Anda di halaman 1dari 32

BAB II PEMBAHASAN

A. Analisis Kasus Skenario a. Pengertian HIV dan AIDS Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus yang termasuk golongan virus RNA (virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Disebut retrovirus karena memiliki enzim reverse transcriptase. Enzim ini memungkinkan virus ini mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV mnyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya. Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang

pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga yang terganggu bukan hanya limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, makrofag, dan sebagainya (1). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit. Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik (2,3). 9

10 b. Patofisiologi Peran penting sel T dalam menyalakan semua kekuatan limfosit dan makrofag, membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai tombol utama sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadangkadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS (4,5,6). Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 810 tahun (4,5,6). Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, tetapi tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari. Hal ini mengakibatkan orang yang terinfeksi HIV tetap merasa sehat (4,5,6).

11 c. Patogenesis Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit T helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik.

Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel limfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup (4,5,6). Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel limfosit T4. setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa (4,5,6). Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis (4,5,6).

12 d. Gejala Munculnya AIDS ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu (5): a. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif). b. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif). Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS. Seseorang yang terifeksi virus HIV menurut WHO (World Health Organitation) memiliki tanda dan gejala antara lain (7): a. Gejala dan tanda mayor 1. Kehilangan berat badan (BB) > 10%. 2. Diare kronik > 1 bulan. 3. Demam > 1 bulan. a. Gejala dan tanda minor 1. Batuk menetap > 1 bulan. 2. Dermatitis pruritis (gatal). 3. Herpes zoster berulang. 4. Kandidiasis orofaring. 5. Herpes simpleks yang meluas dan berat. 6. Limfadenopati yang meluas. Dari tanda dan gejala yang disebutkan di atas, penyakit AIDS dapat dikelompokkan menjadi 4 stadium diantaranya adalah (5): a. Stadium awal infeksi HIV, menunjukkan gejala-gejala seperti demam, kelelahan, nyeri sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai influenza/monokleosis.

13 b. Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV. c. Stadium ARC (AIDS Related Complex), memperlihatkan gejalagejala seperti demam lebih dari 38oC secara berkala/terusmenerus, menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening, diare/mencret secara berkala/terus-menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik, berkeringat pada waktu malam hari. d. Stadium AIDS, akan menunjukkan gejala-gejala seperti gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker kelenjar getah bening, infeksi penyakit penyerta misalnya pneumonia yang disebabkan oleh pneumocytis carinii, TBC, peradangan otak/selaput otak.

e. Penularan Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui (8) : a. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling

14 sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (8). 1. Homoseksual Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital (8). 2. Heteroseksual Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti (8). b. Transmisi Non Seksual 1. Transmisi Parental a. Penggunaan jarum suntik Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi,

15 misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara

transmisi parental ini kurang dari 1% (8). b. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat

trasfusi darah adalah lebih dari 90% (8). 2. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah sebesar 14% (8).

f. Pencegahan Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti yang sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu (2) : 1. Pencegahan Penularan Melalui Hubungan Seksual Infeksi HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual. Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab, yakni (2): a. Hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri (suami/istri sendiri).

16 b. Kalau salah seorang pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar c. Mempertebal iman agar tidak terjerumus ke dalam hubunganhubungan seksual di luar nikah 2. Pencegahan Penularan Melalui Darah a. Pencegahan dengan cara memastikan bahwa darah dan produkproduknya yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar virus HIV. b. Jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular AIDS. c. Gunakan alat-alat kesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan steril. 3. Pencegahan Penularan dari Ibu-Anak (Perinatal) Salah satu bentuk pencegahannya yaitu ibu-ibu yang ternyata

mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil. Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa cara pencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan atau penyebaran HIV/AIDS. Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dalam implementasinya berupa konseling AIDS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yang ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual yang dilakukannya. Dengan cara ini keluarga dan masyarakat secara terus menerus akan mendapat informasi yang baru (up to date) tentang HIV/AIDS sehingga keluarga akan lebih waspada dan mampu mengembangkan langkah-langkah praktis untuk

melindungi anggota keluarganya dari penularan HIV serta untuk mengurangi tumbuhnya sikap yang menganggap bahwa keluarganya sendiri tidak mungkin akan terinfeksi oleh virus AIDS ini (2).

