Anda di halaman 1dari 16

TUGAS PRESENTASI KASUS ASMA BRONKIAL

Dosen Pembimbing : dr. Mohamad Fakih, M.M

oleh :

Rinda Puspita A. Fanny Trestanita Bahtiar Celestia Wohingati Ratih Paringgit

G1A010033 G1A010034 G1A010089 G1A010023

JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2013

I. PENDAHULUAN

Tahun-tahun sekarang ini prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika (Sundaru, 2006). Data pada pewarisan asma adalah paling cocok dengan determinan poligenik atau multifaktorial. Anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai resiko menderita asma sekitar 25%; risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orangtua juga menderita asma. Namun, asma tidak secara universal ada pada kembar monozigot. Labilitas bronkial dalam responsnya terhadap uji olahraga juga telah diperagakan pada anggota keluarga anak asmatis yang sehat. Kecenderungan genetik bersama dengan faktor lingkungan dapat menjelaskan kebanyakan kasus asma masa kanak-kanak (Sundaru, 2006). Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 45 tahun. Perjalanan dan keparahan asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman;

menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari (Sundaru, 2006).

II.

PEMBAHASAN

A. Definisi Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas, dan rasa berat di dada terutamapada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI.2009).

B. Etiologi Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh alergen, virus, dan bahan iritan (Depkes RI.2009).

C. Faktor Resiko Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. 1. Faktor genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat

mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur) 3. Faktor lain a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan

dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) i. Status ekonomi

D. Epidemiologi Dari tahun ke tahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia mencapai 20-30%. National Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika (Sundaru, 2006). Data pada pewarisan asma adalah paling cocok dengan determinan poligenik atau multifaktorial. Anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai resiko menderita asma sekitar 25%; risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orangtua juga menderita asma. Namun, asma tidak secara universal ada pada kembar monozigot. Labilitas bronkial dalam

responsnya terhadap uji olahraga juga telah diperagakan pada anggota keluarga anak asmatis yang sehat. Kecenderungan genetik bersama dengan faktor lingkungan dapat menjelaskan kebanyakan kasus asma masa kanakkanak (Sundaru, 2006). Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun. Perjalanan dan keparahan asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman; menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari (Sundaru, 2006).

E. Patogenesis Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, dan bahan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini dan reaksi asma lmbat, proses ini dapat terus berlanjut menjadi reaksi inlamasi sub akut atau kronik. Pada keadaan ini dapat terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus (Depkes RI.2009). Penyempitan saluran nafas pada asma terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast, sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan nafas, netrofil, platelet, limfosit, dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi (Depkes RI.2009). Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet, dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang

kuat seperti lekotriens, tromboksan, PAF dan protein sititoksin yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Depkes RI.2009). Dua faktor yang berperanpada pasien asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma, yaitu 1. Sensitisasi yaitu seseorang dengan resiko genetik dan lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya. 2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran nafasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasi berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas bronkus. 3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (Depkes RI.2009). Faktor-faktor tersebut, yaitu : 1. Pemicu : alergen dalam ruangan, seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, tikus, kucing), kecoak, jamur, ragi, pajanan asap rokok. 2. Pemacu : rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis. 3. Pencetus : semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin, dan metakolin (Depkes RI.2009).

Hipereaktifitas bronkus

obstruksi

Faktor genetik sensitisasi Faktor lingkungan Pemicu (inducer) Pemacu (enchancer) Pencetus (trigger) inflamasi Gejala asma

Bagan 1. Patogenesis Asma Bronkial (Depkes RI.2009)

F. Patofisiologi Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas (Rengganis, 2008). Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paru) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.

Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi (Rengganis, 2008). Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut (Rengganis, 2008).

Pencetus serangan

Reaksi Antigen dan Antibodi

Dikeluarkan substansi vasoaktif (Antihistamin, bradikinin, dan anafilaktosin Sekresi mucus

Kontraksi otot polos

Permeabilitas kapiler

Bronkospasme

-Kontraksi otot polos


- Edema mukosa - Hipersekresi

Produksi mucus bertambah

Bersihan jaln nafas tidak efektif

Obstruksi jalan nafas

Hipoventilasi Distribusi ventilasi tdk merata dng sirkulasi darah paru paru gangguan difusi gas di alveoli Kerusakan pertukaran gas

Hipoksemia Hiperkapnea

Bagan 2. Patofisiologi Asma Bronkial (Rengganis, 2008)

G. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis a. Dispnea yang bermakna; b. Batuk, terutama di malam hari; c. Mengi (Corwin, 2009).

2.

Pemeriksaan fisik a. Takipneu, respiratory rate antara 25-28 kali/menit; b. Takikardi, denyut jantung 100 kali/menit; c. Auskultasi pada paru terdengar wheezing; d. Jika obstruksi saluran nafas sudah berat, tanda-tandanya adalah penggunaan otot nafas tambahan, pulsus paradoksus, banyak keringat, sianosis, dan tanda asidosis respiratorik akut (Wibisono, 2011).

3.

Pemeriksaan penunjang a. Tes fungsi paru dengan menggunakan spirometri menunjukkan penurunan kapasitas vital dan penurunan laju aliran ekspirasi puncak (maksimum); b. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan eosinofilia; c. Prick test pada kulit positif; d. Pemeriksaan IgE spesifik serum (Wibisono, 2011).

H. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien asma adalah manajemen kasus untuk

meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi: 1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan) Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien. Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan

kortikosteroid sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja cepat secara inhalasi. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.

2. Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang: a. Edukasi 1) Kapan pasien berobat atau mencari pertolongan 2) Mengenali gejala serangan asma secara dini 3) Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaanya 4) Mengenali dan menghindari faktor pencetus 5) Kontrol teratur b. Obat asma (pengontrol dan pelega) Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.

Jenis obat Pengontrol (antiinflamasi)

Golongan Steroid inhalasi

Nama generik Flutikason propionat Budesonide

Bentuk/kemasan obat IDT IDT, Turbuhaler Oral (tablet) Oral (injeksi) Oral Oral Turbuhaler IDT IDT

Antileukokotrin Kortikosteroid sistemik

Zafirlukast Metilprednisolon Prednison

Agonis beta-2 kerja lama

Prokaterol Formoterol Salmeterol Flutikason +

Kombinasi steroid dan Agonis beta-2 kerja lama

Salmeterol Budesonide + Formoterol

Turbuhaler Oral, IDT, rotacap solution Oral, IDT,

Pelega

Agonis beta-2 kerja

(Bronkodilator) cepat

Salbutamol

Terbutalin

Turbuhaler, solution, ampul (injeksi)

Prokaterol Antikolinergik Fenoterol Ipratropium bromide Metilsantin Teofilin Aminofilin Teofilin lepas lambat Kortikosteroid sistemik Metilprednisolon Prednison

IDT IDT, Solution IDT, Solution Oral Oral, Injeksi Oral Oral, Inhaler Oral

Tabel 1. Obat Asma

c. Menjaga kebugaran Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma (Depkes RI, 2009).

III. KESIMPULAN

1. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas, dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan 2. Penegakan diagnosis Asma Bronkial dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, tes fungsi paru, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan IgE spesifik serum dan Prick test. 3. Pada pasien Asma Bronkial akut penatalaksanaannya adalah pada saat sekarang (saat serangan) dan untuk jangka panjang

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Depkes RI.2009.Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11;Nopember 2008. Sundaru, S. H. Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247. Wibisono, M Jusuf. 2011. Buku Ajar Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai