000 dan seiring dengan pertumbuhan pertumbuhan penduduk, kebutuhan air minum pada tahun 2004 meningkat sebesar 24 ribu m3. Selain air minum, lahan pertanian juga memerlukan air dalam jumlah yang sangat besar. Dalam skala global sekitar 36.000 km3 air yang dikonsumsi manusia per tahun, sekitar 69% diantaranya dipergunakan untuk sektor pertanian. Bahkan di Asia, konsumsi air untuk sektor pertanian mencapai rata-rata sekitar 83% dari total yang dikonsumsi manusia. Dalam kaitan penggunaan air untuk pertanian, digunakan standar kebutuhan air untuk beberapa jenis bahan makanan utama dari Food and Agriculture Organization (FAO). Tabel L. 17 Kebutuhan Air Minum Penduduk Tahun 2000 dan 2004 No 1 2 3 4 5 6 Sumatera Jawa Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua Wilayah 2000 83.778,10 246.970,43 23.342,60 20.872,48 28.735,68 7.986,71 411.686,00 2004 88.666,58 261.381,23 24.704,64 22.090,40 30.412,42 8.452,74 435.708,00

Berdasarkan data hasil panen tanaman pangan di Indonesia pada tahun 2004, kebutuhan air meningkat sebesar 15 miliar m3 dibandingkan dengan kebutuhan pada tahun 2000. Peningkatan terbesar berasal dari tanaman padi yaitu sebesar 6 miliar m3. Sedangkan untuk tanaman jagung dan ubi kayu peningkatan kebutuhan airnya masing-masing 3 miliar dan 2 miliar m3. Pada tahun 2004, kebutuhan air terbesar untuk tanaman pangan tersebut berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 95 miliar m3 atau 56% dari total kebutuhan air untuk tanaman pangan di Indonesia. Lampiran 3.1.5. Potensi Air tertekan dan Cekungan Air Tanah (CAT) Kondisi air tanah tertekan di Indonesia cukup baik jumlahnya dan tersebar di 30 Propinsi (Tabel 3.6)

101

Tabel L. 18 Cekungan Air Tanah No Propinsi Jml CAT per Prov Total Luas CAT (L) (km2) 15.379,50 40.325,50 16.576,83 38.909,83 52.760,00 54.609,00 18.474,50 31.955,83 1.765,00 3.706,67 479,67 23.126,67 24.310,00 1.912,00 28.248,00 4.381,00 36.387,50 50.047,50 54.431,00 33.440,50 5.575,00 1.638,00 8.719,00 14.293,50 7.552,50 9.475,00 31.929,00 9.133,00 16.697,00 209.951,83 Q1 Tak Tekan per prov (x 106 m3/tahun) 5.720,00 15.515,50 11.437,00 13.448,67 23.778,00 22.559,17 11.041,00 16.780,67 1.421,00 2.205,17 267,67 13.341,17 8.441,50 773,50 13.995,50 1.577,00 18.997,50 100.796,50 18.424,50 123.275,50 3.468,50 664,00 4.118,00 7.613,00 3.830,50 1.908,00 8.229,00 4.602,00 7.341,00 200.798,67 Q2 Tekan per prov (x 106 m3/tahun) 715,00 1.768,00 566,50 774,67 597,33 751,83 424,67 880,57 193,00 64,33 13,33 669,33 201,00 9,00 995,00 21,00 0,00 110,00 16,00 969,50 307,50 47,50 127,30 55,00 13,00 107,00 195,00 1.091,00 140,00 7.018,00 Q2/L

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Maluku Selatan Papua

14 17 11 4 10 9 5 9 7 5 1 28 32 3 22 8 6 2 2 14 13 9 34 19 21 9 38 18 50 45

4,65 4,38 3,42 1,99 1,13 1,38 2,30 2,76 10,93 1,74 2,78 2,89 0,83 0,47 3,52 0,48 0,00 0,22 0,03 2,90 5,52 2,90 1,46 0,38 0,17 1,13 0,61 11,95 0,84 3,34 102

No

Propinsi

Jml CAT per Prov

Total Luas CAT (L) (km2) 846.190,33

Q1 Tak Tekan per prov (x 106 m3/tahun) 666.369,17

Total

465

Q2 Tekan per prov (x 106 m3/tahun) 18.841,37

Q2/L

2,23

Jumlah total potensi air tanah tertekan aadalah 18.841,37 x 106 m3/tahun, dengan kandungan air tanah tinggi di Indonesia pada wilayah Jawa-Bali, Sumatera, dan Papua, kandungan air tanah sedang pada wilayah Sulawesi, Maluku, Nusatenggara, dan kandungan air tanah rendah di Kalimantan. Lampiran 3.1.6. Kemiringan Lahan Kemiringan lahan merupakan potensi fisik untuk bahaya tanah longsor dan potensi bahaya banjir. Tabel 3.7 merupakan persentase kemiringan lahan yang dibagi menjadi tiga kerentanan yaitu tinggi, sedang dan rendah. Tabel L. 19 Tabel Kemiringan Lahan Kemiringan Lahan Tinggi Sedang Rendah Kelerengan (%) 36 5-35 0-4

Lampiran 3.1.7. Sifat Tanah Indentifitas kerentanan sifat tanah terkait kaitannya dengan sebaran batuan sedimen (peta geologi), dan peta porositas tanah.

103

Gambar L. 17 Peta Geologi Tanah

Gambar L. 18 Peta Porositas Tanah

Lampiran 3.1.8. Kualitas Air Tahun 2006 ada 30 Badan Pengendalian Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi memantai 35 sungai di Indonesia. Parameter kualitas air yang dipantai antara lain BOD dan COD. Hasil pemantauan tersebut dievaluasi berdasarkan kriteria mutu air kelas II seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tengan Pengelelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Evaluasi hasil pemantauan tersebut menunjukkan status menurun mutu

104

menurun atau air sudah tercemar jika dibandingkan dengan criteria mutu kelas II. Hasil pemantauan termaksud dikemukakan dalam Tabel 3.8 Tabel L. 20 Status Mutu Air Beberapa Sungai di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Deli Batang Agam Kampar Indragiri Rokan Siak Batanghari Air Bengkulu Musi Rangkui Way Sekampung Ciliwung Kali Angke Citarum Progo Progo Brantas Tukad Badung Jangkok Dendeng Kapuas Mahakam Kahayan Martapura Bone Tondano Palu Sungai Krueng Aceh NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Riau Riau Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTB Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Provinsi Jumlah Titik 6 11 6 10 14 15 14 12 6 8 6 6 15 6 6 6 7 18 6 6 5 6 6 6 6 6 8 6 Status Mutu Cemar ringan Cemar sedang cemar berat Memenuhi cemar ringan Cemar ringan cemar sedang Cemar ringan cemar sedang Cemar ringan cemar sedang Cemar ringan cemar sedang Cemar berat Cemar ringan Cemar sedang Cemar sedang cemar berat Cemar sedang cemar berat Cemar ringan cemar berat Cemar sedang cemar berat Cemar sedang cemar berat Cemar sedang Cemar berat Cemar sedang cemar berat Cemar ringan cemar berat Memenuhi cemar ringan Memenuhi cemar ringan Cemar ringan cemar berat Cemar sedang cemar berat Cemar sedang cemar berat Cemar sedang Cemar sedang Cemar sedang cemar berat Cemar ringan

105

No 29 30 31 32 33 34 35 Tallo

Sungai Jeneberang Konaweha Batu Gajah Batu Merah Tabobo Anafre

Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Maluku Utara Papua

Jumlah Titik 6 6 6 3 3 6 6

Status Mutu Memenuhi cemar sedang Cemar ringan cemar sedang Memenuhi cemar ringan Cemar ringan cemar sedang Cemar ringan cemar sedang Cemar ringan cemar sedang Memenuhi cemar berat

Sumber: KLH, 2006 Berdasarkan evaluasi hasil pemantauan BOD di 12 sungai di Sumatera menunjukkan bahwa empat sungai yang lebih dari 50% sampelnya memenuhi criteria mutu kelas II adalah Krueng Aceh, Batang Agam, Batanghari dan Sungai Musi. Sedangkan untuk parameter COD menunjukkan 10 sungai yang lebih dari 50% sampel airnya memenuhi kriteria mutu air kelas II. Di Pulau Jawa dari enam sungai yang dipantau hanya satu sungai yaitu Kali Progo Yogyakarta yang presentase sampel airnya lebih daru 50% memenuhi criteria mutu kelas II untuk parameter BOD. Sedangkan untuk parameter COD, sungai-sungai seperti Kali Angke di Banten, Sungai Ciliwung di DKI Jakarta dan Kali Brantas di Jawa Timur lebih dari 50% sampel airnya memenuhi criteria mutu air kelas II. Untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara, dari tiga sungai yang dipantau, Sungai Dengdeng di Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai satu-satunya sungai yang lebih dari 50% sampel airnya memenuhi criteria mutu air kelas II untuk parameter BOD. Sementara Sungai Badung di Bali tidak ada satupun sampel yang memenuhi criteria air kelas II untuk parameter BOD. Untuk parameter COD hanya Sungai Jangkok di Nusa Tenggara Barat yang lebih dari 50% sampelnya memenuhi criteria mutu air kelas II. Di Kalimantan ada empat sungai yang dipantai oleh Bapedalda Provinsi. Untuk parameter BOD ada dua sungai (Sungai Kapuas di Kalimantan Barat dan Sungai Mahakam di Kalimantan Timur), yang lebih dari 50% sampel airnya mememuhi kriteria mutu air kelas II. Sementara di Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah dan Sungai Barito di Kalimantan Selatan tidak ada satu pun sampel air yang memenuhi criteria mutu air kelas II untuk parameter BOD. Untuk parameter COD, lebih dari 50% sampel air keempat sungai tersebut memenuhi criteria mutu air kelas II. 106

Di Sulawesi teradapt enam sungai yang dipantau, lima sungai diantaranya lebih dari 50% sampel airnya memenuhi criteria mutu air kelas II untuk parameter BOD. Untuk parameter COD ada empat sungai yang lebih dari 50% sampel airnya memenuhi criteria mutu air kelas II. Untuk kawasan Maluku dan Papua pada semua sungai persentase sampel air yang memenuhi kriteria mutu kelas II untuk parameter BOD lebih kecil dari 50%. Bahkan Sungai Batu Gajah dan Batu Merah di Maluku tidak ada sampel yang memenuhi kriteria sama sekali. Untuk parameter COD hanya Sungai Taboto di Maluku Utara yang persentase sampel airnya di atas 50% memenuhi criteria mutu air kelas II. Lampiran 3.1.9. Infrastruktur Keairan Kerentanan perubahan iklim pada infrastruktur keairan dapat diminalisasi dengan melakukan penyediaan dan pemeliharan serta perbaikan sarana dan prasarana untuk penyedia dan pengambilan air, seperti saluran irigasi, penurapan mata air, dan berkaitan dengan operasional infrastruktur air seperti bendungan untuk irigasi maupun PLTA. Lampiran 3.1.10. Komponen Kerentanan Individu Lainnya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) bertujuan merehabilitasi 59 juta ha lahan kritis di Indonesia, yang difokuskan pada daerah aliran sungai (DAS) super prioritas dan prioritas. Pemerintah menargetkan mampu merehabilitasi 3 juta ha untuk periode tahun 20032007. Sampai tahun 2006 telah direhabilitasi lahan seluas 1,46 juta ha yang belum mencapai target. Secara lengkap target (rencana) dan realisasi pelaksanaan GNRHL, tahun 2003-2007 disajikan pada (gambar 3.5) Program Kali Bersih (Prokasih) merupakan program pengendalian pencemaran air limbah industri yangmeliputi seluruh jenis industri, hotel, rumah sakit dan kawasan industri yang membuang air limbahnya ke sungai. Program ini sempat terhenti pada tahun 1999 dan dicanagkan kembali pada tahun 2003 menjadi Program Superkasih (Surat Pernyataan Kali Bersih) yang merupakan salah satu tahapan dari Prokasih.

107

Sumber : Departemen Kehutanan, 2007 *) Difokuskan pada penyelesaian target 2005 (terjadi penurunan target) **) Masih dalam proses dan pembahasan dengan Komisi IV DPR-RI Gambar L. 19 Rencana dan realisasi pelakasanaan GNRHL tahun 2003-2007.

Prokasih bertujuan mendorong penataan pertanggung jawab usaha/kegiatan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengolahan limbahnya, khususnya dalam upaya menurunkan beban pencemaran buangan air limbah ke sungai. Salah satu tahapan yang harus dilakukan oleh ndustri dan atau kegiatan yang masuk dalam lingkup kerja. Prokasih adalah menandatangani surat pertanyaan (super) tentang upaya menaati ketentuan yang disepakati. Selama kurung waktu tahun 2003 hingga 2006 tercatat sudah 249 perusahaan yang menandatangani super yang tersebar di tujuh provinsi. Sampai dengan tahun 2005 tercatat sudah 25 perusahaan yang taat pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam super (Tabel 3.9)

108

Tabel L. 21 Jumlah Industri Manufaktur Penandatangan Super Menurut Provinsi Tahun 2003-2006 No 1 2 3 4 5 6 7 Provinsi Riau Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah Jawa Timur Total Sumber : KLH, 2006 Selain industri manufaktur, Prokasih juga mencakup agrobisnis yang sampai dengan tahun 2006 yang telah diikuti oleh 56 industri yang tersebar di empat provinsi. Pemantauan 49 pabrik pada tahun 2006 menunjukan sudah 65% pabrik kualitas buangan air limbahnya berada di bawah bahan baku mutu untuk parameter BOD. Lampiran 3.2. Gambaran Kerentanan Iklim Sektor Air Proses penyelesaian kajian ini, terutama yang bersifat kuantitatif berupa informasi spasial dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi GIS (geographic information system) terhadap komponen keseluruhan komponen kerentanan dengan mengacu kepada bahaya-bahaya perubahan iklim pada sektor air. Kerentanan tersebut berupa: Komponen kerentanan terhadap bahaya PKA terdiri atas 6 (enam) parameter yaitu: kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, kualitas air, infrastruktur keairan dan potensi air tanah. Komponen kerentanan terhadap banjir terdiri atas 4 (tujuh) parameter yaitu: kepadatan penduduk, tataguna lahan, kekritisan lahan/kerusakan DAS. Komponen kerentanan terhadap kekeringan terdiri atas 6 (enam) parameter yaitu: kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, kualitas air, infrastruktur keairan, potensi air tanah. Komponen kerentanan terhadap bahaya tanah longsor terdiri atas 3 (tiga) parameter yaitu: kepadatan penduduk, landuse, infrastruktur keairan. DAS/Perairan Siak Tanjung Uncang Teluk Jakarta Citarum Cisadane Serayu Kali Tengah Penandatangan Super 33 65 19 74 16 22 20 249

109

Lampiran 3.2.1. Kerentanan Akibat Kekurangan Data dan Riset Keterbatasan data dan masih sangat kurangnya penelitian atau kajian kerentanan sektor air terhadap perubahan iklim di Indonesia merupakan kendala dalam menilai kerentanan. Jenis keterbatasan data tersebut berupa faktor-faktor kualitatif. Kondisi dari sisi data dan informasi dalam berhadapan dengan bahaya perubahan iklim adalah sesuatu yang rentan dan akan memberikan beberapa potensi dampak. Lampiran 3.2.1.1. Faktor Kerentanan Kualitas Air Penyebab utama pencemaran (kerentanan kualitas air) adalah sanitasi dan pengelolaan limbah dan sampah yang buruk serta kebiasaan mencuci di sungai. Kadar BOD, nitrit dan posfat yang tinggi berasal dari sampah yang dibuang langsung ke tubuh air (sungai) atau rembesan dari tempat pembuangan sampah yang berada di dekat sungai. Pencemaran detergen berasal dari aktivitas mencucui masyarakat dengan menggunakan dteregen yang dilakukan di sungai serta dari saluran pembuangan air bekas ke sungai. Pencemaran oleh bakteri Eschericia coli berasal dari aktivitas peternakan, septic tank yang tidak dikelola dengan baik atau dibuang langsung ke tubuh sungai. Kondisi proyeksi untuk kualitas air dianalisis secara kualitatif. Kualitas air pada kondisi 2030 dan 2080 akan semakin menurun dengan asumsi tidak ada perbaikan yang berarti pada sanitasi, pengelolaan sampah dan limbah, dan kebiasaan menggunakan air untuk aktivitas sehari-hari. Kerentanan kualitas air akan semakin meningkat dengan menurunnya ketersediaan air dan meningkatnya penggunaan pestisida dalam pertanian, dan di wilayah pantai dengan adanya kenaikan muka air laut serta genangan air laut ke daratan yang akan menyebabkan salinitas air meningkat (gambar 3.6).

110

Gambar L. 20 Persentase tingkat pencemaran air di Indonesia

Lampiran 3.2.1.2. Faktor-Faktor Kualitatif Faktor-faktor kualitatif berupa 4 komponen kerentanan tambahan yaitu: sifat tanah , kualitas air, infrastruktur keairan, komponen kerentanan individu lainnya yang berupa Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL), Program Kali Bersih (Prokasih), penurunan lahan (land subsidende) di perkotaan (lampiran 3.1.7 -3.1.10). Lampiran 3.2.2. Kerentanan terhadap Bahaya Penurunan Ketersediaan Air Diidentifikasi kerentanan sektor air terhadap bahaya PKA tersebut dalam ketiga komponennya, yaitu: eksposure, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi. Sub bagian ini menguraikan secara ringkas ketiga komponen kerentanan tersebut, perumusan dan pembobotan kerentanan totalnya. Ada 6 (enam) parameter untuk komponen E, S, dan AC untuk bahaya PKA, yaitu:kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, kualitas air, infrastruktur keairan dan potensi air tanah. Berdasarkan hal itu, maka kerentanan terhadap bahaya penurunan ketersediaan air dapat dirumuskan sebagai fungsi dari bahaya penurunan total runoff kondisi iklim normal pada periode proyeksi (TRO N,P ) dibawah batas minimal TRO kondisi iklim normal pada baseline yang nilai CDF nya < 15% (TRO N,P < TRO N,B CDF 15% ) dan variasi kepadatan penduduk, tata guna lahan, kebutuhan air, kualitas air, infrastruktur air, dan potensi air tanah terhadap bahaya tersebut. Eksposur terhadap bahaya PKA, terdapat 2 (dua) parameter keterpaparan atau eksposur (exposure, E) untuk kerentanan terhadap bahaya PKA, yaitu: 1) tataguna lahan dan 2) kepadatan penduduk. Data untuk kedua parameter tersebut adalah data spasial dengan tingkat ketelitian relatif lebih rinci berdasarkan sebarannya dalam ruang. 111

Sensitivitas terhadap bahaya banjir, terdapat 2 (dua) parameter kepekaan atau sensitivitas (sensitivity, S) untuk kerentanan terhadap bahaya PKA, yaitu: 1) kebutuhan air, 2) penurunan kualitas air . Terdapat 2 (dua) parameter kapasitas adaptasi (adaptive capacity, AC) atau kemampuan penyesuaian untuk kerentanan terhadap bahaya PKA, yaitu: 1) infrastruktur air, dan 2) potensi air tanah. Pembobotan dilakukan atas seluruh parameter bahaya penurunan ketersediaan air, yaitu: i) tataguna lahan, dan ii) kepadatan penduduk sebagai komponen eksposur (E); iii) kebutuhan air, iv) kualitas air, sebagai komponen sensitivitas (S); dan vi) infrastruktur keairan dan vii) potensi air tanah sebagai komponen kapasitas adaptasi (AC). Pembobotan dan Peta kerentanan kepadatan penduduk terhadap bahaya PKA, dalam kajian ini dilakukan 2 (dua) langkah pembobotan, yaitu: i) pembobotan per individu parameter komponen kerentanan, ii) pembobotan total kerentanan berdasarkan metode pair wise comparison dengan melihat bobot ketelitian data, bobot kekuatan pengaruh terhadap bahaya, dan perbandingan secara berpasangan. Data yang digunakan meliputi baik data tingkat pertama, dan data yang sudah diolah dengan tingkat ketelitian data spasial yang berbeda-beda. Tabel L. 22 Bobot kerentanan total terhadap bahaya PKA. POTENSI BAHAYA Kenaikan Temperatur, Curah Hujan Rata-rata BAHAYA PENURUNAN KETERSEDIA AN AIR KERENTANAN Komp Komponen Bagian Kepadatan Penduduk Tataguna Lahan S Kebutuhan Air Kualitas Air Infrastruktur Keairan (waduk & irigasi) Potensi Air Tanah sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan (gambar 3.7), yaitu: Bobot 0.31 0.08 0.21

AC

0.21 0.14

Tingkat kerentanan di terhadap bahaya penurunan ketersediaan air secara umum dibagi menjadi

112

1) Kerentanan sangat tinggi (warna merah) terhadap bahaya PKA di lebih dari separuh wilayah Jawa-Bali, kota-kota besar di Sumut, Sumbar, Lampung (Sumatera), dan Sulsel (Sulawesi). Kerentanan sangat tinggi disebabkan: kepadatan penduduk lebih besar 3000 jiw/km2; kebutuhan air total lebih besar dari 359.173.784 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan pemukiman, dan pertanian yang akan menimbulkan dampak yang lebih besar jika terkena bahaya. Sementara itu, faktor yang menurunkan kerentanan adalah potensi air tanah tertekan yang tinggi (> 7.084.987,20 m3/thn), dan infrastruktur air yang tersedia atau tidak tersedia dan faktor-faktor kualitatif. 2) Kerentanan tinggi (warna jingga) terhadap bahaya PKA menempati hampir separuh wilayah Jawa-Bali, sebagian kecil wilayah Sumatera di bagian utara, barat, dan selatan, Sulawesi bagian selatan, dan NTB. Penyebab kerentanan tinggi adalah kepadatan penduduk antara 400 3000 jiwa/km2; kebutuhan air total antara 269,380,338 359,173,784 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan berupa lading dan perkebunan yang berdampak tinggi jika terkena bahaya tersebut. Faktor yang menurunkan kerentanan adalah potensi air tanah tertekan yang tinggi (5,313,740.40 - 7.084.987,20 m3/thn), infrastruktur irigasi dan faktorfaktor kualitatif. 3) Kerentanan sedang (warna kuning) terhadap bahaya PKA umumnya terdapat di wilayah yang cukup luas di Sumatera bagian utara, barat, dan selatan; sebagian Nusatenggara dan Sulawesi. Kerentanan sedang disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 50 400 jiwa/km2; kebutuhan air total antara 179,586,892 - 269,380,338 m3/thn m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan berupa padang rumput, semak belukar, dan tanah kosong yang masih cukup tekena dampak oleh bahaya tersebut; potensi air tanah tertekan yang tinggi (3,542,493.60 - 5,313,740.40 m3/thn), dan ketersediaan infrastruktur irigasi, dan faktor-faktor kualitatif.

113

Gambar L. 21 Peta kerentanan penurunan ketersediaan air, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. 4) Kerentanan rendah (warna hijau muda) terhadap bahaya PKA umumnya terdapat di sebagian besar kawasan timur Sumatera, tengah-timur Kalimantan, sebagian besar Sulawesi dan Maluku, dan bagian tengah-timur Papua. Kerentanan rendah disebabkan oleh kepadatan penduduk 7 50 jiwa/km2; kebutuhan air total 89,793,446 - 179,586,892 m3/thn m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan berupa hutan musiman, hutan campuran, dan semak belukar yang kurang berdampak jika terkena bahaya; potensi air tanah tertekan yang kurang (1,771,246.80-3,542,493.60 m3/thn), dan tidak tersedianya infrastruktur air; 5) Kerentanan tidak rentan atau sangat rendah (warna hijau) terhadap bahaya PKA umumnya terdapat di kawasan tengah-barat Kalimantan, bagian tengah-barat Papua, dan Pulau Halmahera. Kerentanan rendah disebabkan oleh kepadatan penduduk (< 7 jiwa/km2; kebutuhan air total (< 89,793,446 m3/thn, dan tataguna lahan atau tutupan lahan yang

114

hampir tidak berdampak akibat terjadinya bencana seperti hutan rimba; potensi air tanah tertekan yang kurang (< 1,771,246.80 m3/thn), dan tidak tersedianya infrastruktur air.

Lampiran 3.2.3. Kerentanan terhadap Bahaya Banjir Pada bahasan sebelumnya telah dirumuskan bahwa bahaya banjir dalam kajian ini adalah nilai direct runoff dari kondisi iklim diatas normal pada kondisi proyeksi (DRO max,P ) yang lebih besar dari 89 mm/tahun. Dengan catatan, berdasarkan hasil kajian water balance, tidak semua proyeksi dan skenario mengalami banjir. Sub bagian ini menguraikan secara ringkas kerentanan terhadap bahaya banjir. Kerentanan terhadap bahaya banjir didefinisikan sebagai fungsi dari bahaya banjir dan variasi dari keterpaparan atau eksposur (E), sensitivitas (S), dan kapasitas adaptasi (AC) terhadap bahaya banjir tersebut. Dalam hal ini, bahaya banjir telah melibatkan fungsi dari karakter, besaran, dan kecepatan perubahan iklim terhadap sektor air terkait banjir. Adapun Variasi E, S, dan AC terhadap bahaya banjir. Komponen E, S, dan AC untuk bahaya banjir terdiri atas 7 (tujuh) parameter, yaitu: kepadatan penduduk, tataguna lahan, tingkat kekritisan lahan/kerusakan DAS, penurunan lahan diperkotaan, infrastruktur irigasi, GNRHL, prokasih Berdasarkan hal itu, maka kerentanan terhadap bahaya banjir dapat dirumuskan sebagai fungsi dari nilai total direct runoff (DRO max,P ) yang melebihi 89 mm/tahun pada kondisi proyeksi dan variasi dari kepadatan penduduk, tataguna lahan, infrastruktur tingkat kekritisan lahan/kerusakan DAS, penurunan lahan diperkotaan kerentanan tersebut, berikut diuraikan secara singkat. Terdapat dua parameter keterpaparan atau eksposur (exposure, E) untuk kerentanan terhadap bahaya banjir, yaitu: 1) Tataguna Lahan dan 2) Kepadatan Penduduk. Terdapat 3 (tiga) parameter kepekaan atau sensitivitas (sensitivity, S) untuk kerentanan terhadap bahaya banjir, yaitu: 1) tingkat kekritisan lahan/kerusakan DAS, 2) penurunan lahan diperkotaan, 3) infrastruktur irigasi .

irigasi, GNRHL, prokasih terhadap bahaya tersebut. Untuk memperjelas variasi dari komponen

115

Terdapat tiga komponen kerentanan kapasitas adaptasi (AC) terhadap bahaya PKA, 3 (tiga) parameter tersebut, yaitu: 1. infrastruktur irigasi, 2. GNRHL, 3. prokasih juga merupakan parameter untuk komponen kerentanan AC terhadap bahaya banjir. Pembobotan dan peta kerentanan kepadatan penduduk terhadap banjir, prinsip pembobotan sama dengan pembobotan yang telah dilakukan pada bahasan tentang kerentanan terhadap bahaya penurunan ketersediaan air. Identifikasi kerentanan total terhadap bahaya banjir, yaitu: i) tataguna lahan, dan ii) kepadatan penduduk sebagai komponen eksposur (E); iii) tingkat kekritisan lahan/kerusakan DAS, iv) penurunan lahan di perkotaan, sebagai komponen sensitivitas (S); dan v). infrastruktur irigasi, vi). GNRHL, vii) prokasih sebagai komponen kapasitas adaptasi (AC). Tabel L. 23 Bobot kerentanan total terhadap bahaya banjir
POTENSI BAHAYA BAHAYA KERENTANAN Komp E Kenaikan Temperatur, Curah Hujan Maksimum Komponen Bagian Kepadatan Penduduk Tataguna Lahan Kekritisan Lahan/Kerusakan DAS Penurunan Lahan di Perkotaan (subsidence) Infrastruktur Keairan (sistem drainase perkotaan) AC GNRHL (DepHut) Prokasih (SLHI) 0.22 0.07 Bobot 0.36 0.13 0.07

S BANJIR

Tingkat kerentanan terhadap bahaya banjir secara umum dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan (gambar 3.8) sebagai berikut: 1) Kerentanan sangat tinggi (warna merah) terhadap bahaya banjir terdapat pada kawasan terbatas di Pulau Jawa, terutama di sebelah utara, meliputi beberapa kawasan kota-kota besar yang dilalui sungai-sungai besar. Tingkat kerentanan sangat tinggi karena kepadatan penduduk lebih besar dari 3000 jiw/km2); tataguna lahan atau tutupan lahan pemukiman, dan pertanian yang akan menimbulkan dampak yang lebih besar jika terkena bencana; dan tingkat kekritisan lahan yang dicerminkan oleh kerusakan DAS di kawasan sekitarnya diatas 0.8 indeks kekritisan DAS. Kerentanan dapat berkurang karena tersedianya infrastruktur irigasi dan faktor-faktor kualitatif.

116

2)

Kerentanan tinggi (warna jingga) terhadap bahaya banjir terdapat pada kawasan cukup luas di Pulau Jawa, terutama di pantai utara dari barat ke timur; di bagian tengah untuk sebagian besar wilayah Jawa bagian timur, tengah, dan barat.

3)

Tingkat kerentanan

tinggi disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 400 3000

jiwa/km2; tataguna lahan atau tutupan lahan sekitar berupa ladang dan perkebunan yang berdampak tinggi jika terkena bencana tersebut; dan kerusakan DAS di kawasan sekitarnya yang memiliki nilai indeks kekritisan DAS 0.6 0.8. Kerentanan dapat diturunkan dengan tersedianya infrastruktur air, dan faktor-faktor kualitatif.

Gambar L. 22 Peta kerentanan terhadap bahaya banjir, SRA2, dari : periode 2000-2005, 20052010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030

4) Kerentanan sedang (warna kuning) terhadap bahaya banjir terdapat terutama di sebagian besar kawasan pantai barat dan utara Sumatera, bagian tengah-selatan Pulau Jawa, sedikit din bagaian selatan-timur barat Kalimantan; dan di wilayah Sulawesi bagian selatan, tenggara, utara dan sedikit di bagian tengah, serta di sebagian besar wilayah Nusatenggara. 117

Tingkat kerentanan sedang disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 50 - 400 jiwa/km2; berupa padang rumput, semak belukar, dan tanah kosong yang masih cukup tekena dampak oleh bencana tersebut; dan tingkat kerusakan DAS di kawasan sekitarnya yang memiliki nilai indeks kekritisan DAS 0.4 0.6. Faktor-faktor yang menurunkan tingkat kerentanan adalah cukup tersedianya infrastruktur air, dan faktor-faktor kualitatif. 5) Kerentanan rendah (warna hijau muda) terhadap bahaya banjir berada di sebagian besar wilayah tengah-timur Sumatera, Sulawesi, terutama di bagian tengah; dan sebagian kecil Maluku, Nusatenggara, dan Papua. Tingkat kerentanan sedang disebabkan oleh kepadatan penduduk antara 7 - 50 jiwa/km2; tataguna lahan atau tutupan lahan (TL) berupa hutan musiman, hutan campuran, dan semak belukar yang kurang berdampak jika terkena bencana; tingkat kerusakan DAS di kawasan sekitarnya yang memiliki indeks kekritisan DAS 0.2 0.4., dan ketidaktersediaan infrastruktur air. 6) Kerentanan sangat rendah (warna hijau) atau tidak ada kerentanan terhadap bahaya banjir berada umumnya di kawasan terbesar di bagian tengah Kalimantan dan Papua, sebagian kecil di bagian tengah Sulawesi, dan sebagian Maluku. Kerentanan sangat rendah berkaitan dengan kepadatan penduduk antara 0 7 jiwa/km2; tataguna lahan atau tutupan lahan berupa hutan rimba yang berdampak sangat kecil jika terkena bencana; kerusakan DAS di kawasan sekitarnya antara 0 - 2., dan tidak tersedianya infrastruktur air. Lampiran 3.2.4. Kerentanan terhadap Bahaya Kekeringan Pada bahasan sebelumnya telah dirumuskan bahwa bahaya kekeringan dalam kajian ini adalah nilai Total runoff pada kondisi iklim dibawah normal periode proyeksi (TRO min,P ) yang lebih kecil dari 996 mm/tahun. Dengan catatan, berdasarkan hasil kajian water balance, tidak semua proyeksi dan skenario mengalami kekeringan. Sub bagian ini menguraikan secara ringkas kerentanan terhadap bahaya kekeringan. Terdapat 6 (enam) parameter untuk komponen E, S, dan AC bahaya kekeringan, yaitu: kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, kualitas air, infrastruktur keairan, potensi air tanah. Berdasarkan hal itu, maka dalam kajian ini kerentanan terhadap bahaya kekeringan dirumuskan sebagai fungsi dari bahaya penurunan total runoff iklim dibawah normal periode proyeksi (TRO) yang lebih kecil dari 996 mm/tahun dan variasi kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, kualitas air, infrastruktur keairan, potensi air tanah terhadap bahaya kekeringan tersebut. Komponen eksposur (exposure, E) dari kerentanan terhadap bahaya kekeringan, terdiri atas 2 (dua) parameter, yaitu: 1) Tataguna Lahan, dan 2) Kepadatan Penduduk. 118