17 g. Faktor Risiko
Tahun 2006 diperkirakan terdapat sebanyak 170.000 220.000 orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia (Depkes RI, 2007). Sementara sejak tahun 1987 sampai dengan Desember 2008, jumlah kumulatif kasus infeksi HIV dan AIDS yang dilaporkan mencapai 16.110 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 3372 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008). Faktor risiko penularan HIV yang dominan sampai saat ini adalah melalui penggunaan jarum suntik dan hubungan seksual berisiko (9). Terkait pada pola penularan melalui hubungan seksual, studi oleh Rotily et al. (1996) menunjukkan pola multiple partner dan tidak menggunakan kondom sebagai faktor risiko seksual. Seperti contoh kasus HIV AIDS pada napi yaitu oleh CDC dalam MMWR (2006) menyebutkan adanya risiko yang lebih tinggi pada napi yang melakukan hubungan seks homoseksual. Hal ini juga diperkuat banyaknya bukti bahwa laki-laki cenderung melakukan hubungan seks sesama jenis selama di LP (10).
Ada 3 faktor HIV/AIDS yang dapat dilihat segi perilaku, parenteral, dan (IMS) atau Infeksi menular seksual (9,10): a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, yang meliputi artner hubungan seks lebih dari 1, seks anal, pemakaian kondom. b. Faktor risiko parenteral, yaitu faktor risiko penularan HIV/AIDS yang erkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena. Faktor ini meliputi riwayat transfusi darah, pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik (injecting drug users). c. Faktor risiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita responden, seperti sifilis, condiloma acuminata, dan gonorrhoea. d. Pembuatan tattoo dan pemasangan aksesoris piercing, serta

perilaku berbagi alat cukur di secara bersamaan juga disebutkan sebagai faktor risiko HIV AIDS di Indonesia.

18 h. Surveilans Konsep surveilans untuk penyakit HIV/AIDS terdiri atas empat konsep diantaranya (11) : a. Dasar Surveilans Tujuan dari surveilans AIDS ini adalah memberikan suatu data terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia agar melakukan suatu perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan terhadap

penanggulangan AIDS di Indonesia yang mencakup informed consent, pencacatan kasus, dan pelaporan kasus surveilans AIDS. Pada prosedur pemeriksaan darah untuk penderita AIDS adalah yang pertama harus mengisi informed consent yang artinya

ketersediaan subjek untuk diambil darahnya kemudian diberikan konseling sebelum serta sesudah test terhadap subjek dan yang terpenting harus rahasia agar subjek yag diambil darahnya merasa nyaman dan tidak timbul rasa khawatir. Pada cara pencatatan kasus surveilans AIDS yaitu yang pertama malakukan mencurigakan pemeriksaan terkena fisik AIDS, terhadap kedua penderita yaitu yang

pemeriksaan

laboratorium untuk menguatkan dugaan terhadap penderita, selanjutnya pemeriksaan laboratorium akan menghasilkan data apakah penderita positif AIDS atau tidak. Apabila penderita positif menderita AIDS maka wajib mengisi formuir penderita AIDS agar semua kasus dapat dilaporkan baik yang sudah meninggal atau yang masih hidup, untuk yang sudah meninggal meskipun sebelumnya sudah lapor pada saat meninggal juga wajib lapor, karena penguburan mayat positif AIDS berbeda dengan yang biasa. Pelaporan kasus surveilans AIDS yaitu dengan menggunakan formulir dari laporan penderita positif AIDS yang kemudian laporan kasus ini dikirim secepatnya tanpa menunggu suatu

periode waktu dan harus dilaporkan pada saat menemukan

19 penderita positif AIDS bisa melalui fax atau email untuk sementara tetapi kemudian disusul dengan data secara tertulis. b. Surveilans Sentinel HIV Melakukan kegiatan untuk menganalisis secara terus menerus untuk menurunkan risiko terjadinya peningkatan serta penularan HIV dengan menggunakan populasi sentinel atau kelompok tertentu pada lokasi tertentu untuk memantau prevalensi penyakit tertentu seperti HIV misalanya pada tempat lokalisasa atau pada kelompok berisiko tertentu yaitu seperti PSK, pengguna NAPZA dan waria agar dapat melakukan pencegahan dan penanggulangn HIV serta memberikan informasi terhadap pelayanan kesehatan. c. Survei Surveilans Perilaku Tujuan survey surveilans perilaku yaitu melakukan pemantuan terhadap perilaku seksual dari kelomok berisiko dari waktu ke waktu untuk menyediakan informasi guna menilai efektifitas dari upaya pencegahan yang telah dilakukan serta mengembangkan program selanjutya. Peranan dari surveilans perilaku ini adalah sebagai sitem peringatan dini, perencanaan suatu program pencegahan dan penanggulangan dan membantu evaluasi program serta membantu menjelaskan perubahan suatu prevalensi. Prinsip dari pelaksanaan surveilans perilaku sama dengan surveilans HIV yaitu survei yang dilakukan berulang untuk mengumpulkan data tentang perilaku terhadap populasi berisiko tertular seperti PSK, waria, pengguna NAPZA suntik, dll. d. Surveilans Generasi Kedua Surveilans ini lebih mementingkan penggunaan data mengenai perilaku terhadap suatu populasi, yang potensial tertular HIV/AIDS sebagai informasi dan menjelaskan tren HIV pada pada suatu populasi. Surveilans generasi kedua ini merupakan penggabungan dari surveilans biologis dan surveilans perilaku, informasi yang penting didapatkan dari surveilans generasi kedua ini adalah

