Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Radiologi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh: DIMAS MUHAMMAD AKBAR 2008.031.0003

Diajukan Kepada: dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes.

SMF ILMU RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

HALAMAN PENGESAHAN

Telah Dipresentasikan Presentasi Kasus dengan Judul

BRONKOPNEUMONIA DENGAN EFUSI PLEURA

Hari/Tanggal: Sabtu, 9 November 2013

Tempat: RS PKU MUHAMADIYAH YOGYAKARTA

Menyetujui Dokter Pembimbing/Penguji

dr. H. Ahmad Faisol, Sp. Rad., M. Kes.

BAB I PENDAHULUAN

Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut, biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi sebagian dari salah satu atau kedua paru, sedangkan bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Bronkopneumonia, sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru. Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil, hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna, dll.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia dibedakan menjadi: Pneumonia lobaris Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) Pneumonia intertisial (bronkiolitis) Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak infiltrat. (Whalley and Wong, 1996). Bronkopneumonia adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu tubuh meningkat, nadi dan pernafasan meningkat. (Suzanne G. Bare, 1993). Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebakan oleh bakteri, jamur,virus, dan benda asing (Sylvia Anderson,1994). Dari beberapa definisi di atas, bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan bercak-bercak infiltrat dan gangguan pertukaran gas setempat, yang biasanya disebabkan oleh infeksi dari bakteri, virus, jamur, dan mikroorganisme lainnya.

B. Anatomi Paru Struktur dasar jalan nafas sudah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkopulmonal. Jalan nafas pada setiap manusia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan

kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus

terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru. Jalan nafas dilapisi oleh

membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel kolumner

bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini penting untuk mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum. Unit pertukaran udara terdiri dari bronkiolus distal sampai terminal:

bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveoli. Paru-paru dextra lebih pendek dan lebih berat dari paru kiri. Paru kanan dan kiri dipisahkan oleh alur yang disebut incissura interlobaris. Pulmo dextra dibagi menjadi 3 lobus: 1. Lobus superior, dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior 2. Lobus medius, dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis 3. Lobus inferior, dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal, posterobasal. Lobus sinistra dibagi menjadi 2 lobus: 1. Lobus superior, dibagi menjadi apikoposterior, anterior, lingualis superior 2. Lobus inferior, dibagi menjadi apikal, anteromediobasal, laterobasal, posterobasal.

Perkembangan paru pasca lahir dapat dibagi menjadi dua fase, tergantung pada kecepatan perkembangan relatif berbagai komponen paru. Selama fase pertama, yang meluas sampai umur 18 bulan sesudah lahir, ada kenaikan yang tidak seimbang pada permukaan dan volume ruang yang terlibat dalam pertukaran gas. Volume kapiler meningkat lebih cepat daripada volume ruangan udara dan selanjutnya bertambah lebih cepat daripada volume jaringan padat. Proses ini terutama aktif selama awal masa bayi dan dapat menjadi sempurna pada 2 tahun pertama. Pada fase kedua semua ruangan tumbuh lebih proposional satu sama lain. Permukaan alveolus dan kapiler meluas sejajar dengan pertumbuhan badan. Akibatnya individu yang lebih panjang mempunyai paru-paru yang lebih besar.

C. Epidemiologi Insidensi penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktik umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia komunitas) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nosokomial/PN). Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80% sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.

D. Etiologi Etiologi bronkopneumoni dibedakan menjadi dua factor: 1. Faktor infeksi, terdiri atas: a. Bronkopneumonia lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Bakteribakteri ini menginvasi paru melalui 2 jalur, yaitu dengan: Inhalasi melalui jalur trakeobronkial. Sistemik melalui arteri-arteri pulmoner dan bronkial.