Identifikasi komponen kerentanan terhadap bahaya kekeringan terdiri atas 2 (dua) parameter untuk komponen keretanan sensitivitas (sensitivity, S). Kedua parameter terserbut adalah: 1) Kebutuhan Air, 2) Kualitas air Kapasitas adaptasi (AC) 1) Infrastruktur keairan dan 2) Potensi dua jenis bahaya sebelumnya. Pembobotan dan peta penilaian kerentanan total terhadap bahaya kekeringan sebangun dengan penilaian kerentanan total terhadap bahaya PKA. Dalam kekeringan, digunakan komponen kerentanan sebagai berikut i) kepadatan penduduk , ii) tataguna lahan sebagai komponen eksposur (E), iii) kebutuhan air, iv) kualitas air sebagai komponen sensitivitas (S) dan v) infrastruktur keairan, vi) potensi air tanah sebagai komponen adaptasi (AC). Tabel L. 24 Bobot kerentanan total terhadap bahaya kekeringan
POTENSI BAHAYA BAHAYA KERENTANAN Komp E Kenaikan Temperatur, Curah Hujan Minimum KEKERINGA N Komponen Bagian Kepadatan Penduduk Tataguna Lahan Kebutuhan Air Kualitas Air Infrastruktur Keairan (waduk & irigasi) Potensi Air Tanah 0.21 0.14 Bobot 0.31 0.08 0.21

digunakan kerentanan

terhadap bahaya kekeringan dengan penjelasan analog sebagaimana pada kerentanan terhadap

AC

Tingkat kerentanan terhadap bahaya kekeringan secara umum dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan (gambar 3.9) sebagai berikut: 1) Kerentanan sangat tinggi (warna merah) terhadap bahaya kekeringan terdapat pada kawasan terbatas di Pulau Jawa, terutama di sebelah utara, meliputi beberapa pada kawasan kota-kota besar yang dilalui sungai-sungai besar. Tingkat kerentanan sangat tinggi disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor penyebab kerentanan terhadap bahaya PKA. Demikian pula faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kerentanannya.

119

2) Kerentanan tinggi (warna jingga) terhadap bahaya kekeringan terdapat pada kawasan cukup luas di Pulau Jawa, terutama di pantai utara dari barat ke timur; di bagian tengah untuk sebagian besar wilayah Jawa bagian timur dan tengah, dan sebagian di bagian barat meliputi beberapa kawasan di kota-kota besar dan sekitarnya. Tingkat kerentanan tinggi karena kepadatan penduduk, tataguna lahan, dan kerusakan DAS dengan kondisi yang sama sebagaimana pada kerentanan tinggi terhadap bahaya penurunan ketersediaan air. Demikian pula faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kerentanannya.

Gambar L. 23 Peta kerentanan terhadap bahaya kekeringan, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.

Komponen eksposur (exposure, E) dari kerentanan terhadap bahaya kekeringan, terdiri atas 2 (dua) parameter, yaitu: 1) Kepadatan penduduk, dan 2) landuse.

120

Kapasitas adaptasi (AC) yang digunakan kerentanan terhadap bahaya tanah longsor adalah infrastruktur penting. Pembobotan dan peta penilaian kerentanan total terhadap bahaya tanah longsor sebangun dengan penilaian kerentanan total terhadap bahaya kekeringan. Dalam kekeringan, digunakan komponen kerentanan sebagai berikut i) kepadatan penduduk, ii) landuse sebagai komponen eksposur (E), iii) infrastruktur penting sebagai komponen adaptasi (AC). Tabel L. 25 Bobot kerentanan terhadap bahaya tanah longsor POTENSI BAHAYA BAHAYA KERENTANAN Komp E AC Komponen Bagian Kepadatan Penduduk Landuse Infrastruktur Penting Bobot 0.53 0.31 0.16

Kenaikan TANAH Temperatur, Curah LONGSOR Hujan Minimum

Tingkat kerentanan terhadap bahaya tanah longsor secara umum dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak rentan (gambar 3.10) sebagai berikut: 1) Kerentanan sangat tinggi (warna merah) terhadap bahaya longsor terdapat pada kawasan yang sangat-sangat terbatas di Pulau Jawa, dan tidak tampak dalam peta skala peta 1:1.000.000. Tingkat kerentanan sangat tinggi karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kerusakan DAS sebagaimana untuk tingkat kerentanan sangat tinggi yang dibahas sebelumnya. 2) Kerentanan tinggi (warna jingga) terhadap bahaya longsor tersebar pada kawasan terbatas di Pulau Jawa, terutama di bagian Tengah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan tampak berupa titik-titik pada peta skala 1:1.000.000. Tingkat kerentanan sangat tinggi karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kekritisan lahan atau kerusakan DAS sebagaimana pada tingkat kerentanan tinggi yang telah dibahas sebelumnya.

121

Gambar L. 24 Peta kerentanan terhadap bahaya tanah longsor, SRA2, dari : periode 20002005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030 3) Kerentanan sedang (warna kuning) terhadap bahaya longsor tersebar pada hampir seluruh kawasan di Pulau Jawa, sebagian NAD dan Sumut (Sumatera); sebagian besar Sulses (Sulawesi), bagian kecil Kalsel (Kalimantan); sebagian besar NTB, dan sebagian NTT (Nusatenggara). Tingkat kerentanan sangat tinggi karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kerusakan DAS sebagaimana pada bahasan kerentanan bahaya sebelumnya. 4) Kerentanan rendah (warna hijau muda) terhadap bahaya longsor umumnya terdapat di Sumatera, Sulawesi kecuali bagian tengah-timur, bagian barat dan timur Kalimantan, sebagian Maluku dan Papua. Tingkat kerentanan rendah karena kepadatan penduduk,

122

tataguna lahan atau tutupan lahan, dan kerusakan DAS seperti pada bahasan tentang tingkat kerentanan rendah. 5) Kerentanan sangat rendah (warna hijau) atau tidak ada kerentanan terhadap bahaya longsor terdapat di bagian tengah Kalimantan, Sulawesi bagian tengah-timur, Sebagian Maluku dan Papua. Tingkat kerentanan sangat rendah karena faktor kepadatan penduduk, tataguna lahan atau tutupan lahan, tingkat kerusakan DAS sebagaimana pada bahsan tingkat kerentanan sangat rendah sebelumnya. Lampiran 3.2.6. Kerentanan terhadap Bahaya Intrusi Air Laut Kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut dianalisis secara kualitatif disebabkan keterbatasan data Komponen kerentanan yang dilibatkan dalam penilaian selain kepadatan penduduk adalah tataguna lahan, tingkat pengambilan air tanah; serta potensi sumber air alternatif selain air tanah. Berdasarkan analisis kualitatif, tingkat kerentanan terhadap bahaya intrusi air laut adalah: 1) kerentanan tinggi di pantai-pantai yang berada di wilayah Jawa-Bali, khususnya pantai Jakarta Utara dan Semarang bagian utara; kecuali di Denpasar bagian barat, selatan, dan timur tingkat kerentanannya sedang; 2) kerentanan sedang hingga rendah di wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, dan Sumatera yaitu di pantai Makassar (Sulawesi), Balikpapan (Kalimantan), Mataram (Nusatenggara); Palembang dan Padang (Sumatera) 3) kerentanan rendah hingga sangat rendah di pantai-pantai kawasan perkotaan di wilayah Maluku dan Papua. Lampiran 3.3. Komponen Faktor Kerentanan Penting lainnya Penilaian kerentanan yang telah dilakukan belum menyertakan semua komponen kerentanan penting yang seharusnya dilibatkan karena keterbatasan data. Beberapa komponen kerentanan penting yang belum dilibatkan adalah: 1) Jenis, infrastruktur air lainnya atau cara penduduk memperoleh air, baik air bersih maupun air baku; 2) Kebutuhan air lainnya, seperti air untuk transportasi air dan lainnya; 3) Program rebosisasi lainnya selain GNRHL untuk setiap DAS; 4) Jenis tanah termasuk sifat kelengasan tanah; 5) Tutupan lahan pada kawasan rawan bencana longsor; dan data dari komponen kualitas air, GNRHL, dan Prokasih.

123

Lampiran 3.4. Kerentanan per Wilayah Lampiran 3.4.1. Faktor Kerentanan Kualitas Air dan Faktor Kuanlitatif Kearifan Lokal per Wilayah Kearifan lokal dapat berfungsi dalam konservasi dan penyelamatan SDA Tabel L. 26 Kearifan lokal
Kajian Lokal Anjir dan Handil Rimbo larangan Banda larangan Lubuk larangan Awing-awing Repong damar Rimbo penghulu Hutan tutupan Hutan kemenyan Hutan nagari Awig-awing Eras geniut Aktivitas Membuka lahan rawa menjadi pertanian Pelestarian hutan, tanah dan air Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Lokasi Banjarmasin (Kalsel) Sumatera Barat Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) Bali Lampung Jambi Kalimantan Selatan Sumatera Utara Sumatera Barat Lombok

Pengelolaan dan pelestarian hutan

Menjaga Sumber Daya Air (SDA)

Lampiran 3.5. Tingkat Kepercayaan Informasi dan Penelitian Lanjut yang Diperlukan Lampiran 3.5.1 Tingkat Kepercayaan Informasi Nasional Pendekatan kajian dipilih berdasarkan pilihan-pilihan pendekatan kajian Perubahan Iklim, Dampak, Adaptasi dan Kerentanan (PIDAK atau Climate Change Impact, Adaptation and Vulnerability/CCIAV) yang tersedia. Ada 5 (lima) pilihan pendekatan (Tabel 3.1). Empat diantaranya dikelompokan sebagai pendekatan riset model lama, yaitu: kajian dampak, kajian kerentanan, kajian adaptasi, dan kajian terintegrasi. Adapun pendekatan kelima diturunkan dari kerangka kajian risiko yang merupakan perkembangan baru dalam studi PIDAK . Pendekatan berbasis risiko ini telah mulai diaplikasikan dalam pengarus-utamaan pilihan-pilihan adaptasi kedalam pembuatan kebijakan (IPCC, 2007 dalam Suroso, D.S., 2008). Terdapat suatu kecenderungan lain yang penting dalam pendekatan kajian yaitu pergeseran dari pendekatan yang digerakan oleh riset (research-driven approaches) ke integrasi kajian kedalam pembuatan kebijakan dimana para pembuat keputusan (policy-makers) dan para pemangku kepentingan (stakeholders) bersama-sama berpartisipasi di dalamnya atau bersama-sama menggerakan kajian (UNDP, 2005).