20 perilaku suatu populasi yang berisiko tertular HIV sebagai system kewaspadaan dini, kemudian mengambil informasi dari perilaku populasi berisiko tinggi untuk membuat suatu program agar terpusat dan tepat pada sasaran, serta mendapatkan informasi terhadap perilaku apa saja yang bisa di ubah untuk mencegah penularan, dan melakukan pengamatan perilaku suatu populasi yang sudah diberikan program kemudian di evaluasi hasilnya apakah perilaku populasi tersebutberubah yang artinya perilalku tersebut dapat menurunkan prevalensi HIV pada populasi itu.

i. Tes ELISA Pada saat bayi berusia 18bulan dilakukan pemeriksaan zat anti terhadap HIV dengan cara ELISA untuk mengkonfirmasi infeksi virus HIV (12). Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut

menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan danbila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot (5). Pengujian dengan uji serologis yang menggunakan teknik ELISA dapat dilakukan dengan menggunakan wadah yang berupa Polystyrene 96-well microtiter plate (microplate/plate/). Uji serologis dengan menggunakan teknik ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi adanya antigen maupun antibodi. Jika ingin mendeteksi adanya antibodi, maka plate yang digunakan harus dilapisi dengan antigen dari penyebab penyakit yang akan dideteksi, namun dari kedua jenis uji tersebut yang paling umum dilakukan adalah pendeteksian antibodi (13).

21 Metode ELISA bertumpu pada pemakaian konjugasi antara enzim dan antibodi. ELISA diinterpretasikan berdasarkan pada perubahan warna yang terbentuk mengikuti penambahan substrat yang mengandung zat kromogenik yang dipicu reaksinya oleh hasil penguraian oleh enzim yang ada pada konjugat. Enzim yang digunakan dapat bermacammacam, antara lain alkaline phosphatase, galactosidase, peroksidase, dan urease. Pemilihan enzim dan substrat yang akan di gunakan harus sesuai untuk keberhasilan reaksi yang di lakukan. Misalnya jika yang dipilih untuk di gunakan adalah enzim alkaline phosphatase, maka substrat yang ideal dapat menunjukkan pembentukkan warna yang terjadi secara jelas dengan mata, meskipun dalam pembacaan tetap di haruskan menggunakan alat baca khusus (Elisa Reader) (13). Prinsip pendekatan ELISA dapat berlangsung melalui deteksi antobodi maupun melalui deteksi antigen yang dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung (13). Teknik uji serologis ELISA merupakan uji dengan sensitivitas cukup tinggi (jika dibandingkan dengan uji WB) dan tetap spesifik apabila diilakukan dengan modifikasi yang baik. Penggunaan ELISA lebih ditujukan untuk keperluan penapisan (screening) terhadap

kemungkinan adanya infeksi dari suatu penyakit. Keadaan tersebut dimungkinkan dengan sensitivitas yang dimiliki oleh teknik uji ini dan banyaknya sampel yang dapat diuji setiap kali melakukan pengujian dengan teknik ELISA (dengan menggunakan metode yang seperti yang dilakukan di lab.Mikrobiologi dan Imunologi, PSSP-IPB). Pengujian dengan teknik uji ELISA dengan menggunakan 96 well microplate dapat digunakan untuk menguji 88 sampel setiap kali uji (96 well dikurangi well yang digunakan untuk control konjugat, control positif, control negative, reference serum, dan blank well) (13).

22 j. Hubungan Prevalensi Dengan Laju Penyebaran HIV Tinggi rendahnya angka prevalensi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya durasi penyakit, peningkatan kasus penyakit, peningkatan insiden dalam suatu populasi, tingkat kesembuhan, dan migrasi penduduk (14). Laju penyebaran menunjukkan kecepatan kejadian suatu penyakit menyebar pada populasi yang dalam hal ini adalah penyakit HIV/AIDS. Jika dihubungkan dengan prevalensi, peningkatan laju penyebaran HIV/AIDS didukung oleh faktor lamanya durasi penyakit, fatalitas kasus yang semakin meningkat, insiden penyakit semakin banyak, tingkat kesembuhan yang cenderung menurun, peningkatan sarana diagnostik, dan terdapatnya migrasi individu yang rentan ke dalam populasi berisiko. Semakin tinggi angka prevalensi, maka laju penyebaran HIV pun akan semakin cepat (14).