Bakteri-bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus bronkopneumonia adalah: Bakteri gram positif o Pneumococcus o Staphylococcus aureus o Streptococcus hemolyticus Bakteri gram negatif o Haemophilus influenzae o Klebsiella pneumonia Pneumococcus adalah penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa disebabkan oleh penumokokus 1 8 (pada anakanak tipe 14, 1, 6, 9). Insiden meningkat pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain seperti morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh pneumokokus. b. Virus Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik. c. Aspirasi Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda asing. d. Hipostatik Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahatn di tempat tidur yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan

radang. Oleh karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus diubah ubah posisi tidurnya. e. Jamur H. Capsulatum. Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, Koksidiomikosis, Aspergilosis dan Aktinimikosis. f. Sindrom Loeffler Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes 2. Faktor Non Infeksi, terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi: Bronkopneumonia hidrokarbon, terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah, dan bensin). Bronkopneumonia lipoid, terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan . Selain faktor-faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

E. Klasifikasi Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia: 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis: a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia). Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan

yang berinteraksi satu sama lain. Gambaran interaksi dari ketiga faktor tersebut tercermin pada kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah (modifying factor), seperti terlihat pada table berikut: Usia > 65 tahun Pneumokokus Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir yang resisten penisilin dan obat lain Alkoholisme Penyakit imunosupresif (termasuk terapi kortikosteroid) Penyakit penyerta multiple Kontak pada klinik lansia Patogen gram negatif Tinggal di rumah jompo Penyakit kardiopulmonal penyerta Baru selesai mendapatkan terapi antibiotik Penyakit paru structural (bronkiektasis) Pseudomonas aeruginosa Terapi kortikosteroid (>10 mg prednisone/hari) Terapi antibiotic spectrum luas > 7 hari pada bulan sebelumnya Malnutrisi b. Pneumonia nosokomial/PN, (hospital acquired pneumonia atau nosocomial pneumonia). Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi, dan sumber bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. PN terjadi akibat proses infeksi bila patogen masuk saluran napas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme

pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen), dan selular (lekosit, polinuklir, makrofag, limfosit, dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya beberapa faktor inang dan terapi yang telah dilakuan yaitu adanya penyakit peserta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi. Faktor risiko terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaitu tidak bisa diubah yaitu berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, atau gagal

organ jamak), dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau slang nasogastrik). Pada faktor yang dapat diubah dapat dilakukan upaya berupa mengontrol infeksi, disinfeksi dengan alkohol, pengawasan patogen resisten (Multi Drug Resistence/MDR), penghentian dini pemakaian alat yang invasif, dan pengaturan tata cara pemakaian antibiotik. PN dan Pneumonia Berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) onset dini terjadi dalam 4 hari pertama masuk RS, biasanya disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap antibiotik, kecuali bila pernah sebelumnya mendapat antibiotik atau dirawat di RS dalam waktu 90 hari. PN dan PBV onset lanjut (hari ke 5 atau lebih) lebih mungkin disebabkan oleh patogen MDR yang berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. c. Pneumonia aspirasi. d. Pneumonia pada penderita immunocompromised. 2. Berdasarkan bakteri penyebab: Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiella pada penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza. Pneumonia Atipikal disebabkan mycoplasma, legionella, dan chalamydia. Pneumonia virus. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised). 3. Berdasarkan predileksi infeksi: a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri. b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang tua. c. Pneumonia interstisial.

F. Patogenesis

Pneumokokus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet). Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer: 1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring 2. Inhalasi aerosol yang infeksius 3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari: 1. Susunan anatomis rongga hidung 2. Jaringan limfoid di nasofaring 3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut 4. Refleks batuk 5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi 6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional 7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A 8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti mikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu: a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. b. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. c. Stadium III (3 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. d. Stadium IV (7 12 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

G. Faktor Risiko Faktor riiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia di negara berkembang, antara lain: Pneumonia yang terjadi pada masa bayi Berat badan lahir rendah Tidak mendapat imunisasi Tidak mendapat ASI yang adekuat Malnutrisi Defisiensi vitamin A Tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring Tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok) Imunodefisiensi dan imunosupresi: keadaan ini meningkatkan predisposisi pneumonia. Adanya penyakit lain yang mendahului, seperti infeksi HIV, campak Tinggal di lingkungan padat penduduk Intubasi, trakeostomi, refleks batuk yang terganggu, dan aspirasi : keadaan ini menyebabkan organisme infeksi lebih mudah masuk kedalam alveoli dan ruang udara terminal Diskinesia silier, obstruksi bronkial, infeksi viral, merokok, dan bahan-bahan kimia: kondisi ini menganggu kerja mukosiliar. Abnormalitas anatomi, aspirasi cairan lambung atau sebab lain dari inflamasi nooninfeksius, penurunan aliran darah, dan edema pulmonal: kondisi tersebut meningkatkan predisposisi dari pneumonia.