124

Berbagai studi kerentanan yang cukup efektif dalam membangkitkan kesadaran terhadap dampak yang mungkin muncul dari perubahan iklim mengalami keterbatasan efektivitas dalam menyediakan pedoman adaptasi pada tingkatan lokal. Berbagai pilihan metode dan alat studi kerentanan untuk mendukung proses pembangunan tersedia dengan perbedaan masing-masing berkenaan dengan tingkatan data dan analisis, luas wilayah, perencanaan, dan biaya sesuai tingkatan wilayah dan perencanaan terkait mulai dari tingkat kepentingan nasional, regioanal, hingga lokal (Tabel 3.15). Tabel L. 27 Lima Pendekatan dalam Kajian Perubahan Iklim dimodifikasi dari IPCC, 2007
Pendekatan Dampak Sasaran Ilmiah Kerentanan Adaptasi Integrasi Risiko Kajian risiko dan respom kebijakan Pengarusutamaan pada pembuatan kebijakan Proses yang mempengaruhi Dampak dan risiko pada Kerentanan iklim ke depan terhadap perubahan iklim Aksi untuk pengurangan risiko Aksi untuk pengurangan kerentanan Proses yang Interaksi dan mempengaru umpan balik hi adaptasi antara banyak dan kapasitas penggerak dan adaptasi dampak-dampak Aksi untuk peningkatan adaptasi Pilihan kebijakan global dan biayabiaya

Tujuan praktis

Pendekatan standar untuk PIDAK; metoda DPSIR (Driver-pressure-stateimpact-response atau respon dampakMetode kondisi-tekanan Kajian sebagai penggerak/); Kajian risiko yang digerakan oleh bencana (Hazarddriven risk assessment)

Digerakan oleh Motivasi Penelitian (Research Driven)

Pemodelan kajian terintegrasi Indikator dan gambaran Interaksi lintas kerentanan; Risiko iklim masa sektor lalu dan saat ini; Analisis Integrasi iklim matapencaharian; Metode dengan penggerak Prosedur Kajian berbasiskan agen; lainnya Risiko Metode naratif Model diskusi Risiko yang Persepsi terhadap resko pemangku tersusun atas termasuk ambang batas kritis kepentingan Bahaya dan Kinerja kebijakan (stakeholder) Kerentanan berkelanjutan/pembangunan terkait lintas jenis Hubungan kapasitas adaptasi dan skala dan pembangunan Penggabungan berkelanjutan berbagai pendekatan atau model kajian Digerakan oleh Research Driven Research Driven Kebijaka (Policy Driven)

Sumber: Suroso, D.S (2008)

125

Tabel L. 28 Berbagai Tingkatan Studi Kerentanan Skala Tingkatan Makro Meso Mikro Kebutuhan Data/Analisis Kualitatif Kombinasi Kualitatif dan Kuantitatif Kuantitatif Ukuran Daerah Studi Nasional Regional (Provinsi hingga Kabupaten/Kota) Lokal Tingkatan Perencanaan Kebijakan Adaptasi Strategi Adaptasi Ketepatan Rendah Sedang Tinggi Biaya studi per Luasan Rendah Sedang Tinggi

Pengukuran Adaptasi Sumber: Modifikasi dari Messner (2005) dalam Suroso, D.S. (2008)

Kajian ini menggunakan pendekatan studi tingkat makro (macro level) atau tingkat nasional Indonesia, tingkat keterpercayaan hasil kajian informasi secara umum adalah sedang pada skala nasional, tetapi rendah apabila digunakan untuk tujuan aksi adaptasi pada tataran regional atau lokal. Namun, derajat kepercayaan hasil kajian untuk penggunaan di tingkat nasional secara umum termasuk sedang. Secara ringkas, derajat sedang untuk keterpercayaan hasil kajian untuk informasi spasial atau peta kerentanan diperoleh dari penilaian informasi sebagai berikut: (1) tingkat keterpercayaan informasi sedang untuk semua jenis bahaya, kecuali bahaya intrusi air laut; (2) tingkat keterpercayaan informasi tinggi untuk informasi komponen kerentanan kepadatan penduduk; (3) tingkat keterpercayaan informasi sedang untuk informasi tataguna lahan, tingkat kekritisan DAS, dan kebutuhan air penduduk dan pertanian; dan (4) tingkat keterpercayaan informasi rendah untuk informasi kebutuhan air industri, informasi kualitas air, dan infrastruktur air Lampiran 3.5.2. Penelitian Lanjut Penelitian lanjut yang diperlukan meliputi riset tentang bahaya dan kerentanan perubahan iklim sektor air lebih lanjut. Penelitian lanjutan yang dimaksud adalah penelitian dengan skala yang lebih besar, seperti penelitian pada skala wilayah sungai (WS) di masing-masing balai wilayah sungai (BWS).

126

LAMPIRAN IV POTENSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR SUMBER DAYA AIR Lampiran 4.1. Bahaya Iklim dan Kerentanan Sektor Air Lampiran 4.1.1. Analisis GIS Risiko Penurunan Ketersediaan Air (PKA) Hasil analisis GIS memberikan gambaran komparatif risiko penurunan ketersediaan air (PKA) dari periode 2005-2005 hingga 2025-2030 sebagaimana pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.1 Risiko PKA diperoleh dari penapisan ancaman bahaya PKA berupa penurunan total runoff (TRO) dari hujan rata-rata tahunan pada kondisi proyeksi sebesar 0 sampai 169 mm/tahun dari kondisi baseline pada kawasan dengan tingkat kerentanan terkait.

Gambar L. 25 Risiko penurunan ketersediaaan air, SRA2, dari : periode 2000-2005, 20052010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.

127

Tabel L. 29 Risiko Penurunan Ketersediaan Air (PKA) per Pulau


Pulau Tingkat Resiko 20002005 1518,00 3823,83 120,71 2005-2010 289,68 3316,01 2146,53 Luas (Km2) 20102015 289,68 651,74 3039,66 1771,13 2943,22 53,19 24214,03 101393,41 5877,32 90069,37 438566,82 9800,10 2015-2020 289,68 318,45 2825,97 2318,12 2943,22 14,17 16015,12 104431,70 11076,96 54081,95 458000,53 26168,81 185,00 8753,55 64505,89 5462,71 51,79 4930,35 9751,98 45591,81 7193,25 84350,68 324406,06 2778,42 20202025 289,68 965,09 3949,97 547,48 2943,22 228,30 29551,69 98212,14 3545,83 20252030 289,68 646,76 2906,48 1909,29 2943,22 22,27 16199,00 105748,72 9567,96

Bali

Jawa

Kalimantan

Kepulauan Maluku

Kepulauan Nusa Tenggara

Papua

Sulawesi

Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat

1311,85 59672,12 70406,24 147,74 479365,00 46674,14 531,82

2943,22 7292,86 116902,30 7342,79 369391,93 167196,28 1848,09

82341,85 24033,38 430481,24 452744,90 25489,86 59422,14 123,35 2235,87 8835,35 64658,41 5229,63 50,56 4949,57 31569,99 29345,88 1601,96 8742,08 58396,25 11571,50 64,12 4930,35 16683,06 40780,68 5073,30

58299,74 11619,40 113,90

65119,78 13652,93 1,23

43129,06 35546,19 98,70

23709,33 37853,54 974,17

4944,20 35837,97 26685,22

4930,35 25797,10 34698,08 2041,85 363171,74 46236,51 2126,91

342416,52 38959,09 1500,78

411535,16

269801,89 256870,64 140990,99 150910,24 742,29 3754,28

139306,68 33779,23 7533,82

93638,05 79260,99 14026,60

11278,72 135983,90 39076,27 586,74

6308,77 98531,57 71593,22 10492,08

6305,91 87319,60 83812,13 9488,00

6305,91 51600,80 106201,20 22617,65 200,07

128

Pulau

Tingkat Resiko 20002005 44567,24 332211,21 89199,00 93,64 2005-2010 96623,41 293856,34 85719,92 1,23

Luas (Km2) 20102015 10173,70 173913,74 277746,97 14366,50 2015-2020 10166,22 89035,92 315801,64 61178,63 18,50 20202025 20252030

Sumatera

Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

10129,83 10129,83 85640,88 48553,08 322755,66 303240,63 57653,57 113844,12 20,97 433,26

Berdasarkan peta risiko (gambar 4.1), terdapat lima tingkat risiko dengan sebarannya, yaitu: 1) risiko PKA sangat tinggi (warna merah) terdapat di wilayah Jawa-Bali, khususnya di beberapa tempat terbatas di bagian utara dan selatan Jabar, bagian tengah dan selatan Jateng dan Jatim; di ibu kota Sumut, Sumbar, Bengkulu dan Lampung (Sumatera); Bali; NTB (Nusatenggara) dan Sulsel (Sulawesi); 2) risiko PKA tinggi (warna jingga) umumnya di sekitar 75% wilayah Jawa-Bali; sebagian kecil di bagian utara, barat dan selatan wilayah Sumatera; sebagian Pulau Lombok (Nusatenggara), dan Sulsel (Sulawesi); 3) risiko PKA sedang (warna kuning) umumnya di sekitar 20% wilayah Pulau Jawa khususnya di bagian tengah Jabar, sekitar 70% wilayah Sumatera, kecuali di bagian tengahtimur; 4) risiko PKA rendah (warna hijau muda) umumnya di sekitar 80% wilayah Kalimantan, dan sebagian kecil Maluku dan Papua; 5) risiko PKA sangat rendah atau tidak ada risiko PKA (warna hijau) umumnya di 80%90% wilayah Maluku dan Papua. Lampiran 4.1.1.2. Analisis GIS Risiko Banjir Hasil analisis GIS diperoleh gambaran komparatif risiko banjir dari periode 2000-2010 hingga 2025-2030 (Gambar 4.2). Risiko banjir diperoleh dari penapisan ancaman bahaya banjir berupa direct runoff pada kondisi curah hujan diatas normal periode proyeksi lebih besar dari 89 mm/bulan. yang melanda kemiringan lahan < 3o berhadapan dengan berbagai tingkat kerentanan terkait (Tabel 4.2). Wilayah-wilayah yang secara signifikan berisiko banjir adalah daerah-daerah rendah terutama di sekitar hilir sungai-sungai besar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

129

Tabel L. 30 Risiko Banjir per Pulau


Pulau Bali Tingkat Resiko 2000-2005 5752,22 20052010 5752,22 Luas (Km2) 201020152015 2020 5752,22 5752,22 20202025 5752,22 20252030 5752,22

Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Jawa Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kalimantan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kepulauan Tidak Maluku Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kepulauan Tidak Nusa Beresiko Tenggara Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi

130811,89 2046,15 1265,78 357,34

129982,14 129993,32 133772,42 129944,30 130489,59 2075,87 1543,50 839,98 39,68 2039,68 1418,31 890,91 138,95 681,46 27,29 2050,85 1452,29 910,89 122,84 2074,62 1448,03 468,94

522841,76 12790,84 2660,79 142,90

523834,85 527170,76 535462,94 525723,16 525731,57 12527,62 1981,48 84,96 7,39 10291,18 942,34 32,02 2782,38 187,27 3,69 11119,00 1532,57 60,33 1,23 78702,23 64,32 7,39 78770,24 3,70 78703,67 62,88 7,39 11011,85 1620,23 68,95 3,69 78760,08 13,86

78729,82 39,19 4,93

78689,27 69,89 12,33 2,47

64597,70 62,35 3,73

64643,22 20,56

64580,39 77,17 6,22

64663,78

64582,83 78,45 2,50

64613,48 50,30

130

Pulau

Tingkat Resiko Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

2000-2005

20052010

Luas (Km2) 201020152015 2020

20202025

20252030

Papua

402512,33 8790,39 275,80

396435,02 398651,58 401245,97 398907,72 400954,79 14196,55 943,47 3,47 11901,58 1023,12 2,24 9667,27 656,50 8,78 12081,83 586,71 2,25 10218,32 404,94 0,47

Sulawesi

186011,07 781,56 129,31 3,70

185602,86 185959,39 186917,00 185963,76 186512,37 1050,31 247,81 24,66 816,03 141,58 8,63 8,64 810,23 143,02 8,63 360,21 53,05

Sumatera

462496,25 12215,55 1437,63 55,46

460591,77 459741,60 475123,52 469947,19 460740,56 13812,97 1747,18 52,97 14117,09 2219,28 126,92 853,48 191,03 30,68 6,17 6008,88 248,81 11842,59 3345,65 272,39 3,70

Terdapat lima tingkat risiko banjir yaitu sebarannya sebagai beriku (gambar 4.2): 1) risiko banjir sangat tinggi (warna merah) terdapat secara sangat terbatas di sepanjang sungai besar, terutama di hilirnya, di Pulau Jawa, Sumatera bagian timur; Kalimantan barat, selatan dan timur; timur Sulawesi, dan selatan Papua. 2) risiko banjir tinggi (warna jingga) akan dijumpai pada kawasan-kawasan sebagaimana pada risiko banjir sangat tinggi, namun dengan luas daerah yang lebih besar. 3) risiko banjir sedang (warna kuning) akan dijumpai pada kawasan-kawasan sebagaimana pada risiko banjir tinggi, namun dengan luas daerah yang lebih besar lagi; 4) risiko rendah (warna hijau muda) PKA akan dijumpai pada kawasan-kawasan sebagaimana pada risiko banjir sedang namun dengan luas daerah yang lebih luas; 5) risiko banjir sangat rendah atau tidak ada risiko banjir (warna hijau) pada kawasan yang sangat luas di setiap wilayah.