k. Kebijakan KPAN Untuk Menanggulangi HIV/AIDS 1. Strategi dan Program Strategi penanggulangan HIV dan AIDS: Strategi ditujukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan. Skenario strategi dan rencana aksi ini pada tahun 2014 adalah bahwa 80% populasi kunci terjangkau oleh program yang efektif dan 60% populasi kunci berperilaku aman. Strategi yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut (15): a. Meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan b. Meningkatkan dan memperluas cakupan perawatan, dukungan dan pengobatan c. Mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan

meningkatkan akses program mitigasi sosial

23 d. Penguatan kemitraan, sistem kesehatan dan masyarakat e. Meningkatkan koordinasi antara pemangku kepentingan dan mobilisasi penggunaan sumber daya di semua tingkat f. Mengembangkan intervensi struktural g. Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data. 2. Rencana Aksi (Area dan Fokus Geografis) Kerangka program terdiri dari empat area yaitu (15) a. Pencegahan, b. Perawatan, dukungan dan pengobatan, c. Program mitigasi dampak, dan d. Program peningkatan lingkungan yang kondusif. Fokus geografis: Berdasarkan kriteria risiko penularan HIV, beban penyakit HIV dan AIDS dan kondisi program respons sampai saat ini, terpilih 137 kabupaten dan kota atau 31% dari seluruh kabupaten dan kota yang ada di seluruh provinsi (33) di

indonesia. dengan fokus geografs ini diperkirakan program dapat menjangkau 94% penasun (205.860 orang), 92% WPS (203.300 orang) dan 85% odHa (164.000 orang) (15). 3. Penyelenggaraan Rencana Aksi Penyelenggaraan dilakukan melalui mekanisme kepemimpinan yang tangguh, koordinasi penyelenggaraan, kemitraan, peran aktif kelompok-kelompok masyarakat dan mobilisasi sumber daya, dan dengan menganut prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (15). 4. Kebutuhan dan Mobilisasi Sumber Daya SDM untuk penanggulangan HIV dan AIDS meliputi tenagatenaga tingkat lapangan (pendidik sebaya, petugas penjangkau, XVI Strategi rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 supervisor program lapangan, manajer

program tingkat lapangan), tingkat layanan (petugas konselor,

24 dokter spesialis, dokter umum, petugas laboratorium, perawat, petugas administrasi, ahli gizi, bidan, manajer kasus) dan tenaga tingkat manajemen di Kabupaten dan Kota (pengelola program, petugas monev/surveilans, pengelola administrasi keuangan,

sekretaris/manajer). telah dihitung jumlah yang dibutuhkan untuk setiap jenis tenaga. mobilisasi SDM dilakukan melalui rekrutmen tenaga, peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga, pengembangan kapasitas pelatihan dan bantuan teknis. kebutuhan dana untuk melaksanakan rencana aksi 2010-2014 diperkirakan sebesar Rp. 10,3 triliun atau setara dengan 1,1 milyar US Dolar. dana tersebut dibutuhkan untuk melaksanakan empat fokus area program, yaitu (1) pencegahan (57%), (2) perawatan, dukungan dan pengobatan (28%), (3) mitigasi dampak (2%), dan (4) pengembangan lingkungan program difokuskan yang kondusif program (13%). kegiatan

pada

yang efektif dan

dilaksanakan di 137 kabupaten dan kota, dimana lebih dari 80% populasi kunci berada. telah dihitung pula jumlah kebutuhan prasarana pencegahan, perawatan dan pengobatan, yang meliputi outlet kondom, layanan VCT, layanan IMS, layanan CST, layanan PMTCT, layanan alat suntik steril, dan layanan PTRM (15). 5. Mekanisme Monitoring dan Evaluasi KPAN bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan seluruh sektor pemerintah serta organisasi-organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja internasional, melakukan monitoring dan evaluasi secara nasional untuk menghasilkan indikator kinerja serta informasi yang bersifat strategik. Dengan menggunakan informasi tersebut, KPA dapat menilai apakah upaya penanggulangan sudah berjalan sesuai rencana atau memerlukan berbagai perbaikan dan perubahan. Setidaknya metode pengumpulan data yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut (16):