H. Manifestasi Klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: Gambaran infeksi umum: o Demam suhu bisa mencapai 39 40oC dan kadang dapat juga disertai dengan menggigil. o Sakit kepala o Gelisah o Malaise o Penurunan nafsu makan o Keluhan gastrointestinal mual, muntah, diare Gambaran gangguan respiratori: o Batuk awalnya kering kemudian menjadi produktif o Sesak nafas o Retraksi dada o Takipnea o Napas cuping hidung o Penggunaan otat pernafasan tambahan o Air hunger o Sianosis o Merintih Pada pemeriksaan fisik bronkopneumonia tergantung dari luasnya daerah yang terkena. Inspeksi dapat terlihat nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi dada. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Tetapi kadang dapat juga bunyi pekak saat perkusi atau bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi ditemukan bunyi redup dan suara nafas mengeras saat auskultasi. Saat auskultasi terdapat ronki basah halus, mengi dan penurunan suara nafas. Tetapi ronki dan mengi sukar dilokalisasi sumbernya dari suara yang kebetulan pada

anak yang amat muda dengan dada hipersonor. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

I. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis terhadap manifestasi klinis Temuan pemeriksaan fisik yang sesuai Pemeriksaan penunjang seperti: o Darah lengkap Leukositosis berkisar antara 15.000 40.000/mm3, dengan predominan PMN. Leukopenia menunjukan prognosis buruk. Leukositosis hebat (> 30.000/mm3) hampir selalu menunjukan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan resiko terjadi komplikasi lebih tinggi. Kadang terdapat anemia ringan dan LED meningkat. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti. o C reaktif protein Suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadangkadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. o Uji serologis Deteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Tetapi diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptotozim. Pemeriksaan mikrobiologis Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi

trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus. Rontgen toraks Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama

pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia (Kiri) Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan. (Kanan) Foto toraks PA pada bronkopneumonia Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini: a. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada b. Panas badan c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

J. Diagnosis Banding

Pneumonia lobaris Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 40oC dan biasanya tipe kontinua. Sesak nafas (+), nafas cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.

Bronkioloitis Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas cupung hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.

Aspirasi benda asing Ada riwayat tersedak Atelektasis Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.

Tuberkulosis Demam > 2 minggu, batuk > 3 minggu, berat badan menurun, nafsu makan menurun, malaise, diare persisten yang tidak membaik dengan pengobatan baku diare dan biasanya terdapat kontak.

K. Penatalaksanaan Tatalaksana terdiri atas: Antibiotik Pilihan empiris antibiotik untuk pasien bronkopneumonia yang tidak memerlukan perawatan intensif biasanya berespon terhadap beta laktam generasi ke tiga (seperti Ceftriakson atau Cefotaxim) dengan atau tanpa Macrolid (Claritromisin atau Azitromicin dianjurkan jika ada kecurigaan infeksi H. influenza) atau Fluoroquinolon (dengan peningkatan kemampuan

membunuh S. pneumoniae). Antibiotik alternatif antara lain Cefuraxime dengan atau tanpa Macrolid atau Azitromicin saja. Pilihan antibiotik dapat tunggal atau kombinasi. Antibiotik tunggal yang paling cocok diberikan yang gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman yang sensitif. Kombinasi antibiotik diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum dan pada infeksi jamak. Bila telah didapatkan hasil kultur dan tes sensitivitas maka hasil ini dapat dijadikan untuk memberikan antibiotic tunggal. Terapi suportif o Terapi O2 untuk mencapai saturasi 95 96% o Nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai bronkodilator bila disertai bronkospasme o Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak o Pemberian cairan Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri. Antibiotik parenteral diberikan sampai 48 72 jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus adalah 3 4 minggu.

L. Pencegahan Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit saluran nafas

seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: 1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia 2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b 3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis 4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak 5. vaksin influenza untuk mencegah influenza

M. Komplikasi Bila bronkopneumonia tidak ditangani secara tepat, maka komplikasinya adalah sebagai berikut: Otitis media akut (OMA): Terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi masuknya udara ke telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian gendang telinga akan tertarik kedalam dan timbul efusi. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru. Efusi pleura. Emfisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang. Endokarditis bakterial yaitu peradangan pada katup endokardial. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli,

Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari rongga pleura. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan selsel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik: o Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura o Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura o Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl o Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH bakteri. o Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

N. Prognosis Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi. Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka kesembuhan

penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai.

BAB III KASUS

A. Identitas Nama: Tn. YD Umur: 68 tahun Agama: Islam Pekerjaan: buruh Alamat: Ambarketawang, Gamping, Sleman Pendidikan: SD Perkawinan: Duda Jenis Kelamin: Laki-laki

B. Anamnesis Keluhan Utama: Batuk dengan demam yang tak kunjung turun disertai menggigil RPS: OS pertama kali datang ke IGD diantar keluarga dengan keluhan badan panas disertai menggigil sejak 4 hari SMRS. Panas naik turun, sudah kontrol ke dokter dan diberi obat tapi keluhan menetap. Keluhan lain: pusing (+), batuk pilek (-), mual (+), muntah (-), badan sakit semua, diare (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan, lemas, anoreksia. RPD: riwayat ISK, HT grade I tak terkontrol, vertigo, penyakit jantung. Riwayat DM dan asma disangkal. Riwayat sakit dan batuk lama disangkal.

RPK: keluhan serupa seperti OS disangkal. Riwayat HT (+). Riwayat DM, penyakit jantung, asma disangkal Riw Sosial: OS perokok aktif 1 2 bungkus per hari, bekerja sebagai buruh dengan tingkat polutan sedang tinggi (buruh mebel, tidak pakai masker)

C. Pemeriksaan Fisik KU: lemah sadar penuh Vital Sign: TD: 180/95; T: 37,5C 39C; N: 92 x/m; RR: 28 x/m Pem Kepala: Pupil isokor, Konjungtiva pink, sklera (-/-), mukosa basah Pem Leher: dbn Pem. Thorax: jantung S1 S2 regular, paru simetris, sonor (+/+), vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Pem. Abdomen: supel, peristaltik (+), NTE (+) Pem. Extrimititas: Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit normal

D. Follow Up Pada tanggal 30 Oktober 2013, 1 hari setelah mondok, OS mengeluh nyeri perut bawah. Pemeriksaan fisik: NTE (+), nyeri tekan suprapubik, peristaltik meningkat 31 Oktober 2013: OS masih demam dan menggigil, muntah (-), batuk (+), lemas, pusing, nyeri perut, BAK seperti teh dan sedikit 1 November 2013: OS masih menggigil, batuk (+), pusing, lemas, anorexia 2 November 2013: OS masih demam menggigil, batuk (+) tidak berdahak. Pemeriksaan fisik: abdomen: hepatomegaly, NTE (+). 3 November 2013: TD: 160/80 4 November 2013: masih demam, batuk berdahak. Pukul 17.30 Pulang APS

E. Pemeriksaan Penunjang Hematologi Hb: 13 25Oktober AL: 10,8 * 2013

Hitung Jenis Lekosit o Basofil: 0 o Eosinofil: 1 o Netrofil Segmen: 87 * o Limfosit: 11 * o Monosit: 1 *

Eritrosit: 4,46 Hematokrit: 41 MCV: 96,6 MCH: 29,1 MCHC: 30,2 Trombosit: 198

Hematologi 29 Oktober 2013 Hb: 12,3 AL: 13,2 * Hitung Jenis Lekosit o Basofil: 0 o Eosinofil: 0 o Netrofil Segmen: 77 * o Limfosit: 16 * Pemeriksaan 29 Oktober 2013 Salmonella typhi/paratyphi O/AO/BO/H/AH/BH negatif GDS 123 SGOT/SGPT: 28/26 o Monosit: 7 Eritrosit: 4,17 * Hematokrit: 39 MCV: 94,5 MCH: 29,5 MCHC: 31,2 * Trombosit: 181

Pemeriksaan 31 Oktober 2013 Lekosit 11,1 Urinalisis: Warna kuning keruh, protein +2, nitrit/bakteri (+), lekosit gelap 40 60 *, lekosit pucat 10 15 *, eritrosit sedimen 10 15 *, epitel dan silinder granular (+) Pemeriksaan 31 Oktober 2013 1 November 2013 Malaria: tidak ditemukan

Pemeriksaan 2 November 2013 Lekosit: 17,6 (4-10)

Pemeriksaan 4 November 2013 Lekosit 7,5

Albumin 3,3 * Ureum 26 Kreatinin 1,0 Asam urat 6,4

Pemeriksaan 3 November 2013: BTA negatif (1) Pemeriksaan 4 November 2013: BTA negatif (2)

Foto Polos Thorax

Foto thorax 29 Oktober 2013 (Kiri): cardiomegali dengan pulmo dbn Foto thorax 2 November 2013 (Kanan dan Bawah)

o Opasitas inhomogen di kedua pulmo terutama paracardial dextra o Opasitas homogen di aspek laterobasal, hemithorax bilateral, terutama sinistra o Cor: tak valid dinilai, batas sinistra tak tampak jelas o Elongatio aorta dan kalsifikasi arcus aorta o Kesan: bronchopneumonia dengan efusi pleura bilateral terutama sinistra; cor tak valid dinilai

USG Abdomen 2 November 2013

Hepar: Echostruktur normal, IHBD tak prominen, tak tampak massa VF: dinding licin, tak tampak batu/massa/sludge Pancreas: echostruktur normal, tak tampak massa Lien: echostruktur normal, tak tampak massa Ren dextra et sinistra: echostruktur normal, SPC tak melebar. tak tampak massa/batu VU: terisi cairan optimal, dinding licin, tak tampak massa/batu Prostat: Ukuran 4,15 x 3,63 x 3,90 cm, perkiraan volume prostat KL 30,8 cm3, echostruktur homogen, dengan bayangan hiperechoic di parenkim prostat. Tampak bayangan free fluid di cavum pleura dextra et sinistra

Kesan: Suspek efusi pleura bilateral, suspek hipertrofi prostat dengan kalsifikasi, tak tampak kelainan pada organ-organ lain

F. Diagnosis Banding Observasi febris DD: tifoid, malaria ISK Observasi batuk dengan efusi pleura, suspek pleuritis TB BPH CHF Bronkopneumonia dengan efusi pleura bilateral, suspek pleuropneumonia Pneumonia Nosokomial

G. Tatalaksana dan Terapi Usulan kultur sputum, USG thorax + marker (dari Sp. P) Sistenol 3 x 1 Vomcetron 2 x 4 mg Levoflocacin 1 x 500 mg Ranitidin 1 A Antrain k/p Ceftriaxone 2 x 2 gr Azitromicyn 1 x 500 mg Levoprant 3 x 1 Inhalasi: farbivent/flexotide RL

BAB IV PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki 68 tahun, beragama Islam, pekerjaan sehari-hari sebagai buruh mebel, pendidikan terakhir pasien adalah SD, dan pasien menyandang status pernikahan sebagai seorang duda. Empat hari sebelum mondok di rumah sakit, pasien berkunjung ke poli IGD PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dengan keluhan utama berupa badan panas disertai menggigil sejak pagi harinya. Panas dirasa muncul mendadak, suhu dirasa tinggi, ditambah kepala pusing dan nyeri di seluruh tubuh. Batuk pilek, muntah, diare disangkal oleh pasien. Diketahui bahwa pasien memiiki riwayat hipertensi grade II. Dilakukan pemeriksaan fisik, diperoleh vesikuler paru (+/+) normal, bising usung (+) normal. Dilakukan juga pengambilan darah untuk pemeriksaan hematologi dan diperoleh angka lekosit meningkat sedikit di kisaran 10.800. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis sementara dokter adalah observasi febris hari I, pasien diresepkan cefixime (antibiotik), doloneurobion (vitamin), amlodipine (anti hipertensi), dan analsix (analgesik antipiretik), serta pasien disarankan untuk segera kembali ke IGD bila 3 hari pengobatan ke depan kesehatan tak kunjung membaik. Dua hari kemudian, yaitu pada tanggal 27 Oktober 2013, pasien kembali berkunjung ke IGD karena keluhan menetap, namun di IGD pasien hanya diberikan tindakan berupa injeksi antrain dan resep sistenol, lalu pasien dipulangkan dan diagnosis masih observasi febris hari III. Pada tanggal 29 Oktober 2013 pagi harinya, pasien diantar keluarga ke IGD RS dengan keluhan yang sama yaitu demam disertai menggigil, pusing mual, lemas,