131

Gambar L. 26 Risiko banjir, SRA2, dari : periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 201502020, 2020-2025, dan 2025-2030. Lampiran 4.1.3. Analisis GIS Risiko Kekeringan Hasil analisis GIS memberikan gambaran komparatif risiko kekeringan periode 2010-2015 hingga 2025-2030 sebagaimana pada Gambar 4.3. Risiko kekeringan diperoleh dari penapisan ancaman bahaya kekeringan berupa total runoff dari curah hujan dibawah normal tahunan rata-rata pada periode proyeksi yang lebih kecil dari 996 mm/tahun dibanding baseline dengan berbagai tingkatan kerentanan terkait (Tabel 4.3). Risiko kekeringan signifikan untuk wilayah Jawa-Bali, sebagian besar Sumatera bagian utara, sebagian Nusatenggara dan Sulawesi. Tingkat risiko kekeringan secara spasial terdapat lima sebaran yaitu (gambar 4.3): 1) risiko kekeringan sangat tinggi (warna merah) terdapat umumnya di kawasan terbatas di bagian tengah Jawa; Sumatera bagian utara; dan sedikit di Nusatenggara.

132

2) risiko kekeringan tinggi (warna jingga) akan dijumpai di kawasan yang lebih luas di bagian tengah Jawa, Sumatera; dan Nusatenggara; 3) risiko kekeringan sedang (warna kuning) umumnya di sekitar 80% wilayah Pulau Jawa, 30% di wilayah Sumatera, terutama di bagian utara dan sedikit di bagian selatan; dan sekitar 75% wilayah Nusatenggara; 4) risiko kekeringan rendah (warna hijau muda) umumnya di sekitar 60% wilayah Sumatera, terutam di bagian tengah-selatan, sebagian kecil Sulawesi di sebalah selatan dan di ujung utara; dan sebagian kecil Kalimanyan, Maluku dan Papua. 5) risiko kekeringan sangat rendah (warna hijau) atau tidak ada risiko kekeringan umumnya di 80%-90% wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Tabel L. 31 Risiko Kekeringan per Pulau
Pulau Bali Tingkat Resiko 2000-2005 1981,19 3421,61 59,74 20052010 1171,16 3939,21 352,17 Luas (Km2) 201020152015 2020 1261,62 3949,54 251,38 951,54 3891,32 619,68 20202025 1039,15 4031,41 391,97 20252030 950,75 3778,10 733,69

Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Jawa Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kalimantan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kepulauan Tidak Beresiko Maluku Beresiko Rendah

2,12 14782,55 107196,95 9556,34

13987,63 96685,70 20864,63

4065,83 110874,36 16597,77

1271,44 74486,36 55780,15

1293,15 79751,81 50493,00

738,59 55504,49 75253,92 40,95

525261,40 1309,56

525315,50 507833,06 475786,87 465090,57 293398,91 1255,45 18721,89 50309,09 60539,37 220852,89 16,00 474,99 941,02 12261,16 57,99

62299,24 7733,79

58339,41 11682,44

56445,12 13587,91

36321,71 33491,16

38390,32 31642,71

3940,71 63542,17

133

Pulau

Tingkat Resiko Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

2000-2005

20052010 11,18

Luas (Km2) 201020152015 2020 220,16

20202025

20252030 2550,16

Kepulauan Nusa Tenggara

22253,44 39622,54 661,07

13890,06 45777,55 2869,43

23379,49 38322,84 834,72

12101,30 45833,70 4602,04

14714,88 43583,34 4238,82

8797,41 46803,90 6935,74

Papua

362824,99 20051,40

334316,26 343584,63 308910,97 273745,18 253435,18 48436,01 39202,22 73674,48 107458,30 126889,83 124,11 89,54 290,94 1672,90 2551,37

Sulawesi

170498,51 9517,68 603,54

150533,65 161046,29 111247,02 112807,61 30608,72 24855,61 18469,87 59384,33 53015,72 107918,70 5230,47 1103,57 9969,90 18,47 14589,93 206,47 38207,03 3885,28

Sumatera

232365,38 179118,64 53959,49 627,57

138099,92 32435,77 4722,89 148,66 4,43 261842,35 337985,98 325538,79 261425,70 141670,50 63625,67 2503,14 91633,36 4015,97 131905,31 191241,53 285378,46 3904,09 13252,73 2,47 38996,73 20,97

134

Gambar L. 27 Risiko kekeringan, SRA2, dari: periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030. Risiko lebih lanjut dari kekeringan adalah risiko lebih parah dari penurunan ketersediaan air, baik intensitas maupun luasannya (Tabel 4.3). Pada kawasan pertanian antara lain harus diwaspadai gagal tanam dan gagal panen akibat kekeringan atau pergeseran musim kering. Lampiran 4.1.4. Analisis GIS Risiko Tanah Longsor Hasil analisis GIS memberikan gambaran komparatif risiko tanah longsor (longsor) periode 2000-2005 hingga 2025-2030 sebagaimana pada Gambar 4.4. dan Tabel 4.4. Risiko longsor diperoleh dari penapisan ancaman bahaya longsor berupa penurunan total runoff curah hujan maksimum poyeksi dibanding baseline sebesar 278 mm/bln. Risiko longsor secara signifikan terdapat di sebagian wilayah Indonesia, khususnya Jawa-Bali, Sumatera, Sulawesi, Nusatenggara, dan Papua.

135

Tabel L. 32 Risiko Tanah Longsor per Pulau


Pulau Bali Tingkat Resiko Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko 20002005 1981,19 3421,61 59,74 2,12 14782,55 107196,9 5 9556,34 525261,4 0 1309,56 20052010 1171,16 3939,21 352,17 Luas (Km2) 201020152015 2020 1261,62 3949,54 251,38 951,54 3891,32 619,68 20202025 1039,15 4031,41 391,97 20252030 950,75 3778,10 733,69

Jawa

13987,63 96685,70 20864,63 525315,5 0 1255,45

4065,83 110874,3 6 16597,77 507833,0 6 18721,89 16,00

1271,44 74486,36 55780,15 475786,8 7 50309,09 474,99

1293,15 79751,81 50493,00 465090,5 7 60539,37 941,02

738,59 55504,49 75253,92 40,95 293398,9 1 220852,8 9 12261,16 57,99

Kalimantan

Kepulauan Maluku

62299,24 7733,79

58339,41 11682,44 11,18

56445,12 13587,91

36321,71 33491,16 220,16

38390,32 31642,71

3940,71 63542,17 2550,16

Kepulauan Nusa Tenggara

22253,44 39622,54 661,07 362824,9 9 20051,40

13890,06 45777,55 2869,43 334316,2 6 48436,01 124,11

23379,49 38322,84 834,72 343584,6 3 39202,22 89,54

12101,30 45833,70 4602,04 308910,9 7 73674,48 290,94

14714,88 43583,34 4238,82 273745,1 8 107458,3 0 1672,90

8797,41 46803,90 6935,74 253435,1 8 126889,8 3 2551,37

Papua

136

Pulau

Tingkat Resiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

20002005

20052010

Luas (Km2) 201020152015 2020

20202025

20252030

Sulawesi

170498,5 1 9517,68 603,54

150533,6 5 24855,61 5230,47

161046,2 9 18469,87 1103,57

4722,89 325538,7 9 131905,3 1 3904,09 4722,89 325538,7 9 131905,3 1 3904,09

112807,6 1 53015,72 14589,93 206,47 148,66 261425,7 0 191241,5 3 13252,73 2,47

30608,72 107918,7 0 38207,03 3885,28 4,43 141670,5 0 285378,4 6 38996,73 20,97

Sumatera

232365,3 8 179118,6 4 53959,49 627,57

138099,9 2 261842,3 5 63625,67 2503,14

32435,77 337985,9 8 91633,36 4015,97

Tingkat risiko longsor secara spasial terdapat lima sebaran yaitu (gambar 4.4): 1) risiko longsor sangat tinggi (warna merah) terdapat umumnya di Jawa-Bali bagian tengah-selatan, Sumatera bagian tengah-barat, sebagian besar Nusatenggara; dan Sulawesi, dan Papua bagian tengah; 2) risiko longsor tinggi (warna jingga) akan dijumpai di sekitar jalur kawasan risiko sangat tinggi tersebut diatas dengan luas daerah yang lebih sempit; 3) risiko longsor sedang (warna kuning) selain di sekitar risiko sangat tinggi-sangat tinggi tersebut diatas juga di Sulawesi sebelah tengah-timur, kawasan terbatas di Kalimantan bagian tengah, di sebagian Maluku dan Papua; 4) risiko longsor rendah (warna hijau muda) di beberapa daerah di Sumatera, Jawa, bagian besar di tengah Kalimantan, Sulawesi bagian tengah-timur, sebagian Nusatenggara, Maluku, dan Papua; 5) risiko longsor sangat rendah (warna hijau) atau tidak ada risiko longsor umumnya di separoh wilayah Jawa-Bali ke arah utara, separoh Sumatera ke arah timur, bagian terbesar Kalimantan, beberapa kawasan di Sulawesi, Nusantenggara, dan bagian terbesar Maluku dan Papua.

137

Lampiran 4.1.5. Risiko Intrusi Air Laut Potensi dampak intrusi air laut, selaras dengan bahaya dan kerentanan intrusi air laut, terbatas pada beberapa pantai terutama di wilayah Jawa-Bali (Jakarta, Semarang, Denpasar) dan Sumatera (Palembang dan Padang). Risiko intrusi air laut disebabkan oleh semakin dangkalnya interface muka air tanah-lapisan air laut pada kawasan pantai serta kerentanan yang berkaitan yang meliputi kepadatan penduduk, tataguna lahan, kebutuhan air, dan tingkat pengambilan air tanah. Intrusi air laut menyebabkan ketersediaan air berkurang karena kualitas air menurun, dan kerusakan tanah atau pondasi bangunan.