25 a. Data Surveilans: 1. Surveilans HIV, AIDS dan IMS merupakan tanggung jawab dari Kementerian Kesehatan. Berbagai bentuk kegiatan surveilans yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut: 2. Surveilans HIV : Kementerian Kesehatan menetapkan surveilans HIV dilakukan sekali setahun. Saat ini surveilans HIV dilakukan terhadap WPS. Surveilans HIV perlu diperluas ke semua populasi kunci. Surveilans pada ibu hamil perlu dilakukan pada area geografis tertentu sesuai dengan tingkat epidemi. 3. Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) : STBP telah dilakukan pada beberapa provinsi prioritas. Ke depan STBP perlu dilakukan secara konsisten pada semua provinsi prioritas 4. Survei IMS : Kegiatan ini dapat diintegrasikan ke dalam STBP 5. Survei resistensi ARV 6. Estimasi jumlah ODHA 7. Estimasi jumlah populasi kunci b. Pengumpulan Data Lainnya: 1. Monitoring penguatan kelembagaan (KPA) 2. Monitoring pengeluaran dana (KPA) 3. Pemetaan lokasi hotspot populasi kunci, layanan dan LSM 4. Monitoring perkembangan layanan pencegahan (KPA) 5. Monitoring perkembangan perubahan perilaku (KPA) 6. Monitoring perkembangan layanan pengobatan (Kemkes)

26 l. Risiko Seorang Bayi Untuk Terinfeksi HIV Jumlah kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Indonesia hingga Maret 2007 telah mencapai 10.156, sedangkan menurut perhitungan epidemiologi, diperkirakan terdapat 200.000 - 250.000 kasus di Indonesia, yang beriko tertular HIV/AIDS diperkirakan sebanyak 1215 juta orang. Terdapat lebih 6,5 Juta perempuan di Indonesia menjadi populasi rawan tertular dan menularkan,dan lebih dari 24.000 perempuan usia subur telah terinfeksi HIV, lebih dari 9.000 perempuan hamil dengan HIV+ dalam setiap tahunnya dan lebih dari 30% (3000 ibu hamil) diantaranya akan melahirkan bayi yang tertular bila tak ada pencegahan penularan dari ibu HIV+ kepada bayi (Prevention Mother To Child Transmission). (17) Sebagian besar HIV pada anak (90%) diperoleh melalui transmisi vertikal yaitu penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother to child transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada saat kehamilan ( 5-10%), proses persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI (5-20%). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila pasangan ibu dan anak menjalani

program pencegahan/prevention of mother to child transmission (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan penggunaan obat anti retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan setelah kelahiran. (18) Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan.Ketika proses persalinan, tekanan pada plasenta meningkat yang bisa menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi. Hal ini lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi. sekitar 25 sampai 35% penularan terjadi pada saat antenatal terutama pada fase akhir kehamilan dan 70 sampai 75% terjadi pada saat persalinan. Selain itu, penularan pada saat menyusui terjadi sekitar 14%. Karena banyak para ahli mengatakan bahwa penularan lebih sering terjadi pada masa kehamilan tua dan

27 pada saat melahirkan, dan sangat jarang terjadi pada masa

permulaan kehamilan, maka yang menjadi sasaran penting untuk mencegah penularan vertikal adalah janin pada fase akhir intrauterin dan pada waktu intrapartum. (18,19) Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi: (18,19) a. Faktor ibu Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggipada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu jugamempengaruhi risiko

penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4 kurang dari 350. Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena

berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi

lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat masalah pada ibu seperti mastitis, abses, luka di puting payudara. Sebagian besar masalah payudara dapat

dicegah dengan teknik menyusui yang baik. Konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik sangat dibutuhkan dengan demikian dapat mengurangi risiko masalah masalah payudara dan risiko penularan HIV.

28 b. Faktor bayi Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga lebih rendah untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh yang tersebut belum berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa, dll. Sebuah studi di Tanzania menunjukkan bahwa bayi yang lahirkan sebelum 24 minggu memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa-masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI. HIV terdapat di dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan HIV di dalam darah. Antara 10-20%bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI (hingga 18 bulan atau lebih). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu: 1. Umur Bayi Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru lahir. Antara 50-70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia enam bulan pertama kali. Setelah tahun kedua umur bayi, risiko penularan menjadi lebih rendah. 2. Luka di Mulut Bayi Bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI. c. Faktor tindakan obstetric Faktor faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi selama persalinan adalah sebagai berikut : 1. Jenis persalinan (per vaginam atau per abdominal/SC). Cara persalinan bayi sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Bayi yang dilahirkan per vaginam mempunyai