dan hilang nafsu makan. Pemeriksaan fisik diperoleh vesikuler paru (+/+) normal, tidak terdengar ronkhi dan wheezing, peristaltic usus (+) normal dan nyeri tekan epigastrik (+). Diagnosis dari IGD yaitu observasi febris hari IV. Pasien disarankan untuk mondok dan pasien menyetujuinya. Selama empat hari tersebut pasien tak kunjung membaik keadaannya walau sudah diberi obat dan istirahat yang cukup, dan dilihat dari pemeriksaan laboratorium diperoleh angka lekosit yang semakin meningkat, di sini ada indikasi bahwa pasien terinfeksi oleh agen bakteri, sehingga perlu diberi terapi antibiotic terlebih dahulu sambil mencari penyebab dari infeksi tersebut. Pasien telah diperiksa darah dan diperoleh Salmonella typhi/paratyphi O/AO/BO/H/AH/BH negatif sehingga diagnosis demam thypoid dapat disingkirkan. Pasien juga dicek apakah terinfeksi malaria, namun hasil pemeriksaan menyatakan negatif. Lalu pasien dicek analisis urinnya, dan diperoleh hasil mengarah pada suatu infeksi saluran kencing. Namun, semakin hari angka lekosit semakin tinggi, dan pasien mengeluh batuk yang awalnya tak berdahak lalu menjadi berdahak di rumah sakit. Tak hanya itu, pasien mengeluh nyeri pada daerah perut, sehingga dilakukan USG abdomen dan diperoleh gambaran efusi pleura dan hipertrofi prostat. Sebelumnya pada tanggal 29 Oktober 2013 juga sudah dilakukan foto polos thorax dengan hasil kardiomegali dengan pulmo dalam batas normal. Bila dibandingkan foto polos thorax dan USG abdomen, kita dapat beranggapan bahwa telah terjadi perburukan status kesehatan pasien yang sebelumnya paru dalam batas normal namun kemudian muncul efusi pleura sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto polos thorax ulangan dan hasilnya pun mengarah pada bronkopneumonia dengan efusi pleura bilateral. Perlu dicatat mengapa bisa muncul bronkopneumonia dan efusi pleura saat pengobatan/perawatan pasien di rumah sakit, dan kita bisa menaruh curiga bahwa telah terjadi pneumonia nosocomial yang disebabkan kurang bersihnya/steril lingkungan di rumah sakit terkait dalam perawatan terhadap pasien. Oleh karena itu, perlu dilakukan skrining di rumah sakit apakah benar telah terjadi infeksi nosocomial atau tidak. Pasien pada kasus ini mempunyai banyak keluhan, seperti demam disertai menggigil, batuk, nyeri pada abdomen, hasil foto thorax dan USG yang mengarah pada cardiomegaly (CHF), BPH, dan bronkopneumonia sehingga perlu penanganan

yang komprehensif dan holistic. Penanganan untuk gejala infeksi seperti demam, batuk dan mengarah pada bronkopneumonia diprioritaskan. Disarankan untuk dilakukan kultur untuk memastikan bakteri apa yang menginfeksi pasien sambil tetap memberikan antibiotic dan pengobatan terbaik untuk pasien. Namun sayang pasien meminta pulang atas permintaan sendiri setelah dirawat sekitar satu minggu, mungkin saja karena pengobatan yang terlalu lama tapi hasil pengobatan yang kurang memuaskan bisa menjadi alasan pasien untuk pulang. Dari kasus ini, dapat menjadi pengalaman yang berharga dalam penanganan pasien secara cepat, tepat, dan bermanfaat. BAB V REFERENSI

Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2004. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2002. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta. 2000. Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712. Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi 12, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 617-628. Sherwood L. Sistem Pernafasan. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Edisi ke 21. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2000.

Anda mungkin juga menyukai