Gambar L. 28 Risiko tanah longsor, SRA2, dari: periode 2000-2005, 2005-2010-2010-2015, 20150-2020, 2020-2025, dan 2025-2030.

138

Lampiran 4.2. Resiko Perubahan Iklim per Wilayah Lampiran 4.2.1. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Sumatera Hasil analisis GIS menunjukkan gambaran kondisi yang mendekati. Secara umum tingkat risiko wilayah Sumatera bervariasi dari sangat tinggi hingga rendah disebabkan oleh tingkat ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya adalah: ): (1) Kota Medan (Sumut), Palembang (Sumsel), Pekanbaru (Riau), Padang (Sumbar), dan Bandar Lampung (Lampung) berisiko sangat tinggi hingga tinggi terhadap PKA (risiko sangat tinggi terhadap bahaya PKA, tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 433,26 km2); (risiko tinggi bahaya PKA, tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 113.844,12 km2); dan kekeringan (risiko sangat tinggi kekeringan, tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 20,97 km2); (risiko tinggi kekeringan, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 38.996,73 km2) (2) Bagian utara hingga tengah-utara (Sumatera Utara, NAD, dan Sumbar) dan sedikit di ujung Selatan (Lampung) berisiko sedang-tinggi terhadap PKA (risiko sedang terhadap PKA, tertinggi terjadi pada tahun 2020-2025 dengan luas risiko wilayah 322.755,66 km2) dan kekeringan (risiko sedang terhadap kekeringan, tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 285.378,46 km2), sedangkan bahaya banjir terbatas pada banjir bandang; (3) sepertiga bagian yaitu tengah-barat arah utara-selatan berisiko sangat tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 20,97 km2)-tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 38.996,46 km2) terhadap longsor; (4) dua pertiga bagian tengah ke arah timur memiliki risiko tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 272,39 km2) terhadap banjir, terutama pada kawasan rendah di sepanjang sungai-sungai besar di sebelah timur, serta berisiko rendah-sangat terhadap PKA (risiko sangat rendah bahaya PKA, tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 10.129,83 km2), kekeringan dan longsor (risiko sangat rendah bahaya kekerngan dan tanah longsor, tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 232.365,38 km2). Adapun risiko intrusi air laut, hasil analisis kualitatif, terdapat secara terbatas pada kawasan pantai di Palembang (Sumsel) dan Padang (Sumbar). Lampiran 4.2.2. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Jawa-Bali Hasil analisis GIS menunjukkan gambaran bahwa Jawa-Bali umumnya memiliki tingkat risiko dari sangat tinggi hingga tinggi (Tabel 4.6 dan 4.7) untuk semua jenis bahaya karena tingkat ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Risiko umumnya tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 105.784,72 km2) -sangat tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2015-2020 dengan luas risiko wilayah 11.076,96 km2), sedang

139

(risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 116.902,30 km2) pada beberapa kawasan untuk PKA; Risiko umumnya tinggi untuk banjir (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2020-2025 dengan luas risiko wilayah 910,89 km2; Risiko sedang (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2010-2015 dengan luas risiko wilayah 110.874,36 km2) -tinggi untuk kekeringan (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 75.253,92 km2); Risiko umumnya sangat tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 40,95 km2) untuk tanah longsor, dan risiko sedang hingga rendah untuk intrusi air laut. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko di wilayah Jawa-Bali dapat dibagi sebagai berikut: (1) Kota Jakarta (DKI Jaya), Bogor, Bandung dan sekitarnya (Jabar), Yogyakarta (DIY), Semarang, Solo (Jateng), dan Surabaya dan sekitarnya (Jatim) berisiko sangat tinggi hingga tinggi terhadap penurunan ketersediaan air (PKA); beberapa diantara kota tersebut dan kota-kota tingkat sedang pada kawasan yang dilalui sungai-sungai besar (Citarum, Ciliwung, Bengawan Solo, Kali Brantas dan lainnya) berisiko tinggi-sedang terhadap banjir; (2) Bagian tengah hingga selatan di Jabar, Jateng dan Jatim berisiko tinggi-sangat tinggi terhadap longsor; (3) bagian tengah, terutama di Jatim dan Jateng berisiko sedang hingga tinggi terhadap kekeringan; (4) berdasarkan analisis kualitatif, diketahui bahwa kawasan pantai utara Jakarta dan Semarang berisiko tinggi-sangat tinggi terhadap intrusi air luat. Lampiran 4.2.3. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Kalimantan Berdasarkan hasil analisis GIS wilayah Kalimantan umumnya berisiko sangat rendah hingga sedang untuk semua jenis bahaya disebabkan oleh tingkat rendahnya masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya adalah (Tabel 4.8): risiko umumnya sedang untuk PKA (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 59.422,14 km2) dan banjir (tertinggi terjadi pada tahun 2000-2005 dengan luas risiko wilayah 2660,79 km2); risiko umumnya sangat rendah untuk kekeringan dan tanah longsor (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 525.315,50 km2), dan risiko sedang-rendah terhadap intrusi air laut di kota-kota besar pada kawasan pantai. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko adalah: (1) kota-kota besar pada kawasan pantai berisiko sedang hingga tinggi terhadap PKA, dan banjir pada kawasan rendahnya; (2) daerah atau kawasan perbukitan berisiko sedang terhadap longsor; (3) sebagian besar wilayah berisiko sangat rendah atau tidak ada risiko terhadap kekeringan, kecuali sedikit di bagian barat laut berisiko rendah.terhadap kekeringan.

140

Lampiran 4.2.4. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Sulawesi Berdasarkan hasil analisis GIS, wilayah Sulawesi umumnya memiliki tingkat risiko rendah hingga sedang untuk semua jenis bahaya, kecuali untuk longsor sedang hingga tinggi disebabkan oleh tingkat ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya (Tabel 4.9) adalah: risiko umumnya sedang-rendah untuk PKA (sedang dengan risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 106.201,20 km2)-(rendah risiko tertinggi terjadi pada tahun 2010-2015 dengan luas risiko wilayah 135.983,90 km2) dan banjir (sedang dengan risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 247,81 km2)-(rendah risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 1.050,31 km2); dan risiko umumnya sangat rendah (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2000-2005 dengan luas risiko wilayah 170.498,51 km2)-rendah (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 107.981,70 km2) untuk kekeringan; dan risiko sedang (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2015-2020 dengan luas risiko wilayah 131.905,31 km2)-tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2015-2010 dengan luas risiko wilayah 3.904,09 km2) untuk tanah longsor. Berdasarkan tinjauan sub wilayah atau kawasan hasil analisis GIS, profil tingkat risiko di wilayah Sulawesi adalah: (1) kota-kota besar di Sulsel dan Sulut serta sekitarnya berisiko tinggi-sedang terhadap PKA dan kekeringan; (2) bagian tengah dari selatan ke utara berisiko sedang hingga tinggi terhadap longsor; (3) bagian selatan-timur pada aliran sungai dan pada beberapa kawasan terbatas di bagian tengah dan utara besar berisiko rendah-tinggi terhadap banjir. Lebih lanjut risiko yang perlu diwaspadai adalah banjir yang umumnya berpadu dengan longsor berupa risiko banjir bandang, tersebar di Sulawesi bagian barat, selatan, dan sedikit di bagian utara, serta di kawasan sungai Jeneberang (Sulsel). Untuk risiko PKA dan kekeringan yang perlu diwaspadai adalah daerah tenggara (Sutra) dan di selatan (Sulsel) dan kawasan tengah barat (Sulteng dan Sulbar). Lampiran 4.2.5. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Nusatenggara Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa wilayah Nusatenggara memiliki tingkat risiko rendah hingga sedang untuk semua jenis bahaya, kecuali untuk longsor sedang hingga tinggi disebabkan oleh tingkat ancaman masing-masing bahayanya dan faktor kerentanan terkait. Profil risiko per jenis bahaya adalah (Tabel 4.10): risiko umumnya sedang-rendah untuk PKA (sedang dengan risiko tertinggi terjadi pada tahun 2015-2020 dengan luas risiko wilayah 45.591,81 km2)-(rendah risiko tertinggi terjadi pada tahun 2000-2005 dengan luas risiko wilayah 37.853,54

141

km2) dan kekeringan (sedang dengan risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 46.803,90 km2)-(rendah risiko tertinggi terjadi pada tahun 2010-2015 dengan luas risiko wilayah 23.379,49 km2); risiko sangat rendah (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 64.643,22 km2) -rendah untuk banjir (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2020-2025 dengan luas risiko wilayah 78,45 km2); dan risiko sedang (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 46.803,90 km2)-tinggi (risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 6.935,74 km2) untuk longsor. Profil wilayahnya adalah: (1) kota-kota besar di NTB dan NTT berisiko tinggi-sedang terhadap PKA dan kekeringan; dan sedang terhadap banjir; (2) seluruh wilayah selain kota-kota besar berisiko sedang-rendah terhadap PKA dan kekeringan, sangat rendah terhadap banjir, dan sedang-tinggi terhadap longsor. Risiko intrusi air laut sedang-rendah pada kawasan terbatas di pantai barat Mataram (NTB). Diantara akibat lebih lanjut dari risiko perubahan iklim yang paling penting adalah gagal tanam dan gagal panen lahan pertanian, khususnya sawah dan holtikultura akibat pergeseran musim atau berkurangnya pasokan air. Selain itu, tekanan pada sumber air akibat kekeringan mengakibatkan menurunnya kinerja embung-embung sebagai sarana konservasi dan penyedia air yang khas wilayah tersebut yang akan berdampak pada penurunan produksi pertanian andalan. Di bagian timur (NTT), kekeringan yang panjang akan berdampak sangat besar. Lampiran 4.2.6. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Maluku Hasil analisis GIS juga menunjukkan bahwa: wilayah Maluku umumnya memiliki tingkat risiko yang rendah (PKA, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2020-2025 dengan luas risiko wilayah 64.658,41 km2); (banjir, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 69,89 km2); (kekeringan dan tanah longsor, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2025-2030 dengan luas risiko wilayah 63.542,17 km2) hingga sangat rendah (PKA, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 65.119,78 km2); (banjir, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2015-2020 dengan luas risiko wilayah 78.770,24 km2); (kekeringan dan tanah longsor, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2000-2005 dengan luas risiko wilayah 62.299,24 km2) untuk semua bahaya (Tabel 4.11). Beberapa kawasan yang perlu mendapat anitsipasi agar tidak terjadi kenaikan risiko adalah: 1) Kota Ambon dan sekitarnya, 2) Pulau Seram dan Pulau Buru, dan 3) sebagaian Pulau Halmahera, Ternate dan Morotai. Suatu kondisi khusus perlu diwaspadi yaitu banjir bandang dari lahar gunung api Gamalama di Pulau Ternate pada kondisi curah hujan diatas normal.