29 risiko penularan vertikal lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir dengan bedah saesar. Persalinan per vaginam mempunyai risiko penularan vertikal HIV-1 dua kali lipat

lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan bedah saesar. Oleh karena itu, persalinan sebaiknya dilakukan dengan bedah saesar elektif. Hanya dengan melakukan bedah saesar angka penularan vertikal dapat diturunkan sebanyak 50%. Tindakan bedah ini harus dilakukan sebelum ada tanda-tanda persalinan dan sebelum ketuban pecah. 2. Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko

penularan HIV dari ibu ke bayi juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam sebelum persalinan. 3. Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko

penularan selama proses persalinan dengan cara pervaginam adalah penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomy. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah upaya yang penting. Alasannya adalah sebagai berikut: (19) a. Sebagian besar perempuan HIV positif berada dalam usia reproduksi aktif. b. Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses dari ibu ke bayi. c. Sepanjang akses pengobatan antiretroviral belum baik, bayi HIV positif akan menjadi anak yatim/piatu. d. Bayi HIV positif akan mengalami gangguan tumbuh kembang. e. Anak dengan HIV/AIDS lebih sering mengalami penyakit infeksi bakteri ataupun virus.

30 f. Perlakuan diskriminatif akan dihadapi anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS. g. Stigma negatif terhadap HIV/AIDS menyebabkan anak-anak dengan HIV/AIDS seringkali didiskriminasi masyarakat

dilingkungan tempat tinggalnya, di sekolah, dan sebagainya. h. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan ibu HIV positif, meskipun ibunya masih hidup, secara signifikan memiliki risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi. i. Setiap anak memiliki hak untuk hidup sehat, panjang umur, dan mengembangkan potensi diri terbaiknya. Bentuk-bentuk manajemen penanggulangan bayi dengan Ibu yang positif HIV: (18) a. Manajemen Umum 1. Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka: a. Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada keluarga; b. Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada pencegahan infeksi; c. Bayi tetap diberi imunisasi rutin, ada senter yang tidak langsung memberi BCG; d. Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, yang berat, Campak,

MMR). Pada waktu pulang, periksa DL, hitung limfosit T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA HIV. 2. Beri dukungan mental pada orang tuanya 3. Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan infeksi b. Manajemen Khusus

31 Bayi dengan infeksi HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan akan menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Saran dari beberapa senter di AS, terapi pada satu tahun

pertama untuk anak yang dicurigai HIV, diharapkan tumbuh imunologi secara normal, karena bila terapi menunggu umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4+ dan Load Virus maka hal ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus dimulai pada bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang menunjukkan jumlah sel CD4+ yang rendah, tanpa melihat umur. 1. Terapi Anti Retrovirus Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI : a. Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya. Tujuan pemberian terapi antiretrovirus adalah

untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4+ sel sampai mencapai lebih dari 25%. b. Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada, tujuannya untuk Profilaksis: 1. Bila ibu sudah mendapat ARV(Antiretrovirus) atau Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam. Hal ini dapat mengurangi

resiko terjadinya HIV dari 25% menjadi 8%. 2. Bila ibu sudah mendapat Nevirapine (NVP) dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi masih

32 berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral masa usia 48-72 jam dosis tunggal. 3. Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2x sehari, pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal, karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan. 4. Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian minum dan

pertumbuhan bayi. 2. Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan pervaginam maupun per abdominam (seksio sesarea). Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea hasil akan

mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50% hingga 66%. 3. Pemberian minum a. Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada bayinya. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. b. Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian. c. Terangkan pada Ibu tentang keuntungan dan kerugian dari pilihan cara pemberian minum: 1. Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat,

dapat dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia. 2. ASI eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat disediakan.

33 3. Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat setelah umur 6 bulan. d. Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah : 1. Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan; 2. Pemberian ASI oleh ibu susuan (Wet Nursing) yang jelas HIV negatif; 3. Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif. e. Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan petunjuk khusus di bawah ini: 1. Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI; 2. Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula; 3. Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan benar. 4. Jangan memberikan minuman kombinasi (misal

selang-seling antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Pemberian susu formula: (18) a. Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. b. Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi apabila bayi menginginkan. c. Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula.

34 d. Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara menghindarinya. e. Susu formula yang diberikan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HIV positif harus memenuhi syarat AFASS (WHO), yaitu : 1. Acceptability Mudah diterima, yaitu tidak ada hambatan social budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula untuk bayinya. 2. Feasible Mudah dilakukan/layak, yaitu ibu dan keluarga mempunyai waktu, pengetahuan dan keterampilan yang

memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayinya. 3. Availability Terjangkau, yaitu ibu dan keluarga mampu membeli susu formula. 4. Sustainability, Berkelanjutan, yaitu susu formula harus

diberikan setiap hari dan malam selama masa bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dapat dijamin keberadaannya 5. Safe Aman penggunaannya, yaitu susu formula harus

disimpan secara benar, higienis dengan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan yang bersih. Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada bayinya, seperti: (18) a. Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit; b. Diare; c. Berat badan sulit naik. Pemberian ASI: (18) a. Bila ibu memilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya. b. Pastikan bayi melekat dan mengisap dengan baik untuk mencegah terjadinya mastitis dan gangguan pada putting susu.