142

Lampiran 4.2.7. Analisis GIS Profil Tingkat Resiko di Wilayah Papua Hasil analisis GIS juga menunjukan bahwa, yaitu: wilayah Papua umumnya memiliki tingkat risiko yang rendah (PKA, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2015-2020 dengan luas risiko wilayah 324.406,06 km2); (banjir, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 14.196,55 km2); (kekeringan dan tanah longsor, risiko tertinggi terjadi pada tahun 20252030 dengan luas risiko wilayah 126.889,83 km2) hingga sangat rendah (PKA, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2005-2010 dengan luas risiko wilayah 411.535,16 km2); (Banjir, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2000-2005 dengan luas risiko wilayah 402.512,33 km2); (kekeringan dan tanah longsor, risiko tertinggi terjadi pada tahun 2000-2005 dengan luas risiko wilayah 362.824,99 km2) untuk semua bahaya (Tabel 4.12). Beberapa kawasan yang perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi kenaikan risiko adalah: 1) Kota Jayapura dan sekitarnya berikaitan dengan kekeringan dan longsor; 2) bagian tengah berkaitan dengan risiko longsor, 3) bagian pesisir selatan berkaitan dengan banjir, penurunan ketersediaan air, dan kekeringan; dan 4) khusus di kawasan dataran rendah Timika dan sekitarnya berkaitan dengan risiko banjir dan potensi pencemaran air karena aktivitas penambangan emas di daerah hulunya. Tabel L. 33 Tingkat Risiko wilayah Sumatera
Tingkat Resiko Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Resiko Tidak Beresiko Banjir Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi PKA 2000-2005 44567,24 332211,21 89199,00 93,64 462496,25 12215,55 1437,63 55,46 232365,38 179118,64 53959,49 627,57 2005-2010 96623,41 293856,34 85719,92 1,23 460591,77 13812,97 1747,18 52,97 138099,92 261842,35 63625,67 2503,14 Luas (Km2) 2010-2015 10173,70 173913,74 277746,97 14366,50 459741,60 14117,09 2219,28 126,92 32435,77 337985,98 91633,36 4015,97 2015-2020 10166,22 89035,92 315801,64 61178,63 18,50 475123,52 853,48 191,03 30,68 6,17 4722,89 325538,79 131905,31 3904,09 2020-2025 10129,83 85640,88 322755,66 57653,57 20,97 469947,19 6008,88 248,81 2025-2030 10129,83 48553,08 303240,63 113844,12 433,26 460740,56 11842,59 3345,65 272,39 3,70 4,43 141670,50 285378,46 38996,73

148,66 261425,70 191241,53 13252,73

Beresiko Sangat Tinggi

2,47

20,97

143

Tingkat Resiko Longsor Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi 2000-2005 232365,38 179118,64 53959,49 627,57 2005-2010 138099,92 261842,35 63625,67 2503,14

Luas (Km2) 2010-2015 32435,77 337985,98 91633,36 4015,97 2015-2020 4722,89 325538,79 131905,31 3904,09 2020-2025 148,66 261425,70 191241,53 13252,73 2,47 2025-2030 4,43 141670,50 285378,46 38996,73 20,97

Tabel L. 34 Tingkat Risiko wilayah Jawa


Tingkat Resiko Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Resiko Tidak Banjir Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Longsor Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko PKA Luas (Km2) 2000-2005 1311,85 59672,12 70406,24 147,74 130811,89 2046,15 1265,78 357,34 129982,14 2075,87 1543,50 839,98 39,68 2,12 14782,55 107196,95 9556,34 13987,63 96685,70 20864,63 4065,83 110874,36 16597,77 1271,44 74486,36 55780,15 1293,15 79751,81 50493,00 738,59 55504,49 75253,92 40,95 2,12 14782,55 107196,95 13987,63 96685,70 4065,83 110874,36 1271,44 74486,36 1293,15 79751,81 738,59 55504,49 2005-2010 2943,22 7292,86 116902,30 7342,79 2010-2015 2943,22 53,19 24214,03 101393,41 5877,32 129993,32 2039,68 1418,31 890,91 138,95 2015-2020 2943,22 14,17 16015,12 104431,70 11076,96 133772,42 681,46 27,29 2020-2025 2943,22 228,30 29551,69 98212,14 3545,83 129944,30 2050,85 1452,29 910,89 122,84 2025-2030 2943,22 22,27 16199,00 105748,72 9567,96 130489,59 2074,62 1448,03 468,94

144

Tingkat Resiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

Luas (Km2) 2000-2005 9556,34 2005-2010 20864,63 2010-2015 16597,77 2015-2020 55780,15 2020-2025 50493,00 2025-2030 75253,92 40,95

Tabel L. 35 Tingkat Risiko wilayah Bali


Tingkat Resiko 2000-2005 Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Resiko Tidak Beresiko banjir Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Longsor Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi PKA 1518,00 3823,83 120,71 5752,22 2005-2010 289,68 3316,01 2146,53 Luas (Km2) 2010-2015 289,68 651,74 3039,66 1771,13 5752,22 2015-2020 289,68 318,45 2825,97 2318,12 5752,22 20202025 289,68 965,09 3949,97 547,48 5752,22 20252030 289,68 646,76 2906,48 1909,29 5752,22

5752,22

1981,19 3421,61 59,74

1171,16 3939,21 352,17

1261,62 3949,54 251,38

951,54 3891,32 619,68

1039,15 4031,41 391,97

950,75 3778,10 733,69

1981,19 3421,61 59,74

1171,16 3939,21 352,17

1261,62 3949,54 251,38

951,54 3891,32 619,68

1039,15 4031,41 391,97

950,75 3778,10 733,69

Tabel L. 36 Tingkat Risiko wilayah Kalimantan


Tingkat Resiko 2000-2005 PKA Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang 479365,00 46674,14 531,82 2005-2010 369391,93 167196,28 1848,09 Luas (Km2) 2010-2015 90069,37 438566,82 9800,10 2015-2020 54081,95 458000,53 26168,81 2020-2025 82341,85 430481,24 25489,86 20252030 24033,38 452744,90 59422,14

145

Tingkat Resiko 2000-2005 Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi 2005-2010

Luas (Km2) 2010-2015 2015-2020 185,00 2020-2025 123,35 20252030 2235,87

Resiko Banjir

522841,76 12790,84 2660,79 142,90

523834,85 12527,62 1981,48 84,96 7,39

527170,76 10291,18 942,34 32,02

535462,94 2782,38 187,27 3,69

525723,16 11119,00 1532,57 60,33 1,23

525731,57 11011,85 1620,23 68,95 3,69 293398,91 220852,89 12261,16 57,99

Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

525261,40 1309,56

525315,50 1255,45

507833,06 18721,89 16,00

475786,87 50309,09 474,99

465090,57 60539,37 941,02

Longsor

525261,40 1309,56

525315,50 1255,45

507833,06 18721,89 16,00

475786,87 50309,09 474,99

465090,57 60539,37 941,02

293398,91 220852,89 12261,16 57,99

Tabel L. 37 Tingkat Risiko wilayah Sulawesi


Tingkat Resiko PKA Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Luas (Km2) 2000-2005 139306,68 33779,23 7533,82 2005-2010 93638,05 79260,99 14026,60 2010-2015 11278,72 135983,90 39076,27 586,74 2015-2020 6308,77 98531,57 71593,22 10492,08 2020-2025 6305,91 87319,60 83812,13 9488,00 2025-2030 6305,91 51600,80 106201,20 22617,65 200,07 186011,07 781,56 129,31 3,70 185602,86 1050,31 247,81 24,66 185959,39 816,03 141,58 8,63 186917,00 8,64 185963,76 810,23 143,02 8,63 186512,37 360,21 53,05

Resiko Banjir

146

Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Longsor Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

170498,51 9517,68 603,54

150533,65 24855,61 5230,47

161046,29 18469,87 1103,57

111247,02 59384,33 9969,90 18,47

112807,61 53015,72 14589,93 206,47

30608,72 107918,70 38207,03 3885,28

170498,51 9517,68 603,54

150533,65 24855,61 5230,47

161046,29 18469,87 1103,57

4722,89 325538,79 131905,31 3904,09

112807,61 53015,72 14589,93 206,47

30608,72 107918,70 38207,03 3885,28

Tabel L. 38 Tingkat Risiko wilayah Nusatenggara


Tingkat Resiko Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Resiko Tidak Banjir Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang PKA Luas (Km2) 2000-2005 23709,33 37853,54 974,17 2005-2010 4944,20 35837,97 26685,22 2010-2015 4930,35 25797,10 34698,08 2041,85 2015-2020 4930,35 9751,98 45591,81 7193,25 2020-2025 4949,57 31569,99 29345,88 1601,96 2025-2030 4930,35 16683,06 40780,68 5073,30

64597,70 62,35 3,73

64643,22 20,56

64580,39 77,17 6,22

64663,78

64582,83 78,45 2,50

64613,48 50,30

22253,44 39622,54

13890,06 45777,55

23379,49 38322,84

12101,30 45833,70

14714,88 43583,34

8797,41 46803,90

147

Tingkat Resiko Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

Luas (Km2) 2000-2005 661,07 2005-2010 2869,43 2010-2015 834,72 2015-2020 4602,04 2020-2025 4238,82 2025-2030 6935,74

Longsor

22253,44 39622,54 661,07

13890,06 45777,55 2869,43

23379,49 38322,84 834,72

12101,30 45833,70 4602,04

14714,88 43583,34 4238,82

8797,41 46803,90 6935,74

Tabel L. 39 Risiko Tanah Longsor wilayah Maluku


Tingkat Resiko 2000-2005 PKA Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang 58299,74 11619,40 113,90 78729,82 39,19 4,93 2005-2010 65119,78 13652,93 1,23 78689,27 69,89 12,33 2,47 Luas (Km2) 2010-2015 43129,06 35546,19 98,70 78702,23 64,32 7,39 20152020 8753,55 64505,89 5462,71 51,79 78770,24 3,70 2020-2025 8835,35 64658,41 5229,63 50,56 78703,67 62,88 7,39 2025-2030 8742,08 58396,25 11571,50 64,12 78760,08 13,86

Beresiko Tinggi Resiko Tidak Beresiko Banjir Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Longsor Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi

62299,24 7733,79

58339,41 11682,44 11,18

56445,12 13587,91

36321,71 33491,16 220,16

38390,32 31642,71

3940,71 63542,17 2550,16

62299,24 7733,79

58339,41 11682,44 11,18

56445,12 13587,91

36321,71 33491,16 220,16

38390,32 31642,71

3940,71 63542,17 2550,16

148

Tabel L. 40 Risiko Tanah Longsor wilayah Papua


Tingkat Resiko Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Resiko Tidak Beresiko Banjir Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Kekeringan Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi Longsor Tidak Beresiko Beresiko Rendah Beresiko Sedang Beresiko Tinggi Beresiko Sangat Tinggi PKA 2000-2005 342416,52 38959,09 1500,78 2005-2010 411535,16 Luas (Km2) 2010-2015 363171,74 46236,51 2126,91 2015-2020 84350,68 324406,06 2778,42 2020-2025 269801,89 140990,99 742,29 2025-2030 256870,64 150910,24 3754,28

402512,33 8790,39 275,80

396435,02 14196,55 943,47 3,47 334316,26 48436,01 124,11

398651,58 11901,58 1023,12 2,24 343584,63 39202,22 89,54

401245,97 9667,27 656,50 8,78 308910,97 73674,48 290,94

398907,72 12081,83 586,71 2,25 273745,18 107458,30 1672,90

400954,79 10218,32 404,94 0,47 253435,18 126889,83 2551,37

362824,99 20051,40

362824,99 20051,40

334316,26 48436,01 124,11

343584,63 39202,22 89,54

308910,97 73674,48 290,94

273745,18 107458,30 1672,90

253435,18 126889,83 2551,37

149

Anda mungkin juga menyukai