35 c. Nasihati ibu segera kembali apabila ada masalah pada

payudara atau putingnya, atau bayi mengalami kesulitan minum. d. Pada minggu pertama, nasihati ibu melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk menilai perlekatan dan posisi bayi waktu menyusu sudah baik, serta keadaan payudara ibu dan atur konseling selanjutnya untuk mempersiapkan kemungkinan ibu menghentikan menyusui lebih awal.

m. Pemberian ASI Pada Ibu yang Terinfeksi HIV ASI eksklusif secara signifikan meningkatkan kesehatan jangka panjang anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Hal ini memberikan dukungan lebih lanjut kepada revisi panduan pemberian makanan bayi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health

Organization/WHO) yang terbaru (20). Ada 2 faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi, yaitu faktor ibu dan bayi serta faktor cara penularan. Faktor ibu yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Ibu dengan sel CD4 yang rendah (menurunnya sistem pertahanan tubuh) mempunyai risiko penularan yang lebih besar,terlebih jika jumlah sel CD4 kurang dari 200 (21). Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila (22): 1. Terdeteksi dini.

2. Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai

Kewaspadaan Standar). 3. Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea). 4. Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan.

36 5. Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif. 6. Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang

berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya.

n. Manajemen Evaluasi dan Penanggulangan Kebijakan pemerintahmengeluarkan petunjuk penatalaksanaan

penanggulangan HIV/AIDS danprogram pengobatan Antiretroviral (ARV). Kebijakan ini menjadisebuah acuan serta arahan dengan membentuk RAN (Rencana Aksi NasionalHIV/AIDS). RAN berisi arahan dan kebijakan, stategis, tata nilai, lingkupprogram dan ukuran keberhasilan dari pelaksanaan PenanggulanganHIV/AIDS dan

penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktifberbahaya lainnya pada tahun 2010-2014 (23). Selain kebijakan pemerintah terdapat pula kebijakan dari WHO dalammengatur pengendalian HIV /AIDS di dunia.

Programpenanggulangan HIV/AIDS dari WHO berupa Guideline on HIV Infectionand AIDS in Prison Geneva dan juga HIV testing and Counseling in Prisonand other closed setting. Berdasarkan kebijakan yang ada maka salah satuupaya penanggulangan yang mulai dikembangkan sebagai pendekatan dalammencegah dan membatasi serangan HIV adalah melalui pelayanan VoluntaryCounselling and testing atau yang dikenal dengan singkatan VCT atauProvider Initiated Test and Counselling (PITC) (23). Metode VCT maupun PITC merupakan program yang digunakan pemerintahIndonesia, dan melihat dari pengalaman negara-negara yang sudah berhasilmenekan laju kecepatan penularan HIV seperti Thailand, Philipina, danAustralia termasuk Negara-negara maju lainnya. KeduaProgram ini menjadi program yang mempunyai konteks yang sama, namunsecara peran serta mempunyai perbedaan. VCT memerlukan inisiatif dari klienuntuk memeriksakandiri dan mengikuti

37 rangkaian program HIV/AIDS.Sedangkan PITC membutuhkan peran aktif provider atau dalam hal inipetugas kesehatan (23). PITC merupakan layanan konseling dan tes HIV dengan inisiatif dari petugaskesehatan. Layanan ini dilakukan secara sukarela dan rahasia (confidential)serta ditujukan pada individu dengan permasalahan HIV/AIDS. Selain itu,layanan ini juga menempatkan individu sebagai pusat pelayanan berdasarkankebutuhannya sehingga individu mampu mengambil keputusan-keputusanpribadi yang berkaitan dengan

HIV/AIDS. Proses konseling pada PITC terdiriatas konseling pra tes, konseling post test dan tes HIV secara sukarela yangbersifat rahasia dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status

HIV.Konseling pra tes memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat tes,pengambilan keputusan untuk melakukan tes HIV, dan perencanaan ataspermasalahan HIV yang akan dihadapi. Konseling post test juga untukmembantu seseorang memahami dan menerima status HIV positif danmerujuk pada layanan dukungan (23). Salah satu fungsi PITC adalah untuk mengungkap jumlah

penderitaHIV/AIDS yang tidak terdeteksi di lingkungan berisiko. Semakin banyakmasyarakat yang memanfaatkan Pelayanan PITC, maka akan menambah datamengenai penderita dan penyebaran HIV sehingga pemerintah dapat segeramempersiapkan langkah intervensi. Keuntungan lainnya, PITC dapat memutusmata rantai penularan HIV dalam masyarakat, mengurangi stigma dandiskriminasi terhadap ODHA dan yang paling utama dengan PITC kita dapatmengurangi atau menghilangkan perilaku beresiko untuk terkena HIV/AIDS (23). Menurut UNAIDS pelaksanaan program pelayanan terhadappenderita yang high risk didalam penahanan sulit memenuhi target. Salah satuperilaku yang menghambat keberhasilan program ini adalah stigma dandiskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS takutdikucilkan dan dijauhi oleh lingkungannya sedangkan kebebasan mereka dibatasi. Pada awal epidemi AIDS, stigma dan diskriminasi

38 telah memicupenularan HIV dan sangat meningkatkan dampak negatif yang terkait denganepidemi. Stigma terkait HIV dan diskriminasi terus menjadi nyata di setiapnegara dan wilayah di dunia, menciptakan hambatan utama untuk mencegahinfeksi lebih lanjut, mengurangi dampak dan menyediakan perawatandukungan, dan pengobatan yang memadai (23). Selain itu, upaya penanggulangan harus terkait dalam perawatan, yang meliputikegiatan (24,25): a. Penyuluhan Berbagai upaya penyuluhan dengan komuniksasi, informasidan edukasi diharapkan dapat menyadarkan masyarakat

tentangpentingnya memahami cara penularan serta melindungi diri dankeluarga dari penularan HIV-AIDS. Ini berarti

menumbuhkangaya hidup sehat serta meninggalkan perilaku berisiko. Selain itumasyarakat juga perlu menyadari pentingnya mengetahui statusHIV terutama bagi mereka yang pernah melakukan perilakuberisiko atau berisiko tertular dari pasangan. Upaya penyuluhan iniperlu dilaksanakan pada tingkat keluarga, sekolah dan masyarakat. b. Promosi kondom dan perilaku seksual yang lebih aman. Infeksi menular seksual dapat meningkatkan risiko HIV secara nyatakarena itu upaya pencegahan infeksi menular seksual amat pentingdilakukan. Penggunaan kondom di lokalisasi yang

diharapkan dapatmencapai 50 % sampai saat ini belum tercapai. Begitu pula diagnosisdan terapi infeksi menular seksual perlu dipertajam sehingga penyakitini dapat dikurang seminimal mungkin di masyarakat. c. Pengurangan dampak buruk bagi para penasun , seperti pertukaranalat suntik steril, terapi rumatan metadon oral. d. Penerapan kewaspadaan universal. e. Profilaksis pasca pajanan.

39 f. Pencegahan penularan dari ibu ke anak Dengan semakin banyaknya orang perempuan yang dalam rentangusia subur terinfeksi HIV maka angka kekerapan HIV di kalanganibu hamil akan meningkat. Kesempatan untuk mencegah penularanpada bayi yang dikandung harus dimanfaatkan dengan baik. g. Layanan Transfusi Darah yang Aman Upaya untuk mencegah penularan HIV melalui jalur transfusi darah ini telah dimulai sejak tahun 1992 dengan melakukan skriningdarah yang akan ditransfusikan. Namun kebutuhan darah mendadakdi daerah yang belum mempunyai layanan transfusi darah dapatberisiko penularan HIV karena transfusi darah tidak dilaksanakansecara darurat dan tidak disertai skrining HIV. Faktor penaggulangan juga dapat dilakukan melalui perilakuberisiko tertular HIV/AIDS sikap, terdiri dari faktorintrinsik jenis yang meliputi dan

pengetahuan,

pencegahan,usia,

kelamin

pendidikan.Sedangkanfaktor ekstrinsik meliputi lingkungan (keluarga danmasyarakat), informasi orang lain, fasilitas, sosial danbudaya (stigma) (25). Dalam penanggulangan HIV/AIDS danperencanaan program

kesehatan di RS, Puskesmas,Klinik dan bahan referensi Survei Kesehatan berbasisevidence di Indonesia pada masa yang akan datang,perlu ditingkatkan sumber informasi tentang

penyakitHIV/AIDS melalui media cetak, media elektronikdan lainlain.Selain itu institusi pendidikan perluberpartisipasi aktif dengan berupaya untukmeningkatkan kuantitas dan efektivitas

penyampaianinformasi. Dalam hal inidiperlukan juga dukungandari pemerintah (26).

40 o. Indikator Perhitungan Kasus HIV AIDS Indikator perhitungan kasus HIV AIDS dilihat dari tingginya angka prevalensi perhitungan kasus tersebut. Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit atau kondisi pada waktu tertentu. Secara matematis dituliskan (14,27): ( )

B. Solusi dan Rekomendasi a. Solusi b. Rekomendasi

Anda mungkin juga menyukai